Kamis, 07 Maret 2019

[Cerbung] Bias Renjana #4









Sebelumnya



* * *



Pelan-pelan Sandra meletakkan kunci mobil di atas meja konsol. Angie mendahului langkahnya. Masuk ke kamar untuk berganti baju. Mereka berdua baru saja pulang dari menghadiri undangan pembukaan kedai kopi milik James. Untuk pertama kalinya keduanya ‘bersenang-senang’ setelah sekitar dua minggu lamanya kehilangan Riza.

Kembali ke rumah yang senyap....

Dikerjapkannya mata sambil menyeret langkah ke kamar. Kamar yang harus dihuninya sendiri setelah Riza pergi. Kamar yang biasanya terasa hangat itu kini mengembuskan hawa dingin dan suasana sunyi. Embusan yang menular ke seluruh penjuru rumah mungil mereka. Tiada lagi suara berat dan bahana tawa Riza.

Sandra menggeleng samar. Kesunyian itu memerangkapnya dan Angie tepat setelah peringatan tujuh hari meninggalnya Riza, sekitar seminggu yang lalu. Setelah semua doa selesai dipanjatkan, dan penghiburan usai diterima. Kini, hanya ia dan Angie yang harus tetap bergandengan tangan meretas sepi itu. Ia memutuskan untuk kembali bekerja secepatnya, dan Angie juga kembali pada kesibukannya semula.

”Karena kehidupan kita masih harus terus berjalan,” begitu ucapnya, sembari berusaha menegarkan dirinya sendiri. “Mama yakin, seperti itu pula keinginan Papa, walaupun tak sempat terucapkan.”

“Ma....”

Sandra tersentak ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia menoleh. Mendapati Angie menyelipkan kepalanya dari sela pintu yang terbuka sedikit. Kini, gadis itu menyelinap masuk, dan merebahkan diri di atas ranjang Sandra. Sudah berganti busana dengan sehelai kaus tanpa lengan dan celana pendek.

“Tadi Mas Luken menawariku untuk gabung di Coffee Storage,” gumam Angie. “Sambil kerjain tugas akhir, aku boleh mulai kerja di sana.”

“Oh, ya?” Sandra menoleh sekilas dari depan lemari. “Bagian apa?”

“Staf keuangan. Katanya ada yang mau resign?”

“Oh, iya, sih. Tina.” Sandra mengangguk. “Suami Tina akan segera dipindahkan ke Denpasar. Tina mau ikut. Kemungkinan besar dua bulan lagi.”

“Menurut Mama, gimana?”

Sandra menghentikan gerakannya. Ia batal mengambil daster dari dalam lemari. Kini, ia berbalik dan menghampiri Angie yang masih berbaring di ranjang. Pelan-pelan, ia duduk di tepi ranjang. Menjuntaikan kaki dan menggoyang-goyangkannya.

“Kalau kamu mau, ya, ambil saja kesempatan itu.” Sandra tersenyum sedikit.

“Mm... Terus... Om James juga menawariku hal yang sama.” Suara Angie melirih. “Kedainya butuh staf keuangan. Sementara ini Om James masih bisa handel sendiri. Tapi Om James bilang, nantinya kedai akan dipegang Mbak Livi. Kalau Mbak Livi sudah masuk ke sana, kemungkinan besar aku bakal ditarik Mas Luken juga untuk gantiin Mbak Livi di Coffee Storage.”

Sandra termangu sejenak.

Angie memang sedikit lagi akan menamatkan studinya di jenjang sarjana. Selama kuliah nilainya cukup bagus. IP-nya tak pernah kurang dari angka 3,5. Riza selalu mendorong Angie untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Sebetulnya sudah ada rencana untuk langsung meneruskan ke jenjang S-2 begitu lulus nanti. Tapi kelihatannya tawaran kerja yang datang tiba-tiba sedikit menggoyahkan niat Angie. Sandra seutuhnya menangkap keinginan itu dalam suara Angie.

“Lantas....” Sandra mengubah arah duduknya. Kali ini melipat sebelah kaki, dan menghadap ke arah Angie. “Gimana dengan rencanamu ambil S-2?”

Wajah Angie seketika terlihat sedikit bercahaya. Ia bangun dari posisi berbaringnya.

“Oh, aku tetap akan kuliah S-2, Ma,” ucapnya dengan nada bersemangat. “Kupikir, aku bisa ambil kelas akhir pekan. Sayang beasiswanya kalau aku lewatkan.”

Angie kuliah dan Riza mengajar di kampus yang sama. Sebuah kampus yang memiliki kebijakan mendukung sepenuhnya pendidikan putra-putri dosen yang sudah anumerta, hingga jenjang yang tertinggi. Ada beasiswa khusus untuk itu. Secara otomatis Angie pun berhak atasnya. Bahkan, rektor sudah menyatakan hal itu secara lisan saat datang melayat. Tinggal mengeluarkan surat keputusan saja. Pun, meminta Angie agar tetap bersemangat merampungkan seluruh jenjang studi yang ia inginkan.

“Kalau itu sudah kamu pikirkan, terserah kamu mau ambil kesempatan yang mana,” ujar Sandra kemudian.

“Mm... Kayaknya aku ingin terima tawaran Om James,” gumam Angie, setengah menerawang. “Seandainya benar aku bakal ditarik ke Coffee Storage untuk menggantikan Mbak Livi, paling tidak aku punya pengalaman lain bekerja di kedai Om James.”

“Yang menawarimu lebih dulu, siapa?”

“Mas Luken.”

“Kalau begitu, sebaiknya kamu konsultasikan dulu dengan Mas Luken. Supaya lebih enak buatmu dan Mas Luken.”

“Oke, deh. Coba nanti aku cari waktu buat ketemu Mas Luken.”

“Nanti hari Senin coba Mama lihatkan jadwal Mas Luken, ya?”

Angie mengangguk. Sedetik kemudian ia memeluk Sandra.

“Kita akan baik-baik saja... tanpa Papa, kan, Ma?” bisiknya, sedikit tersendat.

Seketika leher Sandra terasa tercekat. Sakit. Dibalasnya pelukan Angie. Gadis itu merasakan ada gerakan mengangguk pada kepala ibunya yang menempel di lehernya.

“Ya, kita pasti akan tetap baik-baik saja,” bisik Angie lagi. “Akan kubuat Papa di Surga bangga padaku. Akan kubuat Papa di Surga melihat bahwa aku akan baik-baik menjaga Mama.”

Air mata Sandra luruh. Ketika merasa bahwa seluruh perbendaharaan air mata yang ia miliki sudah kering, ternyata masih ada sisa sedikit. Dieratkannya pelukannya terhadap Angie.

* * *

“Lho, kok, sudah pulang jam segini, Om?” Luken mengerutkan kening begitu James turun dari mobilnya. Ia sedang ngopi di teras.

“Yup!” James menyahut dengan wajah datar. “Gagal mengajak Bu Min makan malam.”

“Lho, kenapa?”

“Tadi Maxi sudah telanjur tungguin dia, disuruh mamanya. Bukan salah dia, sih. Bu Min pilih pulang diantar dia. Aku juga belum ngomong mau ajak dia makan malam.” James meringis sekilas.

“Oh....” Luken mengulum senyum. Ia mengangguk ketika James berpamitan dan berlalu, hendak beristirahat dulu.

Setelah mandi, James merebahkan diri di ranjang. Menikmati kelelahan yang perlahan menguap setelah ia meluruskan punggungnya. Ditatapnya langit-langit kamar di tengah temaram lampu redup yang menyala di sudut. Dihelanya napas panjang.

Apa yang sebetulnya ia cari? Apa yang ia harus buktikan? Soal mengusahakan sesuatu, tangannya sudah terbukti benar-benar dingin. Ia sudah berhasil mendirikan Coffee Storage. Saat ia sudah berada di puncak, ia memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan pengelolaan ‘anak kesayangannya’ itu kepada Luken.

Sementara pundi-pundinya masih mengucurkan uang yang tak habis dimakannya sendiri, karena Coffee Storage masih berstatus miliknya, ia beralih pada kerja yang bersifat sosial. Ia lebur dalam sebuah komunitas pemberdayaan masyarakat di sebuah desa.

Ketika sebagian besar kaum muda ahli waris desa berbondong ke kota untuk memperoleh penghasilan sekaligus gengsi, perlahan-lahan banyak lahan yang mulai tidur. Padahal James melihat bahwa iklim, ketinggian, dan susunan kimia tanah di daerah itu sangat cocok sebagai tempat untuk budidaya kopi.

James mempertaruhkan hampir semua uang yang ia miliki untuk menyewa dan mengubah sebagian besar lahan tidur itu jadi perkebunan kopi. Pasar sudah ada, karena ia memiliki muara berupa Coffee Storage. Dan, nalurinya tepat. Kebun-kebunnya menghasilkan kopi berlimpah ruah dengan mutu tinggi dan rasa nikmat. Hal yang berhasil menarik penduduk desa yang masih memiliki sisa lahan tak tersewa.

Satu demi satu, mereka mendatangi James untuk belajar mengelola lahan tidur mereka jadi kebun kopi seperti ‘milik’ James. Tentu saja James dengan senang hati berbagi pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Karena memang itulah tujuannya yang sebenarnya.

Ketika modalnya sudah kembali, ia mengembalikan pula lahan-lahan yang ia sewa kepada pemiliknya. Para pemilik lahan yang mendapat rejeki tiban berupa kebun kopi di lahan mereka pun antusias meneruskan usaha James. Pelan-pelan James menyelipkan pula pesan tentang perawatan optimal dan soal jaga mutu secara maksimal.

Selama beberapa tahun ia mendampingi para petani kopi itu. Hingga tiba saatnya mereka dilepas sendiri karena sudah memahami seutuhnya tentang cara menghasilkan kopi berstandar tinggi seperti yang diinginkannya. Sudah pula memahami betapa pentingnya peremajaan tanaman. Pun, lahan kebun kopi terus diperluas hingga ke desa-desa tetangga. Biji kopi kelas dua yang tidak lolos uji standar Coffee Strorage pun masih laku dijual, walaupun harganya lumayan jatuh. Membuat para petani kopi memilih untuk berusaha keras menjaga mutu kopi mereka sesuai standar yang ditetapkan James, daripada memperoleh hasil dari mutu sekadarnya dengan harga yang berselisih sangat besar.

Ketika ia ‘kembali ke peradaban’, James belum ingin berhenti. Ia memang benar-benar orang yang tidak bisa menganggur.

Di bawah kendali Luken, Coffee Storage sudah makin mantap menduduki tahtanya. Menjadi eksportir kopi terbesar di Indonesia dengan rekanan pemasok tersebar di seluruh Indonesia dengan kekhasan rasa masing-masing, dan klien dari seluruh penjuru dunia. Lalu, tiba-tiba saja James menyadari sesuatu. Coffee Storage belum memiliki ‘etalase’ untuk ‘memajang’ semua koleksi kopi yang mereka miliki.

Segera saja otaknya bergerak lebih keras lagi dan menggambarkan sebuah kedai kopi yang menjadi etalase koleksi Coffee Storage. Mau menikmati kopi dengan sentuhan moderen bisa, mau hanya ‘sekadar’ menikmati kopi tubruk pun akan mendapatkan pelayanan yang sama memuaskannya.

Mimpi yang baru sudah dimulai.

James memejamkan mata. Ia sungguh-sungguh percaya bahwa niat baik yang diwujudkan dengan cara yang baik akan memberikan hasil yang baik pula. Gusti mboten nate sare. Tuhan tidak pernah tidur. Itu yang selalu ada dalam benak dan hatinya.

Tapi ke mana Gusti ketika aku terkapar dihajar kegagalan cintaku terhadap Sandra?!

Ia pernah selintas meneriakkan tanya itu. Dulu. Sebelum ia menyadari bahwa mungkin Gusti sedang tidur siang sejenak saat hal itu terjadi padanya. Lalu, belakangan pemahaman soal ‘bukan jodoh’ pun menyelinap masuk ke dalam hati dan benaknya. Membuatnya lebih berlapang hati menjalani hidup.

Hingga detik ini....

Seketika James membuka kembali mata. Saat tiba-tiba saja sosok Sandra hadir dalam benaknya. Tanpa diundang.

Jangan! James menggeleng samar. Jangan sekarang.

Bayinya yang bernama Kedai Kopi Om James baru saja lahir. Ia ingin jalurnya benar-benar ‘benar’ hingga ia tak merugikan orang-orang lain yang sudah telanjur terikat di dalamnya.

Ia kembali memejamkan mata. Berusaha mengosongkan pikiran agar ia bisa beristirahat sepenuhnya. Hari esoknya masih panjang untuk dilalui. Maka, ia segera mempersilakan mimpi datang menghiasi tidurnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.