* * *
Epilog
Bunyi dan getar lembut alarm ponsel membuat Olivia terjaga. Sambil mengerjapkan mata ia meraba ke samping dan mendapati area sebelahnya kosong. Ia segera meloncat bangun dan berjalan setengah terhuyung menuju ke kamar sebelah melalui pintu tembusan yang tak pernah tertutup.
Ia menguap, tapi gerakan mulut itu tertahan ketika melihat Luken sudah duduk di kursi goyang sambil memdekap dan membuai Aurora. Ia berdiri diam menikmati pemandangan indah itu. Luken belum menyadari kehadirannya. Laki-laki itu tengah menunduk, berbicara dengan suara lembutnya, yang sesekali disahuti oleh ocehan Aurora.
“Rora haus? Lapar?”
“Ew...”
“Sebentar lagi Mama bangun, Nak.”
“Ho... ew...”
“Rora nanti mimik susu yang banyak, ya, sayang...”
“Ew... ew... ho... ew...”
“Hm... Anak kesayangan Papa...,” Luken mencium pipi bulat bayi perempuan berumur menjelang empat bulan itu.
Olivia mengerjapkan matanya yang mengabut dan terasa hangat. Ia tak jarang melihat kejadian yang sama. Luken bangun selewat tengah malam untuk menemani Aurora yang terjaga menunggu waktu untuk menyusu. Tapi tetap saja keharuan menyelinap masuk ke dalam hati tanpa bisa dicegah. Mengingat untuk apa ia memasang alarm dan harus bangun, Olivia kemudian berjalan mendekat.
“Owh... Mama keduluan Papa,” bisiknya.
Luken mengangkat wajah. Tersenyum.
“Tadi sudah kuganti diaper-nya,” ia menggumam.
Olivia mengangguk. Luken kemudian menunduk lagi. Menatap mata bulat bening bayi kesayangannya yang kini sudah mulai memasukkan jemari tangan ke dalam mulut. Tanda bahwa rasa haus dan laparnya sudah maksimal.
“Nih, Mama sudah bangun. Mimik sekarang, yuk... Yuuuk...”
Ia kemudian berdiri dan membiarkan Olivia mengambil alih kursi goyang. Setelah Olivia duduk, barulah ia menyerahkan Aurora untuk disusui. Dengan cekatan ia kemudian mengambil sebuah bantal untuk menyangga tangan Olivia, agar posisinya lebih nyaman.
Beberapa saat kemudian Aurora sudah menyusu dengan lahap dalam dekapan Olivia. Sesekali tangan Aurora meraih-raih wajah sang ibu. Olivia menyambutnya dengan senyum dan menggenggam telapak tangan mungil itu dengan sebelah tangannya yang bebas. Menciuminya dengan penuh rasa sayang. Ia kemudian bersenandung lembut. Membuat Aurora mengulas senyum di tengah-tengah kesibukan menyusu.
Luken menunggui keduanya dengan sabar. Ia duduk di sebuah ottoman di sebelah kursi goyang. Ditatapnya Olivia dengan wajah bercahaya.
Pernikahannya dengan Olivia adalah hal terindah yang pernah diperolehnya seumur hidup. Dilaksanakan tepat pada hari ulang tahun ke-40-nya. Tapi ternyata ada hadiah lain yang tak kalah indah. Diperolehnya menjelang fajar tepat setahun kemudian. Sehingga ia berbagi ulang tahun yang sama dengan bayi cantiknya, Aurora Luvia Aldrin.
Kehidupannya lengkaplah sudah. Tak masalah harus mencapainya pada usia yang kelewat matang.
Semua akan indah pada waktunya.
Luken tersenyum simpul ketika cahaya redup lampu kamar Aurora memantulkan kilau indah berlian dua karat yang bertahta pada sebentuk cincin yang melingkar pada jari manis kiri Olivia.
* * *
Olivia menghempaskan tubuhnya di sebelah Prima begitu Luken pulang menjelang pukul enam petang, hampir bersamaan dengan Luzar. Acara syukuran mereka hari ini cukup menguras tenaga juga. Hanya ada ia, Prima, dan Arlena di ruang tengah itu. Maxi masih di atas, sementara Carmela baru saja naik untuk mandi. Arlena membereskan hadiah-hadiah yang tadi diperolehnya. Ketika sampai pada hadiah dari Donner dan Tisha, Arlena tertawa. Prima tersenyum lebar melihatnya.
“Anak-anak itu...,” gumam Arlena.
“Kocak dan kreatif,” sambung Prima.
Arlena tertawa lagi. Tapi ketika ia menatap kado dari Luken, ia sedikit tercenung. Hadiah yang cukup mahal. Prima seakan mengerti apa yang dipikirkan Arlena. Ditepuknya punggung tangan Arlena dengan sangat lembut.
“Hadiah yang pantas untuk calon mama mertua,” bisik Prima.
Arlena tersenyum simpul. Ia kemudian menatap Olivia.
“Ini belinya sama kamu?” tanyanya.
Olivia menggeleng. “Yang itu enggak. Aku nggak tahu. Ceritanya, memang kemarin itu setelah meeting aku diajak dia untuk beli kado buat Mama. Dia minta dipilihkan clutch. Itu pun dia nggak tahu namanya,” gadis itu tersenyum lebar. “Nah, pertama kali aku lihat ada clutch cakep banget. Tapi aku ragu sama harganya. Nggak enak, kan, kalau aku pilih barang yang mahal buat Mama sementara dia yang bayarin. Akhirnya aku pilih-pilih yang lain. Dia kayaknya nggak puas. Semua mentah lagi. Ditolak. Makanya dia pilih sendiri, langsung dibayar. Nah, itu clutch yang ini,” diraihnya sebuah kotak di atas coffee table. “Malah dikasih ke aku. Yang clutch buat Mama, aku nggak tahu ceritanya. Kayaknya dia cari lagi.”
Arlena manggut-manggut sambil meraih kotak di tangan Olivia. Dibukanya kotak itu. Sebuah clutch cantik bermodel seperti amplop berwarna cokelat agak gelap dengan aksen hitam dan emas. Tampak sangat unik dan elegan. Diambilnya clutch itu dari dalam kotak. Tapi seketika gerakannya terhenti.
“Liv...,” gumamnya.
“Ya?” Olivia, yang ikut sibuk membantu Arlena membereskan kado-kadonya, menoleh.
“Ini...,” telunjuk Arlena mengarah pada kotak clutch Olivia di pangkuannya.
Olivia mengerutkan kening sambil melongok ke arah yang ditunjuk ibunya. Ada sebuah kotak mungil tipis berwarna emas menempel pada dasar kotak. Sedari tadi ia memang tak melihatnya karena membiarkan clutch tetap di dalam kotaknya. Arlena mengulurkan kotak clutch padanya. Olivia kemudian membuka kotak mungil yang menempel itu.
Seketika ia terbelalak. Ternganga tanpa suara.
Ditemukannya sebentuk cincin emas putih berhiaskan permata solitaire yang cukup besar. Dari kilau yang dipantulkan permata itu, Arlena mengenalinya sebagai berlian. Dan melihat besarnya, ia tahu bahwa setidaknya berlian itu berukuran dua karat.
Sekitar satu jam kemudian, barulah Olivia bisa menguasai perasaannya dan menghubungi Luken.
“Ya, Liv?” terdengar sahutan dengan nada lembut dari seberang sana.
“Pak...,” bisik Olivia. “Terima kasih banyak atas cincinnya.”
“Oh? Kamu sudah menemukannya?” sepertinya ada senyum dalam suara Luken.
“Kenapa tidak bilang dari tadi?”
Luken tertawa lembut. “Kan, lebih berkesan kalau kamu berhasil menemukannya sendiri.”
“Iya, sih...,” Olivia tersenyum simpul.
“Eh, Liv, aku tadi lupa bilang. Besok kita lihat rumah kosong di dekat rumahmu itu, ya?”
“Oh? Yang selang satu di sebelah kiri atau yang di dekat ujung jalan?”
“Dua-duanya. Nanti baru diputuskan mana yang lebih kamu suka buat kita.”
“Buat kita?” Olivia ternganga lagi.
“Iya. Supaya kamu tetap dekat mama-papamu.”
"Lantas, rumah Bapak?"
"Nanti biar ditempati Om James. Dan kita akan memulai sesuatu yang benar-benar baru bersama-sama."
"Lantas, rumah Bapak?"
"Nanti biar ditempati Om James. Dan kita akan memulai sesuatu yang benar-benar baru bersama-sama."
Olivia terkesima. Adakah yang lebih indah daripada cinta Luken padanya?
Hm... Ya, ada! Cinta Papa...
Tapi ia pun menemukan cinta seperti milik ayahnya dalam diri Luken.
* * *
Aurora sudah terlelap. Kenyang setelah puas menyusu. Hati-hati Luken mengambilalihnya dari dekapan Olivia. Dengan sangat lembut dibaringkan dan diselimutinya bayi menggemaskan itu di baby box. Dikecupnya kening Aurora penuh cinta sebelum menaikan railings dan memastikannya sudah terkunci dengan baik.
Olivia beranjak dari kursi goyang sambil membenahi kancing daster. Matanya mengerjap.
... Cinta yang tak terhingga banyaknya.
Luken meraih bahunya, mematikan lampu kamar Aurora, kemudian membimbingnya kembali ke kamar mereka.
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
Cerbung baru berjudul "Rahasia Enam Hati" akan mulai tayang pada hari Senin, 4 September 2017.
Silakan mampir juga ke cerpen terbaru ini : Proposal
Silakan mampir juga ke cerpen terbaru ini : Proposal
Bagi yang masih berkeinginan untuk memesan Novel "Eternal Forseti", PO kedua melalui saya masih terbuka hingga 31 Agustus 2017. Silakan mampir ke SINI untuk mengetahui info selengkapnya. Pemesanan langsung ke Penerbit JP maupun Mbak Sri Subekti Astadi dari FC masih tetap dibuka. Silakan memilih cara mana yang paling baik. Sekali lagi, terima kasih... 😘
Aaaawwwwww endinge so sweet mb Liiiiis !
BalasHapusAq sukak aq sukak aq sukaaaaak ......
Gasabar ngenteni cerbung berikute.
yah, kawinannya mana.... kok langsung punya bayi. ngarep sih, tp tetep cantik endingnya. suwun mbak....
BalasHapusLike like like banget, mbak... Akhirnya livi dpt kebahagiaan yg lebih lebih n lebih...
BalasHapusSuwun buk lizz....
Lanjut cerbung berikutnya... Hahah
Good post mbak
BalasHapusmbak...kok pakai matiin lampu...itu kenapa Mbak....
BalasHapuskeren banget endingnya....