Dua Puluh Enam
Seharusnya, se-ha-rus-nya, Prisca merasa lega karena pada akhirnya Erlanda mengatakan ‘ya’ untuk sebuah pertemuan dengan Lauren. Hanya saja dengan syarat, Prisca tetap bersamanya saat berjumpa dengan Lauren. Sekali lagi, seharusnya Prisca merasa lega.
Tapi kenapa masih saja ada sesuatu yang terasa mengganjal di hati?
Prisca menggeleng resah. Tapi bila mau jujur, ganjalan itu timbul karena ia takut kehilangan Erlanda. Diingkari dengan cara apa pun, ia tahu seberapa besar arti Lauren bagi Erlanda.
“Bapak tidak takut kehilangan Ibu Lauren kalau harus bertemu dengan suami saya?” ucapnya ragu-ragu.
“Sama sekali tidak, Bu.”
Suara di seberang sana itu terdengar begitu tenang. Sedikit banyak ketenangan itu menulari Prisca.
“Apalagi saya tahu betul semua yang pernah terjadi di antara bunda Sisi dan Pak Erlanda sudah benar-benar berakhir. Saya pikir masih akan ada aroma penasaran tiada akhir bila keduanya tidak dipertemukan. Toh, kita ada bersama mereka.”
Prisca menghela napas panjang.
“Suami saya sudah setuju. Tinggal kita saja atur waktunya. Dia akan menurut. Bagaimana dengan Bu Lauren?”
Hening sejenak. Kemudian, samar, terdengar helaan napas panjang Himawan.
“Saya masih terus berusaha untuk membujuknya, Bu. Saya paham alasannya. Tapi, ya, tidak bisa beralasan terus untuk hal ini. Karena ada hal yang lebih besar yang harus kita selesaikan. Saya akan secepatnya kabari Ibu kalau bunda Sisi sudah luluh.”
“Baik, Pak. Saya tunggu kabarnya. Terima kasih banyak.”
Mereka saling mengucap salam, lalu pembicaraan melalui telepon itu berakhir. Prisca menghela napas panjang.
Setidaknya, aku masih punya teman senasib untuk berbagi beban ini...
Sekali lagi, Prisca menghela napas panjang.
* * *
Bertemu lagi dengan Erlanda?
Lauren menatap kosong ke arah layar laptop yang penuh bertabur rangkaian huruf, kata, dan kalimat. Tapi seutuhnya pikirannya tidak berada di sama. Sedikit pun.
”Kenapa berat sekali, sih, Bun, demi Sisi?”
Desah putus asa Himawan tadi pagi kembali terngiang di telinganya. Sudah beberapa hari ini, Himawan tak punya permohonan lain kecuali berharap hatinya merendah agar bersedia bertemu lagi dengan Erlanda. Sayangnya, ia masih bergeming.
Diam-diam, tatapannya beralih ke arah meja lain. Meja Himawan di dalam ruang baca itu. Himawan duduk di belakang meja besarnya, tampak serius menatap layar laptop. Sesekali tangan laki-laki itu sibuk menggerakkan tetikus atau mengetikkan sesuatu.
Mereka hanya berdua saja di rumah. Bertiga dengan Miatun, yang tengah menyeterika setumpuk baju di depan kamarnya sendiri di bagian belakang rumah. Sisi sedang pergi keluar bersama kekasih-kekasih para bandit sahabatnya. Entah mendarat di kafe mana.
”Kenapa berat sekali, sih, Bun, demi Sisi?”
Begitu saja, kalimat itu terasa kembali menggaung di telinga Lauren. Pada detik yang sama, tiba-tiba saja Himawan mengalihkan tatapannya. Seketika tatapan itu bersirobok dengan tatapan Lauren. Ingin rasanya Lauren menghindar, tapi kali ini ia terpaksa terpaku. Dan, pelan-pelan tenggelam dalam kedalaman telaga bening Himawan.
“Ada apa, Bun?”
Seulas senyum teduh menyergap Lauren. Dengan gugup, ia mengerjapkan mata beberapa kali. Ketika tak bisa menemukan jawaban yang pas, ia hanya mampu mendesah, “Entahlah...”
Himawan mengembalikan arah tatapannya ke layar laptop. Tapi hanya sedetik. Gema suara Lauren kemudian membuatnya kembali menatap perempuan itu.
“Apa yang akan terjadi seandainya benar aku bertemu Erlanda?”
Himawan berpikir sejenak sebelum menjawab dengan nada hati-hati, tanpa menatap sang istri, “Tergantung...”
“Maksud Ayah?” Lauren mengerutkan kening.
Kini, Himawan menatap Lauren. Dalam.
“Maksudku,” ucapnya dengan nada sangat sabar, “tergantung ke arah mana kalian ingin membawa pertemuan itu. Apakah memang benar-benar ingin menyelesaikan apa yang harus diselesaikan demi anak-anak, atau justru malah membiarkan diri terseret arus romantisme semu.”
Lauren terhenyak. Tapi ada sesuatu yang ditemukannya pada kedalaman telaga bening Himawan. Sebuah cahaya kepercayaan. Cahaya yang selama ini menyinari hidupnya dengan sangat indah. Membuatnya bisa mencabut diri secepatnya dari lembar-lembar masa lalunya bersama Erlanda. Untuk kesekian kalinya, dihelanya napas panjang.
“Oke,” ucapnya kemudian, masih menyisakan nada berat. “Aku bersedia. Demi Ayah, demi Sisi. Karena bagiku sendiri, semua yang pernah terjadi di antara Erlanda dan aku sudah selesai. Sudah benar-benar selesai.”
“Ya,” Himawan mengangguk. Tersenyum. “Aku percaya. Sangat percaya. Justru karena itu, aku berani mengusulkan pertemuan kalian.”
Lauren tercenung. Lama.
* * *
Erlanda duduk di tepi ranjang. Menatap pantulan diri Prisca yang tengah asyik berdandan di depan cermin rias. Prisca-nya sudah tak lagi muda. Tapi di matanya, perempuan itu tak pernah berubah. Tetap cantik, menarik, dan sudah sedemikian rupa mengikat hatinya.
Tapi... apakah bisa dijamin aku tak akan goyah bila nanti bertemu Lauren?
Erlanda menggeleng samar.
Tidak! Tidak boleh! Aku sudah memilih Prisca untuk menjadi pendamping hidupku hingga akhir hayat nanti.
Dan, ia sama sekali tak ingin mengkhianati janji pernikahan itu.
Aku harus bisa!
Diteguhkannya hati.
Demi Sander. Demi pengabdian Prisca pada pernikahan ini...
“Pa, sudah siap?”
Seketika Erlanda terlempar dari pikirannya yang bergumulan sendiri tanpa bisa dicegah.. Dikerjapkannya mata. Prisca masih menatapnya dari pantulan cermin rias.
“Ya,” angguknya. “Aku, kan, tinggal menunggu Mama selesai dandan.”
Prisca masih menatapnya. Sepertinya sedang berusaha meyakinkan diri bahwa nanti tak akan terjadi apa-apa. Beberapa detik kemudian perempuan itu berdiri. Tampak sudah rapi dan cantik. Mau tak mau, Erlanda mengikuti gerakan itu. Tanpa ingin berpikir akan jadi apa pertemuannya dengan Lauren nanti.
* * *
Lauren berusaha untuk duduk tenang di salah satu sudut dalam Kedai Kopi Om James. Berkali-kali tatapannya jatuh pada wajah teduh Himawan yang duduk di seberangnya. Pelan-pelan tangan kanan Himawan terulur, menjangkau kedua telapak tangan Lauren di atas meja, menggenggamnya hangat. Lauren balas meremas lembut telapak tangan Himawan. Sedikit demi sedikit, kehangatan itu menjalari hatinya, walaupun masih ada rasa resah yang bermain dan berlompatan dalam hati tanpa bisa dicegah dan dikendalikan.
Setelah tiga puluh tahun, adakah yang masih tersisa tanpa aku sadari?
Seutuhnya, ia tak pernah ingin mempertaruhkan pernikahannya dengan Himawan untuk alasan apa pun. Ketika ia memikirkan dan memikirkan lagi cerita pertemuan Sisi dengan anak laki-laki Erlanda, sesekali terselip penyesalan.
Di antara sekian banyak pemuda di sekitar Sisi, kenapa juga harus terselip seorang Sander?
Tapi pada titik-titik tertentu ia tersadar kembali.
Barangkali itu yang namanya jodoh. Seperti Ayah dengan aku. Begitu saja bertemu dan saling menemukan belahan jiwa.
Dan, genggaman Himawan masih saja menghangatkan hatinya. Hingga pada satu titik waktu tatapannya tak bisa lepas dari seseorang yang berjalan masuk dengan langkah tegap. Hanya pada satu sosok itu. Tidak pada sosok cantik dan mungil yang berjalan bersama laki-laki itu. Erlanda. Erlanda-nya di masa lalu. Erlanda yang masih terlihat sangat gagah dan tampan di usinya yang hampir mencapai enam puluh tahun, sama seperti dirinya.
Seketika perasaannya seolah tercekat, dan jantungnya berdebar liar tanpa bisa dikendalikan. Tanpa sadar, genggamannya pada telapak tangan Himawan mengetat. Bahkan sudah dalam taraf meremas tanpa ampun. Himawan mencoba untuk tersenyum.
“Tarik napas panjang, Bun...,” ujarnya lembut. “Tenangkan hati. Semuanya akan baik-baik saja. Aku janji.”
Lauren mengalihkan tatapannya pada Himawan. Ada ketenangan dalam keteduhan sorot mata Himawan yang serasa menghipnotisnya. Dihelanya napas panjang. Seutuhnya, ia percaya Himawan tak akan mengingkari janji yang sudah diucapkannya sendiri.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Good post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusKok jadi aku yang deq-deq'an yaa....hehe always good post mbaa...
BalasHapusHehehe... Sekarang udah mau tamat nih, Mbak. Makasih mampirnya ya... 😘
Hapus