* * *
Dua Puluh Dua
Prisca tertegun ketika telinganya menangkap desahan lembut dari seberang sana. Pelan-pelan, ia menghenyakkan punggung ke sandaran sofa di sudut lobi penginapan yang sudah sepi karena malam sudah berjalan kian dekat menuju puncaknya.
Benarkah?
“Pris... Are you still there?”
Ada apa ini? Kenapa mendadak saja...
“Pris...”
Prisca berdehem untuk menutupi perasaannya. Tak urung, jantungnya berdebar hebat.
“Ya?” jawabnya kemudian, nyaris tanpa suara.
“Kenapa diam?”
“Hm...,” susah payah ia mendegut ludah. “Sejak kapan?”
“Apanya?”
“Merindukanku,” jelasnya dengan nada rendah.
Terdengar desah napas lega dari seberang sana. “Sejak aku sadar bahwa aku benar-benar mencintaimu.”
Prisca kembali terdiam. Ia benar-benar tak tahu harus menanggapi bagaimana. Pernyataan Erlanda sungguh-sungguh mengguncang perasaannya. Di satu sisi, ia senang sekaligus lega karena kini ia tahu bahwa Erlanda benar-benar mencintainya. Tapi di sisi lain... Jadi selama ini dia merasa bahwa dia itu mencintai siapa?
“Pris...”
“Hm... Jadi Papa bilang begini karena Sander?” Prisca memejamkan mata ketika kalimat itu meluncur keluar begitu saja melalui bibirnya.
“Maksudmu?”
Seketika Prisca menyesali ucapannya. Kenapa bisa begini? Apa yang aku pikirkan? Tapi sudah telanjur. Sudah kepalang basah.
“Supaya Sander bisa meneruskan hubungan dengan gadis itu dan Papa ada kesempatan untuk bertemu dengan mantan Papa,” tandasnya, masih dengan suara rendah. “Yang selama ini masih selalu membuat Papa penasaran.”
“Astaga, Pris... Kenapa bisa sejauh itu pikiranmu?”
Prisca terhenyak. Apa yang selama ini menjadi ganjalannya keluar begitu saja. Dan berikutnya, dan berikutnya...
“Papa mencintaiku, ya, aku tahu. Tapi Papa juga masih mencintainya, aku juga tahu. Pertemuan... Itu, kan, yang Papa harapkan?”
“Astaga, Pris... Seandainya memang pertemuan itu ada, lalu mau apa? Aku sudah punya kamu, sudah punya Sander. Dia juga sudah punya anak dan suami. Semuanya sudah lebih dari cukup buatku.”
Prisca hening.
“Oke... Ya, selama ini aku memang sering mencoba mencari tahu bagaimana kabarnya. ...”
Nah, kan! Prisca mencibir.
“... Untuk sekadar mengetahui apakah dia baik-baik saja. Dan sekarang aku tahu dia baik-baik saja. Sudah lebih dari cukup buatku. Maafkan aku, Pris... Selama ini aku egois, tak pernah berusaha memikirkan apakah hal ini menyakitimu atau tidak. Tapi sekarang aku sadar, aku sudah menyakitimu. Maafkan aku, Pris. Ampuni aku... Yang jelas, aku mencintaimu, aku merindukanmu, aku tak pernah mau yang lain. Aku tak memintamu untuk seketika memercayai apa yang kukatakan baru saja. Tapi sungguh, Pris, satu-satunya belahan jiwaku cuma kamu.”
Prisca mengerjapkan mata. Ia juga mencintai Erlanda, walau tak seketika cinta itu muncul setelah mereka menikah. Ia juga sering merindukan Erlanda, pada saat-saat tertentu ketika Erlanda jauh dari sisinya karena urusan pekerjaan. Ia juga memercayai kesetiaan Erlanda, karena selama ini ia sudah melihat dan merasakan sendiri bagaimana Erlanda begitu teguh memegang dan memenuhi janji nikahnya selama tiga puluh tahun yang sudah berjalan. Tapi ia juga memahami hati Erlanda, yang pernah sekian tahun terperangkap dalam cinta terhadap seorang Laurentia. Pasti sulit untuk keluar dari lingkaran masa lalu yang ia tahu masih sering disesali Erlanda.
Dihelanya napas panjang.
“Nanti kita bicarakan lagi setelah aku pulang.”
Tanpa menunggu tanggapan Erlanda, Prisca langsung memutus pembicaraan itu. Ia masih perlu waktu untuk berpikir. Ia juga perlu ruang untuk mencari sepotong kata ikhlas. Perjalanannya masih tersisa tiga hari lagi.
Setelah itu?
Prisca menggeleng samar. Pelan-pelan ia beringsut meninggalkan lobi penginapan untuk kembali ke kamarnya.
Aku masih belum tahu. Tapi rasa-rasanya... aku memang harus mencari tahu.
* * *
Pembicaraan itu terputus begitu saja. Erlanda menghela napas panjang sambil meletakkan ponselnya di atas nakas. Pelan, diraihnya bantal yang biasa dipakai Prisca. Diciumnya bantal itu. Dihirupnya aroma bantal itu dalam-dalam. Aroma Prisca yang sudah diakrabinya selama tiga puluh tahun. Aroma yang selalu membuatnya nyaman dan tenang.
Dan, rasa itu masih tetap sama seperti kemarin. Tak sedikit pun berkurang. Bahkan bertambah.
Ia memang benar-benar merindukan Prisca. Belahan jiwanya.
* * *
Aura muram Sisi pelan-pelan menular pada seluruh gerombolan itu. Entah sejak kapan dimulainya, mereka berlima – minus Danny – menikmati makanan dan minuman di warung tenda pinggir jalan itu dalam hening. Pada akhirnya, Marco tak tahan lagi dengan suasana itu. Ditatapnya Sisi.
“Lu nggak apa-apa keluar sampai malem gini?” tanyanya halus.
Sisi mendongak sedikit, kemudian menggeleng, sebelum menunduk lagi. Kembali menikmati nasi goreng gilanya. Sekilas tatapan Marco bertemu dengan Dion.
“Lu...,” celetuk Dion, “... kalau mau curhat, kita-kita siap dengerin, kok, Si.”
Sekali lagi Sisi mendongak sedikit. “Gue kudu ngomong apa?”
Semuanya kembali terdiam.
“Gue sedih..., ya, gue sedih,” lanjut Sisi dengan suara datar. “Tapi gue bisa apa? Gue percaya waktu bakal menyembuhkan. Yang gue butuhin sekarang, ya, cuma ruang dan waktu. Makanya Bunda sama Ayah bebasin gue mau ngeluyur sampai jam berapa saja. Apalagi gue ada sama kalian. Pasti aman.”
Tatapan para ‘bandit’ itu kembali saling bertemu. Sisi adalah seorang gadis yang sangat kuat, ya, mereka tahu. Sedemikian kuatnya sehingga sepertinya tak butuh siapa pun untuk menopangnya saat terluka dan berduka. Tapi rasanya tidak adil, mengingat betapa seringnya mereka ‘lari’ pada Sisi saat mereka masing-masing dihantam masalah. Dan rasanya tak adil juga bila Sisi harus menghadapi masalah seperti sekarang. Terancam putus cinta, bahkan sebelum memulai. Hanya melihatnya saja sudah menimbulkan rasa sakit hati tersendiri.
“Habis ini pulang, ya?” celetuk Sisi, dengan suara diusahakan tanpa beban. “Malem Rabu gini. Besok, kan, kalian kudu kerja.”
“Gue, sih, santai aja. Kan, pengacara,” Reza tunjuk jari. “Nggak ketanggungan apa-apa.”
Semua tertawa mendengar candaan itu, termasuk Sisi. Suasana cairlah sudah. Mereka tentunya tidak keberatan menemani Sisi hingga selarut apa pun. Hanya itu yang sementara ini bisa mereka lakukan untuk Sisi. Menemani dan menjaganya hingga waktunya Sisi harus diantar ke rumah kembali dengan selamat.
* * *
“Seandainya hubungan Sisi dan Sander berlanjut, seandainya ke arah yang lebih dari serius, suatu saat aku harus bertemu dengan Erlanda, kan?” Lauren menatap Himawan dengan sorot mata redup. “Lalu menurut Ayah, aku harus bagaimana?”
Di bawah keremangan cahaya lampu teras depan, Himawan menatap Lauren dalam-dalam. Bibirnya mengulas senyum teduh. Dijangkaunya secuil poni yang jatuh di kening Lauren, kemudian disibakkannya dengan halus.
“Tidak letihkah Bunda berlari menghindari Erlanda?” ujarnya kemudian, selembut dan sehalus mungkin.
Seketika Lauren melengak. Ditatapnya Himawan tajam-tajam.
“Aku menghindari Erlanda?!” suaranya mulai naik. “Kapan?”
“Dengan berpesan kepada semua orang agar jangan pernah memberitahukan kabar dan keberadaan Bunda pada Erlanda, apakah itu bukan menghindari namanya?” Himawan menjaga suaranya agar tetap lembut.
“Itu bukan menghindari!” bantah Lauren. “Aku hanya mau menutup bukuku bersama Erlanda, karena aku sudah membuka buku baru bersama Ayah. Aku hanya berusaha menghormati pernikahan kita.”
Himawan mengangguk sabar. “Oke, maaf, aku salah. Tapi... kalau alasan Bunda seperti itu, bukankah tidak jadi soal bila suatu saat harus bertemu Erlanda, secara sengaja maupun tidak?”
Lauren tercenung. Seharusnya! Tapi... Kembali ditatapnya Himawan.
“Aku wegah. Enggan. Malas berurusan lagi dengannya,” tegasnya.
“Juga seandainya urusan itu menyangkut Sisi?” kejar Himawan, tetap dengan kelembutan yang sama.
Seketika Lauren kehilangan jawaban.
Sebetulnya hal seperti inilah yang membuat kejengkelannya pada Erlanda muncul dan muncul lagi. Bila hanya ia yang bermasalah dengan Erlanda, itu tak jadi soal buatnya. Tapi bila harus berimbas pada putri kesayangannya? Dan pada kenyataannya, Sander sudah menghindari Sisi.
Seolah menemukan celah, kembali ditatapnya Himawan dengan sorot mata berapi-api.
“Seandainya kedua anak itu ngotot, aku bisa apa?” ketusnya. “Tapi nyatanya Sander lebih memilih untuk menghindar. Itu...”
“Itu karena dia nggak mau menyakiti Bunda dan mamanya,” potong Himawan, mulai tidak sabar. “Nggak ingin menyakitiku juga karena posisiku dalam masalah ini sama dengan mamanya. Terlebih dia nggak ingin lebih lagi menyakiti Sisi. Mumpung masih di permukaan. Sebelum terlalu dalam baginya dan Sisi.”
“Kesimpulan dari mana itu?” Lauren menatap Himawan dengan sorot mata mencela.
“Aku bertemu dan bicara banyak dengannya beberapa hari yang lalu,” tegas Himawan.“
Seketika Lauren ternganga.
“Seandainya kalian – Bunda dan papanya – memang benar-benar sudah selesai, maka dia akan melanjutkan perjuangannya untuk mulai merajut masa depan bersama Sisi. Tapi kalau tidak...,” Himawan mengangkat bahu, “... mereka habis.”
Lauren terhenyak.
Itu artinya...
Lauren mendegut ludah.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Mohon maaf, karena kemarin ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan, maka episode ini yang seharusnya tayang kemarin (hari Kamis) baru bisa ditayangkan sore ini. Semoga tidak terlalu mengecewakan. Terima kasih...
Oh ya, selamat ulang tahun untuk Mbak Sriati Rahmawati, seorang pembaca setia FiksiLizz dari Hongkong. Semoga selalu dilimpahi kebahagiaan...
Oh ya, selamat ulang tahun untuk Mbak Sriati Rahmawati, seorang pembaca setia FiksiLizz dari Hongkong. Semoga selalu dilimpahi kebahagiaan...
Akhirnya baca ,selamat weekand semua 💐
BalasHapusMakasiiih, Sylla cantik... 💐💐💐
Hapus