Selasa, 23 Agustus 2016

[Cerpen] Segenggam Langit Biru








Sesungguhnya aku sudah tak mampu berpikir lagi tentang hal ini. Melihat Yanda terduduk lesu seolah pesakitan yang sedang menghadapi persidangan itu saja sudah membuat hatiku dirajam lara. Apalagi melihat bara di mata abang dan kakakku yang terus menghujaninya. Aku tercekat ketika perlahan Yanda menatapku, seolah minta tolong.

Semuanya bermula dari keinginan  Yanda untuk menikah lagi. Buatku itu adalah sesuatu yang wajar. Ibun sudah tujuh tahun lamanya berpulang. Dan selama itu pula Yanda bertahan dengan kesendiriannya hanya bersamaku di rumah. Abang dan kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-masing.

Yanda masih bugar di usia yang menginjak 64 tahun, dan masih aktif berkegiatan sosial. Dunia kerja sudah ditinggalkannya empat tahun ini. Sudah waktunya bagi abangku untuk maju jadi pemimpin perusahaan yang dirintis Yanda puluhan tahun lalu. Sudah waktunya pula bagi Yanda untuk menikmati masa pensiun. Sayang, tanpa Ibun di sisinya.

“Yanda belum dengar pendapat Calya,” ucapan lembut Yanda menyentakkan kesadaranku.

Aku menghela napas panjang sebelum bicara, “Pada dasarnya aku sama sekali tidak bermasalah dengan keinginan Yanda.”
           
Ketika kalimatku itu berakhir, aku segera mendapat hujaman tatapan tajam dari Bang Arga dan Kak Bestia. Tapi aku masih berusaha melanjutkan kalimatku walau aku tak yakin dengan kata-kataku sendiri.
           
“Yanda sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik,” ucapku, nyaris terbata. “Mengantar kita pada hidup masing-masing yang juga baik. Apa salahnya kalau Yanda sekarang ingin menikmati ketenangan masa tua dengan memiliki lagi seorang teman hidup? Dan kuharap kalian tidak lupa pada wasiat Ibun.”
           
Bang Arga masih menatapku, terlihat tak puas. Sedangkan Kak Bestia langsung melengos ketika aku menyebut tentang ‘wasiat Ibun’.
           
“Tugas Yanda belum berakhir, Ya,” ucap Bang Arga, lugas. “Kamu belum menikah. Seharusnya...”
           
“Kenapa memangnya kalau aku belum menikah?” suaraku mulai meninggi. Sungguh, aku tak pernah suka status single-ku dipermasalahkan begini. “Ibun saja jauh hari sebelum berpulang sudah merestui bila Yanda ingin menikah lagi.”
           
“Aku hanya merasa tak pantas bila Yanda menikah lagi sementara salah satu anaknya masih belum menikah. Perempuan lagi! Apa kata orang?” mata Kak Bestia mulai mengaca ketika mengucapkan kalimat itu.
           
Aku terhenyak. Apa kata orang?
           
“Kenapa harus dengar apa kata orang?” aku makin meradang. “Apakah selama ini orang lain yang menghidupi kita? Yang menghidupi kita sampai kita jadi seperti yang sekarang ini adalah Yanda dan almarhumah Ibun! Dan aku, gadis bungsunya yang masih single ini, sama sekali tak keberatan Yanda menikah lagi. Jelas?!”
           
Malam menghening dan makin merambat naik. Semuanya berakhir gelap tanpa kejelasan. Baik Bang Arga dan Kak Bestia pulang dengan ganjalan besar di hati mereka. Tapi sesungguhnya aku tak peduli. Aku hanya ingin membahagiakan Yanda.

* * *

Calya, bisakah sore ini kita bertemu di Kafe Jingga? Yanda ingin kamu berkenalan dengan ‘teman’ Yanda. Jam enam, ya?

Aku tersenyum membaca pesan pendek dari Yanda. Betapa Yanda tak lupa menyisipkan tanda kutip mengapit kata teman. Segera kubalas pesan pendek itu dengan mengatakan aku bisa dan bersedia.

“Makan dulu, Ya...”
           
Aku mendongak. Pak Renal berdiri di depan pintu ruanganku yang terbuka lebar, tersenyum menatapku. Aku mengangguk sambil membalas senyumnya.
           
“Bareng, ya? Ada yang mau kubicarakan denganmu,” lanjutnya.
           
Aku mengangguk lagi.
           
Sejenak kemudian aku sudah menjajari langkah Pak Renal menuju ke lift. Kukira dia bermaksud mengajakku ke kantin di lantai 2, tapi ternyata ia memencet tombol angka 6 di lift. Aku tahu tujuannnya. Kafe Get Your Meal. Kelasnya jauh di atas kantin di lantai 2. Suasananya juga lain. Lebih eksklusif kalau boleh kubilang.
           
“Calya, kamu ada masalah?” tanya Pak Renal tanpa basa-basi ketika kami sudah duduk berhadapan di dalam Kafe GYM, setelah memesan makanan dan minuman.
           
Aku menatapnya tanpa tahu harus menjawab apa.
           
Tiga tahun menjadi atasan yang selalu perhatian pada semua anak buah tentunya mudah saja buat Pak Renal untuk mengenali perubahan sikapku. Jujur, aku cukup terbebani oleh sikap abang dan kakakku terhadap Yanda. Apalagi aku yang dijadikan alasan penolakan mereka.
           
Dan aku tak bisa memutuskan apakah harus menceritakan masalah pribadiku itu padanya ataukah tidak. Tapi tatapan teduhnya sudah membuaiku. Membuatku menceritakan semuanya tanpa bisa kutahan. Tidak, aku tidak menangis. Tapi suaraku cukup jelas mengandung lara yang kukira bisa dia tangkap dengan baik. Sehingga dia menatapku dengan prihatin. Membuatku tersadar dan menyudahi curhatku.
           
“Jadi menurutmu, ayahmu layak mendapatkan keinginannya?”
           
Aku mengangguk. “Dengan semua yang sudah Yanda perbuat untuk kami, anak-anaknya, saya pikir layak, Pak. Amat sangat layak. Apalagi almarhum Ibun berwasiat bahwa Yanda boleh menikah lagi kalau Ibun berpulang lebih dahulu.”
           
“Dan saudara-saudaramu pun aku pikir layak juga mendapatkan keinginannya,” gumam Pak Renal.
           
“Maksud Bapak?” aku mengerutkan kening.
           
“Mereka ingin melihatmu menikah, kan?” Pak Renal menatapku. “Adil, dong!”
           
“Masalahnya...,” mendadak aku letih menentang tatapan Pak Renal.
           
Pembicaraan kami sejenak terhenti ketika pelayan kafe datang membawakan pesanan. Setelah kami mengucapkan terima kasih dan pelayan itu berlalu, dia kembali menatapku.
           
“Penyakit masa kini,” Pak Renal kembali mengulas senyum. “Keenakan berkarier, keenakan menikmati kehidupan sosial, lupa memikirkan diri sendiri. Bukan kamu saja kok, yang mengalaminya. Banyak orang seperti itu. Aku juga.”
           
Aku tertawa kecil mendengar nada santai dalam ucapannya. Perlahan aku pun mulai ikut terbawa sikap santai itu.

“Yanda mengajak saya bertemu dengan ‘teman’-nya itu sore ini,” jemariku bergerak membuat tanda kutip. “Saya harap Yanda tidak salah pilih.”

“Perempuan baik untuk laki-laki baik,” Pak Renal mengedipkan sebelah mata, membuatku tertawa. “Dan aku yakin ayahmu adalah laki-laki yang sangat baik bila dilihat dari buahnya.”

Aku tak berani lebih lanjut memikirkan kata-kata Pak Renal. Tak pernah berani. Apalagi dia menatapku dengan... Ah!

* * *

Dan aku sungguh terharu melihat binar dalam mata Yanda ketika menatap perempuan itu. Tante Stella, yang masih terlihat sangat cantik dengan aura kelembutan terpancar dari wajah teduhnya di usia 58 tahun. Membuatku lega. Sangat lega! Karena Yanda tidak ‘kalap’ dengan memilih perempuan muda seusia anak-anaknya.

“Mungkin buat orang-orang seusia kami, jadi pendamping hidup itu lebih ke arah jadi teman bicara, Calya,” ucap Tante Stella, terdengar begitu lembut dan sederhana. “Teman bertukar pikiran. Mungkin juga teman bertengkar kalau perlu.”
           
Jujur, aku menikmati tawa renyahnya. Dan hatiku makin mantap untuk memperjuangkan keinginan Yanda.
           
“Calya masih senang sendiri, ya?”
           
Di telingaku, pertanyaan itu terkesan lebih ke arah perhatian. Padahal kalau orang lain yang mengucapkannya, bisa jadi aku akan menganggapnya kepo akut.
           
“Hm... Ya, saya hanya menjalani saja, Tante,” jawabku ringan. “Kalau sampai saat ini belum ada yang cocok, saya tidak mau memaksa diri.”
           
“Paham...,” dia mengangguk-angguk mendengar jawabanku.
           
“Dan saya harap saya bisa menitipkan Yanda pada Tante,” aku menatapnya serius.
           
Yanda mengelus kepalaku. “Dia memang anak ibundanya. Selalu mengerti.”
           
Airmataku nyaris runtuh mendengar ucapan Yanda.

Selanjutnya Yanda dan Tante Stella saling melengkapi ungkapan panjang lebar kisah mereka. Bagaimana mereka bertemu. Apa yang mereka rasakan. Apa yang mereka harapkan.

Yanda dan Tante Stella bertemu pertama kali kurang lebih satu setengah tahun yang lalu dalam sebuah kegiatan sosial. Sepanjang waktu itu, setelah menengok ke dalam hati masing-masing, mereka memantapkan diri untuk mulai membangun mimpi kehidupan bersama.

Pelan-pelan. Tak mau tergesa-gesa. Karena Yanda menyadari apa yang akan dihadapi. Penolakan putra-putrinya. Sementara Tante Stella tak menghadapi masalah karena keponakan satu-satunya yang dia miliki tak pernah mempermasalahkan kehidupan pribadi Tante Stella.

Pada detik itu juga aku meletakkan keputusanku pada tempat yang benar-benar tepat. Berada di depan Yanda untuk menerobos barikade Bang Arga dan Kak Bestia.

* * *
           
Bang Arga masih menatapku dengan tak puas. Kalau Kak Bestia, kulihat dia sudah mulai putus asa. Tapi aku tetap pada argumenku.

“Yanda masih butuh teman hidup, teman bicara, teman bertukar pikiran. Aku yang serumah sama Yanda saja kurang bisa memenuhi semua itu karena aku juga sibuk. Apalagi kalian. Kalau kalian ingin aku menikah, oke, aku akan menikah. Tapi nanti. Sekarang yang jauh lebih penting itu Yanda. Tolong, dong, jangan egois!”
           
Kak Bestia membuka mulutnya. Aku tahu apa yang akan dia ucapkan. Aku segera menghentikannya dengan lugas, “Satu lagi, persetan dengan apa kata orang!”
           
Kak Bestia menutup lagi mulutnya. Bang Arga menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Bagiku kasus sudah ditutup. Terserah mereka merasa puas atau tidak.

* * *
           
Yanda tampak gagah mengenakan hem lengan panjang batik tulis berwarna coklat-oranye berprada, sarimbit dengan gaun Mama Stella. Aku tak memanggilnya ‘tante’ lagi sekarang. Kubiasakan diriku dengan memanggilnya ‘Mama Stella’ sejak beberapa minggu yang lalu.
           
Ketiga keponakanku senang sekali punya Oma baru. Apalagi kelihatan sekali Mama Stella menyayangi mereka dengan seluruh hatinya. Itu juga yang pelan-pelan meruntuhkan pertahanan Bang Arga dan Kak Bestia walau belum seutuhnya. Tapi setidaknya pada sore ini pemberkatan nikah Yanda dan Mama Stella bisa dilakukan dengan dihadiri seluruh keluarga.
           
Kuusap airmata ketika Yanda mengucapkan janji nikah dengan suara bergetar. Tak dinyana, sebuah saputangan besar dengan harum maskulin terulur dari belakang punggungku. Rasa-rasanya aku kenal bau harumnya, tapi aku tak mau berandai-andai. Kuucapkan terima kasih singkat sambil menerimanya.
           
Ketika acara pemberkatan itu selesai, aku pun memutar badanku untuk mengembalikan saputangan itu. Seketika aku tertegun melihat siapa yang selama satu setengah jam lebih ini tadi duduk tepat di belakang punggungku.
           
“Pak Renal?”
           
Dia tersenyum, kemudian pindah duduk di sebelahku.
           
“Bapak bilang tidak bisa datang ketika saya undang karena ada acara,” protesku. “Nyatanya?”
           
“Aku tidak tahu kalau Om Harland itu ayahmu,” jawabnya serius.
           
“Mama Stella siapanya Bapak?” aku mengerutkan kening.
           
“Tanteku, adik almarhumah ibuku,” ucapnya halus. “Dia yang mengurus aku setelah ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan. Aku masih umur lima tahun waktu itu. Karena itu dia tidak pernah menikah. Karena aku.”
           
Aku tertegun. Fakta itu sungguh mengejutkanku. Pak Renal menatap ke depan dengan mata mengaca. Aku mengikuti arah pandangannya. Yanda dan Mama Stella tengah sibuk menerima ucapan selamat dari para sahabat dan undangan.
           
“Oh, ya, hari Senin dua minggu lagi aku sudah tidak kerja lagi di tempat kita.”
           
Ucapan lirih itu sungguh bagai petir menyambar telingaku. Aku menoleh cepat dan menadapati Pak Renal tengah menatapku.
           
“Aku pindah ke tempat lain,” senyumnya. “Pada posisi yang jauh lebih baik daripada sekarang. Bukan hanya itu. Ada alasan lain. Supaya tidak jadi satu kantor dengan calon istriku.”
           
Hatiku seketika terasa setengah hancur. Entah kenapa. Aku mengalihkan tatapanku.
           
“Mau tahu calon istriku?” nadanya terdengar menggoda.
           
Aku mengangkat bahu. Pak Renal tertawa. Aku sebal mendengar tawanya yang seolah mengejekku.
           
“Kamu kenal, kok,” dia menyenggol lenganku. “Putri bungsu Om Harland. Kenal, kan?”
           
Apa dia bilang?

Aku menoleh cepat. Dia menatapku. Tak menjanjikan apa-apa, tapi tak ada gurauan dalam matanya.
           
“Kita masih punya banyak waktu, Ya. Setidaknya buatmu, untuk mengenal perasaanmu sendiri,” ucapnya sambil bangkit dan berjalan meninggalkanku, karena Mama Stella memanggilnya untuk berfoto.
           
Aku menatapnya. Dengan getar hati yang selama ini hanya bisa kusimpan bila menatapnya. Aku rasa aku sudah mengenal perasaanku sendiri. Aku merasa... aku mencintainya. Sejak lama.

Dan aku tak bisa menghindar ketika tiba-tiba saja dia berbalik. Kembali padaku dengan tangan terulur kemudian.

“Kita bisa mulai dari sekarang,” senyumnya. “Dengan berfoto bersama pengantin baru. Supaya kita cepat ketularan.”

Membuatku nyaris pingsan dengan jantung berdebar tak keruan.


* * * * *

Ilustrasi : mossac.wordpress.com

Lagu : Up, Up, and Away - Andy Williams




29 komentar:

  1. permainan kalbunya keren..banget..

    BalasHapus
  2. Akhir yg akyuuuh bingit.
    Syukaaaa deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Gitu ya? Makasih dah singgah, Mbak Indah... 😘

      Hapus
  3. So sweet ,hidup yg sempurna 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻top pokoke

    BalasHapus
  4. jadi baper.....good post mbak ( pinjem kata2 mas suryadiarmanrozaq )

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Siap-siap dikirimi invoice, Mbak. Harus bayar royalti 😁

      Hapus
  5. Genre kayak gini memang bu Lis deh ahlinya. Juempol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Genre abal-abal, hahaha... Makasih singgahnya, Mas Pical 😊

      Hapus
  6. Oooouuuuch ......
    Aq meleleeeeeh ........
    Itu lague lucu.
    Lagu taun kapane itu mb Lis ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Soal lagu takono ndoro kakung, Nit. Utowo Oma 😁😁😁

      Hapus
  7. Seperti fiksi "Irisan Senja" milik seorang penulis profesional...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Profesional ngibulnya 😁😁😁

      Hapus
    2. Profesional menyusun struktur fiksinya!

      Hapus
  8. Woke...👏👏👏👏👏👏👍👍👍👍👍👍

    BalasHapus
  9. Nah Kaaan.. melted deh hatikyuuu.. Calya is so lucky girl.. hihihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya, Mbak Tanti... 😘

      Hapus
  10. aku mau juga kayak gini...

    tapi gak perlu nunggu umur 58 taun juga kali yaaa...

    mana seh, kok gak ada cowok ganteng lewat, yak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin... Btw, cari yang MATENG, bukan cuma GANTENG 😝

      Hapus
  11. Wih lagunya itu klangenannya suwargi Bpk. Ceritanya jempol.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suaranya alm Bapak juga mirip Andy Williams 😉

      Hapus
  12. Semoga saya juga bisa ketularan, eh?
    Bagus Bu Lizzz

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiin, Mas Ikrom. Tak'tunggu undangannya ya... 👌😉

      Hapus
  13. Uhuuiiiii.. Maaaauuu kayak gitu.. *pasangmukamelas :D :D

    BalasHapus
  14. Ceritanya bikin meleleh... lagi nyalon teroaksa ngusap ngusap ingus wkkkk

    BalasHapus