Sejak kecil, ramalan Emil selalu kuanggap
angin lalu dan canda belaka. Entah sudah berapa kali terbukti ketepatannya,
sebenarnya. Tapi aku selalu menganggapnya kebetulan yang bersifat umum.
Entahlah. Sejujurnya dalam hati kecilku ada debar-debar tak tentu arah ketika
ia mengucapkan ramalannya atas secuil hidupku.
“Apa yang akan kuhadapi hari ini?”
Aku sering mengucapkan kalimat itu. Hanya
untuk menggodanya, tentu saja. Tapi ia akan menanggapinya dengan menatapku
lama, dan menjawabnya dengan kalimat umum.
“Hm...
Hidupmu akan berwarna merah jambu hari ini.”
Atau...
“Waktumu
berlalu cepat.”
Atau...
“Kuingatkan
sekali lagi, jangan makan sambal hari ini!”
Dan aku akan selalu tersenyum geli ketika
mengingat betapa tepatnya apa yang akan kualami dengan ramalan-ramalannya di
awal hari. Aku mendapat kenaikan gaji ketika Emil mengatakan bahwa hariku akan
berwarna merah jambu. Aku seolah kehilangan waktu ketika deadline pekerjaanku mendekat dan aku sibuk pontang-panting
menyelesaikannya, membuktikan bahwa ucapan Emil tentang waktuku yang berlalu
cepat adalah benar adanya. Dan tentang makan sambal? Kesibukanku membuatku
telat makan, dan penyakit lambung yang sudah lama hidup bersamaku bukannya akan
makin menggerogotiku kalau aku masih juga nekad makan sambal kesukaanku?
Masih banyak lagi ‘ketepatan ramalan’ Emil
dalam hidupku. Hm... Diam-diam aku makin sering memperhatikan ucapan sahabatku
yang paling ganteng itu.
* * *
“Nung, kamu jadi naik kereta?”
Aku mengangguk. Budget dari kantor sebetulnya sangat mencukupi bila aku berangkat
ke Jakarta naik pesawat. Tapi aku lebih senang naik kereta. Apalagi kegiatanku
di kantor pusat baru akan berlangsung hari Senin. Masih cukup waktu bagiku
untuk naik kereta pada hari Sabtu, dan tiba di Jakarta hari Minggu.
Emil tampak menatapku dengan ragu-ragu. Oh,
bukan! Bukan tatapan ragu-ragu. Lebih tepatnya, ia seolah sedang menerawang ke
dalam mataku. Aku balik menatapnya sambil menaikkan alis.
“Kenapa?”
Emil mengalihkan tatapannya sambil menghela
napas panjang. Beberapa detik kemudian ia menyedot Ice mint tea-nya pelan.
“Aku nggak bisa melihatmu sampai ke Jakarta,”
gumamnya. “Gelap, Nung.”
Aku batal menggigit croissant-ku. Kutatap Emil. Ngeri.
“Maksudmu aku akan celaka? Di mana?”
Tapi Emil menggeleng. “Aku cuma bisa
melihatmu dan gelap itu.”
Aku masih menatapnya ketika Emil membuka tas
laptopnya dan menarik keluar sesuatu dari dalamnya. Sebuah amplop putih panjang
dengan logo sebuah biro perjalanan. Ia menyodorkan amplop itu padaku.
“Aku sudah membelikanmu tiket pesawat, Nung.
Jangan naik kereta itu.”
Seketika ada hening di antara kami. Melihat
kesungguhannya, aku terima juga amplop itu.
“Kalau memang ada apa-apa, apa nggak
sebaiknya...”
“Membuat laporan dan sebangsanya?” potongnya
cepat.
Aku mengangguk.
“Tugasku cuma menjagamu, Nung,” senyumnya.
Aku kehilangan kata.
* * *
“Jangan terlalu mencintainya...”
Mau tak mau ucapan Emil itu menancap begitu
kuat dalam otakku. Aku mengerutkan kening. Seketika ingatanku berputar pada
‘tragedi kereta batal’ beberapa bulan yang lalu.
Seandainya aku tidak menerima tiket pesawat
pemberian Emil dan bersikukuh tetap naik kereta, entah ada di dunia sebelah
mana aku sekarang. Lokomotif dan salah satu gerbong terdepan kereta yang
harusnya kutumpangi ditabrak sebuah truk tangki BBM bermuatan penuh di sebuah
perlintasan tanpa palang pintu.
Jangan bayangkan kejadian selanjutnya. Seisi
lokomotif dan gerbong pertama itu nasib
paling baik-nya adalah terluka amat sangat parah karena lokomotif dan
gerbong terdepan itu beserta beberapa gerbong di belakangnya terguling dan
terbakar. Dan seharusnya aku ada di dalamnya, karena tempatku ada di gerbong
terdepan itu.
Sampai beberapa hari setelah mendengar kabar
itu, aku masih juga merasa merinding dan gemetaran. Ribuan seandainya memenuhi
benakku hingga terasa pepat. Nyatanya aku memang masih hidup hingga detik ini.
Tapi pandanganku terhadap Emil seketika berubah.
Aku tak bisa lagi berlagak mengabaikan
kata-katanya. Atau lebih tepatnya : ramalannya. Sebenarnya aku tak pernah
menginginkan berurusan dengan segala omongan tentang segala hal yang belum
terjadi. Tapi sekali lagi aku terbentur pada sebuah kata : ‘kenyataannya?’.
“Kenapa memangnya?” aku hanya bisa menanyakan
itu.
Tapi Emil menggelengkan kepala. Ia masih
menatapku dengan keteduhan luar biasa yang – jujur saja – terkadang sangat
menghanyutkanku.
“Kamu bakal mengalami kekecewaan yang luar
biasa.”
Suaranya terdengar begitu datar dan dingin.
Membuat bulu kudukku sempat meremang.
“Apa yang terjadi?”
Ia menatapku tajam. “Nggak bosan menanyakan
pertanyaan yang sama?”
Kuhela napas panjang. Seperti yang
sudah-sudah, Emil tak akan pernah menjawab secara detil tentang siapa, mengapa,
dan bagaimana. Jadi sebetulnya percuma saja aku menyanyakan itu. Cuma... aku
memang tak pernah tahu harus menanggapi bagaimana.
“Aku cuma bisa melihat dirimu, Nung...,”
suaranya terdengar melembut.
Aku terdiam. Benar-benar tak tahu harus
mengucapkan apa.
* * *
Dan ‘ramalan kedua’ Emil – setidaknya itulah
ramalan kedua yang terbesar bagiku – benar-benar terbukti. Aku antara kaget dan
tidak ketika mendapati kenyataan bahwa Andri, kekasihku, menghamili Dina,
sahabatku sendiri.
Aku sudah terlalu malas untuk membahas
kenapa, di mana, dan bagaimana semua itu bisa terjadi. Setidaknya peringatan
dari Emil sudah berhasil sedikit menguatkanku. Tapi aku tetap saja menumpahkan
tangisku. Di dada bidang Emil.
Lalu ia akan memelukku seperti biasa. Sama
seperti ketika aku menuntaskan nestapa dan uraian airmataku dalam pelukannya.
Tidak terlalu sering. Tapi pernah terjadi beberapa kali.
Ia hanya memelukku dalam diam. Tak pernah
mengucapkan apa-apa walau hanya sepatah kata penghiburan. Tapi justru dalam
hening itu aku menemukan semuanya yang aku perlukan. Kedamaian. Keteduhan.
Kehangatan.
“Kenapa bukan kamu saja yang jadi kekasihku?”
aku mendongak menatapnya.
Tapi ia menggeleng dengan jemarinya menghapus
airmataku. Aku mengerjapkan mata.
“Gelap, Nung... Aku nggak bisa melihat masa
depan kita. Tapi jangan khawatir,
kamu akan menemukan orang yang tepat.”
Aku tertunduk. Orang yang tepat? Aku sama sekali belum punya bayangan setelah
dihempaskan Andri dan Dina sedemikian rupa.
* * *
Lalu aku benar-benar menemukannya. Seorang
laki-laki yang benar-benar membuatku nyaman dalam segala hal. Aku tak bisa
menjabarkannya karena ini masalah rasa. Perasaanku, lebih tepatnya.
“Diakah?” kutatap Emil sore itu.
Emil tersenyum tanpa menjawab. Tapi bagiku, senyum
Emil sudah menjawab pertanyaanku.
“Bisakah kamu melihat aku dan dia, Mil?”
Senyumnya menghilang. Dihelanya napas panjang.
Lalu matanya yang biasa terlihat begitu bening perlahan jadi kelam.
“Gelap, Nung. Tapi perasaanku bilang kalian akan
berbahagia.”
Gelap
tapi berbahagia? Bagaimana bisa? Aku mengerutkan kening.
“Sudahlah, Nung. Fokuskan saja pada hubunganmu
dan Wisnu,” lanjutnya, halus.
Lagi-lagi aku tak tahu harus mengucapkan apa.
* * *
Kali ini aku memang harus benar-benar menuntaskan
airmataku. Tersedu dan terisak begitu lama dalam pelukan Wisnu. Wisnu hanya memelukku
erat dalam diam. Sama seperti yang selama ini dilakukan Emil terhadapku.
Emil...
Ternyata benar bahwa pada akhirnya semuanya tentang
Wisnu dan aku adalah gelap bagi Emil. Dan tentang berbahagia? Wisnu dan aku akan
melangsungkan pernikahan bulan depan.
Emil tak akan pernah lagi bisa menyaksikan kebahagiaanku
bersama Wisnu. Semuanya tentang hari esokku gelap baginya karena siang tadi serangan
jantung sudah merenggutnya. Ia pergi. Selamanya.
“Pantas minggu lalu dia bilang tugasnya menjagamu
sudah selesai. Aku yang akan menjagamu, Nungki. Sekarang, besok, selamanya.”
Wisnu mempererat pelukannya. Bisikannya bagai
angin hangat berlalu di telingaku. Senyum dan tatapan teduh Emil terbayang di benakku.
Ramalannya berhenti pada bilangan ketiga. Hitungan
ramalan yang setidaknya benar-benar kuanggap ada dan memang benar adanya. Entah
apakah semuanya itu memang benar bisa dilihatnya, tapi Emil-ku sudah terlanjur pergi.
Meninggalkan aku dan ramalan ketiganya yang harus jadi nyata.
Setidaknya, Wisnu dan aku harus mewujudkan ramalan
itu, kebahagiaan itu. Kebahagiaan kami.
Selamat jalan, Emil... Semoga kamu berbahagia
di Surga...
* * * * *
mbak,... sedih. Ealah Emil...
BalasHapusSodorin saputangan, hehehe... Tapi kan juga nggak sedih-sedih amat sih, Mbak... (ngeles)
HapusEmil.....bikin aku tersedu...
BalasHapusLhooo... lha kok malah tersedu ki piye??? (binun)
HapusNice Mbak, as always...
BalasHapusMakasih, Mas Ryan...
Hapushehe, sekalinya berkunjung
BalasHapusmalah disuguhi cerita yang memaksa hidung ane melerrr
manstafff Mbak e
Hehehe... Makanya ayo berkunjung lagi ke cerita lain di sini yang nggak bikin hidung melerrr...
HapusMakasih singgahnya, Mas Ando...
Apik.....sedih.....tapi teteup.....manis
BalasHapusMakasiiih, Mbak Dyah...
Hapus