Kamis, 29 Juni 2017

[Cerbung] Infinity #2










* * *


Dua


Tanpa suara, Olivia menapaki anak tangga menuju ke lantai dua untuk kembali ke balik mejanya. Semua persiapan untuk meeting dengan klien dari Kanada sudah sempurna. Begitu ia duduk kembali, dijangkaunya gagang telepon. Ia menghubungi sederet nomor untuk konfirmasi ulang reservasi di restoran sebelah kantor. Beres. Ia menatap berkeliling.

Suasana kantor selama seminggu ini terasa berbeda. Antara ada Luken dan Sandra dengan tidak, suasananya sungguh lain. Olivia sedikit kesepian. Bukan karena James bukanlah boss yang baik. James sama baiknya seperti Luken. Laki-laki itu juga dengan hangat mengajaknya mengobrol saat pekerjaan mereka sedang senggang. Bahkan selama kantor dipegang James, Olivia merasa kerjanya lebih santai walaupun harus merangkap tugas Sandra.

Tapi, ya, tetap saja terasa lain.

Ketika ia berpikir lagi tentang hal itu di sela senggang pekerjaannya, diam-diam ada sebersit kerinduan menyelinap begitu saja ke dalam hati. Kerinduan pada seorang Luken. Apalagi...

Soal pesan itu... Aku belum menjawabnya. Hanya sepotong ucapan terima kasih.

Tidak lebih. Tapi tentu saja ia tidak bisa melupakan pesan dari Luken yang masuk ke ponselnya, saat ada acara lamaran Navita, kakak sepupunya, hari Minggu pekan lalu.

‘Semoga acaranya lancar, ya, Liv. Semoga berikutnya adalah kamu. Dan semoga nanti aku yang akan melakukannya untukmu.’

Kalimat bersayap yang ia ragu apa maksudnya. Hingga ia harus mengandalkan ayahnya sebagai tempat untuk bertanya.



Dengan wajah ragu, Olivia menunjukkan ponselnya pada Prima. Pesan dari Luken tertera di layar. Prima membacanya sejenak. Setelah itu dikembalikannya lagi pada Olivia.

“Sini, Liv,” Prima mengulurkan tangan.

Gadis itu pun menggeser duduknya. Merapat pada sang ayah. Lengan kiri Prima segera merengkuh hangat bahu si putri sulung.

“Liv, meskipun di mata Papa selamanya kamu tetaplah gadis kecil Papa, tapi Papa yakin kamu itu sudah dewasa. Papa juga yakin kamu sebetulnya sudah memahami arti pesan itu.”

Olivia menghela napas panjang. Jauh di dalam lubuk hati, ia memang sudah bisa meraba maksud Luken.

“Tapi selama ini belum ada omongan apa-apa, Pa,” gumamnya.

“Ya, Papa tahu,” Prima menepuk lembut bahu kiri Olivia. “Tapi sikapnya selama ini sudah cukup menggambarkan itu. Perhatiannya padamu, semua kelonggaran yang dia berikan padamu saat Papa dan Maxi sakit. Walaupun Papa yakin bukan padamu saja dia melakukan kebaikan, tapi memang ada hal-hal lebih yang bisa dilihat dan dirasakan, tanpa perlu dijelaskan.”

“Terus, aku harus bagaimana?”

“Hm...,” seketika Prima mengecup lembut puncak kepala Olivia. “Ini pertanyaan yang memang butuh jawaban, atau sekadar penegasan?”

Olivia tersipu malu dan menyusupkan wajahnya ke dada sang ayah. Prima tertawa sambil mengelus kepala si putri sulung.

“Tunggu dia pulang,” bisik Prima. “Dan kita lihat bagaimana selanjutnya.”

Olivia mengangguk.

“Terima kasih, Pa,” gumamnya.

Dan ia mendapatkan satu lagi kecupan hangat di puncak kepala.



Selama seminggu ini, sesekali laki-laki itu memang meneleponnya. Tapi murni urusan kantor. Tidak lebih.

Jadi... aku memang benar-benar harus menunggunya pulang.

Suara pintu yang terbuka dan tertutup membuyarkan lamunan Olivia. James melangkah mendekat, dan duduk di belakang meja Sandra.

“Reservasi untuk makan siang kita bersama Mr. Byrne sudah beres, Liv?” tanya James.

“Sudah, Pak,” angguk Olivia. “Baru saja sudah saya konfirmasi ulang. Meja kita siap jam setengah dua belas.”

“Bagus!” senyum James. “Ruang meeting bagaimana?”

“Sudah siap juga, Pak. Sudah saya cek sebelum saya cek resto. Semua berkas sudah siap di sana. Minuman dan snack juga sudah siap.”

James mengacungkan jempol. “Snack-nya kamu siapkan apa?”

“Ada lapis Surabaya, sosis Solo, sama pastel teratai, Pak.”

“Yang super enak itu?” mendadak mata James berbinar. “Buatan budhe-mu seperti minggu lalu?”

Olivia mengangguk sambil tersenyum lebar. James kembali mengacungkan jempolnya.

“Ya, sudah, Liv. Ayo, siap-siap ke bawah. Sudah hampir jam sepuluh ini.”

Olivia pun mengiringi langkah James menuju ke lobi kantor di lantai bawah untuk menunggu kedatangan klien mereka.

* * *

Victor Byrne, laki-laki keturunan Irlandia berusia 60-an yang tinggal di kota Calgary itu sudah menjadi klien Coffee Storage sejak jaman perusahaan itu masih dikendalikan oleh James Sudianto. Kedatangannya ke Indonesia kali ini, selain urusan bisnis dengan Coffee Storage sekalian menemui James, kawan lamanya, juga hendak mengunjungi putranya yang berkantor resmi di Jakarta. Putra sulung yang saat ini turut serta mendampingi sang ayah.

Dan laki-laki muda yang kira-kira berusia akhir 20-an atau awal 30-an bernama Allen Byrne itu adalah laki-laki paling menarik yang pernah ditemui Olivia. Ia belum pernah berada begitu dekat dengan laki-laki bermata seindah itu. Jajaran bulu mata lentik Allen seolah siap untuk memerangkap dan memenjarakannya. Sedangkan iris mata laki-laki itu pelan-pelan menenggelamkannya di kedalaman samudera bening bernuansa abu-abu kehijauan. Genggaman laki-laki itu terasa mantap dan hangat ketika keduanya berjabat tangan.

Tidak terlalu banyak pernik soal bisnis yang didiskusikan James dan Victor. Tak butuh waktu lama hingga semua berkas selesai ditandatangani. Dasarnya adalah rasa saling percaya yang telah teruji selama bertahun-tahun. Victor tidak melihat ada perbedaan antara James dengan penerusnya. Kedua orang paman dan keponakan itu sama-sama sangat profesional. Membuat Victor merasa aman dan nyaman berbisnis dengan Coffee Storage.

Yang menyiapkan semuanya pastilah sekretaris muda yang sangat cerdas dan cekatan ini...

Victor melirik snack yang dimakannya sepanjang meeting kali ini. Kue-kue dengan kelezatan paling eksotis yang pernah dirasakannya. Victor kemudian menatap Olivia yang tengah sibuk merapikan berkas. Gadis yang sungguh-sungguh menarik. Ada sesuatu di dalam diri gadis itu yang membuat anak laki-lakinya kesulitan untuk melepaskan tatapan dari sosok cantik itu. Dalam hati, Victor tersenyum simpul.

Selesai urusan bisnis, James kemudian mengajak Victor dan putranya keluar untuk menikmati makan siang bersama di restoran yang ada di sebelah kantor. Tentu saja Olivia diajak serta. James dan Victor berjalan di depan, sedangkan Olivia dan Allen mengiringi di belakang.

“Sudah lama bekerja di Coffee Storage, Olivia?” celetuk Allen tiba-tiba.

“Baru dua tahun,” senyum Olivia.

“Tapi kulihat kamu sangat menguasai pekerjaan.”

“Itu karena aku punya senior dan boss yang sangat hebat.”

“Ah, kamu merendah,” Allen tertawa ringan.

Olivia mengedikkan bahu. Tersenyum lebar.

“Kamu sendiri, Allen?” gadis itu balik bertanya. “Sudah berapa lama di sini?”

Allen menoleh. Tersenyum. “Ini tahun keduaku.”

“Betah di sini?”

“Oh... Negeri ini begitu indah, Olivia. Mungkin aku tidak akan sebetah ini kalau hanya terkungkung di Jakarta.”

Really?” Olivia mengangkat alis. “Sudah ke mana saja?”

“Daerah kerjaku sampai di Papua, Natuna, dan Jambi. Di Jakarta hanya satu minggu setiap periode. Minggu ini aku sedang libur. Baru kemarin kembali dari Natuna.”

“Oh...,” Olivia manggut-manggut.

Mereka sudah sampai di restoran. Olivia yang sudah melakukan reservasi segera mengurus boss dan para tamu. Baik Victor maupun Allen sepakat untuk memesan menu Indonesia saja. Victor tertarik untuk mencicipi sop buntut dan nasi rames. Sedangkan Allen dengan yakin memesan nasi dan rawon terpisah, lengkap dengan telur asin, tempe goreng, dan kerupuk udang tambahan. Bahkan ia berani memasukkan sambal ke dalam mangkuk rawonnya, walaupun tidak terlalu banyak.

Victor menatapnya dengan ngeri. Allen tergelak melihat ekspresi ayahnya.

“Di Kanada tidak ada, Dad,” ujarnya. “Ini enak. Percayalah.”

Whatever...,” Victor mengibaskan tangan kirinya.

James dan Olivia tertawa ringan melihat keduanya.

Mereka kemudian menikmati makan siang sambil mengobrol. Dari situ Olivia tahu bahwa Allen yang saat ini berusia 32 tahun itu adalah seorang teknolog atau engineering technologist di Royal Calgary Petrogas Corp. Perusahaan minyak dan gas bumi yang berpusat di Calgary – Kanada itu beroperasi di daerah-daerah kaya minyak dan gas bumi di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia, perusahaan itu menjadi mitra Pertamina dalam mengelola sebagian ladang pertambangan di tiga blok eksplorasi gas dan minyak bumi yang ada di Papua, Natuna, dan Jambi. Allen akan berada di kantor Jakarta selama lima hari kerja dari Senin sampai Jumat, kemudian terbang ke field pada hari Minggunya. Secara berkesinambungan selama tiga minggu berturut-turut akan berada di field – satu minggu per field – sebelum menikmati libur selama satu minggu penuh. Begitulah seterusnya ritme kerjanya.

“Karena itu kamu masih melajang, Al?” goda James.

Allen tergelak. Menampakkan kerut ‘indah’ di sudut luar matanya.

“Tidak banyak perempuan yang tahan dengan ritme kerja saya, Uncle,” ungkapnya kemudian.

“Sebelum ini kamu ditempatkan di mana saja?”

“Saya mengawali karir sebagai teknolog junior selama masing-masing satu tahun di Venezuela dan Nigeria. Setelah itu ditarik ke kantor pusat Calgary selama satu tahun, lalu kembali lagi ke Nigeria sebagai teknolog selama dua tahun. Kemudian ditarik ke field Alaska, di sana tiga tahun, masih bisa sering pulang ke Calgary, dan satu setengah tahun lalu dipindahkan ke sini.”

“Berikutnya?” senyum James.

Allen menggeleng. “Saya belum tahu.”

James manggut-manggut.

“Luken kapan kembali, James?” Victor tiba-tiba saja mengalihkan topik pembicaraan.

“Akhir minggu depan.”

“Ah, aku tidak bisa bertemu dengannya,” gumam Victor.

“Kapan kamu kembali ke Kanada?”

“Akhir minggu ini, langsung dari Bali. Nanti sore kami berangkat ke Lombok,” sekilas Victor mengarahkan tatapannya pada Allen. “Dia mengajakku berlibur.”

Good boy,” James tersenyum lebar.

Allen tergelak.

“Kalau tidak dipaksa berlibur, mana mau Daddy melakukannya, Uncle,” tukasnya.

Acara makan siang itu berlangsung hingga menjelang pukul dua. Mereka kemudian kembali ke kantor Coffee Storage karena mobil Allen ditinggalkan di sana. Sepeninggal Victor dan Allen, James dan Olivia kembali ke lantai atas.

“Kayaknya kerjaan kita longgar banget, ya, Liv?” celetuk James, duduk kembali di kursi Sandra, membuka tabletnya.

“Sudah dikebut Pak Luken sebelum berangkat, Pak,” senyum Olivia.

Gadis itu sibuk membereskan meja dan merapikan lemari berkas.

“Masih ada kerjaan hari ini?”

“Sudah selesai, sih, Pak. Nggak ada janji juga.”

James manggut-manggut.

“Pak, boleh tanya, nggak?”

“Ya?” James mengalihkan tatapannya dari layar tablet. “Boleh,” angguknya. “Apa, Liv?”

Olivia menutup lemari berkas, dan kembali ke kursinya. Diputarnya kursi itu hingga menghadap ke arah James.

“Mr. Byrne... sendirian saja ke sini? Nggak sama istrinya?”

“Oh, enggak,” James menggeleng. “Istrinya sudah meninggal sekitar dua belas tahun lalu. Victor nggak menikah lagi. Sibuk mengurus anak-anak dan usahanya.”

“Oh... Pantesan, kok, sendirian.”

“Aku beneran nggak tahu kalau anaknya ada di sini. Dia juga nggak pernah cerita.”

“Mungkin Mr. Byrne pikir, Bapak sudah nggak di Jakarta lagi. Sudah nggak pegang Coffee Storage lagi.”

“Bisa jadi... Bisa jadi...,” James mengangguk-angguk.

Olivia kemudian menghadap laptopnya kembali. Memeriksa beberapa email yang baru masuk. James juga tenggelam dalam selancar maya melalui tabletnya. Tepat pukul empat sore, keduanya bersiap untuk pulang.

* * *

Allen Byrne...

Untuk kesekian kalinya Olivia mengeja nama itu dalam hati, sekaligus menyimpan baik-baik sosok itu di dalam lipatan-lipatan benaknya. Sebetulnya, ia tak terlalu mengingat bagaimana gambaran detail seorang Allen Byrne. Ia hanya mampu menerjemahkannya menjadi ‘seorang laki-laki berambut coklat yang sangat menarik, menyenangkan, dan bermata abu-abu kehijauan yang sangat indah’.

Perasaan apa ini?

Olivia menelan ludah. Memikirkan itu membuatnya mendadak saja merasa haus. Pelan-pelan ia beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar tanpa suara. Segelas air dingin tampaknya bisa mendamaikan kerongkongan dan hatinya. Ia kemudian turun ke dapur.

Ketika melewati ruang baca, terdengar suara lembut musik klasik yang mengalun dari dalam. Pintunya terbuka sedikit. Tapi tidak membuat Olivia berhasil mengintip siapa yang berada di dalam.

Setelah berpikir sejenak, Olivia memutuskan untuk mengurusi dulu rasa hausnya, baru akan mencari tahu. Bila ditilik dari musiknya...

Sepertinya itu Papa, pikirnya sambil menuangkan sebotol air dingin yang diambilnya dari kulkas ke dalam sebuah gelas.

Setelah puas meneguk isi gelas itu, Olivia memutuskan untuk mengusik siapa pun yang berada di dalam ruang baca. Sudah hampir tengah malam. Kalaupun itu Prima, sudah seharusnya laki-laki itu beristirahat karena besok masih hari kerja. Dengan halus, diketuknya pintu tiga kali.

“Ya?”

Benar! Papa.

Pelan-pelan Olivia mendorong pintu. Dilihatnya Prima masih duduk di belakang meja kerja. Sedang menekuni layar laptop.

“Pa, sudah jam segini,” tegur Olivia halus. “Kok, belum tidur?”

“Iya,” Prima menoleh sekilas. “Banyak dokumen yang harus Papa pelajari. Kamu juga belum tidur?”

Olivia menarik sebuah ottoman dan meletakkannya di seberang meja, tepat di hadapan Prima. Ia duduk di sana. Menangkupkan kedua telapak tangannya di atas meja, dan menumpukan dagunya di atas punggung tangan. Ditatapnya Prima.

“Pa... Aku nggak mau, lho, Papa sakit lagi.”

Kali ini, Prima benar-benar melepaskan perhatiannya dari layar laptop. Ia balas menatap putrinya. Tersenyum.

“Ya,” angguk Prima.

Laki-laki itu kemudian mematikan laptop. Olivia masih menatapnya. Prima merasa terusik karena sorot mata itu.

“Ada apa?” tanyanya dengan nada lembut sambil menutup laptop yang sudah mati sempurna. “Kenapa selarut ini kamu juga belum tidur?”

“Mm...,” tatapan Olivia tampak bimbang. “Aku tadi... bertemu seseorang,” ia mengerjapkan mata. “Dia... menarik. Sangat menarik. Aku... belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”

“Seperti apa orangnya?” Prima menanggapinya dengan sangat sabar.

“Namanya Allen Byrne. Dia...”

Olivia menuturkan semuanya. Tak tertinggal satu huruf pun. Prima mendengarkan tanpa menyela. Ketika Olivia mengakhiri ceritanya, dengan jelas Prima melihat pendar-pendar indah memenuhi tatapan Olivia. Seketika ia paham.

“Kalian saling bertukar kontak?” tanyanya kemudian.

Seketika pendar dalam mata Olivia padam. Seolah disadarkan akan sesuatu. Ia kemudian menggeleng.

“Nggak sempat,” bisiknya.

Prima beranjak dan berjalan memutari meja. Olivia memutar arah duduknya. Prima menarik sebuah ottoman ke dekat Olivia, kemudian duduk. Tepat berhadapan dengan Olivia. Dengan halus dijangkaunya kedua telapak tangan gadis itu, dan digenggamnya hangat.

“Liv, dengar Papa,” ucapnya lembut. “Kamu berhak untuk berteman dengan siapa pun. Berhak untuk punya perasaan positif apa pun, terhadap siapa pun. Seperti yang saat ini sedang kamu rasakan. Tapi satu pesan Papa, Nak. Jangan lebih dulu membiarkan hatimu melambung terlalu tinggi ketika semuanya belum jelas. Supaya nanti kalau hasilnya tidak sesuai harapan, kamu tidak terlalu sakit karena harus terbanting dari ketinggian. Boleh memelihara harapan. Sangat boleh. Bahkan harus. Hanya saja jangan sampai kehilangan sikap realistis. Mengerti maksud Papa?”

Perlu waktu beberapa detik sebelum gadis itu mengangguk. Prima menarik napas lega. Dilepaskannya genggaman tangannya. Sebagai gantinya ia mengelus kepala Olivia dengan penuh kasih sayang.

“Papa selalu berharap dan meminta yang terbaik untukmu,” bisiknya. “Untuk semua anak-anak Papa. Seandainya kamu butuh tempat bersandar, ada Papa di sini. Siap memelukmu.”

Olivia mengangguk dengan mata mengaca, tapi bibirnya mengukir senyum.

“Terima kasih, Pa,” bisiknya.

“Sekarang kembali ke kamar, tidur, bermimpilah yang indah,” Prima berdiri dan menarik tangan Olivia.

Olivia mendongak sejenak sebelum berdiri.

“Papa juga tidur, istirahat,” timpalnya.

“Iya. Ayo!” Prima merengkuh bahu putri sulungnya.

Setelah mematikan CD player, ceiling fan, dan lampu, keduanya keluar. Sambil berbarengan naik ke lantai atas, Prima menyeletuk. Terdengar sambil lalu.

“Siapa tadi namanya?”

“Allen Byrne,” bisik Olivia.

Burne? Birn?”

“Byrne. Be-ye-er-en-e.”

“Oh...,” sahut Prima sambil menguap.

* * *

Dalam keheningan lewat tengah malam, sambil duduk bersandar di kepala ranjang, laki-laki itu masih menatap layar ponselnya. Terlihat ragu-ragu sejenak sebelum memantapkan hati untuk mengetikkan sederet huruf di kotak pencarian google.

alan byrne royal calgary canada linkedin

Enter.


Allen ByrneLinkedIn
https://www.linkedin.com/.../ ...
Indonesia – Engineering Technologist at Royal Calgary Petrogas Corp. – Royal Calgary Petrogas Corp.
View Allen Byrne’s professional profile on LinkedIn ...


Nama yang muncul paling atas segera menarik perhatiannya. Ternyata Allen, bukan Alan. Membuat Prima memutuskan untuk melihat profil itu melalui akunnya di LinkedIn. Dan selanjutnya ia makin memahami apa yang dirasakan putrinya. Ditatapnya foto profil Allen Byrne. Sesuai dengan yang digambarkan Olivia. Terutama tatapan matanya yang terlihat begitu teduh dan ramah.

Papa hanya berharap yang terbaik, Nak...

Prima mengembalikan layar ponselnya ke posisi Home dan meletakkannya ke nakas. Kemudian membaringkan tubuh penatnya di sebelah Arlena, dan memejamkan mata.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

2 komentar:

  1. Aq langsung bayangno Allen koyok Bradley Cooper mb Lis tapie versi mata abu"-ijo.

    BalasHapus