* * *
Minggu menjelang sore yang tidak terlalu basah, walaupun lapisan mendung kelabu setia menaungi bumi sejak pagi berganti siang. Kencana menikmati sisa akhir pekan dengan membaca novel fantasi “Basalto Terakhir” yang baru kemarin siang diterimanya. Dikirim langsung dari Makassar oleh Pical Gadi, penulisnya. Tapi keasyikannya membaca sambil berbaring di atas ranjang empuk sedikit terusik ketika angin berembus menerobos jendela yang terbuka lebar.
Aroma wangi itu...
Pelan-pelan Kencana menutup novelnya setelah menyelipkan selembar pembatas buku. Diletakkannya novel itu di dadanya. Sambil memejamkan mata, Kencana menghirup aroma samar khas jarik-jarik yang baru saja dicuci. Mau tak mau, ingatan tentang sepasang jarik truntum garuda berlompatan dalam benaknya. Mau tak mau pula, hal itu membuatnya teringat pula pada sosok laki-laki setelah Denta yang membuatnya merasa tertarik. Juga percakapannya dengan Paul di kafe sebelah gereja tadi pagi seusai misa, sambil menunggu datangnya pukul sepuluh pagi saat dimulainya Sekolah Minggu / BIA.
Seusai misa, sambil menunggu Nina di sebelahnya yang belum selesai berdoa pribadi, Kencana duduk diam di bangkunya. Iseng, ia membaca kembali teks misa yang masih ada di tangannya.
“Can...”
Kencana mengangkat wajah begitu mendengar panggilan dalam suara bisikan itu. Dilihatnya Paul sudah memutar badan. Menatapnya.
“Setelah ini temani Ayah sarapan, ya?” senyum Paul.
“Boleh,” angguk Kencana. “Tapi jam sepuluh saya BIA, ya, Yah.”
Paul mengangguk. “Sama, nanti Ayah juga ada pertemuan prodiakon[1].”
“Oke, sip!”
Melihat Paul belum berdiri, Kencana pun masih duduk manis. Tampaknya Paul menunggu Handaru kembali untuk meyerahkan si kembar.
“Can, kunci mobil mana?” Jati menengok ke belakang. “Ayah mau ke ATM sebentar sama Ibu. Sambil tunggu jam sepuluh.”
Kencana pun segera mengaduk isi tas kecilnya. Setelah menemukan yang dicari, diserahkannya kunci mobil pada Jati. Tepat saat itu, sosok Handaru mendekat. Dengan penuh kasih sayang dikecupnya puncak kepala anak kembarnya sambil duduk
“Pinter nggak tadi? Ditinggal sebentar sama Papa rewel nggak?” tanyanya dengan nada lembut.
“Enggak, Papa,” jawab Rika dan Neri manis, berbarengan.
“Bagus!” Handaru mengacungkan jempolnya. “Anak-anak pintar.”
“Dar, ayo, sarapan dulu,” ajak Paul sambil berdiri. “Di kafe sebelah.”
“Wah, saya telanjur janji sama anak-anak untuk makan siomay di bunderan bawah sana, Om,” Handaru mendongak sedikit. “Sekalian isi bensin. Lumayan masih ada waktu sebelum BIA.”
“Oh, ya, sudah,” Paul mengangguk penuh pengertian. “Nanti kalau BIA sudah selesai, Om belum selesai, kalian tinggal saja.”
“Nggaklah, saya tunggu,” tukas Handaru halus.
“Om bisa nebeng teman atau naik taksi. Ojek juga bisa.”
“Nggak, Om, saya tungguin sampai selesai,” ucapan bernada halus itu mengandung ketegasan tak terbantah.
Paul pun akhirnya mengangguk sambil menggamit lengan Kencana yang juga sudah berdiri. Tentu saja, semua interaksi itu tak luput dari pengamatan Kencana. Laki-laki bernama Handaru itu tampak begitu menghormati Paul, sekaligus benar-benar berusaha menjaga Paul. Anak kembar yang imut dan terlihat pintar bersikap itu pun juga kelihatan dekat dengan Paul.
Berita apa saja yang sudah kulewatkan setahun ini?
Kencana meringis dalam hati. Ia pun mulai melangkah di sebelah Paul. Hanya berdua, karena Nina yang sempat diajak juga oleh Paul menolak dengan alasan hendak bertemu dengan Romo Sapto tepat seusai misa.
Beberapa menit kemudian, Kencana dan Paul sudah duduk berhadapan di kafe yang ada tepat di sebelah gereja. Sedetik, Kencana merasa deja vu. Seperti kembali terperangkap pada peristiwa hari Minggu lalu saat ia berhasil ‘ditangkap’ oleh Paul.
“Kok, bisa belum sarapan, sih, Yah?” tegur Kencana halus.
Waktu sepanjang tujuh tahun mengenal Paul saat masih bersama Denta membuat Kencana tetap dekat dengan Paul. Sudah seperti ayah sendiri. Ia pun belum bermaksud untuk mengubah panggilannya terhadap Paul.
“Iya,” jawab Paul, meringis lucu. “Ayah tadi agak terlambat bangun, Can. Cuma sempat ngeteh saja. Tapi jujur, hidup Ayah memang agak sedikit berantakan ritmenya setelah Ibu nggak ada dan Denta masuk seminari,” lirih suara Paul, dalam wajah yang terlihat sedikit muram.
Kencana menatap laki-laki sepuh itu dengan prihatin.
Seandainya...
Kencana mengerjapkan mata. Diusirnya kata itu keluar dari benaknya.
“Tapi untung ada Daru dan anak-anak,” wajah Paul tampak jauh lebih cerah kini. Seolah menemukan cahaya baru. “Jadi Ayah nggak terlalu kesepian lagi.”
Kencana mengulas senyum ketika keduanya bertatapan. Pada saat itu, makanan dan minuman mereka datang.
“Gimana? Kamu jadi ambil S2?” tanya Paul sambil menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.
Kencana menggeleng. “Belum sempat mikir lagi, Yah. Belum ngobrol juga sama Ayah dan Ibu. Tapi kalau saya ambil S2, berarti ninggalin BIA lagi.”
Paul manggut-manggut. “Sebaiknya memang dipikirkan lebih matang lagi, Can.”
“Iya, Yah,” Kencana mengangguk patuh.
“Minggu lalu, Rika dan Neri nggak ikut BIA. Satu kena batuk-pilek, yang lain ikut sakit,” Paul menggelengkan kepala sedikit sembari tersenyum. “Untung mereka tinggalnya di sebelah, jadi aku bisa jaga cucu-cucu, sementara papa mereka kerja.”
“Oh...,” Kencana manggut-manggut. “Mas Daru kerja di mana, Yah?”
“Dia yang menggantikan Denta,” Paul menatap Kencana tepat di manik mata. “Aku tarik dari Surabaya. Sebetulnya dia juga punya usaha di sana, tapi bisa dilepas ke orang kepercayaannya. Makanya, ia bawa anak-anak pindah ke sini.”
“Mamanya?” tanya itu melompat keluar begitu saja dari sela-sela bibir Kencana.
Paul terdiam beberapa lama sebelum menghela napas panjang. Dialihkannya tatapan dari wajah Kencana.
“Istrinya sudah nggak ada,” gumam Paul. “Pergi sejak anak-anak masih bayi.”
“Meninggal?” Kencana mengangkat alis.
“Pergi,” tegas Paul, mengembalikan tatapannya ke arah Kencana. “Dengan laki-laki lain sejak anak-anak umur dua bulan. Sebetulnya dia menuntut cerai, tapi Daru nggak mau. Daru berusaha untuk teguh memegang janji pernikahan yang tak terceraikan oleh manusia. Dia sudah berupaya memperbaiki nasib pernikahan mereka, mempertahankannya, tapi istrinya tetap abai. Apalagi sudah ada anak-anak, kan, walaupun Daru sendiri yang merawat anak-anak sejak bayi.”
Entah kenapa, hati Kencana serasa tercekat mendengar penuturan Paul dalam suara lirih itu.
“Tapi akhir tahun sebelum Daru kutarik ke sini,” lanjut Paul, “ada kabar istrinya mengalami kecelakaan bersama laki-laki lain itu. Kejadiannya di sebuah resort di Bali. Terseret arus dan tenggelam saat main di laut. Dua-duanya meninggal. Jadi, Daru sekarang sudah bebas.”
Kencana menarik napas panjang, dan mengembuskannya pelan-pelan.
Kelihatannya dia orang baik. Kencana mengerjapkan mata. Sepertinya dia juga ayah yang baik.
Dari pengalamannya satu jam tadi di BIA, Kencana mendapat kesan bahwa Rika dan Neri adalah anak-anak yang cerdas, manis, cukup aktif, dan responsif. Keduanya dapat bernyanyi dengan baik. Keriangan mereka saat memadukan gerak dan lagu terlihat begitu polos dan murni. Pun respons positif mereka saat mengikuti dongeng interaktif.
Dan itu hasil didikan sang ayah...
Kencana mengerucutkan bibirnya.
Pada saat itu, entah kenapa, untuk sejenak bayangan seorang Denta perlahan mengabur dan menyelinap keluar dari benaknya. Digantikan oleh sosok lain yang juga sudah cukup berhasil menancapkan pesonanya.
Hmm... Tapi mungkinkah?
Kencana menggeleng samar. Ia sama sekali tak tahu jawabannya.
* * *
Trauma?
Handaru mengangguk samar. Diakui atau tidak, ada rasa itu bersemayam dalam hatinya.
Ia sendiri sama sekali tak pernah membayangkan bahwa pernikahannya dengan Angela akan diliputi prahara sedemikian rupa. Ia dan Angela saling mengenal bukan cuma dalam hitungan bulan, tapi bertahun-tahun. Tepatnya, sekitar sembilan tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Sembilan tahun yang diwarnai berbagai pasang surut dan kasus ‘putus-nyambung’.
Ketika Angela menanyakan tentang pernikahan, Handaru menyambutnya dengan gembira. Diabaikannya alasan Angela yang menyebutkan frasa ‘kita sudah terlalu lama pacaran’. Ia sudah siap lahir-batin untuk menikahi Angela.
Sempat muncul kernyitan di kening saat Angela mengajukan syarat agar mereka menunda untuk memiliki anak. Tapi sekali lagi, ia mengabaikannya. Berharap perempuan yang dicintainya setengah mati itu bisa mengubah pendirian setelah mereka menikmati indahnya mahligai pernikahan.
Ketika mendapati dirinya hamil pada bulan keenam pernikahan mereka, padahal sudah memagari diri dengan alat kontrasepsi, Angela marah luar biasa. Ia merasa Handaru telah menjebaknya, padahal Handaru sendiri juga tidak paham kenapa hal itu bisa terjadi, walaupun yakin bahwa hal itu adalah kuasa Tuhan. Angela makin mengamuk ketika mengetahui bahwa calon bayi mereka ternyata kembar pula.
“Aku mau aborsi!” teriak Angela saat itu.
“Ya, Tuhan... Itu dosa berat, Angie!” Handaru sendiri hampir kalap.
Angela memang mengurungkan niatnya untuk aborsi. Tapi si kembar dalam bentuk janin tak berdosa itu kemudian bertumbuh dalam kondisi ala kadarnya. Keduanya terlahir prematur dengan bobot badan sangat rendah. Harus berbulan-bulan lamanya berada dalam inkubator di ruang NICU.
Ketika tiba waktunya si kembar boleh pulang ke rumah setelah hampir lima bulan boleh hadir ke dunia, hanya sang ayah yang memeluk dan menggendong kedua bayi itu. Ibunya sudah menghilang entah ke mana.
Sesekali perempuan itu pulang, tapi bukan untuk urusan rumah tangga. Ia hanya ingin menuntut agar Handaru mengurus perceraian mereka ke Pengadilan Negeri, agar mereka bisa bercerai secara sipil. Tapi Daru menolak mentah-mentah.
“Bagiku, sampai kapan pun, pernikahan kita adalah sah di mata Tuhan, tak akan pernah bisa terceraikan oleh kehendak manusia!” tandasnya.
Lalu, mendadak saja ia bebas. Hampir satu setengah tahun lalu, Tuhan menceraikan mereka dengan tangannya sendiri. Maut menghampiri Angela. Lalu ia makin fokus pada urusan tumbuh kembang si kembar. Sepasang pejuang tangguh yang selalu membuatnya takjub dari hari ke hari karena setiap keajaiban yang mereka miliki.
Hingga pada akhirnya...
Pecah sudah fokusku...
Rasa itu mulai muncul saat ia bertemu dengan seorang gadis manis bernama Kencana, dengan segenap kisah yang gadis itu miliki. Tapi sekali lagi, berat rasanya menggantung harapan saat kegagalan belumlah terlalu jauh ia tinggalkan.
Handaru menggeleng samar.
Aku benar-benar tidak tahu.
Sejenak kemudian, ia meralat pikirannya.
Belum tahu...
* * *
Catatan :
[1] Prodiakon = awam (orang biasa) yang menerima penugasan resmi / khusus untuk membantu pastor (melakukan hal-hal tertentu) dalam ibadat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar