Kamis, 15 Februari 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #9










* * *


Sembilan


Kencana masih tertegun-tegun. Ia benar-benar tak pernah membayangkan dengan siapa – pada akhirnya – ia akan berduet menjadi wedding singer pada pernikahan Vesta dan Robin. Ia sudah seharian menyelaraskan nada bersama Owen pada hari Minggu yang lalu. Keduanya sudah merasa siap, tinggal show saja. Tapi, apa mau dikata? Owen justru tumbang pada hari Rabu sore, dan berujung pada diangkatnya jaringan usus buntu yang sudah meradang hebat dan nyaris pecah dini hari keesokan paginya di kamar operasi.



Nina yang diserahi Vesta untuk urusan wedding singer resepsi pernikahannya langsung kalang kabut. Sementara Kencana yang sejak Senin hingga pertengahan minggu punya pekerjaan menggunung tak sanggup lagi bila harus ikut memikirkan pengganti Owen. Nina sudah hampir menangis Kamis sore itu saat datang ke rumah Kencana. Hingga akhirnya...

“Coba kamu hubungi Mas Daru, Nin,” celetuk Ndari sambil menyuguhkan dua cangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng.

Seketika Nina dan Kencana saling menatap.

“Kan, dia bisa nyanyi,” lanjut Ndari, duduk di sebelah Kencana. “Pernah juga jadi pemazmur menggantikan Pak Paul pas Pak Paul radang tenggorokan, kan? Eh, bahkan pernah jadi wedding singer anaknya Pak Broto beberapa bulan lalu.”

Kencana benar-benar buta soal itu. Karena memang sudah setahun belakangan ini ia menghindari gereja parokinya. Jadi ia tak pernah tahu perkembangan apa yang sudah terjadi.

“Wah, kira-kira Mas Daru mau nggak, ya?” Nina terpaksa menunda napas leganya.

“Dicoba saja, Nin,” Ndari menyodorkan piring hidangan. “Ayo, diminum dulu, dimakan dulu, biar pikiran jadi segar.”

Dan, setengah jam kemudian, di bawah siraman gerimis yang jatuh merinai dari kegelapan langit menjelang pukul setengah delapan malam, Nina menyeret Kencana untuk menemaninya pergi ke rumah Handaru. Alasan letih Kencana diabaikan Nina. Padahal memang itu yang dirasakan Kencana setelah empat hari harus ‘kerja rodi’ urusan pekerjaan.

Laki-laki itu sedang duduk bersama kedua putra-putrinya di teras rumah ketika Nina dan Kencana muncul. Tampaknya tengah menikmati hawa sejuk di bawah siraman gerimis. Ia segera berdiri untuk membuka pintu pagar setelah Nina mengetukkan gembok yang tergantung di handel pintu pagar.

“Nina? Ican?” sambut Handaru. Dibukanya pintu pagar lebar-lebar. “Ayo, masuk!”

Nina menghela napas lega karena bisa langsung bertemu orang yang dicarinya. Setelah selesai berbasa-basi dengan Rika dan Neri, Nina pun segera menyampaikan maksud kedatangannya.

“Jadi begini, Mas,” ucap Nina setelah berdehem, “hari Minggu besok ini, kan, temen OMK ada yang nikah. Nah, duet wedding singer-nya sudah beres, sebetulnya. Katanya, mereka sudah latihan apa segala macam. Malangnya...,” tatapan Nina terlihat memelas, “salah satu wedding singer-nya tepar. Kena radang usus buntu, sebelum subuh tadi operasinya. Kira-kira Mas Daru bisa gantiin nggak?”

Handaru tampak bengong sesaat sebelum tertawa kecil. Sedikit salah tingkah.

“Lho, kok aku?”

“Ya...,” Nina menggaruk pelipisnya. “Ini juga usulan Tante Ndari. Soalnya anak-anak OMK sudah kebagian job semua, dan nggak ada yang bisa nyanyi bagus. Ada, sih, Tony. Tapi dia nggak gitu menguasai lagu pop. Dan Mas Daru ada pengalaman jadi wedding singer anaknya--,” Nina menoleh ke arah Kencana, “—siapa tadi, Can?”

“Pak Broto,” gumam Kencana.

“Ya, Pak Broto,” Nina kembali menatap Handaru. Penuh harap.

“Halah...,” Handaru tertawa. Terlihat sedikit tersipu. “Cuma tembakan itu, Nin.”

Please, Mas...,” tatapan Nina terlihat makin memelas.

“Mm...,” Handaru kelihatan berpikir keras, sambil mengelus-elus kepala Rika yang duduk manis di pangkuannya. “Itu nikahannya Vesta, bukan? Soalnya Minggu besok ini ada undangan dari Vesta. Kayaknya aku harus datang karena Om Paul nggak bisa hadir.”

“Lha! Itu! Benar!” seru Nina. “Pas!”

Handaru kembali tertawa. Tapi sejurus kemudian laki-laki itu kembali serius.

“Ada daftar lagunya?”

Nina mengangguk dengan penuh semangat. Ia mencari sehelai kertas di dalam map yang dibawanya. Ketemu. Disodorkannya helaian kertas itu pada Handaru. Laki-laki itu segera menelitinya.

“Waduh...,” gumam Handaru. “Ada ‘Caruso’ juga?” diangkatnya wajah.

“Euh... Itu request khusus dari Vesta,” jawab Nina dengan wajah berubah sendu. “Itu lagu yang sering dinyanyikan almarhum Om Andre buat Vesta.”

“Oh...,” Handaru mengangguk maklum. “Mm... Tadi dibilang duet, ya? Siapa dengan siapa?”

“Ican,” jawab Nina dengan wajah dan nada suara disetel sepolos-polosnya, “sama Owen.”

“Oh?” Handaru mengangkat alisnya. “Jadi yang sakit Owen?”

Nina mengangguk.

“Wah...,” sekilas Handaru menatap Kencana. “Ican... Kebanting parah suaraku, Nin,” ucapnya sambil tertawa.

“Enggaklah,” sahut Nina dengan nada yakin. “Pas kapan hari bawain mazmur, suara Mas Daru menggelegar gitu.”

“Hahaha...,” laki-laki itu tergelak. “Bisa saja kamu.”

“Bisa, ya, Mas, ya?” suara Nina terdengar penuh rayuan.

“Mm...,” Handaru manggut-manggut. “Ya, sebagian besar aku tahu lagunya, sih. Tapi kayaknya masih perlu bawa contekan. Sama harus latihan dulu duetnya. Soalnya ini asli mepet banget waktunya.”

“Iya, cuma dua hari,” angguk Nina. “Besok sama Sabtu. Tapi teksnya ada semua sama Ican.”

Handaru menggembungkan kedua pipinya sambil menatap Kencana.

“Gimana, Can?”

Gadis itu gelagapan sejenak.

“Lho, ya, terserah Mas Daru,” jawabnya kemudian.

Ulasan senyum di bibir Handaru melebar.

“Aku nggak banyak kerjaan, sih, minggu-minggu ini,” gumamnya. “Bisalah disambi latihan sedikit-sedikit di kantor.”

Nina menghela napas lega. Handaru kembali menatap Kencana.

“Ican kapan bisa latihan bareng? Minimal Sabtu harus fix,” ucapnya.

“Mm... Besok pulang kantor aku mau nengok Owen,” gumam Kencana, berpikir-pikir. “Berarti, ya, Sabtu harus full. Paling tidak, menyelaraskan nada. Nggak boleh terlalu diforsir supaya Minggu masih bisa segar suara kita.”

“Kalau begitu besok pagi aku jemput, ya, Can,” tiba-tiba saja Handaru mengungkapkan hal itu. “Biar sorenya aku bisa ikut nengok Owen.”

Ican terbengong sejenak.



Dan, tak perlu susah-payah menyelaraskan nada dengan Handaru. Laki-laki itu berkemampuan lebih daripada perkiraannya semula. Setara Owen, bahkan sepertinya malah lebih bagus.

Jadi di sinilah aku sekarang...

Sedikit di belakang Handaru yang tengah bersolo menyanyikan ‘Caruso’ dengan indahnya  dan penuh perasaan (hingga membuat sang mempelai wanita menitikkan air mata), Kencana menatap punggung laki-laki tinggi tegap itu. Berbagai rasa pelan-pelan mulai berkecamuk di hatinya. Mengacaukan benaknya. Mendebarkan jantungnya hingga ke titik maksimal yang nyaris tak bisa dikendalikannya. Membuatnya sedikit tersentak.

Kenapa aku ini?

* * *

Selalu saja ada halangan...

Owen menikmati keheningan itu sambil berbaring dan memejamkan mata. Dibiarkannya Ussy, adiknya, menonton televisi sambil bersantai di sofa bed. Rombongan sebagian rekan-rekan sekantornya sekarang dan kantor lama juga baru sejam lalu ramai-ramai berpamitan. Ayah-ibunya baru akan datang seusai menghadiri resepsi pernikahan Vesta dan Robin. Mungkin sebentar lagi.

Dalam sunyi di tengah suara rintik hujan yang mengguyur bagian luar rumah sakit siang itu, mau tak mau pikiran Owen melayang pada sosok gadis manis yang beberapa minggu belakangan ini mendekat lagi dengannya.

Tapi, selalu saja ada hal-hal yang seolah-olah men-cut kedekatan itu...

Seharusnya hari ini ia memuaskan diri menyanyikan lagu-lagu cinta untuk Kencana di resepsi pernikahan Vesta dan Robin. Walaupun tak semata-mata semuanya ia persembahkan untuk Kencana, tapi setidaknya itulah ungkapan hati yang sesungguhnya. Bahwa ia mencintai gadis itu, sudah sejak lama.

Lalu ada yang menyerobot...

Owen menelan ludah. Terasa pahit. Ia kemudian membuka mata, dan pelan-pelan bergerak bangun untuk mengambil segelas air di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mendesis ketika sebuah tusukan rasa sakit timbul di sekitar luka bekas operasinya. Ussy yang menyadari ada suara dan gerakan di ranjang abangnya segera menurunkan kaki dari sofa bed dan datang menghampiri.

“Mau ngapain, Bang?” tanyanya sambil membantu Owen bangun. Segera disetelnya ranjang hingga posisi duduk abangnya bisa lebih nyaman.

“Minum, Sy,” gumam Owen.

“Ngomong, dong...,” Ussy menggerutu halus sambil meraih gelas berisi air putih.

Pelan-pelan Owen meneguk minumannya. Terasa segar.

“Abang mau rebahan lagi?”

Owen menggeleng. Punggungnya pegal kalau harus rebahan terus. Apalagi sejak kemarin ia memang sudah boleh bangun. Sayangnya, sekitar luka jahitan operasi masih juga terasa nyeri kalau ia terlalu banyak bergerak.

“Nanti kalau mau rebahan lagi bilang, ya, Bang,” ucap Ussy sabar sebelum kembali ke sofa.

Owen mengangguk. Keheningan kembali menyergapnya. Membebaskannya untuk kembali berangan tentang Kencana. Juga tentang kehadiran gadis itu Jumat sore lalu.

Bersama Mas Daru...

Ia kembali menelan ludah. Direbahkannya pelan-pelan kepala yang mendadak terasa pening. Ia memejamkan mata.

Ia benar-benar tak menyangka bahwa gadis itu akan datang menjenguknya secepat itu. Saat bersama menikmati makan siang pada hari Senin sebelumnya, Kencana mengungkapkan bahwa ia sedang sibuk karena harus merangkap pekerjaan temannya yang mendadak mengundurkan diri, sementara penggantinya belum ada. Ia tidak menangani pekerjaan itu sendiri, tentu saja. Tapi tetap saja kesibukannya jadi bertambah.



“Kayaknya kita baru bisa latihan lagi hari Sabtu, Wen. Atau Jumat sorelah minimal,” ucap Kencana sambil menyuapkan sesendok nasi soto ayam ke dalam mulutnya.

“Ya, nggak apa-apa,” Owen menanggapi. “Toh, kemarin kita sudah oke latihannya.”

“Iya, sih...,” Kencana manggut-manggut. Ia kemudian menatap Owen dengan sorot mata kagum. “Asli, aku nggak sangka kamu bisa nyanyi ‘Caruso’ sedahsyat itu.”

Owen tergelak geli. Entah kenapa, kalimat yang baru saja diucapkan Kencana terdengar lucu di telinganya.

“Dahsyat, ya?” bibirnya menyisakan senyum lebar.

Kencana nyengir lucu. “Lewat, deh, Pavarotti.”

Owen kembali tergelak. Diabaikannya sedikit rasa sakit di perut yang hilang timbul sejak semalam. Kencana benar-benar membuat hari-harinya belakangan ini terasa beraura merah muda. Manis. Menyenangkan. Seperti halnya sosok Kencana.

Sayangnya, rasa sakit itu bukannya menghilang terabaikan, tapi justru bertambah parah. Ditambah demam tinggi pada Selasa malam. Rabu pagi ia masih bisa memaksa diri untuk ngantor karena ada rapat yang ia tak bisa tinggalkan hingga siang hari. Rapat yang ia tak ingat sedikit pun apa kesimpulannya.

Seusai rapat, ada pertemuan dengan seorang klien penting, yang ia juga tak ingat apa yang mereka bicarakan. Begitu kliennya berpamitan dan ia hendak kembali ke ruang kerjanya, mendadak saja ia limbung dan seluruh dunianya terasa gelap.

Ketika ia membuka mata pada Kamis menjelang sore, ia mendapati dirinya terbaring di tempat yang sangat asing. Belakangan diketahuinya itu ruang ICU pasca bedah. Ketika ia mulai bisa berpikir jernih dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa keesokan paginya, hal pertama yang melintas di benaknya adalah duetnya dengan Kencana.

Pastilah gagal..., pikirnya sedih.

Dan, ia merasa surprise ketika Kencana datang menjenguk sore harinya sepulang kerja. Sekaligus merasa terbanting melihat siapa yang datang bersama gadis itu. Merasa makin terjerembap ketika dengan polosnya gadis itu mengungkapkan, bahwa ia digantikan oleh Handaru sebagai rekan duet.

Besok-besok apa lagi?

Ia hanya mendesah dalam hati.



Lamunannya terputus ketika telinganya mendengar suara pintu terbuka dan tertutup. Ia menoleh. Ayah dan ibunya baru saja muncul. Masih mengenakan busana pesta.

“Sudah nggak pusing?” tangan halus sang ibu kemudian mengelus keningnya.

“Nggak terlalu,” gumamnya. “Ramai pestanya?”

“Iya,” Lidya mengangguk. “Ican baguuus banget nyanyinya,” perempuan cantik berusia awal lima puluhan itu meneruskan tanpa ampun. “Rekan duetnya juga. Nggak kalah sama kamu. Itu yang kemarin bareng Ican nengok ke sini, ya?”

Owen mengangguk tanpa semangat.

“Siapa, sih, dia?” Johan nimbrung.

“Keponakannya Om Paul,” gumam Owen.

“Pak Paul... bapaknya Denta?” Lidya mengerutkan kening.

“Iya,” Owen masih menggumam. “Kan, mereka satu lingkungan.”

“Oh...,” Johan manggut-manggut.

Dan, orang yang mereka bicarakan itu muncul dua jam kemudian. Owen sudah hampir terlelap ketika Kencana dan Handaru muncul. Risiko dirawat di ruang VIP, tamu yang menjenguk bisa bebas berkunjung kapan saja.

“Wah, kamu sudah mau bobok siang,” gumam Kencana dengan wajah menyesal, sambil duduk di kursi samping ranjang. Sementara itu, Handaru tampak mengobrol dengan Johan dan Lidya. “Jadinya aku ganggu, nih.”

“Nggak apa-apa,” Owen berusaha melawan rasa kantuk. “Gimana tadi? Sukses?”

“Lumayanlah,” gadis itu tersenyum. “Feel-nya lumayan dapat, kok. Baguslah untuk ukuran duet yang latihannya cuma sekali doang.”

Owen berusaha tersenyum.

“Ya, deh, Wen. Kamu istirahat dulu. Besok pulang kerja aku ke sini lagi, ya?” ucap Kencana.

“Besok pagi kayaknya aku sudah boleh pulang,” Owen mengerjapkan mata. “Tapi nggak tahu lagi, deh.”

“Oh...,” mata Kencana tampak berbinar. “Bagus, dong! Tapi masih harus istirahat di rumah, kan?”

Owen mengangguk.

“Ya, sudah. Pulang kerja aku mampir ke rumah.”

“Kamu Whatsapp dulu. Takutnya kecele,” senyum Owen lagi.

“Oke...,” jawab Kencana dengan suara sedikit berirama. “Kapan masuk kerja lagi?”

“Senin depan, kayaknya,” Owen mengedikkan bahu.

“Mm... Selama kamu belum bisa bawa mobil sendiri, gimana kalau kita berangkat dan pulang kerja bareng? Paginya aku jemput kamu, pulangnya aku antar. Toh, kita sekarang kerjanya di satu gedung yang sama.”

Owen ternganga. Rasa kantuknya hilang seketika.

* * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar