Senin, 07 Agustus 2017

[Cerbung] Infinity #13










* * *


Tiga Belas


Allen sempat ternganga ketika Olivia muncul menemuinya menjelang siang pada Sabtu keesokan harinya. Gadis yang biasanya berbusana cukup tertutup itu kini tampil begitu centil dengan gaun selutut one shoulder beraksen ruffles berwarna biru langit dengan bagian bawah melebar. Sekilas gaun itu tampak polos tanpa motif. Tapi bila diamati lebih lanjut, akan terlihat bahwa bahan gaun itu di-emboss motif ratusan kupu-kupu mungil. Tampak sangat manis.

Rias wajah yang ‘secukupnya’ menambah kesempurnaan itu. Rambutnya digelung tinggi sehingga memperlihatkan leher jenjangnya yang polos. Perhiasannya hanya sepasang anting mutiara berbentuk tetesan air yang ikut bergoyang genit ketika lehernya bergerak. Koleksinya sendiri, bukan milik Arlena. Penampilan itu disempurnakan dengan clutch bertali rantai pendek dan sepatu bertumit 10 cm bermodel T-Bar yang sewarna antingnya. Secara keseluruhan, penampilan Olivia saat ini terlihat sangat sexy tapi tetap elegan karena tidak berlebihan.

“Hai!” sapa Olivia dengan ceria. “Maaf, lama menunggu.”

Allen tersentak. Ia kemudian mengerjapkan mata dan tersenyum. Laki-laki itu sendiri tampak gagah terbalut kemeja batik lengan panjang berwarna biru. Alih-alih terlihat klasik, Allen justru terkesan modis karena kemejanya berpotongan slimfit, dipadu dengan pantalon berwarna biru gelap dan sepatu hitam. Terlihat cukup serasi dengan Olivia.

You’re so beautiful, Liv,” cetus Allen seraya kakinya mulai menekan pedal gas.

Olivia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Ia juga memuji penampilan Allen. Laki-laki itu tertawa ringan.

“Aku suka sekali batik,” ujarnya. “Ah, entahlah... Aku pasti tidak bisa melupakan negara ini. Juga seorang gadis cantik yang kelak terpaksa harus kutinggalkan, dan keluarganya yang begitu hangat dan menyenangkan.”

Olivia tercenung. Ada sesuatu yang tersirat dalam ucapan Allen.

Batas...

“Aku belum pernah punya keluarga saat harus tinggal di suatu negara asing,” gumam Allen. “Baru di sini. Dan kamu tahu, Liv, kalian sudah begitu mewarnai hidupku, walaupun kita belum lama bertemu dan berkenalan. Entah kenapa, aku merasa sepertinya kita ini teman lama."

Olivia tersenyum. Entah kenapa ucapan Allen justru membuatnya nyaman. Karena ia sudah mendapatkan hal itu di awal.

Batas.

Jadi ia tahu harus bagaimana ‘menikmati’ hubungannya dengan Allen. Setinggi apa ia harus melambungkan harapan.

Kalau bisa lebih, anggaplah itu sebagai bonus. Kalaupun tidak, apa salahnya berteman baik?

“Kamu sudah mencampakkan berapa laki-laki, Liv?”

Celetukan bernada canda itu membuat Olivia menoleh cepat. “Hah?”

Allen tertawa lebar. “Gadis secantik kamu, mustahil kalau tidak ada yang tertarik.”

“Hm...,” Olivia kembali mengarahkan tatapannya ke depan. “SMP, ada pada level saling tertarik. Baru bisa dekat saat SMA, justru setelah berpisah sekolah. Dia masuk kolese yang semua muridnya laki-laki, dan aku masuk SMA yang semua muridnya perempuan. Tapi kami terpaksa kembali berpisah saat masuk kuliah. Dia melanjutkan studi ke Jepang dan sampai sekarang masih berada di sana, karena ditarik untuk menjadi peneliti di kampusnya.”

“Oh...”

“Beberapa waktu lalu sempat dekat dengan seorang laki-laki. Tapi gagal. Dia tidak sedewasa usianya. Mungkin juga sudah tidak merasa nyaman lagi denganku,” Olivia mengangkat bahu.

Allen tersenyum. Laki-laki itu kemudian membelokkan mobilnya ke area parkir gedung tempat resepsi diadakan. Ketika Allen menggandeng tangannya saat melintasi area parkir, pikiran Olivia mendadak saja meloncat pada Luken.

Gandengan tangan seperti ini...

Entah kenapa bisa sejauh itu pikirannya melantur.

Yang menjadi teman Allen adalah mempelai laki-laki. Orang Indonesia asli. Saat bersalaman, ada tatapan menggoda yang jatuh pada Allen dan Olivia. Allen tertawa lebar menerima tatapan itu.

Just friends,” ucap Olivia, tersenyum.

“Untuk sementara,” sambar Edo, sang mempelai. Sarat nada menggoda.

Nooo...,” Allen tergelak.

Selesai bersalaman, sebelum mengambil makanan, Allen menggandeng Olivia ke sebuah sudut. Ia memperkenalkan gadis itu pada sekumpulan kawan-kawannya. Setelah mengobrol asyik selama beberapa waktu lamanya, kelompok itu membubarkan diri untuk menyerbu meja hidangan yang sudah agak sepi orang.

Pada saat itulah Olivia merasa ada yang mencolek bahunya. Ia menoleh dan seketika tertegun. Sandra tengah menatapnya dengan senyum terkulum di bibir.

* * *

Mendapati Olivia duduk mencangkung di atas sofa teras belakang sambil melamun, Prima mendekatinya. Kedua tangan Olivia menangkupkan sebuah novel yang terbuka di depan dada. Angin sore menggoyangkan ujung-ujung rambut gadis itu. Dengan halus disentuhnya bahu sang putri. Olivia tersentak sedikit dan menoleh. Prima duduk di sebelahnya.

“Kok, melamun?” laki-laki itu menegur dengan nada sangat lembut. “Ada apa?”

Olivia menghela napas panjang. Pelan-pelan ia menurunkan kaki dari atas sofa dan meletakkan novel di atas pangkuan. Sebelah tangan Prima segera merengkuhnya. Olivia merebahkan kepala ke arah dada sang ayah.

“Tadi ketemu Bu Sandra,” gumam Olivia.

“Hm... Di mana?”

“Di resepsi. Pengantin ceweknya itu keponakan Bu Sandra. Anak kakaknya. Yang cowok teman Allen.”

“Terus?”

“Nggak tahulah,” Olivia mengangkat bahu. “Tapi, kok, aku merasa kayak backstreet gitu, sih, kalau lagi jalan sama Allen? Padahal, kan, apa salahnya, coba? Aku dan dia sama-sama free.”

Prima masih diam. Tapi ketika tidak melihat tanda-tanda Olivia akan melanjutkan ucapannya, laki-laki itu pun buka suara.

“Papa pikir, kamu sendiri sebenarnya sudah tahu jawabannya,” ujarnya dengan nada arif.

Olivia tercenung sejenak sebelum mengangguk dengan berat. Ia enggan hubungannya dengan seorang laki-laki kali ini di ketahui oleh orang-orang sekantor, terutama...

Pak Luken.

Gadis itu terhenyak.

Kenapa tahu-tahu pikiranku jatuh pada dia lagi?

“Kamu ada acara sore ini?”

Olivia tersentak lagi. Ia kemudian menggeleng. Allen tadi sudah mengatakan terus terang bahwa sore ini ada acara di Kedutaan Besar Kanada. Sebetulnya laki-laki itu mengajaknya ikut serta, tapi Olivia memutuskan untuk menolak dengan halus. Allen berhak untuk menikmati acara sendiri bersama komunitasnya.

Prima mengangkat lengannya dari belakang bahu gadis sulungnya. Ditepuknya dengan lembut punggung tangan Olivia.

“Keluar, yuk! Kencan sama Papa.”

Olivia menoleh cepat. Mendapati Prima tersenyum lebar ke arahnya. Seketika gadis itu menegakkan punggung.

“Ayo!” serunya bersemangat.

Prima tertawa melihat kerlip muncul dan berlompatan keluar dari mata gadis sulung kesayangannya itu. Keduanya kemudian beriringan ke atas untuk berganti baju di kamar masing-masing.

Rumah sedang sepi. Hanya tinggal mereka berdua. Muntik sudah pulang lebih awal. Arlena diundang ke sebuah arisan sosialita. Kesempatan untuk menjalankan bisnisnya. Prima sama sekali tidak keberatan dengan aktivitas sang istri. Carmela sudah sejak pukul tiga menjelang sore tadi dijemput Luzar. Sudah mendapat lampu hijau dari Prima dan Arlena untuk menonton bioskop. Maxi keluar berempat dengan Donner, Pingkan, dan Tisha. Double date.

Begitu selesai berdandan yang tidak sampai menghabiskan waktu sepuluh menit, Olivia keluar dari kamarnya. Ia tampak segar dengan wajah dipulas bedak tipis dan bibir dioles pelembab bibir bernuansa merah bata. Rambutnya diikat ekor kuda tinggi. Tubuh rampingnya dibalut kaus oblong putih bergambar humor khas Bali dan celana jeans selutut. Kakinya dialasi sandal jepit flat yang cantik berwarna jingga kecoklatan. Ada sling bag sewarna dengan sandal jepitnya menyilang di bagian atas tubuh. Terlihat sangat santai. Serasi dengan penampilan awet muda Prima yang sore ini mengenakan celana bermuda jeans dan kaus oblong hitam lengan pendek dengan tulisan putih yang terlihat cukup jelas. ‘BEWARE, BOYS! I’M HER DAD!’

Olivia terbahak membaca tulisan di bagian dada dan punggung kaus Prima. Laki-laki itu meringis lucu.

“Papa punya berapa, sih, kaus lucu-lucu gini?” Olivia menggelengkan kepala dengan wajah terlihat geli.

“Oh, banyak!” Prima menyombong. “Jangan khawatir!”

Olivia terbahak lagi sambil mereka berjalan bersama ke garasi. Gadis itu kemudian membuka lebar-lebar pintu garasi dan pagar, sementara Prima mengeluarkan mobilnya. Maxi tadi pergi bersama Donner memakai mobil Olivia. Olivia kemudian mengunci garasi yang berisi motor Maxi dan Donner, tapi tidak menggembok pintu pagar. Supaya kalau Carmela pulang duluan, gadis remaja itu masih bisa masuk dan menunggu di teras.

* * *

Tas kain kanvas trendi yang selalu dibawa Olivia bila bepergian dalam bentuk lipatan kecil rapi itu kini ditenteng Prima. Isinya terlihat cukup mantap, yaitu hampir selusin buku yang keduanya beli setelah puas mengaduk-aduk sebuah toko buku ternama di Grand Indonesia. Setelah puas berbelanja buku, Prima menarik siku Olivia untuk turun ke upper ground, masuk ke sebuah toko perhiasan.

Olivia menatap Prima dengan mata berbinar ketika laki-laki itu membisikkan maksudnya. Prima meminta Olivia memilihkan seuntai kalung emas untuk hadiah ulang tahun Arlena Sabtu depan. Segera saja gadis itu sibuk mencari seuntai kalung yang elegan tapi tidak terlalu menyolok agar bisa dikenakan sehari-hari oleh Arlena.

Sementara Olivia tenggelam dalam keasyikannya, Prima menepikan diri ke bagian lain. Iseng ia melihat-lihat. Tepat di depan kotak etalase giwang dan anting. Ada dua pasang penghias telinga yang menarik perhatiannya. Sepasang giwang emas kuning memanjang berbentuk bunga rerumputan melengkung yang sangat cantik, cocok untuk Olivia. Dan sepasang anting emas putih sederhana dengan sangkar bulat mungil berisi masing-masing dua butir kristal yang berkilau memantulkan sinar lampu, cocok untuk Carmela.

“Ini matanya kristal atau kaca?” tanya Prima sambil menunjuk anting pilihannya.

“Asli kristal Swarovski, Pak.”

“Oh... Oke, saya ambil ini,” ucapnya, menatap perempuan muda yang melayaninya, “dan giwang yang itu,” ia menunjuk giwang panjang bunga rumput.

“Mau pakai kotak, Pak?”

“Boleh. Yang simpel saja.”

Pramuniaga itu kemudian mengambil beberapa kotak mungil terbuat dari kertas daur ulang tebal. Prima memilih yang berlainan warna. Giwang dimasukkan ke dalam kotak putih, dan anting ke kotak pink.

“Sekalian sama kalung nanti, Mbak. Biar dia--,” tatapan Prima mengarah ke Olivia, “--pilih-pilih dulu.”

Rupanya Olivia sudah selesai memilih. Seuntai kalung rantai emas kuning dengan bandul berbentuk rangka kubus mungil berisi sebutir kristal yang cukup besar untuk memenuhi bagian dalam kubus itu. Terlihat sangat unik. Ia kemudian mengangkat wajah. Mencari Prima yang ternyata tak jauh darinya.

“Pa...,” panggilnya lirih.

“Ya?” Prima datang menghampiri. “Sudah?”

“Ini--,” Olivia menunjuk kalung yang masih berada di dalam kotak etalase, “--bagus, nggak?”

“Oh, iya, bagus,” Prima mengangguk dengan antusias. “Unik. Mama pasti suka.”

Olivia menoleh ke arah pramuniaga yang sedari tadi menungguinya memilih dengan sabar. “Mbak, yang itu, coba lihat.”

Ketika kalung itu dikeluarkan dari kotak etalase, Olivia mengamatinya lagi. Kristal dalam kubus mungil itu tampak gemerlap. Ia menatap pramuniaga.

“Kristalnya Swarovski, bukan?” tanyanya.

“Asli, Mbak,” perempuan itu mengangguk. “Kalau yang kristalnya KW, ada di sebelah sana,” ia menunjuk ke satu arah. “Tapi yang bentuknya seperti ini nggak ada KW-nya. Dan cuma satu ini.”

Olivia menoleh, menatap Prima. Laki-laki itu mengangguk.

“Mau kotaknya sekalian?” tanya pramuniaga.

“Boleh...,” jawab Prima.

Sejenak kemudian Olivia sudah memilih sebuah kotak kalung kecil berwarna kombinasi emas dan hitam, dihiasi pita berwarna emas. Terlihat sangat elegan. Kotak itu ternyata diberikan secara gratis.

Sementara menunggu Prima menyelesaikan pembayaran, Olivia bergeser ke arah kotak etalase lain. Matanya langsung ‘hijau’ melihat deretan anting dan giwang cantik di sana.

Bulan depan kayaknya bisa...

“Ayo, Liv.”

Olivia beranjak.

“Atau kamu masih mau memilih?” Prima menatapnya dengan sabar.

Olivia buru-buru menggeleng sambil menghampiri ayahnya. Prima sudah memasukkan tas kertas dari toko perhiasan itu dengan rapi ke dalam tas kanvas yang ditentengnya. Dijepit di antara buku-buku. Keduanya kemudian melangkah keluar dari toko perhiasan itu.

Sambil berjalan, keduanya berunding, hendak makan di mana. Akhirnya keduanya sepakat untuk makan di sebuah resto di lantai tiga.

* * *

“Bagaimanapun perempuan itu butuh kepastian, Luk,” ucap Lyra lirih.

Mereka hanya berdua saja di rumah. Yus sedang rapat RT di balai warga. James memutuskan untuk ikut abang iparnya itu.

“Aku sudah pernah menuliskan pesan padanya, Ma,” desah Luken. “Dan dia nggak merespons.”

“Setelah mengirim pesan itu, lantas kamu bilang apa padanya?”

Luken menggeleng. “Aku lagi di Eropa. Begitu pulang dihantam kesibukan luar biasa. Dan... sepertinya aku sudah terlambat.”

Lyra menggeleng dengan wajah menyesal.

“Menurut Mama, terlambat atau tidak, kamu perlu menyatakannya,” ucap Lyra lagi.

“Dengan risiko kehilangan dia?” Luken mengangkat wajah.

“Tidak menyatakannya pun ada risiko kehilangan dia,” tukas Lyra. “Tapi dengan menyatakannya, setidaknya hatimu lega. Siapa tahu dia memang benar jodohmu. Kalaupun bukan, setidaknya ada kejelasan. Tidak menumpuk sakit hati hanya karena menduga-duga.”

Luken tertunduk. Tercenung. Ia sadar betul ucapan ibunya adalah benar adanya. Ia mengangkat lagi wajahnya.

“Jadi umur tidak masalah?”

“Memangnya pernah jadi masalah?” sergah Lyra dengan nada galak. “Mungkin benar bagimu dia masih anak-anak. Tapi kamu sudah menyaksikan sendiri kekuatan dan kedewasaannya saat dihantam badai kemarin. Umur nggak ada relevansinya di sini!”

Luken mati kutu. Segala penyangkalannya berhasil dimentahkan kembali oleh sang ibu dengan sangat mudah.

Barangkali memang benar aku harus bicara.

Luken menghela napas panjang.

Soal akan dapat bonus atau akan hancur, hasil itu baru aku akan tahu setelah bicara.

Dan ia mulai mengumpulkan tekad dan keberanian itu.

* * *

Melihat cahaya dalam wajah putri sulungnya, sebenarnya Prima tidak tega untuk membahas lagi hal yang membuat Olivia termenung. Ia menimbang-nimbang sejenak.

Bukankah tujuanku mengajaknya keluar adalah untuk membahas itu?

Maka ia pun mengambil keputusan. Mumpung mereka berada dalam suasana santai. Hanya berdua menikmati makan malam yang memanjakan mata, lidah, dan perut itu.

“Liv,” ucap Prima dengan sangat halus, “kembali ke masalah tadi, yang membuatmu melamun sebelum Papa ajak ke sini, masih ada ganjalankah?”

Olivia mengerucutkan bibir. Menatap sang ayah. Sebuah ekspresi yang membuat Prima sungguh merasa gemas.

“Coba, deh, kalau Papa jadi Pak Luken, maksudnya apa coba?” gerutu Olivia.

“Sudah jelas,” senyum Prima, “jatuh hati sama kamu.”

“Tapi kenapa nggak ngomong langsung saja, coba?” Olivia masih cemberut.

“Mungkin dia banyak pertimbangan, Liv,” jawab Prima. Sangat sabar. “Nggak mudah bagi laki-laki yang pernah mengalami kehilangan untuk mulai lagi sesuatu yang baru. Kelihatannya saja di depan dia tegar, tapi jangan dikira laki-laki itu nggak punya perasaan. Kalau sudah telanjur cinta, susah move on-nya.”

“Terus aku harus bagaimana?”

“Sebentar...,” Prima mengerutkan kening. “Soal kamu dan Allen, dia sudah tahu?”

“Ng...,” wajah Olivia meragu. “Kemarin waktu pulang kerja, sih, kayaknya dia tahu. Terus... Kamis kemarin, pas aku tengok teman sekantor yang baru lahiran, suami temanku kelepasan ngomong soal bule-bule gitu. Pak Luken dengar. Kan, nengoknya bareng sama dia. Terus... Nggak ada terusannya lagi.”

Prima manggut-manggut.

“Dan kamu sama Allen itu?” Prima menatap putrinya. Dalam.

“Cuma teman, Papa...,” jawab Olivia dengan nada sabar. “Dia sudah ngomong banyak. Dia paham seperti apa pola hubungan Papa sama aku. Persis seperti hubungan ayah dengan adik bungsunya. Dan seorang ayah itu adalah cinta pertama buat seorang anak perempuan. Menurutnya, wajar kalau aku nanti cari suami yang seperti Papa. Dan mungkin dia merasa nggak akan bisa kayak gitu. Waktu berangkat resepsi tadi, dia secara tersirat sudah bilang kalau suatu saat pasti akan meninggalkanku untuk pulang ke negaranya atau ditempatkan di negara lain. Waktu pulangnya dari resepsi, dia tegaskan lagi, dia nggak mau mencabutku dari akar keluarga seindah keluarga kita. Karena dia sudah merasakan gimana sakitnya kehilangan anggota keluarga. Kehilangan ibu.”

“Intinya, dia nggak mau lebih dari sekadar teman?”

Olivia mengangguk.

“Dan perasaanmu sendiri tentang itu? Sedih? Patah hati?”

Seketika Olivia menggeleng.

“Enggak, Pa,” jawabnya tegas. “Aku justru merasa lega karena sudah mengetahui batas hubunganku dengan Allen. Ya, pada awalnya aku terpesona pada matanya. Sangat menawan. Menjalin relasi dengannya juga sangat menyenangkan. Dia laki-laki yang baik. Dan dia...,“ Olivia mengerjapkan mata, ”punya kehidupan pribadi yang cukup mengejutkan buatku.” Gadis itu tertunduk. “Suatu saat dia harus kembali pada kehidupan itu. Anak perempuannya, Pa,” ia mengangkat wajah kembali. “Baru berumur empat bulan ketika dia harus bertugas di sini. Mereka, dia dan ibu anak itu, sepertinya akan menikah pada saat yang tepat nanti. Entah kapan, dia belum tahu. Karena itu dia menetapkan batas. Dan aku sangat menghargai itu. We’re just friends. Mungkin bisa jadi keluarga tanpa membuat hubungan pertemanan ini jadi lebih. Aku justru lebih menikmati relasi yang seperti ini. Lebih enteng buatku.”

Prima menatap Olivia. Lama. Dengan berbagai rasa berkecamuk dalam hatinya. Tapi satu hal yang ia makin tahu.

Olivia kesayangannya memang sudah benar-benar dewasa.

Ketika mereka mengakhiri acara kencan itu dan sudah duduk di mobil, Prima meraba ke dalam tas kanvas yang diletakkannya di belakang sandaran jok Olivia. Ditariknya dua buah kotak mungil dari dalam tas kertas toko perhiasan yang tadi mereka kunjungi.

“Ini buatmu,” ujar Prima, menyodorkan kotak berwarna putih pada Olivia. “Semoga bisa memulihkan sedikiiit perasaan tidak enak dalam hatimu.”

“Apa ini, Pa?” Olivia menoleh cepat. Diterimanya kotak itu.

“Bukalah,” senyum Prima.

Pelan-pelan Olivia membuka kotak itu. Ketika melihat apa isinya, ia begitu tercengang hingga mulutnya ternganga. Sebuah giwang panjang dengan bentuk bunga rumput yang sangat manis.

“Ini...,” Olivia kesulitan untuk merangkai kata, “... dari toko yang tadi?”

Prima mengangguk sambil menyalakan mesin mobil. Sejenak kemudian ia mengulurkan kotak mungil lain berwarna pink, yang diterima Olivia dengan wajah ragu-ragu.

“Ini buat Mela,” ujarnya. “Tapi bilang saja kamu yang belikan. Supaya soal kado ultah itu nggak terbongkar.”

Olivia membuka kotak itu. Ia kemudian terpekik tertahan.

“Pa!” serunya nyaris histeris. “Papa tahu, nggak? Tempo hari waktu aku ajak Mela jalan ke toko emas, betulin rantai kalungku yang putus, Mela sudah lirik-lirik anting model ini. Dia nggak minta, sih, tapi aku janjikan bulan depan aku belikan. Oh, Pa... Dia pasti senang banget! Apalagi ini lebih bagus daripada yang waktu itu. Dan giwang yang Papa pilihkan untukku... Aaah... Aku suka sekali! Aku suka!”

Prima tersenyum lebar. Menutupi rasa harunya atas reaksi sang putri. Sedetik kemudian sebuah pelukan ia dapatkan. Ia membalasnya. Begitu hangat.

“Terima kasih, Pa. Terima kasih,” bisik Olivia.

Prima membalasnya dengan sebuah kecupan lembut di puncak kepala Olivia.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



2 komentar:

  1. Eala Allen wis punyak baby ta?
    Tapi aq tetep lope" kambek pa Prima qiqiqiqiqiq
    Lanjut mb Liiiiis .......

    BalasHapus