Sebelumnya
* * *
Dua Belas
Sander menunggu hingga mobil mungil Sisi meluncur keluar dari area parkir kedai sebelum ia masuk ke dalam mobilnya sendiri dan meninggalkan tempat itu. Seisi kabin mobilnya serasa bertaburan warna-warni indah dan alunan musik merdu. Pertemuannya dengan Sisi baru saja tak pelak akan diingatnya sebagai salah satu peristiwa paling indah yang hendak dikenangnya seumur hidup.
Ia belum pernah merasa seperti ini. Seolah menemukan sumber energi baru. Bersemangat. Berdebar-debar. Dag dig dug ketika memikirkan akan berjalan seperti apa pertemuan berikutnya dengan Sisi. Nyaris tak bisa mengendalikan bibirnya agar tak terus-menerus menyunggingkan senyum tanpa sebab seperti orang kurang waras. Pendeknya, ia nyaris tercebur dalam kondisi euforia. Keadaan yang bahkan tak pernah melandanya saat berpacaran dengan Rifa, kekasih terakhirnya. Semua itu timbul karena melihat betapa positifnya sikap Sisi atas jabat tangan perkenalan yang telah ia ulurkan.
Minimal, ia bisa menangkap ketertarikan yang sama dari dalam diri Sisi. Sebuah sikap yang dinyatakan gadis itu dengan sangat elegan. Tertarik, tapi tidak mendesak. Antusias, tapi secukupnya. Terlihat menikmati, tapi tidak berlebihan. Seutuhnya ia bisa melihat bahwa Sisi sangat nyaman menjadi dirinya sendiri. Tidak menunjukkan sikap jaga image yang biasa ditemukannya dalam diri gadis-gadis yang tertarik padanya. Semuanya terasa begitu natural dan sangat mengalir.
Sisi tadi tidak berdandan macam-macam, walaupun tidak meninggalkan kesan rapi dan respek terhadap orang yang hendak ditemuinya. Gadis itu hanya mengenakan blus polos berwarna oranye wortel lengan pendek tanpa kerah, dipadu dengan celana panjang berwarna cokelat tanah. Memberi kesan cerah bagi kulitnya yang bersih bagai boneka porselen. Leher jenjangnya hanya dihiasi seuntai kalung emas dengan liontin sambung berbentuk rangkaian huruf miring bersambung artistik terbaca ‘Proxima’. Rambutnya yang berpotongan bob pendek terlihat berkilau sangat indah. Pendeknya, sempurna.
Dan semua rasa itu membuatnya mengarahkan mobil tidak ke arah apartemennya di Kalibata, tapi ke arah rumah orangtuanya di Ciganjur. Besok hari Rabu tanggal merah. Mungkin menyebalkan muncul tiba-tiba malam-malam di rumah orang tuanya, tapi ia merasa bahwa ia tak lagi bisa menahan diri untuk tidak bercerita tentang seorang Sisi.
Setidaknya supaya acara jodoh-menjodohkan itu tidak lagi terjadi..., gumamnya dalam hati.
Menyadari itu, Sander menepikan sejenak mobilnya. Masuk ke halaman sebuah minimarket yang buka 24 jam. Dikeluarkannya ponsel dari dalam saku kemeja, yang sudah ia bungkam suaranya sejak ia bersiap menemui Sisi tadi.
Astaga...
Ada dua belas panggilan tak terjawab. Semua berasal dari kedua orang tuanya. Terakhir, dari beberapa pesan WhatsApp yang juga belum ia buka, terselip pesan dari ibunya.
‘San, kamu ini di mana? Ini malam libur, kamu menginap apa tidak? Papa sama Mama telepon dari tadi, kok, tidak kamu jawab?’
Sander buru-buru menelpon ibunya. Setelah nada sambung kelima, barulah terdengar sapaan dari seberang sana. Suara yang sarat dengan aroma mengantuk. Maklum, sudah menjelang pukul sepuluh malam.
“Ya?”
“Ma, ini Sander.”
“Iya, ada apa?”
Sander tertawa mendengar nada ‘tidak sadar’ dalam suara ibunya.
“Ma, maaf, aku tadi meeting. Jadi ponselku kusetel silent. Aku ke situ. Ini sudah dekat. Mama mau es krim apa cokelat?”
“Wooo... Mama pikir kamu menghilang ke mana...”
Sander tertawa lagi.
“Dua-duanya mau.” Terdengar bisikan-bisikan dari seberang sana. “Eh, Papa maunya es puter rasa tape ketan. Mama biasa, ya, cokelat yang pakai almond, sama es krim neapolitan.”
“Oke, siap! Ngomong-ngomong, Mama sudah tidur, ya?”
“Sudah. Habisnya kesel kamu cuekin.”
“Hahaha... Iya, Ma, maaf... Ya, sudah, aku beli dulu cokelat sama es krimnya.”
Sander mengakhiri pembicaraan itu dengan senyum terkulum di bibir.
* * *
“Mm... Kuharap, Mama sama Papa berhenti menjodoh-jodohkanku dengan anak gadis teman-teman Mama dan Papa,” senyum Sander.
Seketika, tangan Prisca yang hendak menyuapkan sepotong cokelat ke dalam mulut, terhenti di udara. Ditatapnya sang perjaka.
“Sudah ada?” tanyanya.
“Mm... Lagi PDKT.”
“Teman kantor?”
“Bukan,” geleng Sander. “Aku pertama lihat dia pas kita ketemuan sama keluarga Anindya.”
“Hah?” Prisca ternganga sejenak. “Jadi, sejak awal memang kamu gagal sama Anindya?”
“Ya, iyalah...,” jawab Sander dengan nada santai. “Kalau berteman, sih, oke. Lebih dari itu nggak bisa dipaksa. Itu juga Anindya yang kenalin aku sama cewek ini.”
“Hah? Gimana ceritanya?”
Sander kemudian menuturkan semuanya. Tentang ketertarikannya pada seorang gadis yang cantik seperti boneka porselen, tentang perkenalannya, tentang pertemuannya tadi, termasuk cerita tentang sepasukan bodyguard yang dimiliki gadis itu.
“Pokoknya, dia sangat unik,” Sander menutup ceritanya dengan wajah terlihat bercahaya, “saaangat menarik!”
Erlanda yang hanya diam-diam saja mendengarkan sambil mengulum batangan es puter berlapis cokelat sejak pembicaraan itu dimulai hingga Sander menyelesaikan penuturannya, mendadak berdehem. Prisca dan Sander mengarahkan tatapan padanya.
“Pesan Papa, kamu jangan mempermainkan anak gadis orang,” Erlanda berucap dengan suara rendah. “Kalau kamu memang tertarik padanya, kemudian kamu menjadikannya kekasih, jangan bersikap buruk padanya. Ingat, mamamu juga perempuan.”
Sander terdiam sejenak sebelum mengangguk dengan wajah serius.
* * *
Prisca sudah terlelap di sebelahnya. Pelan-pelan, Erlanda meraih ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Hatinya tergelitik untuk menelisik gadis yang diceritakan Sander beberapa puluh menit lalu. Ia masih ingat, akun gadis itu di Instagram adalah @xixi_adiatma.
Baru juga membuka beranda, sebuah foto yang baru saja diunggah Sander seketika terasa menyergap mata. Foto perjakanya dengan gadis itu. ‘Melewatkan senja ceria bersama @xixi_adiatma, ditemani aneka menu cihui di @kedai_kopi_om_james.’ Demikian keterangannya. Entah kenapa fokus matanya mendadak jatuh pada liontin kalung yang dikenakan gadis itu. ‘Proxima’. Membuat jantungnya berdebar tiba-tiba.
Dengan cepat ia klik akun gadis itu, akun yang disetel dapat dilihat oleh publik. Kemudian membaca keterangannya.
Marie Proxima Centauri Adiatma, the one and only daughter of Bunda @tia_adiatma and Ayah @himawan_adiatma. Love reading, writing, cactus, and terrarium so much.
Di antara foto aneka kaktus dan terrarium, terselip foto gadis itu bersama teman-temannya, dan keluarganya. Walaupun sudah mengira bahwa hubungan gadis itu dengan Laurentia sangat erat, tapi tak pelak hatinya terasa tercubit ketika melihat pose ceria gadis itu dengan ayah-ibunya saat makan seafood di sebuah kedai. Keterangannya, ‘Sudah jarang keluar bertiga. Saat ada kesempatan, hayuuuk kita nikmati bersama. Dengan Bunda @tia_adiatma dan Ayah @himawan_adiatma.’
Perempuan yang ada bersama dalam foto itu adalah Laurentia. Lauren-nya. Yang sudah sekian puluh tahun hilang kabar dan jejak.
Lalu apa?
Erlanda menghela napas panjang. Merasa Tuhan saat ini tengah mencandai dirinya.
Mau bagaimana?
Dipejamkannya mata dengan letih.
Sesungguhnya, walaupun masih sangat ingin, tapi rasa-rasanya ia tak sanggup lagi bila suatu saat harus bertemu kembali dengan Lauren.
* * *
“Dia anak Erlanda,” bisik Lauren tiba-tiba.
Himawan, yang masih duduk bersandar di kepala ranjang sambil membaca aneka berita terkini dari layar tablet, menoleh sekilas.
“Hm... Apa, Bun?” ia menanggapi sekadarnya. Tak begitu mendengar bisikan Lauren.
“Sander itu, anak Erlanda,” ulang Lauren. Masih berbisik, tapi kali ini lebih jelas dan keras.
Himawan benar-benar menoleh kini.
Setelah sekian puluh tahun Lauren membisu terhadap sepotong nama itu, malam ini dia menyebutnya lagi?
Pelan-pelan, ia meletakkan tabletnya di atas meja kecil di samping kanan ranjang. Pelan-pelan pula, ia berbaring dan menyusupkan diri di bawah selimut.
“Hm... Sander anak Erlanda, kenapa memangnya?” ia menanggapi dengan suara rendah. “Tapi dari mana Bunda dapat kesimpulan itu?”
Lauren menghela napas panjang. Ia menggulingkan tubuhnya ke arah kanan, menghadap pada Himawan.
“Tadi Sisi bilang, nama cowok itu Michael Sander Prabandaru. Nama belakang Erlanda sama. Dan Erlanda dari duluuu ingin menamai anaknya seperti itu,” gumam Lauren. “Berapa, coba, kemungkinan mereka orang yang benar-benar lain?”
Himawan paham kini.
“Jadi ini sumber kekhawatiranmu beberapa waktu belakangan ini, Bun?” tanya Himawan, halus.
Laki-laki itu menggulingkan tubuhnya ke kiri, menghadap Lauren. Tangan kanannya terulur. Membelai lembut pipi perempuan tercintanya itu. Lauren menghela napas panjang.
“Seharusnya semua lembaran sudah tertutup rapat,” desah Lauren dengan nada patah. “Seharusnya, sudah jauuuh tertinggal di belakang. Tak perlu ditengok lagi. Tapi kenapa ada hal yang tiba-tiba saja nyelonong mengingatkan?”
“Bunda mencintaiku?” senyum Himawan.
“Ya,” nada suara Lauren, walaupun lirih, terdengar tegas. “Tapi kalau Ayah tanya ‘sejak kapan?’, aku tak bisa menjawabnya. Semua mengalir begitu saja. Aku menikmatinya. Semua kehidupan ini, milik kita, aku sangat menikmatinya. Aku tak mau menukarnya dengan apa pun.”
Himawan meraih Lauren dan menenggelamkannya ke dalam sebuah pelukan hangat. Dengan penuh kasih sayang, dikecupnya puncak kepala Lauren. Rambut perempuan itu selalu beraroma wangi lembut yang menenangkan hati.
“Dan aku,” bisik Himawan, “percaya sepenuhnya Bunda akan tetap bersamaku dan Sisi. Tak akan terpengaruh oleh apa pun.”
Lauren membalas pelukan Himawan.
“Tahu apa yang membuatku jatuh cinta pada Ayah?” bisiknya.
“Apa itu?” Himawan melonggarkan pelukannya. Menatap Lauren.
“Kepercayaan, kebebasan, dan keleluasaan yang selama ini selalu Ayah berikan padaku.”
“Karena Bunda memang pantas mendapatkannya,” Himawan kembali mengecup Lauren. Kali ini di kening.
Lauren tersenyum.
“Masih resah?” tanya Himawan dengan nada menggoda.
Lauren melebarkan senyumnya. “Sedikiiit...”
“Lho?” Himawan tertawa. “Begini saja, kalau cowok itu membuat Sisi bersedih, aku yang akan menghajarnya. Dan Bunda... boleh menghajar ayahnya.”
Lauren tergelak kini. Himawan menatapnya dengan mata bercahaya. Mencintai Lauren adalah hal yang mudah. Pun membuatnya tertawa. Hal yang tak mudah adalah melepaskan Lauren dari masa lalu yang pernah membelenggu sedemikian rupa.
Sama sekali tak pernah mudah.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Good job!!!
BalasHapusGood post mbak
BalasHapus