Senin, 13 November 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #21








Sebelumnya



* * *


Dua Puluh Satu


Sander menunggu hingga mobil Himawan menghilang dari pandangan sebelum memesan taksi online. Ditolaknya dengan halus tawaran Himawan untuk mengantarnya pulang ke apartemen. Di samping ada rasa segan, tampaknya juga agak kurang beretika bila ia menerima tawaran itu dengan senang hati. Selain itu, ia tahu letak apartemennya berlawanan arah dengan ke mana Himawan hendak pulang.

Dengan cepat ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah orang tuanya. Malam ini mamanya ada jadwal berangkat ziarah rohani ke Jogja dan Jawa Tengah bersama kumpulan ibu-ibu segereja. Ada kesempatan terbuka lebar baginya untuk bicara dengan sang papa. Tentang masa lalu. Tentang seorang perempuan bernama Laurentia. Tentang mamanya. Tentang perasaannya juga.

Tak lama ia menunggu, taksi yang dipesan datang. Sambil membiarkan kendaraan itu membawanya pergi, Sander beberapa kali menghela napas panjang untuk melonggarkan tekanan yang terasa menghimpit dada.

Melihat sikap positif ayah Sisi, rasanya harapan itu masih ada. Tapi semua kini justru tergantung pada diri papanya. Itu yang sekarang ia ingin pastikan. Agar keputusannya bulat. Berhenti dengan amat sangat terpaksa, atau terus memperjuangkan perasaannya dan Sisi.

* * *

Dua orang anak yang sangat menyayangi dan menghormati ibu masing-masing...

Himawan pelan-pelan menyandarkan punggungnya. Dibiarkannya layar laptop terbuka lebar menampilkan draft sebuah pekerjaan. Tapi kali ini fokus pikirannya sama sekali bukanlah di situ.

Dua orang anak yang tanpa sengaja ikut terseret dan terjebak masa lalu orang tua mereka...

Dihelanya napas panjang. Ia tahu bahwa sebenarnya masa lalu itu sudah selesai bagi Lauren. Sudah lama selesai. Seutuhnya. Tapi bagi Erlanda? Himawan menggeleng samar. Ia sama sekali tak bisa menduga.

Sedikit-banyak, ia paham apa yang ada di kepala Erlanda. Ia sama seperti Erlanda. Sama-sama laki-laki. Laki-laki yang punya ego cukup tinggi, dan susah untuk move on dari sesuatu, apalagi sesuatu yang pernah sangat memengaruhi hidupnya seperti cinta pada Lauren. Susah untuk menganggap Lauren sebagai sesuatu yang sudah usai.

Dan anak laki-laki itu...

Himawan mengerjapkan mata.



“Jujur, Pak, saya belum pernah merasa seperti ini sebelumnya,” gumam Sander dengan wajah muram. “Bertemu Sisi, saya seolah menemukan kepingan puzzle kehidupan saya yang belum lengkap dan tercecer. ...”

Seutuhnya Himawan memahami apa yang dirasakan Sander. Karena ia pun dulu merasakan hal yang sama ketika pertama kali bertemu dengan Lauren. Sebuah rasa yang sama sekali ia tak bisa jelaskan. Sebuah rasa yang masih juga bertahan hingga detik ini, tanpa berkurang sedikit pun. Sebuah rasa yang berhasil membuatnya menarik kesimpulan, bahwa memang benar Lauren-lah belahan jiwanya.

“... Tiba-tiba saja saya merasa lengkap,” lanjut Sander, “bahkan sebelum saya mengucapkan apa-apa pada Sisi. Tapi...,” pemuda itu mengangkat bahu dengan wajah terlihat ‘patah’.

Himawan mengangguk. Sander masih tertunduk di seberangnya.

“Aku percaya, Mas Sander tidak akan mengecewakan Sisi, seperti sudah ayah Mas Sander lakukan terhadap bunda Sisi dulu,” senyumnya kemudian. “Bagi bunda Sisi, semua hal yang terjadi di masa lalu sudah selesai. Sudah lama tamat. Sudah terbuka lembaran baru. Tapi, entah bagi ayahmu. Sebagai pribadi, bunda Sisi tak ada masalah denganmu. Tapi statusmu sebagai putra dari Pak Erlanda, bunda Sisi masih merasa kurang sreg. Bukannya apa-apa, bunda Sisi cuma nggak ingin Sisi merasakan hal yang sama dengannya dulu.”

“Saya paham, Pak,” Sander mengangguk pelan sambil mengerjapkan mata. “Mama pun seperti itu. Hanya terkendala masa lalu Papa dengan Bu Tia. Sebetulnya Mama sangat menyukai Sisi. Tapi terbentur sikap Papa yang, mungkin, masih ada rasa dengan Bu Tia. Saya sendiri belum bicara dengan Papa soal ini.”

“Saranku, bicarakan dulu dengan ayahmu, Mas. Kalau memang hubunganmu dengan Sisi masih bisa ditolong, lanjutkan. Kalau memang sudah mentok karena perasaan ayahmu, yah... mau bagaimana lagi? Yang jelas, bagi bunda Sisi, semuanya sudah berlalu. Sudah berakhir. Paling penting baginya, jangan pernah menyakiti Sisi. Itu saja.”

Sander manggut-manggut. Beberapa detik kemudian ditatapnya Himawan.

“Saya sama sekali tidak pernah berniat menyakiti Sisi, membuatnya kecewa, atau apa pun hal buruk yang bisa saya lakukan terhadap Sisi, Pak. Selama ini, saya sudah melihat bagaimana Papa memperlakukan Mama dengan sangat baik. Bagaimana Papa mencintai dan menghargai Mama. Bagaimana Papa selalu berusaha untuk dengan teguh memegang dan menjalankan janji perkawinan. Bagi saya semua itu hal mutlak yang juga harus saya lakukan terhadap belahan jiwa saya kelak, di luar apa yang mungkin masih disimpan Papa untuk Bu Tia.”

Dan, Himawan menatap kesungguhan dalam kelam mata Sander. Ia memercayai hal itu. Seutuhnya.

“Saya akan coba bicara dengan Papa, Pak,” lanjut pemuda itu. “Kalau memang bagi Papa masa lalu itu juga sudah selesai, dan ada jaminan untuk itu, saya akan berjuang meyakinkan Mama. Tapi kalau belum..., saya akan mundur sebelum lebih dalam menyakiti Sisi. Sebelum lebih lanjut menyakiti Bu Tia dan Mama, dan mungkin Bapak juga.”



Himawan menghela napas panjang, entah untuk keberapa kalinya malam itu. Sejenak ia menguap. Diliriknya sudut kanan bawah layar laptop. Sudah hampir pukul satu dini hari. Ia memutuskan untuk mematikan laptop, kemudian beranjak meninggalkan ruang baca.

* * *

Taksi yang ditumpangi Sander berhenti nyaris bersamaan dengan sebuah mobil lain yang langsung berbelok hingga ke depan pintu pagar. Mobil Erlanda. Sander secepatnya keluar dari dalam taksi setelah membayar.

“Lho, Mas Sander pulang lagi?” celetuk Munah yang membukakan pintu pagar.

Kaca jendela kiri mobil Erlanda turun. Laki-laki itu mencondongkan badannya.

“Ada yang ketinggalan, San?” tanyanya.

Sander menggeleng. Tersenyum. Erlanda kemudian meluncurkan mobilnya ke garasi. Sander melangkah mengikuti dari belakang.

“Mau menginap lagi?” tanya Erlanda begitu keluar dari mobil. “Tahu begitu Papa jemput di apartemen.”

“Aku nggak dari apartemen, kok, “ sahut Sander. “Mama sudah berangkat?”

“Iya,” angguk Erlanda. “Ini tadi Papa tunggu sampai bus rombongannya berangkat, baru Papa pulang. Gimana hasil kontrol siang tadi?”

“Baik, Pa,” Sander menjajari langkah Erlanda masuk ke dalam rumah. “Harus tetap jaga makanan dan jadwal makan.”

Erlanda manggut-manggut sembari menepuk-nepuk bahu kanan Sander.

“Mm...,” suara Sander terdengar ragu-ragu. “Papa ada waktu malam ini? Aku... mau ngomong sama Papa.”

“Soal?” Erlanda menaikkan alis, menatap Sander dengan perhatian penuh.

“Bu Tia... dan Mama...”

Erlanda mengerutkan kening. “Tia? Tia siapa?”

“Bu Tia Adiatma. Mama Sisi.”

Erlanda tertegun. Lama.

* * *

Salah satu alasannya ikut ziarah rohani kali ini adalah mencari ketenangan hati. Prisca merasa bahwa keinginannya untuk memotong langkah Sander adalah sebuah kesalahan besar. Tapi ia juga merasa belum bisa menerima bahwa gadis itu adalah putri perempuan dari masa lalu Erlanda.

Laki-laki itu, Erlanda, suaminya, memberi kecupan hangat yang cukup lama di kening sebelum ia masuk ke dalam bus. Sebuah kemesraan yang ia tahu bukanlah sesuatu yang pura-pura. Ia yakin Erlanda mencintainya. Tapi di lain pihak, ia juga tahu apa yang dilakukan Erlanda selama ini di belakangnya. Selalu mencari tahu soal Lauren. Seolah-olah kehadirannya dalam kehidupan Erlanda tak pernah cukup.

Ia dulu bertemu Erlanda untuk pertama kali saat hatinya sedang patah. Sama seperti laki-laki itu. Bedanya, Erlanda melepaskan Lauren ‘tanpa sadar’, sedangkan ia terdepak dari dongeng indahnya bersama Arga karena laki-laki itu berselingkuh dengan rekan sekantor. Ketika kedua orang tuanya menawarkan untuk mencoba berkenalan dengan laki-laki lain, ia hanya bisa mengangguk dengan tatapan hampa.

Nasib yang sama, saling membutuhkan untuk terus bergerak maju, merasa bahwa orang yang dikenalkan cukup baik, membuatnya dan Erlanda kembali mengangguk ketika orang tua Erlanda menawarkan lamaran resmi hanya dua bulan setelah berkenalan. Setelah itu mereka melalui semuanya secara otomatis. Baru tersadar ketika harus mengikuti kursus persiapan pernikahan yang diadakan oleh pihak gereja. Bahwa pernikahan mereka nantinya harus dilandasi oleh cinta dan setia, sama sekali tak bisa terceraikan kecuali oleh maut.



“Kamu yakin?” tanyanya ketika itu pada Erlanda.

Erlanda menatapnya, dalam. Prisca mengerjapkan mata dengan penuh kekhawatiran.

“Aku tidak akan bisa kalau hanya sendirian menjalani ini, Pris,” ucap Erlanda halus, menjawab pertanyaan Prisca. “Kamu perempuan yang baik. Aku yakin akan bisa mencintaimu. Kamu dengar apa kata Pak Nandi tadi? Cinta itu bisa ditumbuhkan, dipelihara, dan dijaga kesegarannya. Nah, itu yang aku tidak bisa melakukannya sendirian. Kamu pun harus begitu. Karena kita akan jadi teman hidup selamanya...”

Menatap ke kedalaman mata Erlanda, yang masih sedikit berlumur luka setelah mendengar kabar Lauren sudah menikah, maka Prisca pun memantapkan hati untuk selanjutnya bergandengan tangan dengan Erlanda merajut masa depan. Bersama-sama saling menyembuhkan. Dan ikatan itu kemudian makin kuat setelah Sander hadir menyemarakkan kehidupan mereka.



Dan cinta itu memang ada...

Prisca mengerjapkan matanya yang menghangat.

Setidaknya aku tahu aku mencintainya. Setidaknya aku tahu dia setia. Tapi...

Dihelanya napas panjang. Seisi bus sudah terlelap. Prisca pun memutuskan untuk memejamkan mata. Sejenak mengistirahatkan pikiran dan hati.

* * *

“Sebetulnya, seperti apa perasaan Papa terhadap Bu Tia?”

Ucapan Sander yang tanpa basa-basi itu seketika terasa menohok hati Erlanda. Laki-laki itu menghela napas panjang sambil berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Akhirnya...

“Semuanya sudah berlalu, San,” lirih suara Erlanda. “Bagi Papa, kehidupan Papa adalah Mama dan kamu. Itu sudah Papa niati sejak Eyang menawari Papa untuk melamar mamamu.”

“Tapi kenapa Papa masih mencoba untuk mencari tahu keberadaan Bu Tia?” suara Sander terdengar menuntut.

“Papa cuma ingin memastikan Lauren bahagia dengan kehidupannya,” Erlanda membalas tatapan putra tunggalnya. “Tak ada maksud lain.”

“Tapi itu menyakiti Mama, Pa...,” desah Sander. “Dan Papa lihat nasibku sekarang.”

Erlanda terhenyak. Mencari tahu keberadaan dan nasib Lauren. Suatu hal ‘sederhana’ yang ia tak pernah memikirkan akan seberapa jauh pengaruhnya.

“Aku mencintai Sisi, Pa,” lanjut Sander. “Aku memang belum mengatakan apa-apa padanya. Tapi aku sudah yakin dengan perasaanku. Apalagi sinyal dari Sisi juga kurasakan cukup kuat. Sayangnya...,” Sander tertunduk dengan ekspresi wajah patah.

“Maafkan Papa, San,” gumam Erlanda. “Semua salah Papa. Tapi makin Papa memikirkan ini, makin Papa mendapati bahwa mungkin memang benar nggak seharusnya kami berjodoh. Bahwa mungkin memang benar belahan jiwa Lauren adalah laki-laki yang sekarang jadi suaminya itu, dan belahan jiwa Papa adalah Mama. Supaya kalian, kamu dan Sisi, bisa bertemu dan saling melengkapi sebagai belahan jiwa masing-masing.”

Sander terdiam.

“Nanti, setelah Mama pulang dari ziarah, coba akan Papa bicarakan hal ini dengan Mama,” putus Erlanda kemudian.

Sander mengangkat wajahnya. Ditatapnya sang papa dengan sorot mata ragu-ragu.

“Aku tadi...,” ucapnya dengan suara mengambang, “... bertemu dan mengobrol dengan Pak Himawan, ayah Sisi.”

Seketika Erlanda ternganga.

“Beliau yang meminta untuk bertemu,” lanjut Sander, lirih. “Beliau bilang, bagi Bu Tia, semua yang pernah terjadi antara Papa dan Bu Tia sudah lama berakhir. Bu Tia hanya tidak mau melihat aku menyakiti putrinya, seperti Papa dulu menyakiti Bu Tia. Aku sendiri sudah mantap dengan pilihan hatiku. Jadi sekarang tinggal bagaimana Papa. Apakah sudah benar-benar menutup lembaran yang pernah Papa buka dengan Bu Tia, atau justru sebaliknya. Kuncinya ada pada Papa, dan Mama. Dan aku... hanya bisa menunggu. Bukan karena aku nggak mau berjuang. Tapi aku sungguh-sungguh nggak mau lebih menyakiti Sisi, Bu Tia, maupun Mama. Itu saja, Pa.”

Erlanda tertegun. Sander-nya sudah dewasa. Sudah benar-benar dewasa. Dan harus diakuinya, anak laki-lakinya itu bersifat jauuuh lebih baik darinya saat seumuran. Pasti semua itu asalnya dari Prisca.

Mendadak saja, ia sudah merindukan perempuan itu. Prisca. Istrinya. Pendamping hidupnya. Belahan jiwanya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. Ya ampun Tante, keren amat sih, itu ide apa air terjun? Ngalir terus ahahaa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Pengacara kan kayak gini, Mbak Put. Makasih mampirnya ya... 💐

      Hapus