* * *
Sepuluh
Alunan musik dan rangkaian getar lembut itu perlahan-lahan mencerabut Sisi dari alam mimpi indahnya. Sejenak ia mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha menyatukan kembali jiwa dan pikirannya yang terasa tercerai-berai ke mana-mana. Setelah kesadarannya sedikit pulih, diraihnya ponsel dari sisi terjauh bantalnya. Tapi ponsel itu kini diam. Masih sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Sisi berusaha mendapatkan siapa yang sudah meneleponnya nyaris tengah malam begini. Seketika ia mengerang.
Danny...
Ketika hendak dilemparkannya ponsel itu kembali ke tempatnya, benda itu kembali berbunyi.
“Halo...,” sapanya dengan suara serak.
“Kenapa lu nggak bilang kalau udah kenal dia?”
“Hah???” seketika mata Sisi terbuka lebar. Ini anak kesambet tuyul dari mana lagi, sih? “Apa, sih, Dan?”
“Cowok itu, kenapa lu nggak ngomong ke gue kalau lu udah kenalan sama dia?”
“Cowok mana?” suara Sisi mulai naik. “Gile lu, ya?! Nelepon nyaris tengah malem gini, ngomong nggak jelas... Lu mabok, Dan? Mabok apaan? Air ledeng mentah? Kebanyakan jus kecubung? Atau over dosis pantat ayam? Insyaf, hoi! Insyaaaf...”
Terdengar hembusan napas keras dari seberang sana.
“Sander itu, ternyata lu udah kenal sama dia, kan?” suara Danny sedikit melunak.
“Sander mana?” kening Sisi berkerut dalam. Sejujurnya, ia masih belum mengerti sepenuhnya arah bicara Danny.
“Sander yang mau kenalan sama lu itu. Ternyata lu udah kenalan kemarin, ya?”
“Sander yang ma...,” seketika ingatan Sisi pulih seratus persen. “Oooh... Sander yang itu? Yang follower IG gue? Kenapa memangnya? Asli, gue nggak paham maksud lu.”
“Sander whatever-lah. Ya, dia itu yang mau kenalan sama lu. Dia itu sebenernya mau dijodohin sama ortunya. Mau ditemuin sama kakaknya Kak Mia, tapi ternyata pada nggak cocok. Dia lihat lu di Om James, katanya. Kakaknya Kak Mia itu, Kak Anin namanya, punya inisiatif buat ngenalin lu ke dia. Karena Kak Anin pas itu lihat ada gue sama lu, sama geng. Gitu ceritanya, Neeeng...”
Astaga... Kenapa ruwet amat? Sisi menguap lebar.
“Terus, lu kenapa bisa tahu gue kemarin kenalan sama dia?”
“Ya, dia cerita lah, Si...”
Sisi menguap lagi. Bakal panjang, nih! Hadeeeh...
Mereka berlima bergantian menjabat tangan laki-laki itu. Berusaha menilai dan mengukur kekuatan. Laki-laki itu sendiri sepertinya tenang-tenang saja. Tidak merasa terintimidasi. Senyum tetap tersungging di bibirnya yang terlihat bersih. Sama sekali tanpa residu nikotin.
Setelah urusan basa-basi perkenalan itu selesai, keenamnya duduk menghadapi satu meja. Andez dan Mia segera menyingkir ke meja lain. Seusai kesibukan memesan makanan dan minuman, barulah inti pertemuan itu berlangsung.
“Mm... Jadi Mas Sander ini ada maksud mau kenalan sama Sisi, begitu?” ucap Marco tanpa basa-basi.
“Ya,” Sander mengangguk mantap. Suaranya terdengar tegas.
“Sudah berapa kali pacaran, Mas?” Jonggi melanjutkan interogasi.
“Beberapa kali,” jawab Sander dengan nada rendah, cenderung kalem. “Tapi yang serius baru satu kali. Itu pun ujung-ujungnya bubar.”
“Kenapa bubar?” Danny menatap Sander, tajam.
“Beda agama. Kami sadar, nggak akan bisa bersatu. Jadi kami memutuskan untuk mengakhirinya secara baik-baik.”
“Dengan Sisi, mau serius apa main-main?” Reza menyipitkan kedua matanya.
“Kalau memang benar cocok, saya serius.”
Kelima sahabat itu saling bertatapan. Beberapa detik kemudian, Dion-lah yang pertama mengalihkan tatapan, dan menjatuhkannya kembali pada Sander.
“Apa jaminannya?” tanya Dion.
“Maksudnya?” Sander sedikit mengerutkan kening.
“Apa jaminannya Mas nggak akan menyakiti Sisi?” tatapan Dion menajam.
“Saya tidak tahu apakah diri saya sendiri bisa jadi jaminan,” Sander tersenyum tipis. “Yang jelas, walaupun beberapa kali gagal pacaran, tapi nggak ada niat sedikit pun di hati saya untuk mempermainkan cewek atau sejenisnya. Itu pantangan besar buat saya. Karena itu sama saja dengan menyakiti ibu saya.”
Sekali lagi kelima sahabat itu saling menatap. Kali ini, Danny lebih dulu mengalihkan arah pandangan matanya.
“Sisi itu sahabat terbaik yang pernah kami miliki,” suara Danny terdengar tegas. “Selamanya akan tetap jadi sahabat kami. Dia nggak pernah menyakiti orang lain, karenanya kami juga nggak mau dia disakiti. Kalau Mas mempermainkan dia, menyakiti sedikiiit saja hatinya, membuatnya tidak bahagia, Mas akan berhadapan dengan kami lebih dulu sebelum kami seret untuk menghadapi kedua orang tuanya. Paham?”
Air muka Sander terlihat tetap tenang dan sabar. Ia mengangguk pasti.
“Ya, saya mengerti.”
“Mm... Tapi belum ada jaminan Mas bisa berkenalan begitu saja dengan Sisi,” tandas Marco. “Kami masih ingin melihat apakah Mas layak untuk Sisi ataukah tidak.”
Sander menatap kelima sahabat itu satu demi satu. Terlihat menimbang-nimbang sesuatu. Pada akhirnya ia memutuskan untuk jujur saja. Karena tampaknya sedikit saja ia kedapatan punya cacat cela, itu bisa jadi alasan untuk terdepak oleh pagar Sisi yang sangat rapat ini.
“Mm...,” Sander mengerjapkan mata. “Sebetulnya saya kemarin sudah berkenalan dengan Sisi.”
Seketika laki-laki itu bisa melihat betapa bulatnya sekian pasang mata yang sedari tadi tak henti memancarkan bias-bias intimidasi. Sander tersenyum tipis. Tanpa terkesan tinggi hati karena sudah menang satu langkah.
“Tidak disengaja,” lanjutnya. “Kemarin di EuropeSky Kemang. Setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan memberanikan diri untuk memperkenalkan diri padanya. Jujur, selama beberapa waktu belakangan ini, saya mengikuti Instagram-nya. Sempat beberapa kali berkomentar di sana. Sejauh ini, tanggapannya positif. Juga perkenalan kami kemarin. Nggak sempat ngobrol banyak karena sudah menjelang malam.”
Kelima sahabat itu terdiam.
“Jadi, sekarang terserah lu, dah!” nada suara Danny terdengar menyerah. “Asal lu tetep ingat, kami berlima akan selalu ada untuk jagain lu.”
Diam-diam Sisi merasa terharu. Kelima orang sahabat yang lebih layak disebut sebagai bodyguard-nya itu benar-benar menyayanginya tanpa syarat. Dan ia sangat-sangat-sangat menghargai hal itu.
“Mm... Gini aja, deh. Kalau kalian menilai dia emang baik buat gue, kalian atur aja pertemuan dia sama gue,” putusnya kemudian. “Kesan pertama kemarin, dia emang sopan, sih. Nggak celangapan gimana gitu. Selama ini di IG juga gitu. Sopan. Nggak lebay. Nggak annoying. Ya, terserah lu pada, deh.”
“Oke, deh, Si. ‘Tar gue omongin dulu sama geng. Intinya, kita semua mau yang terbaik buat lu. Ya, deh, lu bobok lagi, ‘gi!”
Sisi tersenyum sambil menyambut ajakan Danny untuk menyudahi pembicaraan itu. Ia meletakkan kembali ponselnya, kemudian mengambil posisi paling nyaman untuk kembali memejamkan mata. Tak butuh waktu lama, alam mimpi pelan-pelan menguasainya lagi.
* * *
Pertengahan malam sudah hampir menggelincir. Erlanda masih duduk di depan meja kerjanya di ruang baca. Keheningan menyelimuti udara di sekeliingnya. Tepat di hadapannya, laptop menyala dengan layar terbuka lebar.
Pernikahannya dengan Prisca akan berusia tepat tiga puluh tahun akhir bulan ini. Erlanda sedang menimbang-nimbang hadiah apa yang paling tepat untuk istri tercintanya itu. Prisca bukan type perempuan peminta-minta. Justru kesederhanaan dan penyerahan diri perempuan itu yang membuat Erlanda pada akhirnya berhasil menjatuhkan cintanya. Walaupun tak pernah ia bisa memungkiri bahwa cintanya pada Prisca masihlah belum penuh karena ia masih saja menyimpan cinta untuk seorang perempuan dari masa lalunya. Sedikiiit... Tapi tetaplah dikatakan ada.
Iseng, Erlanda membuka laman akun Instagram putra tunggalnya. Dari beberapa unggahan terakhir, tatapannya jatuh pada foto mereka bertiga – ia, Prisca, dan Sander – saat merayakan ulang tahun Prisca beberapa waktu lalu. Senyum terbit di bibir Erlanda manakala menatap binar yang seolah berloncatan keluar dari mata Prisca. Secara iseng pula, ia membaca satu demi satu ucapan selamat yang pernah mengalir masuk. Tapi entah kenapa, di antara sekian ratus ucapan itu, hanya satu ucapan yang membuat matanya tak bisa beralih. Ucapan terakhir yang sudah dibalas Sander.
xixi_adiatma Wah, mamanya ultah ya, Mas? Selamat ulang tahun... Maaf, ucapannya terlambat banget. Semoga selalu mendapat kelimpahan berkat...
sandermichael_prabandaru @xixi_adiatma makasih banyak... Semoga berkat Tuhan juga selalu melimpah atas Sisi...
Wajah boneka gadis ini...
Erlanda mendegut ludah.
Xixi?
Dikerjapkannya mata dengan resah.
Apakah benar dia...
Ia benar-benar tidak berani meneruskan pikirannya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
PO IV novel “Eternal Forseti” sudah dibuka kembali mulai hari Senin, 25 September 2017. Akan ditutup pada tanggal 10 Oktober 2017 pukul 23.59 (konfirmasi masuknya pembayaran). Silakan bagi para pengunjung FiksiLizz yang masih berkenan untuk memesannya. Caranya masih sama, silakan intip di SINI. Terima kasih banyak...
Mb Liiiiiisssss ......
BalasHapusEternal Forseti e sumpah ciamik soro !
Trus cerbunge iq mau aq isuk" isok ngakak gondrong pas tibo over dosis pantat ayam.
Brutu iku senenganku hareeeee
Good post mbak
BalasHapus