Senin, 26 Juni 2017

[Cerbung] Infinity #1



Satu


“Pagi, Liv...”

Olivia mengalihkan tatapannya dari layar laptop ketika sapaan itu mengema di seluruh penjuru ruangan. Diulasnya senyum cerah sambil berdiri dan mengangguk.

“Selamat pagi, Bapak,” balasnya manis.

Laki-laki berusia pertengahan 50-an itu kemudian duduk di belakang meja sebelah Olivia, yang biasanya ditempati Sandra. Sejak Senin pagi kemarin meja itu kosong. Pemiliknya sedang ikut sang boss tur ke Eropa selama dua minggu, berangkat Jumat sore lalu. Memenuhi undangan para klien di beberapa negara, sekaligus memperbarui beberapa kontrak kerja. Seperti biasa, untuk mengisi kekosongan, James Sudianto terpaksa turun gunung untuk mengendalikan Coffee Storage. Di samping itu, ada importir dari Australia dan Kanada yang harus ditemui.

Sebenarnya Olivia-lah yang direncanakan untuk ikut sang boss kali ini. Tapi nyaris bertepatan dengan jadwal keberangkatan itu,  ada acara keluarga cukup penting yang harus dihadiri Olivia. Acara lamaran Navita, kakak sepupunya, yang diadakan di rumah keluarganya. Jadi, lagi-lagi harus Sandra yang berangkat bersama Luken, sang boss.

“Berkas untuk Mr. Russell sudah kamu siapkan, Liv?” James menoleh sekilas.

“Sudah, Pak,” angguk Olivia. “Kemarin sore setelah Bapak ACC langsung saya cetak dan gandakan.”

“Bagus!” wajah James tampak puas. “Kamu memang benar-benar sekretaris yang super andal.”

“Masih kalah jauh dari Bu Sandra, Pak,” senyum Olivia.

Tak ada perubahan dalam raut wajah James yang tatapannya kini terarah pada layar laptop. Tapi laki-laki itu kemudian bergumam, “Semua cuma soal waktu, Liv. Pengalaman yang terus bertambah karena waktu.”

Olivia mengangguk walaupun mungkin James tidak melihatnya. Ia kemudian sibuk dengan email-email yang beberapa membutuhkan jawaban segera. Belum lagi ada berkas-berkas untuk beberapa hari ke depan yang harus pula disiapkan.

Menjelang pukul sebelas, keduanya bersiap untuk keluar dan mengadakan pertemuan dengan Bill Russell, seorang klien lama dari Australia. Laki-laki itu akan menunggu mereka di coffee shop hotel tempatnya menginap.

* * *

Bill Russell bergantian menjabat tangan James dan Olivia. Pertemuan mereka usai menjelang pukul dua siang. Lebih banyak mengobrol ringan daripada membahas soal bisnis. Wajah laki-laki berewokan dengan badan ‘sebesar beruang’ itu tampak puas. Mata coklat mudanya yang memancarkan keramahan kini tampak bersinar-sinar penuh semangat. Coffee Storage setuju untuk menambah kuota ekspor seperti yang sudah dimintanya sejak tahun lalu. Tahun ini memang kondisi Coffee Storage agak longgar karena berhasil menggandeng pemasok baru dari daerah Temanggung dan ada surplus pasokan dari Kintamani.

James kemudian mengajak Olivia berpamitan. Ketika melangkah ke basement hotel, tempat Olivia memarkir mobil, James menengok sekilas ke arah arlojinya.

“Barang-barangmu masih ada yang ketinggalan di kantor, Liv?” celetuk James.

“Ada, Pak, laptop.”

“Masih ada yang harus dikerjakan?”

“Nggak ada, sih, Pak,” Olivia menggeleng. “Sudah saya selesaikan semua sebelum kita keluar tadi.”

“Ya, sudah, setelah ambil laptop, kamu langsung pulang saja.”

“Hah?” Olivia menoleh cepat. “Nanti kalau Pak Luken nge-check bagaimana?”

“Sudah, biar aku yang urus,” James mengibaskan tangan kanannya dengan sikap santai. “Biar aku juga yang kasih tahu Lila.”

Olivia tersenyum simpul. Sebetulnya ia juga yakin Luken akan memakluminya. Toh, laki-laki itu juga tidak sekali-dua kali melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian Olivia sudah meluncurkan mobilnya ke arah pintu keluar basement.

“Kali ini Bapak nggak boleh menolak kalau saya antar sampai ke hotel,” ujar Olivia.

James seketika tergelak. Selama berada di Jakarta, ia memang menginap di sebuah hotel di sekitaran Tebet yang bisa dicapai dengan menumpang ojek online dari dan ke kantor Coffee Storage. Tak mau menginap di rumah Luken dengan alasan terlalu jauh dan ia malas terjebak kemacetan.

“Boleh...,” ucapnya kemudian. “Terima kasih.”

Olivia mengembangkan senyumnya. Ia kemudian mengambil jalur ke arah Tebet. Ketika harus berhenti menunggu lampu merah berubah hijau yang masih sekian ratus detik lagi, gadis itu mencari ponsel di saku blazer-nya.

“Pak, maaf, saya sambil menelepon, ya?” ucapnya sopan.

“Oh, iya, Liv,” angguk James. “Silakan, silakan.”

Dengan cepat Olivia menyentuh-nyentuh layar ponselnya, kemudian meletakkannya di konsol tengah dalam mode speaker on. Setelah beberapa kali nada sambung, terdengar sahutan dari seberang sana.

“Ya, Mbak?”

“Lho, Mel? Mama mana?”

“Lagi nyetir. Habis jemput aku.”

“Oh... Tolong, bilang Mama, ya? Hari ini Mbak Liv yang jemput Papa.”

Sayup-sayup terdengar suara Arlena. Rupanya Carmela membuka speaker.

“Lho, memangnya kamu pulang jam berapa, Liv?”

“Ini sudah free, Ma. Selesai meeting di luar. Lagi mau antar Pak James pulang ke hotel.”

“Oh... Oke. Kamu hati-hati di jalan. Salam buat Pak James.”

Lalu lintas mulai bergerak kembali. Dengan cepat Olivia mengakhiri pembicaraan itu dan mulai melajukan mobilnya.

“Salam dari Mama, Pak,” Olivia menoleh sekilas. Tersenyum.

“Iya, terima kasih, sama-sama, salam juga,” angguk James. “Papamu sudah benar-benar sehat, Liv?”

“Iya, Pak. Cuma masih belum boleh bawa mobil sendiri sama Mama. Jadinya tiap hari diantar-jemput Mama. Yah, biar Mama ada kesibukan jugalah.”

James tersenyum lebar. Tentu saja ia tahu apa yang sudah terjadi dalam keluarga Olivia beberapa waktu lalu.

“Tapi salut, lho, sama mamamu, Liv,” gumam James. “Bisa menyadari kesalahan dan bersedia kembali.”

“Ngakunya, sih, masih cinta sama Papa,” Olivia tertawa ringan. “Kalau hanya berpikir soal materi, saya yakin Mama bisa mandiri. Tapi kalau alasannya cinta, ya, harus bilang apa? Papa sendiri masih butuh Mama. Masih cinta juga. Jadi, ya...,” gadis itu mengangkat bahu.

James manggut-manggut.

Cinta...

Sebuah hal absurd yang pernah ia rasakan dan menenggelamkannya dalam lautan tak terhingga. Sesungguhnya ia bersyukur Olivia-lah yang menemaninya selama dua minggu ke depan menangani Coffee Storage. Bukan Sandra. Karena sesungguhnya ia masih tidak bisa membayangkan akan bagaimana bila harus kembali bekerja bersama Sandra. Seprofesional apa pun ia.

“Bapak mau langsung ke hotel?”

Suara lembut Olivia serta-merta membebaskan James dari lamunan singkat yang menjeratnya begitu saja.

“Atau mau saya antar ke mana dulu?”

“Langsung saja, Liv. Lagipula aku khawatir kamu terlambat jemput papamu.”

“Ah, santai saja, Pak. Papa pasti mengerti, kok.”

“Hehehe... Ya, langsung saja. Terima kasih.”

“Sama-sama, Pak.”

* * *

Dua belas menit sebelum pukul tiga siang, James turun dari mobil Olivia di depan hotel. Gadis itu mengangguk sopan ketika James melambaikan tangan, kemudian meluncurkan kembali mobilnya. Untunglah jalur dari depan hotel tempat James menginap di Jalan dr. Saharjo ke arah Pasar Rebo tidak terlalu ruwet. Walaupun sempat terjebak beberapa kemacetan kecil, Olivia bisa sampai di kantor Prima beberapa belas menit sebelum pukul empat. Setelah membuka jendela dan mematikan mesin mobil, Olivia meraih ponselnya dan mengetikkan pesan.

‘Pa, aku sudah di parkiran.’

Tak ada balasan.

Pasti Papa masih sibuk, pikirnya.

Ia kemudian mengirimkan pesan lain. Kali ini ke Lila. Meminta tolong pada gadis itu untuk menyimpankan laptopnya di dalam laci meja. Tak lama, ada balasan dari Lila. Gadis itu menyatakan ‘oke’.

Udara menjelang pukul empat sore terasa agak gerah walaupun angin berhembus cukup kencang. Olivia pun melepaskan blazer berwarna biru langitnya, melipatnya dengan rapi, kemudian meletakkannya di jok belakang. Menyisakan blus putih berlengan setali dengan kedua ujung kerah tersimpul membentuk pita yang manis di depan dada. Sambil menunggu, Olivia pun kembali sibuk dengan ponselnya.

Tepat pukul empat, telinganya mendengar bunyi sirene yang menandai berakhirnya jam kerja di tempat itu. Tapi Olivia tetap dengan keasyikannya. Toh, pasti ada jeda waktu sebelum para staf dan karyawan berbondong-bondong keluar.

Benar saja! Beberapa menit kemudian muncul rombongan-rombongan yang menuju ke tempat parkir kendaraan maupun ke mobil-mobil jemputan yang sudah berderet menunggu muatan.

“Livi!”

Olivia menoleh mendengar panggilan itu. Seketika wajahnya menjadi ceria ketika melihat siapa yang tengah berjalan mendekatinya. Buru-buru ia keluar dari dalam mobil.

“Mbak Vita!”

Keduanya berpelukan.

“Tumben jemput Bapak?” Navita melebarkan matanya.

“Iya, habis meeting di luar. Sama boss langsung saja disuruh pulang karena jamnya nanggung. Ya, sudah, aku jemput Papa saja,” Olivia meringis.

“Tapi Bapak masih di ruang big boss,” ujar Navita dengan wajah serius. “Dari jam tiga tadi. Sampai aku keluar, Bapak belum keluar.”

“Oh...,” Olivia mengerucutkan bibirnya. “Pantesan aku WA nggak dibales.”

“Kayaknya sudah hampir final Bapak mau naik jabatan,” bisik Navita. “Langsung jadi wakil big boss.”

“Hah?” seketika Olivia membelalakkan matanya. “Mbak Vita bercanda, ah!”

“Lho!” wajah Navita terlihat heran. “Memangnya Bapak nggak pernah cerita? Gosipnya sudah lama, lho!”

Olivia mengerutkan keningnya. “Papa jarang bicara soal kerjaan. Apalagi yang masih bau-bau gosip.”

“Hehehe...”

Keduanya kemudian mengobrol dengan asyik. Tapi hingga Gandhi datang, Prima belum juga kelihatan. Navita dan Gandhi kemudian memutuskan untuk menemani Olivia hingga sang ayah muncul. Beberapa menit sebelum pukul lima, ponsel Olivia berbunyi.

“Ya, Pa?” sahut Olivia.

“Kamu masih di luar?”

“Ya, iyalah. Masa kabur?”

“Hehehe... Maaf, ya, Nak, Papa baru saja selesai meeting.”

“Iya, sudah dikasih tahu Mbak Vita tadi. Ini, malah ditemenin Mbak Vita sama Mas Gandhi.”

“Oh, ya? Tunggu sebentar, ya? Papa lagi beresin meja.”

“Siap, Pa!”

Tujuh menit kemudian, Prima muncul dengan langkah bergegas. Dihadiahinya sang putri sebuah kecupan hangat di kening. Gandhi kemudian menjabat dan mencium punggung tangan Prima. Begitu juga Navita. Mereka mengobrol sejenak sebelum berpisah.

* * *

“Mas Gandhi tambah ndut sekarang,” celetuk Olivia begitu mobil Gandhi berlalu di depannya.

Prima yang tengah menggulung lengan kemejanya tertawa ringan. Olivia mulai meluncurkan mobil.

“Laki-laki kalau sudah mulai tenang hidupnya, biasanya begitu,” ujar Prima. “Karir sudah mulai mapan, calon pendamping hidup sudah ada, apalagi punya calon ibu mertua pintar masak seperti budhe-mu. Jadi, deh.”

Olivia terkekeh. Mungkin ayahnya benar. Buktinya, laki-laki yang duduk di sebelah kirinya itu kini paling tidak timbangannya melejit sekitar sepuluh kilogram daripada sejak jaman bujangan dulu. Terlihat dari foto-foto yang mereka miliki. Lalu ia teringat sesuatu.

“Jadi gosipnya benar?” Olivia melirik sekilas sebelum meraih kartu pass di konsol tengah.

“Gosip apaan?” Prima mengerutkan kening.

Olivia tak langsung menjawab. Diulurkannya kartu pass pada seorang satpam di pintu keluar Chemisto sambil mengucapkan terima kasih. Ditutupnya jendela, bersamaan dengan Prima menyalakan AC.

“Ada yang siap-siap melejit jadi wakil boss besar Chemisto,” Olivia nyengir.

Prima tersenyum lebar. “Navita ini pasti, tukang gosipnya.”

Olivia tergelak.

“Ya, percaya atau tidak, pasti ada reward untuk sebuah kerja keras,” ujar Prima. Terdengar serius.

“Aku memilih untuk percaya, walaupun tujuan bekerja keras bukan semata untuk mengejar reward,” timpal Olivia, ikut serius.

“Kamu benar,” angguk Prima. “Papa senang karena kamu hingga saat ini masih berada di jalur yang benar.”

“Anak siapa dulu?” Olivia meringis.

Prima tertawa. Tangannya terulur, menepuk lembut kepala Olivia. Laki-laki itu kemudian mengambil ponsel dari saku kemeja. Dihubunginya sebuah nama. Olivia menggembungkan pipi sambil menahan senyum mendengar pembicaraan Prima dengan seseorang di seberang. Penjual martabak langganan mereka.

* * *

Melihat Arlena sibuk di dapur, Carmela memutuskan untuk membantu. Sejenak, ia memeriksa apa saja yang ada di atas dak dapur.

Hubungannya dengan Arlena memang sudah mencair. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat bahwa Arlena bersungguh-sungguh untuk kembali pada keluarga. Tak hanya ia saja, kakak dan abangnya pun demikian. Sehingga pelan-pelan hubungan mereka dengan Arlena menghangat kembali.

“Perkedel kentangnya mau digoreng sekarang, Ma?” tanya Carmela sambil menyiapkan mangkuk untuk mengocok telur. “Tadi Bibik bilang ada perkedel di kulkas.”

“Itu perkedel bukannya buat sarapan besok pagi, ya?” Arlena menoleh.

“Oh?” Carmela mengangkat alisnya.

“Ini Mama mau goreng ayam ungkepnya,” ujar Arlena sambil menyiapkan penggorengan.

“Nggak dipanggang saja, Ma?” Carmela melongokkan kepala ke arah kotak plastik tertutup berisi ayam ungkep yang sudah dikeluarkan Arlena dari dalam kulkas.

“Oh, mau dipanggang? Boleh...”

Arlena kembali menggantungkan penggorengan di tempatnya semula. Sebagai gantinya, ia menyiapkan pinggan bundar untuk memanggang ayam. Sejenak kemudian aroma sedap ayam panggang memenuhi dapur. Saat itu terdengar derum halus mobil di luar.

“Tuh, Papa sama Mbak Livi sudah pulang,” gumam Arlena.

Dengan cekatan Carmela menyiapkan lima buah mug. Dibuatnya teh lemon hangat. Ketika ia hendak mengaduk mug ketiga, Prima muncul dan meletakkan sebuah tas kertas di island.

“Hm... Enak banget baunya,” celetuk Prima ketika hidungnya mencium aroma ayam panggang. “Bibik masak apa tadi?” dikecupnya kening Carmela.

“Sayur asem, tahu-tempe bacem, sambel, sama ayam ungkep. Tuh, lagi dipanggang Mama,” jawab Carmela manis.

Prima kemudian mendekat ke arah Arlena yang masih sibuk di depan kompor dan pinggan pemanggang. Tanpa suara, dengan lembut disapukannya bibir ke rambut Arlena dari arah belakang. Hanya sekilas, tapi sempat membuat perempuan itu seolah membeku sejenak. Prima kemudian berlagak melongok potongan-potongan ayam ungkep yang sedang dipanggang Arlena.

Carmela pura-pura tidak mengetahui kejadian itu. Ia menoleh ke arah tas kertas di atas island. Ketika ia melihat logo yang tertera di bagian luar tas kertas itu, segera saja gadis remaja itu memekik dramatis.

“Owh! Martabaaak! Kalau gini aku makin cintah ajah samah Papah.”

“Haish!” Prima memencet ujung hidung Carmela dengan gemas, membuat gadis remaja itu terkikik.

Selesai mengaduk teh, Carmela segera membuka tas kertas itu, menarik dengan hati-hati tiga buah kotak dari dalamnya, dan memindahkan isinya ke dalam tiga buah piring saji besar. Dua buah martabak telur berlainan isi dan sebuah martabak manis teh hijau isi komplet. Prima menerima segelas air hangat dari Arlena sambil mengucapkan terima kasih dan duduk di depan island.

Sambil menghabiskan air minumnya, laki-laki itu bertanya pada Carmela tentang kejadian menarik di sekolah. Gadis remaja itu pun bercerita dengan antusias. Arlena tersenyum mendengarnya. Kalau gadis sulungnya cenderung pendiam seperti sang ayah, maka si bungsu ini mewarisi kebawelannya. Sedangkan Maxi, lebih mirip lagi dengan Prima.

Ketika air minumnya habis, Prima berdiri dan beranjak hendak ke kamar atas untuk mandi. Di ambang pintu dapur ia hampir bertabrakan dengan Olivia. Gadis itu terlihat sudah segar. Di belakangnya ada Maxi.

“Wuidiiih! Martabak!” tatapan Maxi terlihat bernafsu.

“Tolong, bawa ke ruang tengah, Max,” ujar Olivia.

Pemuda itu mematuhi perintah kakaknya.

“Sekalian sama nampan mug-nya, ya, Mas ganteng,” Carmela nyengir.

Maxi meleletkan lidah ketika kembali untuk mengambil nampan minuman dan satu piring martabak yang masih tertinggal. Olivia dan Carmela sama-sama terkikik geli. Kedua gadis itu kemudian sibuk menyiapkan peralatan makan dan mondar-mandir dari dapur ke ruang makan. Setelah meja makan tertata rapi, keduanya kemudian bergabung dengan Arlena dan Maxi yang sudah duduk manis di ruang tengah. Menikmati martabak dan teh lemon sambil menonton televisi. Menunggu Prima selesai mandi.

“Singkong baladonya tadi mana, Ma?” Carmela menoleh ke arah Arlena sebelum menjatuhkan tubuhnya di atas karpet, tempat favoritnya.

“Oh, iya, lupa,” Arlena beranjak ke dapur.

“Ini kamu yang bikin tehnya?” Maxi mengangkat sedikit mug yang isinya baru saja disesapnya.

“Iya,” angguk Carmela. “Kenapa?”

“Manis banget,” gumam Maxi.

“Kalau kurang asem, ngaca saja, Mas,” balas Carmela dengan nada kalem.

Olivia tergelak mendengar ucapan adik bungsunya. Sementara Maxi menggelengkan kepala sambil memutar bola mata.

“Wah, ketawa, kok, nggak bagi-bagi?” gumam Prima.

Laki-laki yang sudah tampak segar kembali itu muncul dari arah tangga dan duduk di sebuah sofa tunggal di dekat Carmela. Ia meraih sebuah mug dan menyesap isinya. Sejenak kemudian ia mengernyit.

“Gula lagi murah banget, ya?” ujarnya.

“Nah, manis banget, kan, Pa?” Maxi merasa di atas angin.

“Gampang...,” Olivia mengibaskan tangan kanannya. “Kata Mela, kalau kurang asem, tinggal ngaca saja.”

Seketika Prima terbahak. Sementara itu Carmela mengerucutkan bibir.

“Tumben, sih, Mel?” Prima mengelus rambut gadis bungsu yang duduk di atas karpet di dekat kakinya. “Biasanya teh buatanmu pas rasanya.”

“Sendok gula kayaknya diganti, deh, sama Muntik,” sahut Arlena yang muncul dari dapur, membawa satu stoples plastik berukuran jumbo berisi keripik singkong balado, “jadi lebih besar.”

“Oh...,” Prima mengangguk.

“Itu keripik beli di mana, Ma?” Maxi mengulurkan tangan, meminta stoples itu.

Arlena memberikan stoples itu pada Maxi. “Buatan Budhe Min. Tadi, kan, sebelum jemput Mela, Mama mampir ke sana.”

“Enak, pasti...,” Olivia meraih stoples itu dari tangan Maxi.

“Ya, enaklah...,” senyum Arlena. “Tadi sebenarnya dikasih dua kantong besar. Tapi sampai di rumah tinggal segitu.”

Arlena mengulum senyum. Tatapannya jatuh ke seberang, ke arah Carmela. Yang ditatap memasang wajah pura-pura bego sambil menumpukan dagunya pada lutut Prima dari arah samping. Tatapan sok polosnya lurus terarah pada televisi.

“Busseeet!” seru Maxi. “Segitu banyak habis sendiri, Mel?”

“Kan, sama Cindy nyemilnya,” tukas Carmela. “Sisa seperempat, di-embat sekalian sama Cindy.”

Semuanya tergelak. Prima kemudian menatap Arlena.

“Sudah siap makanannya?” tanyanya halus.

“Sudah,” angguk Arlena.

“Yuk, makan dulu, yuk,” Prima berdiri setelah menyisihkan wajah imut Carmela dari lututnya. “Nanti ngobrol lagi sambil habiskan martabak.”

Sejenak kemudian semuanya sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka makan dengan nikmat. Sesekali muncul celoteh dan tanggapan yang menggelitik telinga. Membuat mereka tersenyum dan tertawa.

Perlahan, kehangatan itu mulai terajut kembali.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Blog FiksiLizz mengucapkan "SELAMAT MERAYAKAN IDUL FITRI 1438 H", ditunggu kiriman ketupat lengkapnya...
😁😘🍴



4 komentar:

  1. James bikin gemes. Mbayangno pak James kyk bond, james bond. Kripik balado, bknan budhe Min? Pasti enak...
    Ketupat lebaran ya.... aku yo pengen. Kirimin mbak, ndik kene ora eneng janur soale....

    BalasHapus
  2. Cek manise episod iki mb Lis.
    Seneng aq !
    Lope" kambek pa Prima qiqiqiqiqiqiqiq

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lo ya biyen jareke kiwir2 nang lukenyut, saiki kok prima? Jok denjeres ngene ta ma wkkkkkkkk

      Hapus
  3. Hangatnya sampai ke sini (padahal tadi sore hujan).

    BalasHapus