Keesokan paginya, sebetulnya Kencana ragu-ragu untuk menyetir sendiri mobilnya. Hujan di luar sana begitu deras, lanjutan dari semalam, sementara ia merasa bahwa kondisinya kurang fit, gara-gara tidurnya kurang dan tidak nyenyak. Tapi ia merasa punya tanggung jawab untuk menjemput Owen seperti janjinya. Akhirnya, dengan meneguhkan hati dan diri, Kencana pun mengeluarkan mobilnya dari garasi, dan melajukannya ke rumah Owen.
Pemuda itu sendiri yang membuka pintu untuknya, dan tampak sudah siap untuk berangkat. Tapi ia mengerutkan kening begitu melihat wajah Kencana. Ia berdiri tak bergerak ketika tangan Kencana menggamit lengannya.
“Sebentar,” celetuknya.
Kencana menghentikan gerakannya dan menoleh.
“Apa lagi, sih, Wen?” Kencana menautkan kedua alisnya ke tengah. “Tambah deras begini, bisa kejebak macet kita.”
“Kamu sakit?” Owen tak peduli nada protes dalam suara Kencana.
Gadis itu menggeleng.
“Wajahmu kuyu begitu,” Owen menatap tajam.
Kencana melengos. Sebelum ia sempat menjawab atau menanggapi, Owen sudah memanggil adiknya. Ussy muncul dengan mulut masih mengunyah sesuatu. Owen tiba-tiba meraih kunci mobil dari tangan Kencana, tanpa gadis itu bisa mencegah dan menghindar.
“Ini,” Owen menyerahkan kunci mobil Kencana pada Ussy. “Tolong, kamu masukkan mobil Ican. Aku sama Ican naik taksi saja.”
Ussy sempat melongo sejenak. Tapi dipatuhinya juga ‘perintah’ sang abang. Sementara itu Kencana menatap Owen dengan sorot mata marah.
“Kamu ini apa-apaan, sih, Wen?” suara Kencana meninggi.
“Kita naik taksi,” tegas Owen sambil menyentuh-nyentuh layar ponselnya sambil beringsut ke depan pagar, di bawah naungan kanopi carport.
Kencana cemberut. Sejenak kemudian terdengar helaan napas lega Owen. Pemuda itu menyimpan ponsel ke saku kemejanya. Lalu, ditatapnya Kencana dengan lembut.
“Ican sayang, aku tahu kamu nggak fit pagi ini,” ujarnya penuh kesabaran. “Seandainya bisa, aku yang bakalan nyetirin mobilmu. Supaya kita nggak celaka. Hujan deras begini pula. Nah, kita sudah dapat taksi online. Sebentar lagi sampai.”
Wajah jelek Kencana terurai sedikit. Dihelanya napas panjang.
“Memangnya kamu kenapa?” tangan Owen mengelus belakang kepala Kencana.
“Entahlah, aku susah tidur semalam,” akhirnya Kencana mengakuinya.
“Nah, berarti memang benar kamu lagi nggak fit,” senyum Owen. “Kelihatan, kok, kamu lesu begitu. Ya, sudah. Masalah selesai. Kita naik taksi. Kamu bisa lanjut bobok manis sampai kantor. Lumayan, kan?”
Mau tak mau Kencana tersenyum. Malu-malu. Owen tertawa kecil melihatnya. Ditepuknya lembut puncak kepala Kencana.
Tak sampai lima menit kemudian taksi mereka muncul. Ketika yang dilihatnya merapat ke depan pagar rumah Owen adalah sebuah city car berwarna silver, jantung Kencana langsung berdebar kencang.
Jangan-jangan...
Dan, ternyata benar. Sapaan hangat Handaru menyambut keduanya begitu pintu mobil terbuka. Owen sempat ternganga sebelum Kencana menggamit lengannya.
“Lho, Mas? Narik taksi online?” tanya Owen begitu masuk ke kiri depan.
“Iya,” Handaru tersenyum lebar. “Iseng saja, Wen.”
Begitu melihat Owen sudah duduk nyaman, Kencana pun menutup pintu dan masuk ke belakang Owen. Handaru pun mulai meluncurkan mobilnya setelah memastikan semua pintu tertutup dan terkunci.
“Kok, Ican bisa ada di sini?” sekilas Handaru melihat ke arah spion tengah.
“Ceritanya, kan, dia niat antar-jemput aku selama seminggu ini, Mas,” ungkap Owen. “Kan, gedung kantor kami jadi satu. Tapi pagi ini kayaknya dia nggak fit. Daripada celaka, ya, sudah, aku order taksi saja.”
“Oh... Eh, ini ordernya nggak aku cancel, ya. Cuma, kalian nanti nggak usah bayar saja,” senyum Handaru.
“Lho, nggak bisa gitu, dong, Mas,” protes Owen.
“Nggak apa-apa, santai saja. Arah kita sama, kok. Menara Daha selalu kelewatan, kalau aku berangkat ke kantor.”
“Wah...,” Owen kehilangan kata. “Gimana, nih, Can?”
Hening.
“Can?” susah payah Owen memutar badannya.
Ternyata yang diajak bicara sudah memejamkan mata dan terlelap di jok belakang.
“Astaga...,” gumam Owen sambil menggelengkan kepala. “Tidur beneran, nih, anak.”
Handaru tersenyum lebar. Owen menatapnya sekilas.
“Makasih banget, lho, Mas. Jadi nggak enak,” pemuda itu nyengir.
Handaru tergelak ringan. “Sudahlah, santai saja. Nggak apa-apa.”
Keduanya kemudian asyik mengobrol. Sekilas Handaru menceritakan pekerjaannya. Bahwa ia ditarik dari Surabaya oleh Paul untuk menggantikan Denta, padahal ia sudah punya usaha yang cukup maju di sana. Owen sendiri sudah mendengar desas-desus tentang kehidupan pernikahan Handaru. Tapi kali ini ia tak mau mencari tahu. Ia dengan santai tapi penuh atensi mendengarkan uraian Handaru, dengan sesekali menanggapi dan menimpali.
City car itu melaju tertatih-tatih di tengah derasnya hujan dan kemacetan Selasa pagi. Dalam hati, Owen bersyukur bahwa keputusan impulsifnya tadi adalah benar. Ia tak bisa membayangkan kalau Kencana terpaksa harus berkonsentrasi lebih menghadapi situasi lalu lintas yang seperti ini dalam kondisi kurang segar. Belum lagi sore nanti saat mereka pulang kerja.
“Oh, ya, nanti sore pulang kerja mau naik taksi lagi?” tanya Handaru tiba-tiba.
“Kayaknya iya, sih, Mas,” angguk Owen. “Soalnya mobil Ican ada di rumahku.”
“Oh... Kalau begitu aku jemput saja langsung. Nggak usah order taksi lagi,” suara Handaru terdengar serius.
“Hah?” Owen menoleh cepat. “Nggak usah, Mas. Merepotkan nanti.”
“Enggak...,” geleng Handaru. “Kita, kan, satu jalur. Tunggu saja sebentar, nanti kita pulang bareng.”
“Wah...,” Owen kembali kehilangan kata.
“Kali ini aku nggak mau terima penolakan, lho, Wen,” ada nada tak terbantah dalam suara Handaru yang sarat canda itu.
“Wah, makasiiih banget, Mas. Makasih banget,” hanya itu yang bisa diucapkan Owen.
* * *
Sebuah naluri berhasil membuat Kencana terbangun begitu mobil Handaru memasuki belokan terakhir sebelum mencapai Menara Daha. Ia mengusap wajah sambil menguap tertahan. Ketika menatap ke luar jendela, dilihatnya hujan kini hanya menyisakan rintiknya saja. Pukul 7.28 ketika ia melirik arlojinya. Sekali lagi ia menguap sambil menggeliat sedikit.
“Sudah bangun, Can?”
Seketika Kencana mengatupkan mulut begitu mendengar suara Owen. Ia tak menjawab, hanya meringis. Betul juga kata Owen. Memejamkan mata dan terlelap selama kurang lebih satu jam sudah membuat badannya terasa lebih segar dan berenergi.
Handaru menghentikan mobilnya di bawah kanopi di tepi teras tepat di seberang pintu masuk Menara Daha. Sekali lagi Owen mengucapkan terima kasih, bersamaan dengan Kencana yang buru-buru keluar lebih dahulu dari pintu kiri belakang, bersiap untuk membantu Owen. Pelan-pelan keduanya kemudian menapaki delapan anak tangga di tepi teras.
“Dia nggak mau dibayar, coba,” gumam Owen.
“Hah?” Kencana menoleh cepat.
“Dan nanti sore dia mau jemput kita,” lanjut Owen.
Kencana ternganga tanpa suara.
“Dia memaksa, Can. Aku bisa apa? Kamu ditanyain pendapat malah bobok manis begitu.”
Kencana meringis. Owen tertawa. Beberapa saat kemudian keduanya sudah menghilang ke dalam lift yang membawa mereka ke lantai enam belas gedung Menara Daha.
* * *
Sambil menunggu datangnya Handaru, Kencana sibuk memilih-milih aneka roti dan pastry di sebuah bakery yang ada di lantai dasar Menara Daha. Diambilnya beberapa potong roti, cake, dan pastry yang berpenampilan menarik dan disukai anak-anak. Walaupun bakery selalu ramai pada jam bubaran kantor, tapi stok yang melimpah membuatnya bebas menentukan pilihan.
Dua baki sudah disisihkannya ke dekat meja kasir, sementara ia memegang satu baki lagi untuk dirinya sendiri. Setelah selesai, belanjaannya pun dihitung, dan ia meminta tiga kantung kertas dengan warna berbeda untuk tiap baki. Beres. Ia pun melangkah meninggalkan bakery dengan wajah puas, kemudian menghampiri Owen yang duduk menunggu di salah satu kursi lobi.
“Dapat kuenya?” sambut Owen.
Kencana mengangguk. Karena Handaru tampaknya benar-benar tak mau dibayar dan sudah berbaik hati mengantar dan menjemput mereka, maka Kencana dan Owen sepakat untuk menggantinya dengan membelikan aneka kue untuk anak-anak Handaru.
“Tunggu di teras saja, yuk!” ajak Kencana.
Owen pun menyetujuinya. Sekitar setengah jam menunggu, barulah mobil Handaru meluncur masuk ke area Menara Daha dan berhenti di tepi teras lobi. Owen dan Kencana pun segera masuk ke dalamnya. Sama seperti tadi pagi, setelah memastikan Owen duduk dengan nyaman, barulah Kencana masuk ke bagian belakang.
“Sorry, ya, lama,” ucap Handaru sambil mulai melajukan mobilnya. “Agak macet tadi di dekat kantorku.”
“Dijemput kayak gini saja kami sudah terima kasih banget, Mas,” Owen menanggapi.
“Ican gimana?” sekilas Handaru menatap spion tengah. “Sudah nggak terlalu teler lagi?”
“Hehehe...,” Kencana terkekeh, setengah tersipu. “Gara-gara Owen, tuh. Kemarin pulang kerja diajakin dinner dulu. Pulang kemaleman. Ngantuknya hilang, malah nggak bisa tidur.”
“Yah... Aku lagi disalahin,” gerutu Owen.
Handaru tertawa mendengarnya.
“Ngomong-ngomong, kalian kayaknya sudah lama berteman, ya?” celetuk Handaru kemudian.
“Dari SD, Mas,” jawab Owen. “Dulu papaku dinas di Bogor. Kami tetanggaan sama keluarga Om Jati. Satu sekolah sama Ican. Aku lulus SD, papaku mutasi ke sini. Eh, Om Jati juga ngajarnya pindah ke sini. SMP-SMA satu sekolah lagi sama Ican. Rumah juga nggak gitu jauh walaupun nggak tetanggaan banget. Pisah waktu kuliah. Ican tetap di sini, aku di Jogja.”
“Oh...”
“Sempat rada hilang kontak karena sama-sama sibuk,” lanjut Owen. “Walaupun sama-sama aktif di paroki dan OMK. Sampai akhirnya belakangan ini ketemu lagi. Ngantor di gedung yang sama.”
Handaru manggut-manggut.
“Ngomong-ngomong, di Surabaya dulu Mas Daru usahanya apa, Mas?” Owen iseng saja bertanya, menyambung pembicaraan tadi pagi.
Handaru kemudian secara panjang lebar mengungkapkan bahwa ia memiliki dua buah food truck. Satu ada di Malang, satu ada di Surabaya. Hingga saat ini keduanya masih beroperasi dan memberikan hasil yang menggembirakan. Itu karena kawan yang dipercaya untuk mengelolanya sangat bisa dipercaya.
Saat Handaru hendak ditarik Paul ke Jakarta, food truck ketiga untuk ditempatkan di Sidoarjo sebetulnya sudah siap. Karena akhirnya tak terpakai, maka salah seorang kawan Handaru meminjamnya. Sayangnya usaha itu kurang berhasil. Si peminjam beralasan lokasinya kurang ‘hoki’. Tapi kawan-kawan Handaru lainnya mengabari bahwa memang makanan yang disajikan kurang dalam hal rasa.
“Kayaknya yang dipinjam temanku itu mau aku tarik saja ke sini. Kulihat prospeknya lebih bagus,” Handaru menutup penuturannya.
“Kebetulan, Mas,” suara Owen terdengar penuh semangat. “Kantorku lagi buka proyek lokasi buat food truck di Cikarang. Estimasi mulai beroperasi, sih, pertengahan tahun depan. Sekarang lagi disiapkan lahannya. Di tengah perumahan besar yang sudah ramai. Prospeknya cerah.”
‘Wah! Sudah bisa booking tempat belum?” sekilas Handaru menoleh. Terlihat sangat tertarik.
“Belum, sih, baru sekitar dua bulan lagi. Tapi kalau Mas mau, bisa aku keep tempat yang paling strategis. Kalau aku yang keep bisalah dapat harga khusus. Yang dijual apa, Mas?”
“Cwimie Malang sama aneka dimsum. Soalnya aku pegang resep cwimie dan dimsum omaku,” Handaru tersenyum lebar. “Oma dulu punya depot cwimie paling legendaris di Malang.”
“Wah, boleh, tuh!” Owen manggut-manggut
“Seandainya nggak praktis narik food truck dari Surabaya, nggak apa-apa nanti aku bisa bikin baru,” suara Handaru terdengar penuh optimisme.
Sementara itu Kencana hanya mengdengarkan saja obrolan seru kedua orang itu. Merangkai keping demi keping yang ditemukannya secara tak sengaja tentang diri seorang Handaru.
“Enak mana, Mas, di Surabaya apa di Jakarta?” Owen mencoba memuaskan keingintahuannya.
Handaru tersenyum tipis, menjawab secara diplomatis, “Semua ada enak dan nggak enaknya, Wen.”
“Oh, iya. Pasti itu,” Owen menanggapi.
“Enaknya di Surabaya, jam kerjaku fleksibel. Jadi aku bisa full mengurus anak-anak. Pendapatan tetap ada, cukuplah. Enaknya di sini, aku bisa menaklukan tantangan pekerjaan baru. Aku bisa meningkatkan managerial skill-ku. Pendapatan juga meningkat tajam karena terima gaji. Nggak enaknya di Surabaya, mm... sebetulnya aku sudah lama ingin keluar dari sana. Alasan pribadi,” senyum Handaru melebar sedikit. “Cuma belum ada kesempatan. Terus, nggak enaknya di sini, aku terpaksa meninggalkan anak-anak untuk bekerja di luar rumah. Nggak mudah buatku dan anak-anak. Awalnya anak-anak jadi gampang rewel dan ringkih. Tapi makin ke sini bisalah diatasi. Pada dasarnya anak-anak memang sudah pejuang tangguh sejak lahir. Sejak dalam kandungan, malahan.”
“Oh...”
Lalu hening. Mereka sudah tiba di belokan terakhir, masuk ke jalan di mana rumah Owen berada. Kencana mulai mempersiapkan barang bawaannya Tak lupa menyiapkan kantung kertas yang berwarna krem. Dengan halus, Handaru menghentikan mobilnya tepat di depan pintu pagar rumah Owen.
Setelah membantu Owen keluar dari dalam mobil, sebelum menutup kembali pintu kiri depan, Kencana menyelipkan sebuah kantung kertas berwarna krem ke dalam mobil dan meletakkannya di jok kiri depan.
“Mas, ini buat anak-anak,” ucapnya manis. “Terima kasih banyak atas kebaikan Mas hari ini.”
“Lho, apa ini?” Handaru menatap Kencana sambil mengangkat alis. Ekspresi yang terlihat sangat menarik di mata Kencana.
“Sedikit kue untuk anak-anak, Mas. Semoga suka,” senyum Kencana.
“Wah... Repot-repot saja, Can...,” gumam Handaru. “Makasih banyak, ya?”
“Ya, sama-sama. Salam buat Om Paul dan anak-anak, ya.”
Handaru mengangguk dengan bibir masih menyimpulkan seulas senyum. Kencana kemudian menutup pintu. Handaru membunyikan klakson ringan sebelum melajukan kembali mobilnya, diiringi lambaian tangan Kencana dan Owen.
Sebelum keduanya berbalik, pintu rumah sudah terbuka. Ussy menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
“Eh, Abang sama Kakak sudah pulang,” senyumnya.
“Nih, buat kamu, Sy,” dengan wajah cerah Kencana mengacungkan sebuah kantung kertas berwarna kuning gading pada Ussy, yang diterima dengan gembira oleh gadis berumur awal dua puluhan itu.
“Whoaaa... Endes banget baunyaaa...!” seru Ussy sambil mencium-cium kantung kertas itu. “Makasih banyak, Kak.”
Owen tergelak sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan polos adik semata wayangnya.
“Kunci mobil Ican mana, Sy?” tanya Owen kemudian.
“Oh, iya, sebentar. Sekalian aku keluarkan mobilnya, ya?”
Owen kemudian mengajak Kencana duduk di teras sembari menunggu Ussy selesai mengeluarkan mobil Kencana dari dalam garasi.
“Nanti malam bobok yang nyenyak, Can,” pesan Owen dengan suara lembut. “Biar besok bisa fit. Nggak loyo kayak tadi pagi.”
Kencana meringis lucu sambil mengangguk. Tak lama kemudian gadis itu berpamitan. Owen mengiringinya dengan senyum dan lambaian tangan.
* * *
Hm... Dia laki-laki yang kuat...
Kencana mengerjapkan mata sambil berbaring nyaman di ranjangnya.
... dan ayah yang baik.
Kencana menggigit bibir bawahnya.
Tentu saja tidak sesempurna itu dia sebagai manusia, tapi tetap saja...
Kencana menggulingkan tubuhnya ke samping. Kini memeluk erat gulingnya.
Pufff...
Diembuskannya napas kuat-kuat untuk mengurangi sedikit rasa sesak di dada. Rasa sesak yang timbul begitu saja karena ada sesuatu yang meledak-ledak saat ia memikirkan...
Hm... Mas Daru...
Sepertinya, kali ini ia mulai memahami apa yang tengah dirasakannya.
Tapi semudah inikah?
Kencana menggembungkan kedua pipinya.
Semudah inikah berpindah ke lain hati setelah tujuh tahun terbelit segala sesuatu yang berbau Denta?
Kencana tersentak tiba-tiba.
Berbau Denta? Bukankah Mas Daru juga masih ‘berbau Denta’?
Kencana memejamkan matanya.
Mereka sepupu, Ican... Sepupu!
Kencana menggelengkan kepala dengan gusar. Pada saat itu, ia memutuskan untuk rileks dan mengosongkan pikirannya. Malam belum terlalu larut. Tapi sudah waktunya bagi ia untuk memejamkan mata dan membiarkan alam mimpi menguasainya. Tapi sebelum ia mulai terlelap, ia bangun dan mengambil sikap khidmat. Dipanjatkannya sederet doa, permohonan, dan rasa syukur. Setelah itu, ia kembali ke posisinya semula. Meringkuk di bawah selimut sambil memeluk guling. Membiarkan alam mimpi membuainya.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar