Dua Belas
Ronan duduk empat baris di depannya. Sasya menatapnya dengan hati nyeri. Sepanjang berlangsungnya misa, ia tidak bisa konsentrasi. Pikirannya melayang ke mana-mana. Pada ujungnya selalu berlabuh pada sosok di depan sana itu. Begitu berkali-kali. Ia ikut bernyanyi, tapi kosong. Semua ucapan pemazmur, kalimat-kalimat dari kitab suci, suara pastor, hanya lewat begitu saja di telinganya. Serupa angin lalu.
Hingga misa berakhir, dan semua beranjak hendak pulang, Sasya masih duduk diam di tempatnya semula. Dengan sabar menunggu Runa dan Brielle selesai berdoa di sebelahnya. Lalu Ronan berdiri dan berbalik. Tatapan mereka bertemu. Sekejap. Tapi Sasya menangkap aura kelam dalam mata Ronan. Sasya buru-buru mengalihkan tatapan.
Hingga misa berakhir, dan semua beranjak hendak pulang, Sasya masih duduk diam di tempatnya semula. Dengan sabar menunggu Runa dan Brielle selesai berdoa di sebelahnya. Lalu Ronan berdiri dan berbalik. Tatapan mereka bertemu. Sekejap. Tapi Sasya menangkap aura kelam dalam mata Ronan. Sasya buru-buru mengalihkan tatapan.
Setiap orang punya masa lalu. Pun Ronan. Ia memahami betul hal itu. Tapi yang didengarnya kemarin sore terlalu mengguncangkan dunianya. Di saat ia berani memupuk harapan, semuanya langsung dihantam badai. Begitu saja. Tanpa peringatan sedikit pun.
Pada satu sisi tersembunyi, ia senang karena ternyata perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Ronan ingin hubungan yang lebih daripada sekadar tetangga sebelah rumah.
Tapi...
Mata Sasya mengerjap. Terasa hangat, tapi kering. Lalu semuanya berputar kembali di benaknya. Bagaikan layar film memenuhi kepalanya dari sisi ke sisi. Memaksanya kembali ke taman kemarin sore.
“This is it!” Sasya berucap riang.
Setelah pulang dari panti asuhan, Sasya dan Ronan sepakat untuk pulang dulu ke rumah masing-masing, mandi, kemudian bersama-sama pergi ke taman, berjalan kaki. Dan ketika mereka sampai, Ronan dapat melihat binar cahaya bintang berkelip dalam mata Sasya.
Sesederhana itu. Hanya menikmati senja yang kian kelam sambil duduk bersisian di sebuah bangku beton. Menikmati potongan uli panggang yang pulen, berpadu dengan manisnya tape ketan hitam dalam satu piring kertas beralaskan daun pisang. Mengunyah telur gulung sambil tertawa-tawa. Meniup-niup tahu bulat panas dalam kantong kertas sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Merasakan kenyal dan gurihnya cilok berbumbu kacang pedas. Menjilati es puter alpukat dan kelapa muda yang disajikan dalam lipatan selembar roti tawar. Semua hal murah meriah yang sepertinya begitu jauh jaraknya dari kehidupan mapan Sasya, tapi ternyata sering dinikmati gadis itu.
“Papa paling suka uli dan tape ketan hitam,” celetuk Sasya. “Katanya, rasanya eksotis. Bahkan sering beli airnya. Nggak sekeras bir, tapi enak.”
Ronan tersenyum sambil menggigit roti dan es puternya. Sasya benar-benar terlihat menikmati semua itu. Sama sekali tidak khawatir dengan jumlah kalori yang sudah menerjang masuk ke dalam tubuh. Tapi rupanya gadis itu menyadarinya.
“Mm... Aku rakus, ya?” gadis itu meringis, menatap Ronan.
Laki-laki itu tergelak ringan. Ia menggeleng. ‘Kerakusan’ Sasya membuatnya nyaman. Membuatnya jadi lebih menikmati momen santai itu.
Tapi... Sebelum mulai terlalu dalam...
Ronan menghela napas panjang. Taman sudah mulai sepi karena langit senja sudah menghitam sempurna. Hanya tinggal sebotol air mineral yang sudah tidak penuh lagi di tangan mereka masing-masing.
“Aku senang kamu mengajakku ke sini,” gumamnya. “Sesuatu yang tidak pernah kusangka, gadis seperti kamu bisa menikmatinya dengan senang hati.”
“A girl like me?” Sasya menoleh cepat. “Like what?”
Ronan tertawa mendengar nada penasaran yang kental dalam suara Sasya.
“Seorang gadis cantik,” jawab Ronan sabar, “berasal dari keluarga mapan, cerdas, tapi nggak pernah segan jadi pramusaji, menikmati hal-hal sederhana seperti ini...”
“Apa salahnya?” potong Sasya. “Aku ini orang biasa, lho, Mas. Bukan putri kerajaan.”
“Itulah,” Ronan menoleh. Menatap Sasya dari samping. Dalam. “Seorang gadis luar biasa yang selalu merasa dirinya biasa-biasa saja. Di mataku, kamu itu unik. Dan unik itu indah. Nggak ada duanya.”
“Absurd, kalau Olin bilang,” Sasya mengibaskan tangan kirinya.
“Itulah kenapa aku tertarik padamu,” gumam Ronan. “Sudah lama, Sya. Sejak pertama aku melihatmu di kelasku bertahun-tahun lalu.”
Whaaat???
Sasya hampir kehabisan napas.
Dia...
“Tapi butuh waktu lama untuk mengenali perasaanku sendiri,” lanjut Ronan. Lirih. “Pada awalnya aku berpikir bahwa aku perlu melarikan diri dari sesuatu. Tapi makin ke sini, aku makin mengenali perasaanku sebagai ketertarikan yang sesungguhnya. Ketertarikan seorang laki-laki pada seorang perempuan. Seorang Ronan terhadap seorang Sasya. Bukan pelarian, bukan pengalihan. Tapi...”
Sasya merasa ada kembang api dan confetti meledak-ledak di sekitarnya. Menimbulkan percikan api dan semburan kertas berwarna-warni. Tapi ia berusaha menahan diri. Entah kenapa, ada suara hati yang berteriak memperingatkannya, bahwa sepertinya akan ada hal yang lebih besar daripada sekadar ungkapan perasaan Ronan.
“... aku punya masa lalu, Sya,” Ronan mengela napas panjang. “Aku sudah menutup masa lalu itu, tapi sampai kapan pun masa lalu itu nggak akan bisa terhapus dari lembaran hidupku. Aku berusaha untuk tidak mengotorinya dengan hal-hal yang melampaui batas norma yang berlaku di sini. Sya--,” Ronan meraih tangan Sasya, “--aku cinta sama kamu. Bukan perasaan semusim. Tapi aku harus tetap jujur padamu.”
Sasya merasakan getar lembut menjalari telapak tangannya yang berada dalam genggaman Ronan. Ia tak punya pilihan lain kecuali menunggu.
“Aku pernah punya pacar waktu SMA,” suara Ronan terdengar sarat beban. “Namanya Valina. Dia mungil, manis, selalu ceria. Bangga sekali dengan rambut kriwil-nya saat gadis-gadis seumuran tergila-gila pada rambut lurus. Dia teman sekelasku saat kelas 1. Waktu awal naik kelas 3, aku harus masuk rumah sakit karena kena DB. Sampai aku sembuh, Valina sama sekali nggak pernah menengokku. Aku sempat marah. Pacar macam apa itu? Hingga pada akhirnya aku tahu, dia sebenarnya sudah berangkat untuk menengokku pada hari pertama aku opname. Tapi angkot yang ditumpanginya ditabrak kereta di sebuah perlintasan karena menerobos palang. Terseret sekian ratus meter, remuk, dan nggak ada satu pun penumpang yang selamat.”
Tanpa sadar Sasya membalas genggaman tangan Ronan dengan lebih erat. Masih ada sisa getar. Dan Sasya menggenggamnya lebih erat lagi.
“Perlu waktu sekian tahun untuk membebaskan diri dari rasa bersalah,” lanjut Ronan. “Sampai akhirnya aku bertemu Yuke. Merasakan debar yang sama, semangat yang sama, menemukan rasa yang sama.”
“Yuke... teman Kak Brielle?” bisik Sasya.
“Ya,” Ronan mengangguk
“Sya, ayo, pulang.”
Sasya tersentak kaget. Runa dan Brielle sudah selesai berdoa. Keduanya sudah berdiri, dan Runa mengulurkan tangan padanya. Sasya buru-buru mengangguk. Ia kemudian berdiri dan mengikuti langkah Runa. Di luar, Olin sudah menunggu.
Sesungguhnya, gadis itu curiga ada apa-apa yang tidak mengenakkan antara Sasya dan Ronan. Tadi ketika ia menunggu Sasya keluar, Ronan melewatinya. Hanya mengangguk sedikit padanya dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Dan Sasya? Sepanjang misa tadi Olin duduk dua baris di belakang Sasya. Cukup dekat untuk melihat bahwa gerak-gerik Sasya tidak seperti biasanya.
“Hai, Mas Runa!” sapanya ceria. “Kak Brielle!”
Olin kemudian saling berjabat tangan dengan keduanya.
“Sendirian?” tanya Runa.
“Mm... Tadi sama Mas Dicky, sih,” Olin nyengir. “Tapi dia harus mengawasi latihan putra-putri altar. Makanya aku mau nebeng, kalau boleh.”
“Ayo!” Runan menanggapi dengan antusias. “Kebetulan ini nanti habis antar Sasya, aku harus antar Brielle ke rumahnya, terus ke bandara. Pesawatnya ke Surabaya berangkat jam 1. Kamu ke rumah aja, ya? Nemenin Sasya.”
“Oh, boleh!” Olin langsung mengangguk. “Mas Runa lama di sini?”
“Sampai Mama atau Papa pulang. Tergantung siapa yang pulang duluan,” senyum Runa. “Ayo, pulang, yuk!”
Runa kemudian menggiring ketiga gadis itu ke tempat parkir mobil. Olin berusaha abai dengan keheningan Sasya.
Toh, nanti akan ada waktu berdua dengannya...
* * *
Begitu mobil yang dikemudikan Runa menghilang dari pandangan, Olin segera menyeret Sasya masuk ke dalam rumah. Tak hanya itu, tapi langsung menuju ke kamar Sasya. Begitu mereka berdua ada di dalam, dikuncinya kamar itu baik-baik. Sasya didudukkannya di tepi ranjang, sementara ia sendiri menarik ottoman dan duduk di atasnya, tepat di depan Sasya.
“Sekarang lu bilang sama gue, Sya,” ucapnya tegas. “Ada apa? Apa yang terjadi antara lu dengan Pak Ronan?”
Sasya menggelengkan kepala dengan wajah keruh. Selanjutnya ia tertunduk. Sejujurnya, ia tidak tahu harus mulai bercerita dari bagian mana. Semua terlalu jauh dari bayangannya.
“Lu sayang sama dia, kan?” tanya Olin dengan suara lembut.
Sasya mengangguk.
“Dia juga, kan? Sayang sama lu?”
Sasya kembali mengangguk.
“Lalu?”
Sasya mendongak sejenak, sebelum tertunduk lagi.
“Dia...,” bisiknya. “Dia... punya masa lalu,” Sasya mendegut ludah.
Laki-laki seganteng itu mustahil nggak punya masa lalu. Tapi Olin berusaha bersabar menunggu Sasya melengkapi ceritanya.
“Dia... pernah dua kali punya pacar. Yang pertama... waktu masih SMA dulu. Namanya... Valina. Yang kedua... waktu dia menjelang mau lulus kuliah. Namanya Yuke. Yuke itu... gue kenal sama dia. Kita berdua mengenalnya, Lin. Yuke itu...”
Dan Olin serasa hampir pingsan ketika Sasya menyebutkan nama lengkap Yuke.
* * *
Ketika mobil yang dikendarai Runa sudah hampir mencapai bandara, Brielle menerima pesan singkat dari maskapai penerbangan bahwa pesawat yang akan ditumpanginya delay sekitar satu setengah jam. Dengan kesal, gadis itu mengembuskan napasnya keras-keras.
“Kenapa, Yang?” Runa menoleh sekilas.
“Pesawatku delay,” gerutu Brielle.
“Berapa lama?”
“Sekitar 90 menit.”
“Wah, tanggung banget kalau harus balik,” gumam Runa.
“Lagian, ngabarin kalau delay juga mepet banget gini waktunya,” omel Brielle dengan wajah luar biasa kesal.
“Ya, sudah, sih...,” bujuk Runa. “Toh, kena delay juga nggak sendirian. Toh, aku temani kamu. Aku tunggu sampai kamu berangkat.”
Brielle tersenyum sedikit. Merasa cukup terhibur dengan ucapan Runa. Dan tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
“Eh, Mas, itu... Sasya sama Ronan... serius?”
“Kayaknya serius,” angguk Runa. “Cuma... aku, kok, merasa ada sesuatu yang... apa, ya? Pokoknya sesuatu yang salah lah. Masalahnya Mama wanti-wanti banget agar aku tetap di sini sampai Mama atau Papa atau keduanya pulang dari Bali. Padahal biasanya juga nggak gini-gini amat. Sasya itu biarpun bungsu, kadang kolokan, tapi mandiri banget, kok. Kalau cuma ditinggal ke Bali aja, biasanya juga sendirian di rumah. Entahlah...”
Brielle manggut-manggut. Menimbang-nimbang apakah harus bicara soal ‘itu’ pada Runa ataukah tidak. Dan ia merasa bahwa faktor ‘tempat’ saat ini tidak tepat. Maka ia menunggu dengan sabar hingga mobil mereka sampai di bandara dan mereka bisa mencari tempat yang nyaman untuk sekadar duduk mengobrol.
“Nongkrong dulu, yuk!” ajak Runa begitu mobil yang dikendarainya terparkir rapi.
Diam-diam Brielle menarik napas lega. Kali ini dia santai saja hendak terbang ke Surabaya. Yang dibawanya hanya sebuah ransel cantik yang berisi segala macam keperluan dasar. Runa kemudian membawanya ke sebuah resto cepat saji di dalam area bandara.
Pada awalnya, mereka mengobrol ringan, hingga akhirnya Brielle memutuskan untuk mengungkapkan apa yang diketahuinya tentang Ronan dan Yuke. Ditatapnya Runa. Berusaha mengumpulkan kekuatan.
“Mas...,” ucapnya halus pada satu titik waktu, “aku boleh ngomong, nggak?”
Runa terlihat heran sejenak. “Ngomong aja, Elle. Soal apa?”
“Mm... Sasya dan Ronan,” Brielle mengerjapkan mata. “Sebelumnya aku ingin Mas Runa tahu, aku melakukan ini bukan untuk membuat situasi kacau. Aku sayang sama Sasya. Aku mau dia dapat yang terbaik. Kalau misalnya yang terbaik itu memang Ronan, ya... oke. Yang aku tahu, sedikit, Ronan itu orangnya baik. Tapi aku berharap Ronan mau jujur sama Sasya. Soal masa lalunya, yang... nggak biasa.”
“Nggak biasanya gimana?” Runa mengerutkan kening.
“Sebentar,” Brielle mengangkat kedua telapak tangannya. “Maksudku gini, aku mau cerita ini, supaya Mas Runa tahu, dan seandainya ada apa-apa sama Sasya, Mas Runa sudah tahu masalahnya dan bisa menopang Sasya dengan baik. Jadi bukan karena kita harus ikut campur. Sasya sudah gede. Paham maksudku?”
Runa terdiam sejenak. Menatap Brielle. Berusaha memahami kemauan gadis itu. Pada akhirnya ia mengangguk, “Oke.”
Brielle terlihat lega. Ia kemudian meneruskan ucapannya.
“Mas ingat, kan, kemarin pas kita di resto, Ronan bilang soal Yuke, sohibku?”
Runa kembali mengangguk.
“Yuke itu... mantannya Ronan.”
“Oh...,” Runa manggut-manggut, walaupun belum tahu hal genting apa yang membuat raut wajah Brielle terlihat begitu serius. “Terus?”
“Yuke itu...”
* * *
“Mas Ronan dan yang namanya Yuke itu... apakah sampai sekarang masih berhubungan?” tanya Sasya dengan suara lirih. Terdengar ragu-ragu.
“Masih,” angguk Ronan. “Hanya berteman saja. Nggak lebih. Dan memang nggak bisa lebih. Lagipula dia sudah memutuskan untuk menetap di luar. Itu setelah kami bubaran. Jadi semuanya sudah benar-benar selesai. Makanya aku berani untuk memulai hal yang baru lagi dan meninggalkan yang sudah terjadi jauh-jauh di belakang. Karena aku berharap sekali, kamulah pelabuhan terakhirku. Lagipula rasa yang sekarang ini benar-benar lain. Aku nggak bisa menjabarkannya. Hanya saja... aku merasa hatiku tahu bahwa kamu belahan jiwaku. Tapi aku tetap harus jujur padamu, Sya.”
“Mm... Kalau memang sudah berakhir, ya, sudah,” Sasya mengangkat bahu. “Aku hargai banget kejujuran Mas Ronan. Bagiku nggak masalah. Masa kini ada karena masa lalu.”
“Ya,” angguk Ronan lemah. “Tapi masa lalu bisa mempengaruhi masa kini, Sya. Ya, aku mencintaimu. Ya, aku merasakan hal yang sama darimu. Tapi apakah masih akan tetap sama kalau kamu tahu aku yang sebenarnya? Kalau aku, perasaanku padamu, aku yakin nggak akan berubah lagi. Aku tahu hatiku.”
Perlu waktu sekian belas detik bagi Sasya untuk memahami semua perkataan Ronan. Tapi sebelum ia benar-benar paham, ucapan Ronan berikutnya mendadak saja menghantam hatinya.
“Mm... Kamu tahu Arland?” entah kenapa tiba-tiba saja Ronan mengubah topik pembicaraan.
Sasya mengerutkan kening. Hanya ada satu Arland yang pernah dikenalnya. “Mas Arland? Mantan seniorku?”
“Ya,” angguk Ronan, dengan suara menghilang. “Arland Sedayu. Orang-orang terdekat memanggilnya... Yuke.”
Olin hampir lupa berkedip hingga matanya terasa pedas. Sasya tertunduk lunglai di hadapannya.
Arland Sedayu? Yuke itu Arland? Arland Sedayu???
Tentu saja ia tahu Arland Sedayu. Laki-laki itu adalah senior mereka, ia dan Sasya. Mereka masuk kuliah ketika seorang Arland Sedayu yang gantengnya setengah mati itu sudah hampir lulus. Dan ia tidak akan pernah lupa pada perasaannya pada seorang Arland. Naksir berat! Tergila-gila! Walaupun masih cukup waras untuk tidak bertindak absurd. Hanya cukup melihat dan menikmati penampakan Arland dari jauh. Tak pernah lebih. Karena baginya, seorang Arland Sedayu itu tingkatannya ada di awang-awang. Tak akan pernah terjangkau.
Valina? Jelas cewek! Arland Sedayu??? Kemudian Sasya??? Jadi Pak Ronan itu bi...
Tanpa sadar Olin membekap mulutnya sendiri.
Astagaaa...
Tanpa sadar Olin membekap mulutnya sendiri.
Astagaaa...
Semua ini jauh dari bayangannya. Jauuuh sekali. Ia saja terguncang, apalagi Sasya.
Sasya?
Olin tersentak. Sasya masih tenggelam dalam keheningan, tepat di hadapannya. Tangan Olin kemudian terulur. Membawa Sasya ke dalam pelukannya. Setelah tertahan sejak semalam, akhirnya tangis Sasya pecah juga. Olin hanya bisa memeluknya dalam diam. Tapi justru itulah yang saat ini diperlukan Sasya. Pelukan untuk menumpahkan air mata.
* * *
Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)
Haduh, kok malah saya jadi puyeng, ya? Masak sih Pak Dosen kayak gitu?
BalasHapusDuengggg !!!!
BalasHapusHloh ya garai kaget temenan.
Rodok berat iki critoe mb Lis.
Tapi gek tangane pean lak dadie ejossss ....
Terasa dada ku mendadak sesak ðŸ˜ðŸ˜gak nyangka Ronan yg ganteng bi***
BalasHapusJadi ingat Indra l brugman😂