Senin, 11 Maret 2019

[Cerbung] Bias Renjana #5









Sebelumnya



* * *

Dua


Sandra bertopang dagu menatap layar monitornya. Saat ini, ruangan cukup luas tempatnya bekerja terasa sangat kosong dan sunyi. Hanya ada ia seorang di lantai dua kantor itu. Pekerjaannya hari ini sudah selesai. Luken dan Livi sedang berada di seberang, di Kedai Kopi Om James. Sedang menjamu seorang calon klien baru yang berasal dari Norwegia. Sebetulnya Luken tadi mengajaknya. Tapi ia mengelak. Beralasan harus menyelesaikan tugasnya. Luken pun tidak memaksa.

Sebetulnya, ia segan juga mengelak seperti itu. Bagaimanapun, Luken adalah atasannya. Orang yang menggajinya. Orang yang berhak memberi perintah apa pun kepadanya. Tapi Luken yang punya hati dan pengertian seluas tujuh samudera itu tampaknya paham bahwa ia sedang ingin ruang untuk dirinya sendiri.

Hari ini adalah hari ke-105 kepergian Riza. Seperti apa pun ia berusaha menyibukkan diri untuk sekadar menghindar dari rasa kesepian, selalu saja ada keheningan yang memaksanya melabuhkan kerinduannya pada sosok seorang Riza. Laki-laki yang sudah hampir dua puluh tiga tahun menjadi belahan jiwanya. Yang kepergian tiba-tibanya membuat orang-orang terkasihnya menghitung setiap hari yang berlalu dalam kenangan itu.

Sandra menghela napas panjang ketika lamunannya terputus. Telepon di mejanya berbunyi. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mencerabutnya secara paksa dari sisi lain benaknya. Sekilas ia menatap jam dinding di seberang mejanya. Sudah hampir jam istirahat makan siang. Diangkatnya telepon itu.

“Selamat siang, dengan Sandra Hakim, ada yang bisa dibantu?” ucapnya dengan nada lembut. Tak urung, ada getaran saat ia menyebutkan nama ‘Hakim’ di belakang namanya.

“Bu Sandra, ini Lila.”

Suara renyah resepsionis di lantai bawah menyapa telinga Sandra.

”Ya, Mbak Lil? Ada yang bisa dibantu?”

“Ini, Bu, Bu Min dari kafe Pak James mau ketemu Ibu. Mau antar makan siang. Boleh naik?”

“Lho! Kok, Bu Min repot-repot amat?” Sandra terjingkat kaget. “Aku turun sekarang, Mbak Lil.”

Tanpa menunggu jawaban Lila, Sandra segera meletakkan gagang telepon dan ‘terbang’ ke lantai bawah. Sesampainya di ujung tangga, dilihatnya Minarti duduk di sofa, dengan sebuah tah kertas duduk tegak di pangkuannya.

“Bu Min...,” sapanya dalam gegas langkah.

Minarti menoleh dan segera berdiri. Tak hanya sekadar berjabat tangan, keduanya pun berpelukan sejenak. Minarti menyodorkan tas kertas yang ditentengnya.

“Ini, makan siang Bu Sandra,” ucapnya dengan senyum lebar. “Menu khusus kesukaan Bu Sandra. Saya masak sendiri, lho!”

Wajah Sandra segera menampakkan ekspresi tersanjung.

“Aduh, Bu Min.... Jadi repot banget ini. Mana Ibu antar sendiri ke sini,” gumamnya sambil mengangkat tas kertas itu. Membiarkan hidungnya mencium aroma sedap yang menguar dari dalam tas itu. “Astaga.... Baunya sedap sekali! Makasih, ya, Bu Min. Makasih banget!”

“Iya, Bu, sama-sama.” Senyum Minarti kembali melebar.

Perempuan berpenampilan sederhana itu kemudian menolak dengan halus ketika Sandra mengajaknya ke atas. Ia beralasan hanya sekadar melemaskan kaki saat jam istirahat seperti ini. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun berpamitan.

* * *

Dengan ekor matanya, James menangkap kehadiran Minarti yang baru saja melenggang masuk. Ia sedang duduk di belakang angkringan yang berfungsi sebagai bar. Posisinya terlindung sebuah guci besar berisi air minum yang bertengger di sudut meja. Tersamarkan pula oleh kesibukan para barista yang tengah meracik berbagai jenis kopi. Minarti pun berlalu dan langsung menuju ke daerah kekuasaannya. Dapur Kedai Kopi Om James.

Minarti memang masih benar-benar gesit di usianya yang baru lima puluh dua tahun. Kerasnya kehidupan yang selama bertahun-tahun menghajar tampaknya tak sanggup merenggut kecantikan dan penampilan awet mudanya.

“Ketika ayah Navita meninggalkan saya untuk selamanya, saya belum terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga, sebetulnya,” ucap Minarti dengan senyum riangnya yang khas, pada suatu ketika. “Ayah saya punya perusahaan otobus. Diteruskan oleh ibu saya setelah Ayah meninggal. Ibu tiri saya. Ibu saya sendiri sudah wafat saat saya masih TK. Walaupun tidak terlalu hangat, tapi ibu tiri saya orangnya baik. Hanya saja, ada satu sebab yang belum bisa saya ceritakan kepada Bapak, saya harus meninggalkan semua yang saya miliki. Terdampar di sini, di Jakarta, berusaha membesarkan Navita, dan... beginilah kehidupan saya sekarang.” Minarti membuka kedua telapak tangannya.

Seutuhnya James tahu seberapa beratnya perjuangan Minarti dalam membesarkan putri tunggalnya agar jadi ‘orang’. Sedikit banyak, Livi pernah bercerita kepadanya. Walaupun hanya kisah di permukaan, tapi ia sudah bisa membayangkan. Perempuan yang tumbuh besar dan dewasa dalam keadaan cukup bergelimang harta, tapi harus tetap bertahan hidup saat nyaris tak punya apa-apa. Tak hanya sendirian, tapi juga punya seorang buah hati yang menjadi tanggung jawabnya.

Dan, dia survive hingga detik ini.... James menggeleng samar. Karena menjalani hidup dengan riang, dan menularkan keriangan itu ke sekitarnya, di mana pun dia berada. Perempuan hebat!

“Om....”

James tersentak. Ia mendongak. Mendapati Luken sudah berdiri menjulang di depannya. Menatapnya sambil tersenyum.

“Sudah deal,” lanjut Luken. “Aku balik dulu ke kantor. Nanti aku ke sini lagi.”

James mengangguk sambil berdiri. Tampaknya importir dari Norwegia itu sudah berhasil kepincut dengan berbagai jenis kopi yang mereka miliki. Terlihat jelas dari wajah cerah Luken. Dari kejauhan, Livi mengangguk kepadanya sebelum meninggalkan tempat itu bersama Luken dan tamu mereka.

“Pak James, makan siang dulu.”

Suara lembut itu mengelus telinga James. Membuatnya menoleh. Ditemukannya senyum teduh Minarti. Ia kemudian mengangguk dan mengikuti langkah Minarti ke dapur.

Angie sudah duduk manis menunggu di depan meja makan kecil di sudut dapur. Mengembangkan senyum manisnya, menyambut kehadiran James. Di depannya sudah ada piring berisi nasi putih dan lauk lengkap. Kali ini Angie memilih lodeh rebung, tahu goreng, dan sepotong kecil ayam bakar.

“Lho, tunggu siapa?” seru James sembari mengambil piring.

“Tunggu Om-lah....”

“Ah, kamu kalau mau makan duluan, makan saja. Nggak usah pakai tunggu-tunggu segala.”

Angie kembali mengulas senyum manis menanggapi ucapan James. Beberapa belas detik kemudian, mereka bertiga sudah menikmati makan siang sambil asyik bercakap.

Ini sudah masuk bulan kedua Angie bergabung dengan Kedai Kopi Om James. James terbantu sekali dengan kehadiran Angie yang merapikan seluruh catatan keuangan kedai begitu mulai bekerja. Gadis itu cerdas. Tak hanya merapikan catatan keuangan, tapi juga bisa menganalisa berbagai rencana belanja kedai. Alhasil, James bisa menghemat cukup banyak karena Angie menyarankan agar  James mencoret berbagai rencana pengeluaran yang belum perlu.

Angie masuk ke Kedai Kopi Om James setelah James dan Luken berembuk. Saat ini Livi belum mungkin meninggalkan Coffee Storage. Jadi, meskipun sudah terbuka lowongan bagi Angie untuk bergabung di sana, tapi James lebih membutuhkannya. Kedai James baru berjalan, sedangkan perjalanan Coffee Storage sudah sangat stabil. Sudah jelas terlihat mana yang lebih membutuhkan Angie.

“Mm.... Masakan Bu Min memang nggak ada duanya!” puji Angie di tengah kesibukannya mengunyah.

“Cuma makanan rumahan biasa, Angie,” Minarti merendah.

Selama ini, memang selalu ia sendiri yang memasak makanan untuk makan siang mereka. Seringkali sengaja ia lebihkan untuk dikirim buat Sandra di Coffee Storage.

“Justru itu, Bu! Justru itu!” Angie terlihat sangat bersemangat. “Hasil analisa saya bilang, kebanyakan orang kantoran sekarang sebenarnya sudah bosan dengan rasa makanan cepat saji dan hidangan restoran lainnya. Sudah kebanyakan tersentuh aroma industri. Sayangnya, yang selama ini dekat dengan kantor-kantor mereka hanya tempat makan yang seperti itu. Kedai ini benar-benar angin segar dalam bisnis kuliner. Membuat orang-orang yang rindu makanan rumahan bisa mendapatkan kembali surganya.”

James menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya sembari tersenyum lebar.

“Karena itu, kan, kamu nggak pernah mengutak-atik anggaran pembelian bumbu yang diajukan Bu Min?”

“Karena itulah yang kita jual, Om,” sahut Angie dengan mata berbinar.

Tentu saja James menyetujuinya seribu persen. Ia memang tak pernah mengungkapkan secara terbuka apa yang sebenarnya ia jual di kedainya kepada Angie. Membiarkan gadis itu menemukannya sendiri. Dan, kali ini, ia memang benar-benar harus angkat topi terhadap ketajaman Angie dalam berpikir.

Benar-benar anak Sandra dan Riza, gumamnya dalam hati.

Ia seolah menemukan kembali Sandra muda dalam diri Angie. Sandra yang sudah membantu dan menopangnya membesarkan nama Coffee Storage.

Memang tak ada laki-laki yang lebih baik daripada Riza Hakim untuk menjadi belahan jiwa Sandra. Sayangnya....

Samar, James menghela napas panjang. Menghabiskan makan siangnya dalam diam, sambil menyimak obrolan hangat Minarti dan Angie.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.