Kamis, 08 Juni 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #14










* * *


Empat Belas


Sudah genap seminggu...

Waktu satu minggu yang sudah membuatnya hampir gila didera gelisah. Semuanya bermuara pada satu nama. Sasya.

“Kamu tumben nggak pulang?”

Begitu ucapan Wanda melalui sambungan telepon beberapa menit lalu. Dan ia terpaksa menjawab bahwa semalam ia pulang sudah terlalu larut. Jadi langsung kembali ke apartemen.

Diliriknya jam dinding yang tergantung di atas pintu kamar. Sudah hampir pukul delapan. Dan ia masih belum menyingkirkan selimut dari atas tubuhnya. Buru-buru ia bangun dan meloncat ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian dia sudah siap di area parkir apartemen. Hendak meluncur ke suatu tempat. Ia sudah merindukan tempat itu. Biasanya di pertengahan minggu ia menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana sebelum makan siang bersama ayahnya. Bermain dengan anak-anak yang belum bersekolah. Tapi sepanjang minggu ini ia benar-benar menyibukkan diri agar bisa lari sejenak dari kerinduannya yang lain.

Dihelanya napas panjang sambil mulai menekan pedal gas. Perlahan mobil itu meluncur keluar dari basement. Sinar cerah matahari yang sudah mulai terik menyambutnya. Membuatnya meraih dan memakai kacamata hitamnya saat menunggu petugas keamanan membuka portal.

* * *

Sasya butuh waktu untuk sejenak menepi dari ingar-bingar hatinya belakangan ini. Tempat yang paling nyaman adalah kantor ayahnya di EuropeSky. Beberapa pandangan dari orang-orang terdekat sudah masuk ke telinganya. Semua positif, semua mendukung. Tapi tetap ia harus memikirkannya baik-baik. Toh, yang akan menjalani adalah dirinya sendiri.

“Bagi Mama, yang penting dia itu laki-laki. Bisa mencintaimu apa adanya, menerima segala kekurangan dan kelebihanmu, bisa menjagamu, bisa menghargaimu, bisa membuatmu nyaman, mau berusaha untuk berkomitmen dan setia pada pilihannya sekaligus menjalankannya dengan baik. Mama menghargai kejujurannya. Mama terkesan pada dukungan keluarganya. Mamanya juga bersedia untuk terbuka pada Mama, tidak mau menutupi kondisi anaknya. Mama pikir itu awal mula yang baik, Sas.”

Sasya menopang pelipisnya dengan tangan kiri, dengan siku bertumpu pada meja, sementara jemari tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme teratur. Kali ini, ucapan Runa terngiang di telinganya.

“Dia nggak ngerti terlalu banyak. Hanya dari cerita si mantan itu saja. Mm... Menurut yang dia dengar, Ronan itu baik. Oke, orientasi seksualnya menurut kita mungkin bisa dibilang menyimpang. Tapi perilaku seksualnya bersih, Sas. Nggak pernah melakukan macem-macem. Dia dewasa, bisa ngemong. Dan Mas yakin, dia nggak main-main sama kamu.”

Dihelanya napas panjang. Sudah bermalam-malam ia memanjatkan doa. Memohon penerangan. Seperti yang diingatkan oleh ayahnya.

“Kalau kamu masih ragu, schat, di atas sana masih ada yang mengawasimu dengan cintaNya. Tidak akan membiarkan kamu jatuh. Mintalah padaNya.”

Dan jawaban itu sebenarnya sudah ia peroleh. Ketenangan. Kemantapan hati. Keyakinan rasa. Tapi ia masih butuh satu hal lagi. Penegasan, bahwa yang akan ia lakukan nanti adalah hal yang relatif benar.

Ia mendongak sedikit, menatap jam dinding bundar besar berwarna putih yang tergantung pada dinding di seberangnya. Hampir pukul setengah sebelas menjelang siang. Ia berdiri. Tapi sebelum sempat melangkahkan kaki keluar dari ruangan kantor, pesawat telepon di mejanya berbunyi.

“Ya? Sasya di sini.”

"Mbak Sya, ini Abraham. Makanan buat pastoran sudah siap. Mau diantar anak-anak apa Mbak Sya sendiri?”

“Oh, aku sendiri, Chef. Makasih. Aku ke situ sekarang.”

Setelah menutup pembicaraan itu, Sasya pun meneruskan maksudnya untuk melangkah ke dapur. Sesampainya di sana, ada dua buah keranjang rotan yang sudah tertutup rapi di atas meja.

“Ini sudah semua, kan, Chef?” Sasya menatap Abraham.

“Persis seperti yang dipesan Ibu, Mbak,” angguk Abraham.

“Oke, deh, aku berangkat sekarang,” Sasya mengangkat keranjang-keranjang itu. "Makasih, ya."

“Nanti mau balik ke sini, Mbak?” Abraham membukakan pintu dapur untuknya.

“Iya, Chef.

“Perlu kirim makanan untuk Marsih?”

“Nggak perlu,” Sasya menggeleng. “Tadi sudah aku tinggalin uang buat order makanan terserah dia.”

Hari ini Yuliani mendapat giliran untuk mengirimkan makanan ke pastoran. Biasanya ia memasak sendiri dibantu Marsih. Tapi sejak kemarin sore perempuan itu pergi ke Bandung untuk membantu Era yang hari ini ada event lagi di resto. Event yang lebih besar daripada akhir minggu lalu. Baru akan pulang ke sini besok, bersamaan dengan kepulangan Fritz dari Bali. Maka urusan masak-memasak itu terpaksa dilimpahkannya pada Abraham.

Dengan hati-hati Sasya menempatkan keranjang-keranjang itu di dalam mobil Yuliani yang dipakainya. Salah satu keranjang diletakkannya di jok kiri depan, sedangkan satunya di bawah. Ia memastikan kedua keranjang itu cukup aman posisinya sebelum meluncur keluar dari halaman belakang EuropeSky.

* * *

“Kamu tadi mampir ke rumah?”

Wanda menyambut dengan tanya begitu Ronan muncul di kantor panti asuhan. Laki-laki itu menggeleng.

“Tapi nanti malam aku nginep, Ma.”

Wanda mengangguk dengan wajah cerah.

“Ma, aku ke tempat anak-anak dulu. Eh, Papa sama Gaby ke sini?”

“Enggak...,” Wanda menggeleng. “Dari pagi buta sudah jalan ke Bogor. Mancing. Kamu tahulah adikmu itu. Nurun plek-ketiplek hobi Papa.”

Ronan terkekeh sebelum beranjak.

Tempat dan anak-anak itu memang bisa mengalihkan perhatian dan pikirannya dari perasaan galau yang tengah membelitnya. Terutama senyum manis Ela. Digendongnya bayi itu. Bersama bayi-bayi lain, yang digendong para pengasuh, dan anak-anak balita, mereka kemudian menuju ke ruang bermain.

Kali ini Nur-lah yang menggantikan Ronan mendongeng. Anak-anak begitu tekun mendengarnya. Sesekali mereka tertawa. Ela duduk manis di pangkuan Ronan yang duduk bersila di atas karpet. Bayi cantik itu menyusu dengan nikmat. Memegang sendiri botol dotnya.

Tak lama kemudian anak-anak SD yang sudah pulang sekolah bergabung di ruangan itu. Pun Dennis. Perjaka kecil itu langsung duduk di sebelah Ronan, kemudian menciumi pipi adiknya.

“Papa Ronan, Tante Sya kapan ke sini lagi?” Dennis mendongak, menatap Ronan.

“Hah?” Ronan sempat terbengong. Tapi kemudian ia menggeleng. “Belum tahu, Den. Memangnya kenapa?”

“Tante Sya itu orangnya baik, ya?” senyum Dennis. “Kayaknya sayang sama Ela.”

“Hm... Iya...,” angguk Ronan.

“Papa Ronan kenal, kan, sama Tante Sya?”

“Iya, kenal. Kenapa?”

“Ajak ke sini lagi, dong....”

“Iya, nanti kalau ketemu, Papa Ronan bilang sama dia, ya?”

Dennis tersenyum senang. Ia mencandai lagi Ela. Ronan tercenung sejenak.

Mengajak Sasya ke sini?

Dihelanya napas panjang tanpa kentara.

Seandainya semudah itu, Den...

* * *

Hampir sejam kemudian Sasya sampai di halaman pastoran paroki1). Monika, salah seorang staf sekretariat paroki, menyambut kedatangannya dengan senyuman

“Wah, pasti, deh!” senyum Monika melebar. “Kalau pas giliran keluarga Pak Fritz yang kirim makanan, pasti diantar sendiri.”

“Ya... Kan, Bu Monik tahu sendiri kami nggak punya sopir,” Sasya nyengir sambil menurunkan keranjang dari dalam mobil.

“Ojek online?” Monika meringis dengan ekspresi menggoda.

“Hooo... Bisa dipentung Mama, aku, Bu,” Sasya tergelak ringan.

“Banyak yang begitu,” bisik Monika. “Tapi demi kepraktisan ‘kali, ya?”

Sasya tersenyum dikulum. Monika membantu Sasya membawa keranjang-keranjang itu masuk. Ketika melewati kantor sekretariat, Sasya berhenti sejenak untuk menyapa dua orang lagi staf yang ada di sana. Ternyata ada juga seorang pastor sedang berada di situ.

“Selamat siang, Romo2) Endar,” sapanya sopan.

“Oi! Halo, Sasya!” pastor yang dipanggil Romo Endar itu berdiri dan menghampiri Sasya. Menjabat tangannya dengan hangat. “Lama banget nggak kelihatan? Cuma hari Minggu saja, nih, nongolnya.”

“Hehehe... Iya,” Sasya tersipu sedikit. “Lagi usaha atur jadwal lagi, Romo. Kangen banget, sih, sama rame-rame di sini.”

“Kamu lanjut S2, ya?”

“Iya, Mo, nambah ilmu.”

Romo Endar mengacungkan jempolnya.

“Mm...,” Sasya menatap laki-laki berusia 40-an itu dengan ragu-ragu. “Mo, kapan ada waktu? Saya ada perlu.”

“Oh... Sekarang juga bisa. Aku lagi kosong, kok. Cuma nanti jam satu ada janji sama pasangan yang mau kanonik3).”

Sasya menghela napas lega. Ia mengangguk.

“Kalau begitu, saya taruh ini dulu di dalam, Romo.”

“Ya, silakan... Silakan.”

Beberapa menit kemudian, keduanya sudah duduk berseberangan di kursi rotan sederhana di salah satu ruang tamu kecil di pastoran itu. Dengan suara lirih, Sasya menceritakan semuanya tentang ia dan Ronan. Dari A sampai Z. Tak satu pun ketinggalan. Romo Endar mendengarkan dan mencermatinya baik-baik.

“Kalau saya ditanya... ya, saya... punya perasaan yang sama dengannya. Saya bisa terima dia apa adanya, sebenarnya. Toh, dia sudah bersedia jujur di awal. Saya anggap itu sebagai salah satu bentuk sikap lurusnya dan penghargaannya terhadap saya. Begitu, Romo...,” Sasya mengakhiri curhatnya. Tertunduk.

“Lalu, yang masih membuatmu ragu apa, Sya?” tanya Romo Endar dengan nada sabar.

Sasya menghela napas panjang. “Saya... cuma khawatir salah langkah. Salah memutuskan. Salah memahami pandangan gereja.”

“Hm...,” Romo Endar manggut-manggut. “Jadi begini, Sya... Dari yang kudengar menurut penuturanmu baru saja, kamu sepertinya sudah memahami dan bisa memisahkan antara penyimpangan orientasi dengan perilaku. Betul begitu?" laki-laki berwajah teduh itu menegaskan.

Sasya mengangguk.

"Oke! Pada dasarnya, kita memang harus memisahkan kedua hal itu," lanjut Romo Endar. "Kecenderungan penyimpangan belum bisa dikatakan dosa kalau tidak ada perilaku. Soal perilaku ‘dosa’ ini--,” Romo Endar membuat tanda kutip di udara dengan kedua jari telunjuknya, “--semua orang, baik yang menyimpang maupun yang normal, pun bisa kebablasan melakukannya kalau tidak bisa mengendalikan diri.”

“Misalnya, perilaku seks bebas, berzinah, mesum, dan sejenisnya begitu, Mo?” mata Sasya mengerjap.

Romo Endar mengangguk. “Betul! Juga seandainya mengekspos hubungan secara vulgar di depan umum tanpa mengindahkan norma-norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat. Tapi kalau tidak, yang bersangkutan bisa menahan diri dan berperilaku yang tidak melanggar perintah Tuhan, ya, tidak apa-apa.”

Sasya manggut-manggut.

“Orientasi seksual itu, bagaimanapun bentuknya, baik yang hetero, homo, maupun bi, tetaplah merupakan sesuatu yang 'terberikan', Sya,” sambung Romo Endar. “Given. Ada yang mengatakan bisa berubah, ada pula yang mengatakan bahwa itu keadaan menetap. Tapi pada intinya, itu bukanlah suatu penyakit. Jadi nggak ada obatnya. Nah, kalau hatinya sekarang jatuh padamu, dia sudah bersedia jujur, apalagi memang sebelum ini perilakunya tidak menyimpang dalam artian tidak melakukan free sex dengan sesama maupun lawan jenis, pertimbangkan untuk menerimanya. Soal kesetiaan dan sebagainya, itu tergantung manusianya. Mau hetero, kalau dasarnya memang sudah tidak setia dan doyan terkam sana-sini, ya, sebaiknya dihindari. Seandainya dia pernah melakukan free sex di masa lalu, tapi sekarang sudah benar-benar bertobat, itu sebaiknya juga dihargai. Tapi kalau memang kamu tidak bisa menerima soal itu, ya, jangan memaksakan diri.”

Sasya tercenung lama. Pelan-pelan, semua hal yang masih terasa mengganjal akhirnya luruh juga. Sedikit demi sedikit. Ditatapnya Romo Endar dengan senyuman.

“Ya, saya benar-benar paham sekarang,” angguk Sasya. “Terima kasih banyak, Romo.

“Ya, sama-sama,” angguk laki-laki itu, juga dengan senyuman. “Ingat, ya? Yang harus kita tolak itu adalah legalitas perilakunya. Bukan orientasi, karena itu given. Apalagi manusianya.”

Sekali lagi Sasya mengangguk. Ia kemudian berpamitan sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Kemudian pastor itu menyeletuk dengan nada canda ketika mengantar Sasya hingga ke mobil.

“Ngomong-ngomong, kirimannya tadi sayur asem, bukan?”

“Wah, bukan, Romo,” jawab Sasya. “Mama lagi ke Bandung. Jadi sama Mama dilimpahkan ke chef resto.”

“Yah... Padahal kami di sini sudah jatuh cinta sama sayur asem, baceman tahu-tempe, goreng ikan asin, sama sambal bajak buatan Bu Fritz. Hehehe... Tapi, ya, pastilah tetap nggak nolak dapat makanan apa pun. Harus tetap bersyukur, kan?”

“Hehehe... Nanti, deh, saya bilang Mama. Lain kali kalau kena giliran lagi, biar dimasakin itu request Romo.”

“Hahaha... Bercanda, lho, Sya. Terima kasih banyak atas makanan hari ini. Tuhan berkati.”

“Sama-sama, Romo. Pencerahan dari Romo berarti banyak buat saya.”

Sasya kemudian berpamitan, masuk ke dalam mobil, dan meluncur meninggalkan halaman pastoran.

* * *

Kehidupan orang-orang seperti mereka tidaklah mudah. Yuke menyadari betul hal itu. Tapi keadaan Ronan di matanya masih lebih baik. Karena masih punya kemungkinan untuk mencintai lawan jenis. Dan cinta adalah masalah hati.

Ketika Ronan menemukan lagi cinta yang lain setelah hubungan mereka berakhir, cinta yang ‘tepat’, maka ia tak punya pilihan lain kecuali merelakannya. Lagipula ia sudah menemukan tempat baru yang membuatnya lebih bebas berekspresi. Membuatnya lebih nyaman. Membuatnya menemukan kehidupan yang juga baru. Mungkin benar hanya sekadar pelarian belaka, tapi hal lain apa yang bisa dilakukannya?

Pilihan Ronan untuk jujur pun sangat ia hargai, walaupun ia sempat menyesalinya. Baginya pengakuan itu masih terlalu dini. Seharusnya...

Ah! Dia selalu punya sikap, pandangan, dan pendirian lain yang memang jauh lebih dewasa.

Sesuatu yang membuatnya sangat menghormati Ronan. Ia berpaling. Menatap siang yang cukup terik di luar jendela. Dihelanya napas panjang.

Mungkin aku tidak berhak. Tapi aku harus tetap berusaha untuk menyelamatkan hubungan itu.

* * *

Minum Leffe Blonde dingin enak banget kayaknya...

Sasya nyengir sekilas ketika menyadari pikiran ‘nakal’-nya.

Atau Früli saja? Hm...

Siang yang panas menyambutnya begitu keluar dari dalam mobil yang diparkirnya di halaman belakang EuropeSky. Dengan berlari kecil, Sasya buru-buru masuk melalui pintu khusus staf. Baru saja hendak menyelinap masuk ke kantor untuk ngembat sebotol bir Früli yang selalu disimpan Fritz di kulkas pribadi, seorang pramusaji menghadang langkahnya.

“Mbak, maaf, ada tamu cari Mbak Sya,” ujar Ranto.

“Hah?” Sasya mengerutkan kening. Rasa-rasanya ia tidak ada janji dengan siapa pun siang ini.

“Sudah agak lama, sih, nunggunya,” sambung Ranto. “Tadi sudah saya bilang Mbak Sya lagi keluar, tapi bakal balik lagi. Dia bersedia menunggu.”

“Siapa?” Sasya masih mengerutkan kening.

“Mm...,” Ranto menatap secarik kertas catatan di tangannya. “Bapak Arland Sedayu.”

Seketika Sasya hampir lupa bernapas.

* * *


Catatan :

1) Pastoran paroki adalah tempat tinggal pastor (imam / pemimpin agama Katolik) di sebuah paroki. Biasanya menjadi satu dengan sekretariat paroki yang mengurus administrasi gereja.
Paroki adalah satuan wilayah administrasi gereja Katolik yang dikepalai oleh seorang pastor (disebut pastor kepala paroki), didampingi minimal seorang pastor lain. Biasanya memiliki satu (bangunan) gereja sendiri.

2) Romo adalah sebutan / panggilan kepada pastor, dipengaruhi oleh bahasa Jawa, artinya 'bapak'. (Sebutan lain misalnya adalah Pater, Father, Padre, dll. tergantung daerahnya, tapi artinya sama).

3) Kanonik (atau istilah lengkapnya adalah wawancara kanonik) adalah wawancara langsung antara pastor dengan pasangan yang hendak menikah. Biasanya dilakukan setelah kedua calon mempelai selesai menjalani kursus persiapan pernikahan. Minimal dilakukan dua bulan sebelum hari H pemberkatan nikah.



Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)



3 komentar:

  1. Adeemmm banget Romo Endar. Serasa kesiram aer es. Apik mbak... Teopebegeteh..pokokne

    BalasHapus
  2. Topike gamain".
    Nulise gamain".
    Referensie gamain".
    Pean jempol cen mb Lis.
    Salut !!!!!

    BalasHapus