Senin, 30 Oktober 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #17







Sebelumnya



* * *



Tujuh Belas


Setelah berbasa-basi tentang kabar, cuaca, suhu udara, dan berbagai topik tak penting lainnya, barulah Sander menyatakan maksud kedatangannya. Ingin mengajak Sisi untuk mendampinginya menghadiri pemberkatan dan resepsi pernikahan Victor-Mila pada hari Minggu yang akan datang. Tapi jawaban Sisi membuat Sander terpaksa harus menelan kekecewaan.

"Wah...,” gumam Sisi dengan wajah menyesal. “Gimana, ya? Aku sebenarnya mau, cuma... hari Jumat besok ini, aku harus berangkat ke Swiss. Sanggar tari kami ada lawatan keliling Eropa. Semuanya sudah siap, sudah lama terjadwal karena ini kegiatan tahunan. Pihak sponsor juga sudah konfirmasi kesiapan menyambut kedatangan kami.”

“Oh...”

Lalu hening.

“Berapa lama, Si?” lirih suara Sander memecahkan kesunyian itu.

“Tiga minggu.”

“Oh...”

Hening lagi.

Ya, Tuhan..., Sander tertunduk, mengerang dalam hati, ... aku sungguh-sungguh patah hati kali ini...

“Maaf, ya, Mas...”

Ucapan lirih Sisi menghentakkan kesadaran Sander. Laki-laki itu mengangkat wajah.

“Minta maaf untuk apa, Si?” dicobanya untuk tersenyum. “Memangnya kamu salah apa?”

“Aku nggak bisa temani Mas Sander.”

“Oh...,” senyum Sander melebar. Sedikit. “Nggak apa-apa, Si. Bukan salahmu lah... Rencanamu, kan, sudah dari jauh hari. Ngomong-ngomong, kamu sudah lama ikut sanggar tari?”

“Ya,” angguk Sisi dengan wajah terlihat lebih cerah. “Sejak aku kelas dua SD.”

“Wow!” Sander terseret antusiasme itu. “Selama ini sudah ke mana saja?”

“Mm... Kalau dalam negeri, sih, paling jauh pernah sampai ke Maluku,” Sisi menengadah sejenak. Mengingat-ingat. Ditatapnya lagi Sander. “Kalau ke luar negeri, ikut delegasi keliling Eropa sudah mau empat kali ini, tapi itu nggak ke semua negara, sih. Asia dan Australia dua kali. Amerika Selatan sekali. Amerika Serikat dan Kanada dua kali. Ke Afrika Selatan pernah sekali, rombongan kecil. Hitung-hitung, hampir tiap tahun lah kena ciduk ikut ke luar,” Sisi meringis dengan wajah polos. Sama sekali tanpa kesan jemawa.

Sander ternganga. Benar-benar sisi lain seorang Sisi yang baru saja diketahuinya. Sisi lain yang tentunya merupakan pengalaman yang luar biasa. Sisi lain yang segera mendongkrak kekagumannya terhadap seorang Sisi hingga melampaui titik maksimum.

Aku jatuh cinta! Mutlak jatuh cinta padanya!

“Permisi... Maaf...”

Keduanya menoleh. Miatun muncul dengan wajah ragu-ragu.

“Ya, Mbak Tun?” Sisi menanggapi.

“Maaf, Mbak. Mbak Sisi dipanggil Bapak.”

“Oh, ya.” Sisi kemudian menatap Sander sejenak, “Sebentar, ya, Mas.”

Sander mengangguk. Sisi berdiri dan meninggalkan teras rumahnya. Sepeninggal Sisi, Sander menghela napas panjang.

Dari awal, perjuangannya untuk mendapatkan Sisi serasa tak semudah ‘biasanya’. Satu per satu hal yang membuatnya harus bersabar sebelum bisa berada sedekat ini dengan Sisi memang berhasil dilaluinya. Tapi ia tahu, bahwa untuk sampai ke ‘sana’, suatu tujuan yang ia bayangkan, tampaknya jalannya masih akan cukup panjang dan berliku. Ia mengangkat wajah ketika Sisi kembali.

“Mas, makan dulu, yuk!” senyum Sisi. “Disuruh Ayah panggil Mas.”

“Wah, Si,” gumam Sander, “aku ganggu jadinya. Aku pamitan dulu, deh.”

“Eh, jangan!” cegah Sisi. “Udah ditunggu di dalam. Yuk, Mas!”

Dan, Sander sama sekali tak menemukan cara untuk menolak tawaran itu. Lagipula, sejujurnya, ia memang sudah merasa lapar dalam tingkatan maksimal.

* * *

Lauren mengatupkan bibirnya rapat-rapat begitu Himawan menyuruh Miatun memanggil Sisi. Ia sudah kalah debat soal mengajak si kampret itu sekalian menikmati makan malam.

“Kasihan, Bun,” begitu ucap Himawan. “Dia bela-belain pulang kantor ke sini. Mana jalurnya macet begitu. Sudah jam segini pula.”

Seketika perlawanannya terberangus. Sebetulnya ia ingin seketika itu juga meninggalkan ruang makan. Selera makannya sudah lenyap. Tapi ia merasa bahwa ia kekanakan sekali kalau sampai melakukan hal itu. Maka ia memutuskan untuk bertahan. Dan diam.

Lauren masih hening dengan wajah datar ketika Sisi muncul dan Himawan menyuruh anak gadis mereka itu memanggil ‘teman baru’-nya untuk diajak menikmati makan malam bersama. Apalagi Miatun sudah menyiapkan peralatan makan ekstra. Ia tetap hening ketika Sisi pergi sejenak dan muncul lagi. Kali ini diikuti pemuda tinggi tegap berwajah tampan itu. Ia hanya menjawab sekadarnya ketika Sander mengucapkan salam.

“Ayo, duduk, Mas,” senyum Himawan penuh keramahan.

Sander mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Sisi mengambil tempat di seberang Himawan, sehingga satu-satunya kursi kosong hanya ada di hadapan Lauren. Di sanalah pemuda itu duduk. Sebuah kursi yang terasa agak panas bagi Sander.

“Ayo, Mas, jangan malu-malu makannya,” ucap Himawan lagi. “Memang bukan bundanya Sisi yang masak karena ada kegiatan di luar seharian tadi. Tapi masakan Miatun juga enak, kok. Ayo!”

Sander mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Sisi menyodorkan mangkuk nasi, kemudian mangkuk sayur, dan piring-piring saji berisi aneka lauk.

“Biasa saja kalau di sini, Mas,” celetuk Sisi sambil menuangkan air putih ke dalam gelas Sander. “Sudah biasa kasih makan pasukan bodyguard.”

Sander tersenyum lebar. Tentu saja ia paham siapa saja para oknum yang dimaksud oleh Sisi. Sepanjang makan malam bersama itu, Himawan dan Sisi bergantian mengajaknya mengobrol tentang berbagai hal ringan dan terkini. Suasana di dalam ruang makan itu hangat, sebenarnya. Kalau saja Lauren mau ikut nimbrung, atau sedikiiit saja mau ikut tersenyum. Tapi...

Sander berusaha untuk memahami. Mungkin bagi bunda Sisi, ia dirasa belum layak untuk mendampingi sang putri tunggal. Mungkin juga karena ia masih jadi sosok yang asing bagi perempuan itu.

Tidak apa-apa. Pelan-pelan...

* * *

Tentu saja Sisi merasakan betapa sunyinya Lauren malam itu. Setelah Sander berpamitan, Sisi menatap Himawan. Laki-laki itu memberinya kode. Sisi mengangguk.

“Si, kamu bisa bantu Ayah cek ulang proposal proyek baru?” tanya Himawan kemudian.

“Sekarang?”

Himawan mengangguk. Dengan senang hati, sang anak gadis segera membuntutinya masuk ke ruang baca. Lauren sendiri sudah beranjak ke kamar dengan alasan lelah, hendak beristirahat.

“Mama nggak suka Mas Sander kelihatannya, ya, Yah?” bisik Sisi dalam ruang yang sudah tertutup rapat.

Himawan menjangkau remote control stereo set. Segera saja alunan musik instrumental klasik menggema lembut dalam ruangan itu. Laki-laki itu menatap putrinya. Menimbang sejenak, harus sejauh mana ia memaparkan alasannya pada sang putri. Dihelanya napas panjang.

“Seandainya dia bukan Sander, mungkin sikap bundamu nggak akan seperti tadi,” ucap Himawan dengan suara rendah.

“Hah?” Sisi ternganga sejenak. “Aku benar-benar nggak paham, Yah.”

Himawan terdiam beberapa saat. Seingatnya, walaupun sekilas, Sisi sudah pernah tahu betapa ajaibnya pertemuannya dengan Lauren dulu.

“Mm... Kamu masih ingat, nggak, cerita pertemuan Ayah sama Bunda dulu?” tanya Himawan.

Sisi mengangguk. “Yang Ayah cuti kerja, terus ikut Pakdhe Desta liburan ke Malang, kan? Terus ketemu Bunda, merasa klik, dan nikah nggak pakai tunggu lama?”

“Yup!” angguk Himawan. “Sebenarnya, pada saat itu, bundamu lagi patah hati. Baru bubaran dengan pacarnya. Sudah lama pacaran, akhirnya cuma bubaran,” Himawan mengedikkan bahu.

“Oh...,” sejenak Sisi manggut-manggut. Kembali ditatapnya Himawan. “Terus?”

“Ya... Bundamu sudah hampir umur tiga puluh waktu itu, Si,” lanjut Himawan. “Tahun segitu sudah dipandang usia rawan banget. Makanya Bunda macam patah arang begitu. Pas Ayah lamar, langsung mau. Kalau Ayah, sih, memang serius mau jadikan bundamu sebagai istri.”

“Lha, sama pacarnya itu, putusnya kenapa?”

“Kabarnya, sih, pacarnya itu nggak bersedia kasih kepastian hubungan mereka mau dibawa ke arah mana. Padahal sudah ada sekitar sebelas tahun pacaran.”

“Wah, payah juga si mantannya Bunda...,” gumam Sisi.

“Mm... Iya, sih...,” Himawan menyandarkan punggungnya. Ditatapnya Sisi. Sinar keraguan kembali membayang di matanya. “Tapi kalau memang nggak jodoh, mau diapain?”

“Terus, hubungannya sama Mas Sander apa?” Sisi mengerutkan kening.

Himawan untuk kesekian kalinya kembali menghela napas panjang.

“Nama mantannya Bunda itu...,” ucap Himawan dengan nada berat. “... Erlanda Prabandaru. Dia... ayah Sander.”

Sisi benar-benar ternganga kini.

* * *

Setelah menimbang-nimbang, Sander akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, alih-alih pulang ke apartemen. Jarak apartemennya lebih jauh. Dan sejujurnya, ia lelah sekali malam ini.

Kedua orang tuanya sudah duduk menunggu di teras ketika ia ‘mendarat’ menjelang pukul sepuluh. Sebelum meluncur jauh dari rumah Sisi, ia memang sempat mengabari orang tuanya bahwa ia akan menginap. Prisca mengerutkan kening ketika melihat betapa lesunya wajah Sander.

“Kamu sakit?” tanyanya seraya mengulurkan tangan, meraba kening sang putra kesayangan. “Maag-mu kambuh?”

“Enggak, Ma,” Sander menggeleng. “Cuma capek aja. Lahir batin.”

“Ada masalah di kantor?” selidik Erlanda.

Sander kembali menggeleng. Ia kemudian duduk di sofa ruang tengah. Bersandar sambil meluruskan kaki setelah melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Segelas air dingin disodorkan Prisca ke arahnya. Ia menerimanya sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Prisca duduk di sebelahnya. Memijat lembut bahunya.

“Banyak kerjaan?” tanya Prisca. “Kok, jam segini baru pulang?”

“Iya, tadi ada meeting sampai over time,” Sander mengangkat punggungnya dari sandaran sofa. Meletakkan gelas minumnya yang sudah kosong di atas coffee table. “Terus, aku ke rumah Sisi. Cewek yang aku pernah ceritakan itu.”

“Oh... Sisi?” wajah Prisca berubah jadi antusias. “Kapan itu Mama sempat intip Instagram-nya. Bagus-bagus koleksinya, ya? Usahanya juga maju kelihatannya. Cantik, lagi!”

Sander tersenyum sedikit mendengar celoteh Prisca. “Iya, aku tadi ke rumahnya, mau aku ajak ke nikahannya Victor. Tapi... gagal.”

“Lha?” Prisca mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Hari Jumat ini mau berangkat ke Eropa, ikut misi kesenian,” suara Sander melirih. “Dia penari, sudah sering ke luar negeri. Nggak tahulah. Segini saja rasanya aku sudah patah hati.”

Prisca dan Erlanda sejenak bertukar tatapan.

“Kamu sudah ‘nembak’ dia?” Erlanda kemudian nimbrung.

Sander menggeleng. “Belum lah, Pa... Baru juga kenal beberapa hari, masa langsung nyosor?”

Erlanda tersenyum tipis. Jangan kamu ulangi kesalahan Papa, Nak. Jangan!

“Saran Papa, kalau kamu memang serius, katakan saja padanya,” wajah Erlanda terlihat serius ketika mengucapkan kalimat itu.

“Hehehe... Biar nasibmu nggak kayak Papa,” Prisca terkekeh.

“Maksudnya?” Sander melengak.

“Papamu dulu pernah lamaaa pacaran sama seorang cewek,” celoteh Prisca. Begitu ringan tanpa beban. “Tapi papamu nggak kunjung kasih kepastian. Baru ribut setelah ceweknya diembat cowok lain. Patah hati parah. Dijodohin sama Mama, masih kayak orang nggak sadar begitu.”

“Halah... Lama-lama juga cinta,” Erlanda ngeles.

Prisca tertawa. “Ya, untungnya kejeblos pernikahan yang nggak boleh cerai. Dinikmati saja. Mau gimana lagi?” perempuan itu mengangkat bahu.

Sander meringis. Benaknya sedang pepat kali ini. Sedang kurang bisa mencerna dengan baik penuturan Prisca. Tapi satu hal yang ia tahu dan makin yakin. Ia benar-benar serius ingin menjalani hubungan yang istimewa dengan Sisi. Seandainya memang ada rintangan, ia bertekad untuk menghadapi dan melewatinya. Tak akan melepaskan Sisi walau apa pun yang akan terjadi.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. Mesakno mas sander, didiemin ama mamane sisi. mbak, apiik tenan loh.... maacih nggih.

    BalasHapus
  2. Pacaran sauwiiii mala gasido kawin male eleng critoe sopo ngunu nyah wkkkkkkkkk

    #mblayu selak dibalang getuk kambek mendol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weeesss meneeenggg!!! 👊👊👊

      Hapus