Episode sebelumnya : Vendetta #17 : Still
* * *
Would You?
“Guys, aku pulang dulu ya?” Angel mengunci pintu kantornya sekaligus berpamitan pada para pegawainya yang ada di pantry. “Sampai ketemu besok.”
Di tengah sahutan para pegawainya, Angel melangkah pergi. Ia melewati ruangan kafe yang masih cukup ramai. Pada pintu, tanda Closed sudah terpasang mengarah keluar. Pelan didorongnya pintu itu.
Sambil berjalan menuju ke area parkir ia menghirup kesegaran udara menjelang malam. Mobilnya terparkir tak terlalu jauh dari kafenya. Beberapa saat kemudian tangannya sudah menjangkau handle pintu mobil.
“Baru pulang?”
Angel tersentak sedikit. Ia berbalik cepat dan melihat Lukas tengah bersandar di bagian depan sebuah city car yang terparkir tepat di seberang mobilnya. Dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Menyadari bahwa ia sangat kaget dengan sapaan tiba-tiba Lukas.
“Ya,” jawabnya kemudian, sembari balik bertanya, “Kenapa?”
“Tidak apa-apa,” senyum Lukas sambil melangkah mendekat. “Bisa kita mengobrol sebentar?”
Angel mengerutkan keningnya sedikit. Mendadak merasa harus waspada. Entah kenapa dan untuk apa. Tapi senyum Lukas masih terulas.
Tampan... Aduh!
Angel berusaha meralat kekacauan pikirannya yang muncul sekilas tanpa bisa dicegah.
“Tentang apa?” Angel menekan lagi remote alarmnya, mengunci lagi pintu mobilnya.
“Apa saja,” Lukas mengangkat bahunya ringan.
Angel berpikir sejenak. Sejujurnya ia lelah sekali. Ingin segera berbaring di dalam kamarnya yang sunyi dan hangat. Tapi kali ini refleks otaknya sungguh berlawanan dengan keinginannya. Tanpa sadar ia mengangguk. Dan kesadarannya kembali begitu senyum Lukas terkembang lebih lebar. Tapi sudah terlambat untuk meralat anggukan kepalanya.
“Nah, begitu lebih baik,” gumam Lukas.
“Apanya yang lebih baik?” Angel mengerutkan kembali keningnya.
Lukas segera menyadari bahwa rupanya Angel mendengar gumamannya. Ia segera menggeleng.
“Oh, tidak, tidak! Bukan apa-apa,” Lukas menggoyangkan tangannya. “Hm... Di mana kita bisa menikmati makan malam dengan nyaman? Selain di kafemu, tentu saja. Karena aku tahu kafemu sudah tidak bisa menerima pelanggan lagi saat ini. Jujur, aku lapar.”
Tatapan Angel tampak kosong. Sesungguhnya ia tak pernah siap menerima kejadian ini. Ditemui Lukas secara tiba-tiba, bukan di tempat yang ‘aman’, diajak makan malam pula.
“Bagaimana?”
Suara Lukas mengusiknya lagi. Angel mengerjapkan matanya. Dihelanya napas panjang.
“Suka chinese food?” tanya Angel, akhirnya.
“Apa saja,” Lukas mengangguk mantap.
“Ada rumah makan yang cukup nyaman dan masakannya enak di deretan belakang kafeku,” Angel mulai menggerakkan kakinya.
Lukas pun buru-buru mengikuti langkah cepat Angel. Dalam hati ia takjub. Langkah Angel tampak begitu luwes dan mantap, bergantian menumpu di atas high heels runcing yang seolah siap untuk memaku bumi.
* * *
Lukas mengedarkan tatapannya ke sekeliling rumah makan itu. Cukup ramai. Tapi seutuhnya tempat itu adalah tempat yang cukup nyaman untuk mengobrol sambil menikmati makan malam. Setelah selesai memesan menu, ia dan Angel yang duduk berhadapan sempat terdiam sejenak.
“Hm...,” Lukas menatap Angel. “Boleh aku bertanya?”
“Silakan,” Angel mengangguk.
“Bisakah kita berteman?”
Angel sempat tertegun sejenak ketika mendengar pertanyaan yang tak pernah disangkanya akan keluar dari mulut Lukas itu. Entah kenapa kegugupan menjalari sekujur tubuhnya tiba-tiba. Ia mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupan itu.
“Untuk apa?”
“Ya...,” Lukas mengerutkan kening. Terlihat serius. “Ya, berteman... Berteman begitulah. Teman baik. Saling mengenal lebih lanjut.”
“Oh...,” Angel mengangkat bahu. “Bisalah.”
“Bagus!” wajah Lukas mendadak terlihat seribu kali lebih cerah.
Angel terbengong melihatnya.
Kenapa berteman denganku seolah hal yang luar biasa menggembirakan buatnya?
Tiba-tiba saja alarm berbunyi di dalam otak Angel.
Hm... Masih mau menjebakku? Kau tak akan bisa.
“Aku tidak bermaksud pamer,” celetuk Lukas setelah meneguk sedikit teh tawar hangatnya. “Aku sudah bekerja sekarang. Di Utama Corporation.”
“Bagus,” senyum Angel.
“Tapi... Belum jauh-jauh dari pekerjaan awalku.”
“Maksudnya?”
“Aku sedang disiapkan untuk jadi kepala keamanan. Masih belajar. Kepala keamanan yang sekarang sebentar lagi pensiun. Dia dulu teman almarhum ayahku.”
“Oh... Hm... Jadi ayahmu sudah berpulang,” gumam Angel. “Sudah lama?”
Lukas mengangguk. “Saat aku mau ujian akhir SMP.”
“Sakit apa?”
“Ditembak bandar narkoba. Orang-orang Ferry Frianto.”
Kenyataan itu sungguh-sungguh mengejutkan bagi Angel. Ditatapnya Lukas dengan kening berkerut.
“Bagaimana ayahmu bisa terlibat dengan bajingan busuk itu?”
Lukas masih bisa mendengar ada nada kebencian yang teramat kental dalam suara Angel. Dan entah kenapa, kali ini ia bisa memakluminya. Bahkan sangat bisa.
“Ayahku polisi, Angel,” Lukas menjawab dengan sabar. “Waktu itu ayahkulah pemimpin operasi penggerebekan itu. Operasi itu berhasil, tapi ditebus dengan nyawa oleh ayahku. Dan Ferry Frianto, pucuk tertinggi jaringan hitam itu, tetap tak tersentuh.”
“Oh...”
Ternyata kita memiliki luka yang sama...
Tatapan Angel ke arah Lukas tampak menerawang jauh.
Karena bajingan busuk yang sama.
“Tapi apa yang kualami belum seberapa bila dibandingkan dengan apa yang kalian alami. Kamu dan Felitsa,” desah Lukas. “Aku masih punya ibu. Sedangkan kalian...”
Seketika Angel mengalihkan tatapan matanya. Tepat saat itu pelayan rumah makan itu datang membawakan makanan pesanan mereka. Setelah ada jeda sejenak, tampaknya pembicaraan itu memang harus berlanjut.
“Aku masih punya Mami. Felitsa juga masih punya Nanny. Kami baik-baik saja,” ucap Angel. Datar.
“Iya,” Lukas mengangguk. “Aku percaya. Seperti juga aku selalu percaya bahwa kamu adalah perempuan yang luar biasa.”
“Saking luar biasanya sampai-sampai kamu berpikir bahwa akulah perempuan pembunuh Ferry Frianto, bukan?”
Kalimat itu begitu tajam menusuk Lukas. Ia benar-benar tak menyangka Angel bisa begitu tepat membidik apa yang selama ini bersemayam di dalam hatinya. Ditatapnya Angel dengan lidah terasa kelu. Tapi gadis itu sudah mulai menyantap makanannya. Dengan santai. Sangat santai.
“Sudahlah,” Lukas menggeleng. “Siapa pun pembunuhnya, pada kenyataannya Ferry Frianto sudah mati. Sudah ada yang mengaku sebagai pembunuhnya. Hukum sudah menyelesaikannya. Aku pikir seperti itu.”
Angel menatapnya. Dengan sorot mata yang Lukas sama sekali tak mampu menjelaskannya.
* * *
Mereka duduk berhadapan. Dipisahkan oleh meja pendek di ruang tamu itu. Bastian masih mengumpulkan kata-kata. Sedangkan Felitsa menunggu ucapan keluar dari mulut Bastian. Keduanya masih berdiam diri ketika Karunia muncul membawa dua cangkir coklat hangat dan sepiring samosa buatannya. Bastian akhirnya menemukan kata ketika Karunia undur diri dan kembali ke belakang.
“Aku... mengganggu?” tanya Bastian. Lirih. Terbata.
“Tidak,” Felitsa menggeleng.
“Apa kabar, Fel?”
“Baik.” Tapi sangat merindukanmu... “Kamu?”
Bastian menggeleng. “Merindukanmu. Sangat.”
Seketika Felitsa tercekat karenanya. Teryata... sama?
“Sebetulnya... aku sudah tidak ada harganya untuk menemuimu lagi,” Bastian tertunduk. “Tapi Mbak Angel menyuruhku datang ke sini. Aku boleh menemuimu. Dan... aku benar-benar merindukanmu.”
Kakak?
Felitsa menyipitkan matanya. “Kenapa? Maksudku, Kakak.”
“Aku tak tahu,” Bastian kembali menggeleng. “Sore tadi dia memintaku datang ke kafe. Aku memenuhi permintaannya. Lalu... di sana dia... dia bilang... dia menyuruhku untuk... kembali seperti semula... denganmu.”
Felitsa berusaha untuk mencerna baik-baik seluruh rangkaian kata-kata yang diucapkan Bastian. Ketika ia berhasil, ia hanya bisa terhenyak.
Kembali seperti semula?
Felitsa menatap Bastian.
“Dan aku sungguh menginginkannya. Hanya saja...,” Bastian tertunduk. Suaranya melirih, “Aku sungguh-sungguh sadar siapa aku.”
Felitsa masih menatapnya. Ada beragam ekspresi yang bercampur jadi satu pada wajah gadis itu. Bastian merasa tak mampu mengurainya satu demi satu.
“Aku hanya tak mau menyakitimu lebih lanjut lagi, Fel,” suara Bastian terdengar patah. “Sejarah sudah terlanjur tertulis. Siapa kamu. Siapa aku. Kamu meminta kita berjalan sendiri-sendiri. Aku harus mengabulkan permintaanmu, walau sesungguhnya aku tak mau. Selama ini aku tak pernah jauh darimu. Kucuri semua kesempatan untuk selalu melihatmu walau hanya dari kejauhan. Hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.
“Aku mencintaimu, Fel, sangat. Kupikir Mbak Angel tahu hal itu. Makanya dia menyuruhku untuk menemuimu. Dia mengijinkan kita kembali bersama. Tapi aku juga harus menyadari siapa diriku. Seandainya kamu mengusirku dan membenciku selamanya, aku terima.
“Aku tak bisa menjanjikan apa-apa, Fel. Usaha yang kubangun belum berdiri kokoh. Aku hanya bisa menyediakan diriku sendiri. Dengan segala cinta dan kerinduan yang kumiliki. Hanya untukmu.”
Semua kalimat itu segera saja memenuhi kepala Felitsa. Berputar hingga sulit menemukan ujung pangkalnya. Ia merasa tak mampu lagi berpikir apa-apa untuk saat ini. Maka ia hanya mampu menatap Bastian. Membiarkan isi kepala dan rasanya berlari ke mana pun yang mereka mau.
“Bisakah kita... kembali... seperti semula, Fel?”
Mata Felitsa mengerjap. Basah. Ada harapan yang tergambar nyata dalam mata Bastian. Harapan yang begitu besar. Yang berlumur cinta dan kerinduan. Harapan yang sesungguhnya juga ia miliki.
“Aku...,” Felitsa tertunduk, menggeleng lemah. “Aku tak tahu, Tian. Tapi kalau kamu bertanya apakah aku merindukanmu, ya, aku merindukanmu. Kalau kamu bertanya apakah aku masih mencintaimu, ya, aku masih merasakannya. Kalau kamu bertanya apakah aku sudah berhasil menghapus sisa rasa sakit dari masa laluku, belum, aku belum berhasil sepenuhnya.”
“Aku tak pernah ingin menambah rasa sakit itu, Fel...”
“Ya,” Felitsa mengangguk. “Aku tahu itu. Kupikir... mungkin sebaiknya kita mulai dari awal.” Felitsa mengulurkan tangannya. Seolah mengajak berjabat tangan. “Namaku Felitsa. Kamu?”
Bastian ternganga sejenak. Tapi disambutnya uluran tangan itu.
“Aku Bastian.”
Genggaman tangan itu terasa hangat. Mengalirkan rasa nyaman yang luar biasa. Felitsa berlama-lama menikmati kehangatan yang mengalir dari telapak tangannya yang masih tergenggam telapak tangan kekar Bastian. Ketika tangan itu pelan menariknya, Felitsa membiarkan dirinya tertarik dengan begitu lembut ke dalam pelukan Bastian.
Pelan, ia kemudian melingkarkan tangannya ke sekeliling tubuh Bastian. Membiarkan semua rindunya tertumpah keluar. Menjadi satu dengan kerinduan yang juga meluap dari dalam diri Bastian.
Ketika jam dinding berdentang lembut delapan kali, keduanya tersadar dan saling melepaskan diri. Tapi mereka masih saling menatap.
“Jadi...,” bisik Bastian. “Mau kembali padaku, Fel?”
“Kamu pikir apa baru saja terjadi?” gerutu Felitsa. Setengah jengkel, setengah bahagia.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #19 : What Do I Have To Do?
Kereeen buuu.. aku jg suka episode inih (y)
BalasHapusMakasiiih, Mbaaak... 😻
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak... Maaf baru balesin komennya 😳
Hapussayang samosanya dianggurin...
BalasHapusckckckckckckckckckck...
:D :D :D
Wes entek, hahaha...
HapusNuwus mampire, Jeng...
Langsung nyanyi 🎵🎵🎵 masa lalu..biarkanlah berlaluuu...🎶🎶🎶
BalasHapusWhoaaa... Merduuuu... 👍👍👍
HapusNuwus mampire, Mbak...
Tapikir Bastian cene rodok dudul yoh mb ?
BalasHapusWakwakwakwak
Telmi ngono lhoh
Langsung berlanjut .....
Move on, Nit, move ooonnn!!! 😝
Hapus