Senin, 21 Agustus 2017

[Cerbung] Infinity #17



Tujuh Belas


Luken menatap pantulan dirinya di cermin. Menegakkan badan. Berusaha menjadi Luken seperti biasanya. Luken yang optimis, tegar, ceria, dan bersemangat. Seandainya memang jawabannya tidak, ia ingin memastikan bahwa Olivia akan berada di tangan yang tepat.

Mungkin bule yang satu itu memang jodoh Livi.

Ia mengerjapkan mata. Mencoba menemukan kekuatannya kembali.

Setidaknya aku sudah separuh lega karena berani mengungkapkannya.

Ia kemudian menghampiri meja di sudut ruang tidurnya. Diraihnya sebuah tas kertas. Di dalamnya ada tiga bungkusan yang sama besar. Ia sudah menghafalkan warnanya, supaya tidak tertukar.

Tepat pukul sepuluh pagi, ia keluar dari kamar dan berpamitan kepada ART-nya. Dengan langkah tegak ia menuju ke garasi. Beberapa saat kemudian SUV-nya sudah meluncur keluar.

Apa pun yang akan terjadi, aku harus siap!

* * *

Lewat beberapa menit dari pukul sepuluh pagi, semua masakan sudah siap untuk dihidangkan. Minarti mulai membuat dan menghias tumpeng. Allen, yang sudah muncul sejak pukul setengah sembilan pagi, membantunya sambil bertanya ini-itu. Laki-laki itu bahkan mencicipi nasi kuning dan mengatakan bahwa makanan itu sangat enak. Olivia yang juga membantu Minarti dengan sabar menjelaskan, bahkan menerjemahkan falsafah tumpeng seperti yang diungkapkan Minarti. Setelah puas, barulah laki-laki itu bergabung dengan kaum lelaki.

Arlena, Navita, Carmela, Pingkan, Tisha, dan Muntik sibuk mondar-mandir menata meja makan yang sudah dipindahkan ke ruang tengah. Sedangkan Prima, Maxi, Luzar, Allen, dan Donner menata ulang kursi dan meja ruang tengah dengan memindahkan sofa teras belakang dan ruang baca ke sana. Beberapa menit sebelum pukul setengah sebelas, ponsel Olivia berbunyi. Ia kemudian menyisih sebentar untuk menerima telepon itu. Ternyata dari Gandhi. Mengabarkan bahwa ia sudah mengambil kue ulang tahun Arlena dan sekarang sudah berada dekat rumah.

“Kalau kelamaan di mobil, takut menteganya meleleh, Liv,” ucap Gandhi.

“Nanti Mas Gandhi masuk lewat garasi saja. Taruh di dekat rak peralatan, nanti aku yang urusin.”

Beberapa menit lewat dari pukul setengah sebelas, semua persiapan sudah sempurna. Prima yang sudah mendapat kode dari Olivia segera mendorong Arlena dengan lembut.

“Ayo, mandi lagi biar seger, Ma,” ucapnya. “Kita berkeringat begini.”

Arlena yang cukup memperhatikan penampilan segera menuruti ucapan sang suami. Kesempatan itu segera digunakan Olivia untuk menyembunyikan kue ulang tahun Arlena. Berdua dengan Navita, ia menyembunyikan kotak kue itu di tempat yang cukup aman dan jauh dari jangkauan pandangan Arlena. Setelah semua beres, yang merasa butuh menyegarkan diri pun segera mandi lagi. Allen pun tak ketinggalan. Maxi mengantarkan laki-laki itu ke kamarnya.

Beberapa menit kemudian laki-laki itu sudah muncul dalam kondisi segar. Ia mengenakan kaus berwarna biru langit cerah pemberian Olivia. Saat Allen hendak turun, Olivia keluar dari kamar. Mengenakan kaus dengan gambar dan tulisan putih yang sama dengan Allen, hanya saja warna kausnya pink tua. Keduanya tertawa sebelum turun.

* * *

Gandhi yang duduk di teras bersama Luzar melihat SUV Luken berhenti di depan pagar. Ia kemudian datang menghampiri. Luken membuka jendela kiri depan ketika dilihatnya Gandhi bicara sesuatu. Ia mencondongkan badan ke arah kiri sambil melepas kaca mata hitamnya.

“Ya, Mas Gandhi?”

Gandhi ternyata menyuruhnya memarkir mobil di carport karena masih ada cukup ruang. Luken pun menurutinya. Dan seperti yang sudah diduga Luken, mobil crossover berwarna biru itu ada di carport. Parkir tepat di sebelah mobil Olivia. Mobil Gandhi parkir di belakang mobil Olivia. Satu-satunya tempat yang kosong hanya di belakang mobil biru itu.

Jabat tangan Gandhi menyambut begitu Luken keluar dari mobil sambil menenteng sebuah tas kertas. Keduanya saling bertukar kabar dengan akrab. Senyum ceria Carmela yang sudah menunggu di teras juga menyambutnya. Meluruhkan sebagian rasa resah Luken. Disalaminya gadis itu, sekaligus tangan kirinya mengusap lembut kepala Carmela.

“Kamu raportan kemarin, ya?” senyum Luken merekah. “Bagus, nggak?”

“Bagus, dong!” Carmela tertawa ceria. Ia kemudian menoleh ke arah Luzar. “Kak, ini bapakku, yang sering aku ceritakan itu.”

Remaja laki-laki itu segera berdiri dan menyalami Luken dengan sopan.

“Memangnya sudah boleh pacaran?” goda Luken.

Carmela hanya nyengir.

“Calon dokter dia, Mas,” timpal Gandhi. “Masuk UI tanpa tes.”

“Oh, ya?” mata Luken melebar. “Hebat! Sudah semester berapa?”

“Baru mau masuk, kok, Pak,” jawab Luzar malu-malu.

Luken mengacungkan jempol. Ia kemudian menoleh ke arah Carmela.

“Ini kado buat Mama enaknya ditaruh di mana?” bisiknya.

“Oh, di sofa ruang tamu saja, Pak. Ditutupin cushion.”

Luken segera mengangguk setuju. Carmela kemudian mengajak ketiga laki-laki itu masuk. Semua yang ada di ruang tengah menyambut dengan hangat. Tapi Luken tidak melihat Olivia di antara mereka. Juga Prima dan Arlena.

Dan bule itu... Ngumpet di mana dia?

Luken mengulum senyum kecut.

“Bapak sama Tante sedang mandi lagi, Mas,” jelas Navita. Tersenyum. “Livi... Sebentar saya panggilkan. Tadi ada di dapur sama Ibu dan Allen.”

Luken mengangguk. Hooo... Jadi namanya Allen.

Yang pertama muncul bersama Navita adalah Minarti. Dengan takzim, Luken menyalami perempuan itu. Mereka kemudian berbincang. Luken dikenalkan pula pada Tisha, pacar Donner. Menurut Navita, Olivia masih membuat minuman.

Prima dan Arlena kemudian muncul. Luken menyalami keduanya, sekaligus menahan diri agar tidak mengucapkan selamat ulang tahun pada Arlena. Ia tak mau jadi pengacau di acara kejutan untuk Arlena.

“Sudah kumpul semua,” gumam Prima. “Mau acara apa dulu, ini?”

“Sebentar, aku panggil Mbak Livi dulu,” ucap Carmela.

“Aku bawain minumnya,” Maxi mengekor di belakang.

Di dapur, kue ulang tahun untuk Arlena sudah siap. Olivia memang sengaja menunggu kedua adiknya untuk membawa kue ulang tahun bersama-sama.

“Oke, siap?” Olivia menatap kedua adiknya.

Maxi dan Carmela mengangguk. Allen keluar lebih dulu sambil membawa nampan berisi gelas-gelas minuman. Agak jauh di belakangnya, ketiga putra-putri Prima dan Arlena mengikuti sambil menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun”.

Pada detik itu, Arlena ternganga. Luken juga ternganga, tapi karena hal lain. Laki-laki itu menatap Allen dan Olivia, beserta kaus couple yang dikenakan keduanya.

* * *

Setelah acara tiup lilin, berdoa, dan berbagi kue ulang tahun, mereka berkumpul di sekeliling sebuah tumpeng nasi kuning besar yang bertengger di atas sebuah meja yang diletakkan di ujung meja makan. Prima mengucapkan terima kasih kepada semua yang hadir, juga atas doa orang-orang tercinta yang membuat ia dipercaya untuk berada pada posisi yang sekarang. Olivia yang berdiri di sebelah kanan menyodorkan piring dan centong setelah Prima selesai bicara.

“Papa potong lurus di bagian daun pandan mencuat kecil itu, Pa,” bisik Olivia.

Prima mengangguk samar. Ia menuruti ucapan putrinya. Puncak tumpeng pun berpindah ke piring lebar itu. Sebuah potongan yang cukup besar. Laki-laki itu kemudian mengambil sedikit-sedikit semua jenis lauk dan meletakkannya di sekeliling puncak tumpeng. Dengan kedua tangannya, Prima menyerahkan piring itu pada Arlena.

“Ma, terima kasih sudah berada di sini, mendampingiku dan anak-anak,” ucap Prima lembut. “Sekali lagi, selamat ulang tahun. Semoga kebahagiaan selalu melingkupi keluarga kita karena kehadiran Mama.”

Sebuah kecupan lembut dan hangat kembali mampir di kening Arlena. Mata perempuan itu mengaca. Dan untuk menutupi rasa harunya, ia kemudian menyilakan semua yang hadir untuk mengambil makanan. Suasana meriah pecah di sekeliling mereka. Arlena menatap Prima.

“Motongnya gede banget?” ia tertawa. “Nyaris sepertiga tinggi tumpeng.”

“Kan, bisa buat berdua,” Prima mengedipkan sebelah mata.

Arlena tertawa sambil mulai membelah puncak tumpeng itu. Tapi sendoknya membentur sesuatu yang keras di bagian tengah. Dengan penasaran ia membongkar puncak tumpeng dan menemukan sebuah kotak kecil berwarna kombinasi emas dan hitam dengan hiasan pita berwarna emas.

“AAAH!” tanpa sadar ia memekik. “Apa ini???”

Seisi ruangan itu hening mendengar suara itu. Semua tatapan mengarah pada Arlena. Dengan tenang Prima mengulurkan tangan, mengambil kotak itu dan membukanya. Hati-hati, ditariknya seuntai kalung dari dalamnya.

“Aku belum bisa memberimu lebih,” bisik Prima, menatap Arlena dalam-dalam. “Hanya ini.”

Sebutir air mata menggelinding di pipi kiri Arlena. Bandul kalung itu sangat bagus. Sangat unik. Setelah meletakkan piring di meja terdekat, Arlena memeluk Prima. Tanpa bisa berkata-kata. Dengan gerakan halus, Prima memasangkan kalung itu di sekeliling leher Arlena. Diam-diam, satu per satu seisi ruangan itu kembali ke kesibukan masing-masing. Membiarkan Prima dan Arlena menikmati momen itu berdua.

“Mbak, kita kasih kadonya setelah makan saja, ya?” Carmela berbisik pada Olivia.

Gadis itu mengangguk.

* * *

Mereka mengobrol santai seusai makan. Wajah Prima tampak bahagia, dan wajah Arlena seolah diliputi cahaya. Ternyata kejutan itu masih ada lagi. Dari semua yang hadir di situ. Arlena dihujani bermacam kado, membuat kedua mata perempuan itu mengaca lagi.

“Kadonya dibuka, dong, Ma,” celetuk Prima. “Biar meriah.”

Semua bertepuk tangan berirama, mengiringi seruan, “Buka! Buka! Buka!”

Sambil tertawa Arlena mulai membuka kado pertama. Sepasang dompet kulit berwarna hitam yang sangat bagus, untuknya dan Prima, dari Minarti, Navita, dan Gandhi. Dengan penuh haru, Arlena mengucapkan terima kasih kepada ketiganya.

Berikutnya adalah sepasang kaus couple berwarna putih dari Carmela dan Luzar, dengan masing-masing ada cetakan wajah Arlena dan Prima. Kaus dengan gambar Arlena bertuliskan ‘The Best Mom in the World’, sedangkan yang bergambar Prima bertuliskan ‘The Best Dad in the World’. Arlena kembali tidak bisa berkata-kata. Hanya menatap Carmela dengan mata berlinang.

Berikutnya adalah hadiah yang memancing keributan dan tepuk tangan. Membuat tawa Arlena pecah karenanya. Satu set lingerie berwarna merah muda centil yang sangat sexy. Berasal dari Donner dan Tisha.

“Awas, kalian, ya!” Arlena menatap sepasang anak muda itu dengan gemas.

Arlena meraih kado berikutnya dengan bibir masih mengulum senyum. Isinya sebuah clutch cantik berwarna rose gold berbentuk persegi panjang yang sangat elegan. Arlena menatap Luken.

“Mas Luken, terima kasih banyak,” bisiknya. “Ini bagus sekali!”

“Sama-sama, Bu,” senyum Luken. “Semoga kebahagiaan selalu menyertai Ibu.”

Tapi Olivia mengerutkan kening. Itu bukan clutch yang kemarin dipilih Luken. Dan setahunya, clutch yang ada di tangan Arlena itu harganya hampir dua kali lipat harga clutch pilihan Luken. Dan Olivia hanya menyimpan keheranan itu dalam hati.

Kemudian ada bungkusan cantik berisi sepasang gaun dan kemeja lengan panjang batik sutra sarimbit berwarna cokelat sogan yang menyiratkan keanggunan dan keagungan klasik. Bibir Arlena membundar karenanya. Ditatapnya Allen dengan sorot mata penuh pendar.

Thank you so much, Allen,” ucapnya.

You’re welcome, Ma’am,” laki-laki itu membungkuk sedikit. Tersenyum.

Dari seberang, Luken sekilas menatap laki-laki itu. Kaus couple yang dikenakan Olivia dan Allen sudah menjelaskan semuanya. Dan seolah terasa menyindirnya dengan sangat telak. Samar, dihelanya napas panjang.

Kemeriahan itu terus berlanjut dengan dibukanya kado yang tersisa. Sebuah arloji cantik dari Maxi dan Pingkan. Dan terakhir dari Olivia. Sebuah hobo bag rajut yang sangat modis.

“Terima kasih semuanya,” ucap Arlena dengan suara tersendat dan mata kembali mengaca. “Terima kasih.”

Semua tersenyum dengan perasaan haru. Dan sejenak kemudian, ruangan itu kembali berdengung karena berbagai obrolan. Muntik mengeluarkan puding dan koktail buah dari dalam kulkas, yang segera diserbu oleh mereka. Pada saat itu, Luken mengulurkan sebuah bungkusan pada Mela.

“Raportmu bagus, kan?” senyumnya. “Ini hadiahnya.”

Dan gadis remaja itu terpekik ketika membuka hadiah dalam kotak yang dibungkus kertas pink mengkilap, yang diberikan oleh Luken padanya. Isinya sehelai jaket parka tipis berwarna merah marun yang sangat cantik. Wajahnya tampak gembira. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih pada Luken. Laki-laki itu menepuk lembut kepala Carmela.

Saat menikmati puding koktail buah itulah Luken berkesempatan untuk mengobrol sedikit dengan Allen. Tidak hanya berdua, tapi bertiga dengan Gandhi. Pada saat itulah Luken tahu, bahwa Allen adalah putra Victor Byrne, salah seorang kliennya. Bertemu dengan Olivia saat diajak Victor berkunjung ke Coffee Storage saat Luken sedang ke Eropa.

Di sudut lain, Prima mencolek bahu Olivia. Gadis itu menatap dengan sorot mata bertanya.

“Sudah?” tanya Prima.

Olivia segera tanggap. Pertanyaan ayahnya menjurus pada soal apakah ia sudah menjawab ‘lamaran’ Luken atau belum hari ini. Ia menggeleng.

“Emang enak di-PHP-in?” gerutunya kemudian.

Prima tertawa.

Semalam Olivia memang sudah bercerita padanya dan Arlena soal ‘lamaran’ Luken. Dan gadis itu sengaja memberi jawaban menggantung karena Luken juga sudah sekian lama menggantung nasibnya setelah laki-laki itu mengirimi pesan WA yang ‘menjurus’ beberapa minggu lalu.

Dan kaus couple yang dikenakan Olivia dan Allen sebenarnya adalah ‘kode keras’. Seharusnya Luken memahami. Tapi mungkin laki-laki itu hanya menunggu waktu yang tepat saja.

Pada saat itu tatapan Olivia dan Luken bertemu. Tanpa menunggu lama, laki-laki itu bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat. Ia kemudian membungkuk sedikit di depan Prima.

“Pak, permisi,” ucapnya sopan. “Saya ingin bicara dengan Livi, boleh?”

“Lho, silakan, Mas,” Prima tersenyum lebar. “Ada banyak tempat, kok, di rumah ini.”

“Di sini saja,” sergah Olivia.

Prima menggeleng pelan sambil menatap Olivia. Ada tatapan jahil melompat keluar dari sepasang mata Olivia.

“Aku mau ngomong soal kemarin,” tukas Luken halus.

“Ya, sudah, Bapak ngomong saja,” Olivia tertawa ringan. “Mumpung lagi ramai orang ini.”

Dengan jelas Luken menangkap sorot menantang dalam mata bening Olivia. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk memenuhi tantangan itu.

“Sebentar,” laki-laki itu kemudian menghilang ke ruang depan.

Arlena datang mendekat. Membawa semangkuk puding koktail yang diulurkannya pada Prima. Di belakangnya menyusul Minarti. Duduk di sofa dekat mereka.

“Capek banget, ya, Mbak Min?” Arlena mencondongkan tubuhnya ke arah Minarti.

“Ah, biasa saja,” Minarti dengan santai mengibaskan tangannya. Nadanya penuh ironi. “Tapi besok aku libur dagang.”

Keduanya kemudian terkikik geli. Saat Olivia hendak beranjak, Luken muncul dengan sebuah bungkusan kotak tipis berwarna emas dengan hiasan pita berwarna emas juga. Di hadapan Olivia, di depan Prima, Arlena, dan Minarti, Luken tiba-tiba saja berlutut sambil mengulurkan kotak itu dengan kedua tangannya pada Olivia. Melihat kejadian itu, sedikit demi sedikit ruangan itu menghening.

“Olivia Paloma Arbianto,” ucap Luken dengan suara yang terdengar begitu dalam, “maukah kamu menikah denganku? Menerimaku apa adanya dan menjadi pendamping seumur hidupku?”

Olivia sama sekali tak menyangka bahwa tantangannya akan dijawab Luken dengan cara seperti itu. Ia hanya bisa berdiri dengan kedua telapak tangan menutup mulutnya. Diam-diam, tangan Arlena meremas tangan Prima.

“Liv...,” mata Luken mengerjap. Dengan sabar menunggu jawaban.

Olivia menatap Luken dengan mata mengaca.

“Ya,” jawabnya, nyaris tanpa suara, tapi kepalanya mengangguk.

Seketika Luken merasa seluruh beban dalam hidupnya menguap. Sekelilingnya terasa dipenuhi oleh harumnya aroma vanila yang merupakan parfum kesukaan Olivia, dan pendar-pendar warna pelangi, juga keriuhan tepuk tangan dan sorak gembira.

“Ini untukmu,” ucap Luken sambil berdiri.

Sebelah tangannya meraih tangan Olivia, dan tangannya yang lain meletakkan kotak itu ke tangan gadis itu. Pelan-pelan Olivia menerima dan membukanya. Dan seketika ia ternganga.

“Aku tahu sejak semula perhatianmu kemarin sudah jatuh pada clutch itu,” gumam Luken. “Dan aku tahu seleramu. Itu untukmu.”

Olivia benar-benar tak tahu harus berkata apa. Tapi dari ekspresi wajahnya, jelas gadis itu sangat bahagia. Membuat Luken mau berbuat apa saja agar wajah Olivia tetap terlihat seperti itu selamanya. Seolah makin bercahaya karena efek cerah kaus yang dikenakan gadis itu. Kaus oblong berwarna pink tua dengan gambar mahkota dan tulisan putih ‘KEEP CALM! WE’RE JUST FRIENDS’, sama persis dengan yang tertera pada kaus Allen.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



3 komentar:

  1. eehhh, wis meh tamat. apiikkk mbak, cantik ceritane. koyok sing nulis.... he he he

    BalasHapus
  2. Lo es kape entek rek! Ayas ketinggalan pirang episod iki.

    BalasHapus
  3. akhir yang bahagiaa....ikut senang bacanya...

    BalasHapus