Satu
“Pagi,
Liv...”
Olivia
mengalihkan tatapannya dari layar laptop ketika sapaan itu mengema di seluruh
penjuru ruangan. Diulasnya senyum cerah sambil berdiri dan mengangguk.
“Selamat
pagi, Bapak,” balasnya manis.
Laki-laki
berusia pertengahan 50-an itu kemudian duduk di belakang meja sebelah Olivia, yang
biasanya ditempati Sandra. Sejak Senin pagi kemarin meja itu kosong. Pemiliknya
sedang ikut sang boss tur ke Eropa
selama dua minggu, berangkat Jumat sore lalu. Memenuhi undangan para klien di
beberapa negara, sekaligus memperbarui beberapa kontrak kerja. Seperti biasa, untuk
mengisi kekosongan, James Sudianto terpaksa turun gunung untuk mengendalikan Coffee Storage. Di samping itu, ada
importir dari Australia dan Kanada yang harus ditemui.
Sebenarnya
Olivia-lah yang direncanakan untuk ikut sang boss kali ini. Tapi nyaris bertepatan dengan jadwal keberangkatan
itu, ada acara keluarga cukup penting yang harus dihadiri Olivia. Acara lamaran Navita, kakak sepupunya, yang diadakan di rumah keluarganya. Jadi, lagi-lagi
harus Sandra yang berangkat bersama Luken, sang boss.
“Berkas
untuk Mr. Russell sudah kamu siapkan, Liv?” James menoleh sekilas.
“Sudah,
Pak,” angguk Olivia. “Kemarin sore setelah Bapak ACC langsung saya cetak dan
gandakan.”
“Bagus!”
wajah James tampak puas. “Kamu memang benar-benar sekretaris yang super andal.”
“Masih
kalah jauh dari Bu Sandra, Pak,” senyum Olivia.
Tak
ada perubahan dalam raut wajah James yang tatapannya kini terarah pada layar
laptop. Tapi laki-laki itu kemudian bergumam, “Semua cuma soal waktu, Liv.
Pengalaman yang terus bertambah karena waktu.”
Olivia
mengangguk walaupun mungkin James tidak melihatnya. Ia kemudian sibuk dengan
email-email yang beberapa membutuhkan jawaban segera. Belum lagi ada berkas-berkas
untuk beberapa hari ke depan yang harus pula disiapkan.
Menjelang
pukul sebelas, keduanya bersiap untuk keluar dan mengadakan pertemuan dengan Bill
Russell, seorang klien lama dari Australia. Laki-laki itu akan menunggu mereka
di coffee shop hotel tempatnya
menginap.
* * *
Bill
Russell bergantian menjabat tangan James dan Olivia. Pertemuan mereka usai
menjelang pukul dua siang. Lebih banyak mengobrol ringan daripada membahas soal
bisnis. Wajah laki-laki berewokan dengan badan ‘sebesar beruang’ itu tampak
puas. Mata coklat mudanya yang memancarkan keramahan kini tampak bersinar-sinar
penuh semangat. Coffee Storage setuju
untuk menambah kuota ekspor seperti yang sudah dimintanya sejak tahun lalu.
Tahun ini memang kondisi Coffee Storage agak
longgar karena berhasil menggandeng pemasok baru dari daerah Temanggung dan ada
surplus pasokan dari Kintamani.
James
kemudian mengajak Olivia berpamitan. Ketika melangkah ke basement hotel, tempat Olivia memarkir mobil, James menengok
sekilas ke arah arlojinya.
“Barang-barangmu
masih ada yang ketinggalan di kantor, Liv?” celetuk James.
“Ada,
Pak, laptop.”
“Masih
ada yang harus dikerjakan?”
“Nggak
ada, sih, Pak,” Olivia menggeleng. “Sudah saya selesaikan semua sebelum kita
keluar tadi.”
“Ya,
sudah, setelah ambil laptop, kamu langsung pulang saja.”
“Hah?”
Olivia menoleh cepat. “Nanti kalau Pak Luken nge-check bagaimana?”
“Sudah,
biar aku yang urus,” James mengibaskan tangan kanannya dengan sikap santai.
“Biar aku juga yang kasih tahu Lila.”
Olivia
tersenyum simpul. Sebetulnya ia juga yakin Luken akan memakluminya. Toh,
laki-laki itu juga tidak sekali-dua kali melakukan hal yang sama. Tak lama
kemudian Olivia sudah meluncurkan mobilnya ke arah pintu keluar basement.
“Kali
ini Bapak nggak boleh menolak kalau saya antar sampai ke hotel,” ujar Olivia.
James
seketika tergelak. Selama berada di Jakarta, ia memang menginap di sebuah hotel
di sekitaran Tebet yang bisa dicapai dengan menumpang ojek online dari dan ke kantor Coffee
Storage. Tak mau menginap di rumah Luken dengan alasan terlalu jauh dan ia
malas terjebak kemacetan.
“Boleh...,”
ucapnya kemudian. “Terima kasih.”
Olivia
mengembangkan senyumnya. Ia kemudian mengambil jalur ke arah Tebet. Ketika
harus berhenti menunggu lampu merah berubah hijau yang masih sekian ratus detik
lagi, gadis itu mencari ponsel di saku blazer-nya.
“Pak,
maaf, saya sambil menelepon, ya?” ucapnya sopan.
“Oh,
iya, Liv,” angguk James. “Silakan, silakan.”
Dengan
cepat Olivia menyentuh-nyentuh layar ponselnya, kemudian meletakkannya di
konsol tengah dalam mode speaker on.
Setelah beberapa kali nada sambung, terdengar sahutan dari seberang sana.
“Ya, Mbak?”
“Lho,
Mel? Mama mana?”
“Lagi nyetir. Habis jemput
aku.”
“Oh...
Tolong, bilang Mama, ya? Hari ini Mbak Liv yang jemput Papa.”
Sayup-sayup
terdengar suara Arlena. Rupanya Carmela membuka speaker.
“Lho, memangnya kamu pulang
jam berapa, Liv?”
“Ini
sudah free, Ma. Selesai meeting di luar. Lagi mau antar Pak
James pulang ke hotel.”
“Oh... Oke. Kamu hati-hati
di jalan. Salam buat Pak James.”
Lalu
lintas mulai bergerak kembali. Dengan cepat Olivia mengakhiri pembicaraan itu
dan mulai melajukan mobilnya.
“Salam
dari Mama, Pak,” Olivia menoleh sekilas. Tersenyum.
“Iya,
terima kasih, sama-sama, salam juga,” angguk James. “Papamu sudah benar-benar
sehat, Liv?”
“Iya,
Pak. Cuma masih belum boleh bawa mobil sendiri sama Mama. Jadinya tiap hari
diantar-jemput Mama. Yah, biar Mama ada kesibukan jugalah.”
James
tersenyum lebar. Tentu saja ia tahu apa yang sudah terjadi dalam keluarga
Olivia beberapa waktu lalu.
“Tapi
salut, lho, sama mamamu, Liv,” gumam James. “Bisa menyadari kesalahan dan
bersedia kembali.”
“Ngakunya,
sih, masih cinta sama Papa,” Olivia tertawa ringan. “Kalau hanya berpikir soal
materi, saya yakin Mama bisa mandiri. Tapi kalau alasannya cinta, ya, harus
bilang apa? Papa sendiri masih butuh Mama. Masih cinta juga. Jadi, ya...,”
gadis itu mengangkat bahu.
James
manggut-manggut.
Cinta...
Sebuah
hal absurd yang pernah ia rasakan dan menenggelamkannya dalam lautan tak
terhingga. Sesungguhnya ia bersyukur Olivia-lah yang menemaninya selama dua
minggu ke depan menangani Coffee Storage.
Bukan Sandra. Karena sesungguhnya ia masih tidak bisa membayangkan akan
bagaimana bila harus kembali bekerja bersama Sandra. Seprofesional apa pun ia.
“Bapak
mau langsung ke hotel?”
Suara
lembut Olivia serta-merta membebaskan James dari lamunan singkat yang
menjeratnya begitu saja.
“Atau
mau saya antar ke mana dulu?”
“Langsung
saja, Liv. Lagipula aku khawatir kamu terlambat jemput papamu.”
“Ah,
santai saja, Pak. Papa pasti mengerti, kok.”
“Hehehe...
Ya, langsung saja. Terima kasih.”
“Sama-sama,
Pak.”
* * *
Dua belas menit sebelum pukul tiga siang, James turun dari mobil Olivia di
depan hotel. Gadis itu mengangguk sopan ketika James melambaikan tangan,
kemudian meluncurkan kembali mobilnya. Untunglah jalur dari depan hotel tempat
James menginap di Jalan dr. Saharjo ke arah Pasar Rebo tidak terlalu ruwet.
Walaupun sempat terjebak beberapa kemacetan kecil, Olivia bisa sampai di kantor
Prima beberapa belas menit sebelum pukul empat. Setelah membuka jendela dan
mematikan mesin mobil, Olivia meraih ponselnya dan mengetikkan pesan.
‘Pa, aku sudah di parkiran.’
Tak
ada balasan.
Pasti Papa masih sibuk,
pikirnya.
Ia
kemudian mengirimkan pesan lain. Kali ini ke Lila. Meminta tolong pada gadis
itu untuk menyimpankan laptopnya di dalam laci meja. Tak lama, ada balasan dari
Lila. Gadis itu menyatakan ‘oke’.
Udara
menjelang pukul empat sore terasa agak gerah walaupun angin berhembus cukup
kencang. Olivia pun melepaskan blazer
berwarna biru langitnya, melipatnya dengan rapi, kemudian meletakkannya di jok
belakang. Menyisakan blus putih berlengan setali dengan kedua ujung kerah
tersimpul membentuk pita yang manis di depan dada. Sambil menunggu, Olivia pun kembali
sibuk dengan ponselnya.
Tepat
pukul empat, telinganya mendengar bunyi sirene yang menandai berakhirnya jam
kerja di tempat itu. Tapi Olivia tetap dengan keasyikannya. Toh, pasti ada jeda
waktu sebelum para staf dan karyawan berbondong-bondong keluar.
Benar
saja! Beberapa menit kemudian muncul rombongan-rombongan yang menuju ke tempat
parkir kendaraan maupun ke mobil-mobil jemputan yang sudah berderet menunggu
muatan.
“Livi!”
Olivia
menoleh mendengar panggilan itu. Seketika wajahnya menjadi ceria ketika melihat
siapa yang tengah berjalan mendekatinya. Buru-buru ia keluar dari dalam mobil.
“Mbak
Vita!”
Keduanya
berpelukan.
“Tumben
jemput Bapak?” Navita melebarkan matanya.
“Iya,
habis meeting di luar. Sama boss langsung saja disuruh pulang karena
jamnya nanggung. Ya, sudah, aku jemput Papa saja,” Olivia meringis.
“Tapi
Bapak masih di ruang big boss,” ujar
Navita dengan wajah serius. “Dari jam tiga tadi. Sampai aku keluar, Bapak belum
keluar.”
“Oh...,”
Olivia mengerucutkan bibirnya. “Pantesan aku WA nggak dibales.”
“Kayaknya
sudah hampir final Bapak mau naik jabatan,” bisik Navita. “Langsung jadi wakil big boss.”
“Hah?”
seketika Olivia membelalakkan matanya. “Mbak Vita bercanda, ah!”
“Lho!”
wajah Navita terlihat heran. “Memangnya Bapak nggak pernah cerita? Gosipnya
sudah lama, lho!”
Olivia
mengerutkan keningnya. “Papa jarang bicara soal kerjaan. Apalagi yang masih
bau-bau gosip.”
“Hehehe...”
Keduanya
kemudian mengobrol dengan asyik. Tapi hingga Gandhi datang, Prima belum juga
kelihatan. Navita dan Gandhi kemudian memutuskan untuk menemani Olivia hingga
sang ayah muncul. Beberapa menit sebelum pukul lima, ponsel Olivia berbunyi.
“Ya,
Pa?” sahut Olivia.
“Kamu masih di luar?”
“Ya,
iyalah. Masa kabur?”
“Hehehe... Maaf, ya, Nak,
Papa baru saja selesai meeting.”
“Iya,
sudah dikasih tahu Mbak Vita tadi. Ini, malah ditemenin Mbak Vita sama Mas
Gandhi.”
“Oh, ya? Tunggu sebentar,
ya? Papa lagi beresin meja.”
“Siap,
Pa!”
Tujuh
menit kemudian, Prima muncul dengan langkah bergegas. Dihadiahinya sang putri
sebuah kecupan hangat di kening. Gandhi kemudian menjabat dan mencium punggung tangan
Prima. Begitu juga Navita. Mereka mengobrol sejenak sebelum berpisah.
* * *
“Mas
Gandhi tambah ndut sekarang,” celetuk
Olivia begitu mobil Gandhi berlalu di depannya.
Prima
yang tengah menggulung lengan kemejanya tertawa ringan. Olivia mulai
meluncurkan mobil.
“Laki-laki
kalau sudah mulai tenang hidupnya, biasanya begitu,” ujar Prima. “Karir sudah
mulai mapan, calon pendamping hidup sudah ada, apalagi punya calon ibu mertua pintar
masak seperti budhe-mu. Jadi, deh.”
Olivia
terkekeh. Mungkin ayahnya benar. Buktinya, laki-laki yang duduk di sebelah
kirinya itu kini paling tidak timbangannya melejit sekitar sepuluh kilogram daripada
sejak jaman bujangan dulu. Terlihat dari foto-foto yang mereka miliki. Lalu ia
teringat sesuatu.
“Jadi
gosipnya benar?” Olivia melirik sekilas sebelum meraih kartu pass di konsol tengah.
“Gosip
apaan?” Prima mengerutkan kening.
Olivia
tak langsung menjawab. Diulurkannya kartu pass
pada seorang satpam di pintu keluar Chemisto sambil mengucapkan terima kasih.
Ditutupnya jendela, bersamaan dengan Prima menyalakan AC.
“Ada
yang siap-siap melejit jadi wakil boss
besar Chemisto,” Olivia nyengir.
Prima tersenyum lebar. “Navita ini pasti, tukang gosipnya.”
Olivia
tergelak.
“Ya,
percaya atau tidak, pasti ada reward
untuk sebuah kerja keras,” ujar Prima. Terdengar serius.
“Aku
memilih untuk percaya, walaupun tujuan bekerja keras bukan semata untuk mengejar reward,” timpal Olivia, ikut serius.
“Kamu
benar,” angguk Prima. “Papa senang karena kamu hingga saat ini masih berada di
jalur yang benar.”
“Anak
siapa dulu?” Olivia meringis.
Prima
tertawa. Tangannya terulur, menepuk lembut kepala Olivia. Laki-laki itu
kemudian mengambil ponsel dari saku kemeja. Dihubunginya sebuah nama. Olivia
menggembungkan pipi sambil menahan senyum mendengar pembicaraan Prima dengan
seseorang di seberang. Penjual martabak langganan mereka.
* * *
Melihat
Arlena sibuk di dapur, Carmela memutuskan untuk membantu. Sejenak, ia memeriksa
apa saja yang ada di atas dak dapur.
Hubungannya
dengan Arlena memang sudah mencair. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat
bahwa Arlena bersungguh-sungguh untuk kembali pada keluarga. Tak hanya ia saja,
kakak dan abangnya pun demikian. Sehingga pelan-pelan hubungan mereka dengan
Arlena menghangat kembali.
“Perkedel
kentangnya mau digoreng sekarang, Ma?” tanya Carmela sambil menyiapkan mangkuk
untuk mengocok telur. “Tadi Bibik bilang ada perkedel di kulkas.”
“Itu
perkedel bukannya buat sarapan besok pagi, ya?” Arlena menoleh.
“Oh?”
Carmela mengangkat alisnya.
“Ini
Mama mau goreng ayam ungkepnya,” ujar Arlena sambil menyiapkan penggorengan.
“Nggak
dipanggang saja, Ma?” Carmela melongokkan kepala ke arah kotak plastik tertutup
berisi ayam ungkep yang sudah dikeluarkan Arlena dari dalam kulkas.
“Oh,
mau dipanggang? Boleh...”
Arlena
kembali menggantungkan penggorengan di tempatnya semula. Sebagai gantinya, ia
menyiapkan pinggan bundar untuk memanggang ayam. Sejenak kemudian aroma sedap
ayam panggang memenuhi dapur. Saat itu terdengar derum halus mobil di luar.
“Tuh,
Papa sama Mbak Livi sudah pulang,” gumam Arlena.
Dengan
cekatan Carmela menyiapkan lima buah mug. Dibuatnya teh lemon hangat. Ketika ia
hendak mengaduk mug ketiga, Prima muncul dan meletakkan sebuah tas kertas di island.
“Hm...
Enak banget baunya,” celetuk Prima ketika hidungnya mencium aroma ayam
panggang. “Bibik masak apa tadi?” dikecupnya kening Carmela.
“Sayur
asem, tahu-tempe bacem, sambel, sama ayam ungkep. Tuh, lagi dipanggang Mama,”
jawab Carmela manis.
Prima
kemudian mendekat ke arah Arlena yang masih sibuk di depan kompor dan pinggan
pemanggang. Tanpa suara, dengan lembut disapukannya bibir ke rambut Arlena dari
arah belakang. Hanya sekilas, tapi sempat membuat perempuan itu seolah membeku
sejenak. Prima kemudian berlagak melongok potongan-potongan ayam ungkep yang
sedang dipanggang Arlena.
Carmela
pura-pura tidak mengetahui kejadian itu. Ia menoleh ke arah tas kertas di atas island. Ketika ia melihat logo yang tertera di bagian luar tas kertas itu,
segera saja gadis remaja itu memekik dramatis.
“Owh!
Martabaaak! Kalau gini aku makin cintah ajah
samah Papah.”
“Haish!”
Prima memencet ujung hidung Carmela dengan gemas, membuat gadis remaja itu
terkikik.
Selesai
mengaduk teh, Carmela segera membuka tas kertas itu, menarik dengan hati-hati
tiga buah kotak dari dalamnya, dan memindahkan isinya ke dalam tiga buah piring
saji besar. Dua buah martabak telur berlainan isi dan sebuah martabak manis teh
hijau isi komplet. Prima menerima segelas air hangat dari Arlena sambil
mengucapkan terima kasih dan duduk di depan island.
Sambil
menghabiskan air minumnya, laki-laki itu bertanya pada Carmela tentang kejadian
menarik di sekolah. Gadis remaja itu pun bercerita dengan antusias. Arlena
tersenyum mendengarnya. Kalau gadis sulungnya cenderung pendiam seperti sang
ayah, maka si bungsu ini mewarisi kebawelannya. Sedangkan Maxi, lebih mirip
lagi dengan Prima.
Ketika
air minumnya habis, Prima berdiri dan beranjak hendak ke kamar atas untuk
mandi. Di ambang pintu dapur ia hampir bertabrakan dengan Olivia. Gadis itu terlihat
sudah segar. Di belakangnya ada Maxi.
“Wuidiiih!
Martabak!” tatapan Maxi terlihat bernafsu.
“Tolong,
bawa ke ruang tengah, Max,” ujar Olivia.
Pemuda
itu mematuhi perintah kakaknya.
“Sekalian
sama nampan mug-nya, ya, Mas ganteng,” Carmela nyengir.
Maxi
meleletkan lidah ketika kembali untuk mengambil nampan minuman dan satu piring
martabak yang masih tertinggal. Olivia dan Carmela sama-sama terkikik geli. Kedua
gadis itu kemudian sibuk menyiapkan peralatan makan dan mondar-mandir dari
dapur ke ruang makan. Setelah meja makan tertata rapi, keduanya kemudian
bergabung dengan Arlena dan Maxi yang sudah duduk manis di ruang tengah.
Menikmati martabak dan teh lemon sambil menonton televisi. Menunggu Prima
selesai mandi.
“Singkong
baladonya tadi mana, Ma?” Carmela menoleh ke arah Arlena sebelum menjatuhkan
tubuhnya di atas karpet, tempat favoritnya.
“Oh,
iya, lupa,” Arlena beranjak ke dapur.
“Ini
kamu yang bikin tehnya?” Maxi mengangkat sedikit mug yang isinya baru saja
disesapnya.
“Iya,”
angguk Carmela. “Kenapa?”
“Manis
banget,” gumam Maxi.
“Kalau
kurang asem, ngaca saja, Mas,” balas Carmela dengan nada kalem.
Olivia
tergelak mendengar ucapan adik bungsunya. Sementara Maxi menggelengkan kepala
sambil memutar bola mata.
“Wah,
ketawa, kok, nggak bagi-bagi?” gumam Prima.
Laki-laki
yang sudah tampak segar kembali itu muncul dari arah tangga dan duduk di sebuah
sofa tunggal di dekat Carmela. Ia meraih sebuah mug dan menyesap isinya.
Sejenak kemudian ia mengernyit.
“Gula
lagi murah banget, ya?” ujarnya.
“Nah,
manis banget, kan, Pa?” Maxi merasa di atas angin.
“Gampang...,”
Olivia mengibaskan tangan kanannya. “Kata Mela, kalau kurang asem, tinggal
ngaca saja.”
Seketika
Prima terbahak. Sementara itu Carmela mengerucutkan bibir.
“Tumben,
sih, Mel?” Prima mengelus rambut gadis bungsu yang duduk di atas karpet di
dekat kakinya. “Biasanya teh buatanmu pas rasanya.”
“Sendok
gula kayaknya diganti, deh, sama Muntik,” sahut Arlena yang muncul dari dapur,
membawa satu stoples plastik berukuran jumbo berisi keripik singkong balado,
“jadi lebih besar.”
“Oh...,”
Prima mengangguk.
“Itu
keripik beli di mana, Ma?” Maxi mengulurkan tangan, meminta stoples itu.
Arlena
memberikan stoples itu pada Maxi. “Buatan Budhe
Min. Tadi, kan, sebelum jemput Mela, Mama mampir ke sana.”
“Enak,
pasti...,” Olivia meraih stoples itu dari tangan Maxi.
“Ya,
enaklah...,” senyum Arlena. “Tadi sebenarnya dikasih dua kantong besar. Tapi sampai
di rumah tinggal segitu.”
Arlena
mengulum senyum. Tatapannya jatuh ke seberang, ke arah Carmela. Yang ditatap
memasang wajah pura-pura bego sambil menumpukan dagunya pada lutut Prima dari
arah samping. Tatapan sok polosnya lurus terarah pada televisi.
“Busseeet!”
seru Maxi. “Segitu banyak habis sendiri, Mel?”
“Kan,
sama Cindy nyemilnya,” tukas Carmela. “Sisa seperempat, di-embat sekalian sama Cindy.”
Semuanya
tergelak. Prima kemudian menatap Arlena.
“Sudah
siap makanannya?” tanyanya halus.
“Sudah,”
angguk Arlena.
“Yuk,
makan dulu, yuk,” Prima berdiri setelah menyisihkan wajah imut Carmela dari
lututnya. “Nanti ngobrol lagi sambil habiskan martabak.”
Sejenak
kemudian semuanya sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka makan dengan
nikmat. Sesekali muncul celoteh dan tanggapan yang menggelitik telinga. Membuat
mereka tersenyum dan tertawa.
Perlahan,
kehangatan itu mulai terajut kembali.
* * *
James bikin gemes. Mbayangno pak James kyk bond, james bond. Kripik balado, bknan budhe Min? Pasti enak...
BalasHapusKetupat lebaran ya.... aku yo pengen. Kirimin mbak, ndik kene ora eneng janur soale....
Cek manise episod iki mb Lis.
BalasHapusSeneng aq !
Lope" kambek pa Prima qiqiqiqiqiqiqiq
Lo ya biyen jareke kiwir2 nang lukenyut, saiki kok prima? Jok denjeres ngene ta ma wkkkkkkkk
HapusHangatnya sampai ke sini (padahal tadi sore hujan).
BalasHapus