Rabu, 08 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #9-3








Sebelumnya  



* * *


“Nyambung pembicaraan tadi pagi,” Maxi menatap Carmela, “kupikir kita harus bisa memaafkan Mama kalau memang Mama mau berubah, Mel.”

Carmela menyedot minuman dinginnya. Sejenak kemudian ia balas menatap abangnya itu.

“Ya, kalau aku, sih, prinsipnya forgive but not forget,” ucap Carmela, tegas. “Kalau sekarang, entah kenapa aku belum yakin, Mas. Papa sudah mulai sibuk lagi Senin lusa. Mbak Livi juga tetap sibuk. Mas juga. Aku juga. Memangnya Mama betah kesepian lagi?”

Maxi termenung sejenak.

Sesungguhnya ia senang melihat perubahan Arlena. Harapannya mulai bersemi, bahwa keluarga mereka akan benar-benar utuh seperti semua artikel Arlena tentang keluarga ideal. Tapi setelah hampir seminggu berlalu, ia masih mendapati bahwa ada tembok transparan yang sedemikian tinggi dan kokoh, yang tebentang antara mereka bertiga – Olivia, Maxi, Carmela – dengan sang mama. Tembok yang Arlena belum mencoba untuk mendobraknya. Memang sudah mulai mencungkilnya sedikit-sedikit, tapi itu belum cukup. Dan seutuhnya ia memahami keraguan Carmela. Karena ia pun memiliki keraguan yang sama.

Dihelanya napas panjang.

“Ya, sudah, Mel. Kita lihat saja perkembangannya,” gumam Maxi.

“Nah, gitu lebih baik. Sekarang acaranya kita senang-senang, bukan mikirin Mama,” Carmela mengedikkan bahu.

* * *

“Oh, ya,” Miko menatap Olivia, “Mami sudah beberapa waktu ini tanya-tanya terus, kapan aku mengajakmu ke rumah. Kayaknya Mami sudah kangen padamu.”

Olivia menanggapinya dengan senyum.

Selama hampir tujuh bulan berpacaran dengan Miko, memang baru dua kali Miko membawa Olivia untuk bertemu dengan sang ibu. Sepanjang pertemuan itu, hasilnya cukup positif. Tampaknya ibu Miko menganggapnya layak untuk mendampingi sang putra tunggal.

Hanya saja...

“Satu atau dua minggu inilah, Mas,” ujarnya kemudian.

Miko mengangguk sambil tersenyum. Membuat Olivia menghela napas lega.

Sesungguhnya ia tak tahu kenapa ia dulu mengangguk begitu saja ketika Miko ‘melamar’-nya untuk dijadikan pacar. Sebagai teman bicara, Miko cukup menyenangkan. Sikap laki-laki berusia 27 tahun itu juga cukup sopan. Penampilannya juga cukup sepadan. Mungkin itulah alasan-alasannya. Berbagai alasan ‘cukup’ yang ternyata belum bisa membuat ia ‘cukup berani’ untuk membuka diri terlalu banyak pada Miko.

Termasuk soal Mama...

Keluarga Olivia yang diketahui Miko adalah keluarga yang digambarkan secara terlalu sempurna oleh Arlena dalam artikel-artikelnya.

Entah dia akan ngomong apa kalau tahu yang sebenarnya...

“Kulihat Papa tadi sudah sehat, Liv,” celetuk Miko sambil mencolekkan secuil daging bebek ke sambal.

“Iya,” angguk Olivia. “Senin lusa sudah masuk kerja lagi.”

“Sejak kapan Papa kena maag? Kayaknya kamu nggak pernah cerita.”

“Baru kemarin itu, Mas,” Olivia menatap Miko. “Langsung agak parah begitu. Sebelumnya belum pernah.”

“Semoga selanjutnya Papa baik-baik saja, ya, Liv?”

Olivia mengangguk.

“Oh, ya, artikel Mama di BlogSip ikutan absen juga selama Papa sakit, Liv. Memang Mama bilang pamit sejenak, sih, di artikel terakhir. Mau urusin Papa dulu.”

Olivia manggut-manggut.

“Ngomong-ngomong, kamu kayaknya, kok, nggak begitu tertarik sama artikel-artikel Mama? Kenapa, Liv?”

Olivia membatalkan suapan yang sudah siap di depan mulutnya. Ditatapnya Miko dengan tajam.

“Karena semuanya biasa-biasa saja,” jawab Olivia dengan suara lugas. “Sama sekali nggak ada yang istimewa.”

Miko agak terkejut mendengar jawaban Olivia. Bukan isi jawaban itu, melainkan sikap defensif yang sedikit ditunjukkan Olivia. Tapi ia memutuskan untuk tidak memperpanjang urusan itu, walau ada pertanyaan yang mengambang di dalam hatinya.

Ada apa sebenarnya?

* * *

Ada gurat kelelahan yang samar dalam wajah Prima, tapi tertutupi kegembiraannya seusai ‘berkencan’ dengan Arlena. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tak lama kemudian Arlena menyusul di sebelahnya.

“Kayaknya kita perlu sering-sering kencan seperti tadi,” gumam Prima.

Arlena terkekeh ringan sambil menanggapi, “Makanya, Senin aku antar Papa ke kantor. Sorenya aku jemput. Biar Livi bawa sendiri mobil Papa.”

“Hm... Boleh, deh.”

“Nah, dari tadi begitu, kan, enak. Sudah, Papa istirahat dulu,” ujar Arlena lembut.

Arlena menggulingkan tubuhnya, menghadap ke arah Prima. Diulurkannya sebelah tangan, dan melingkarkannya di dada Prima. Laki-laki itu mengelus lengan Arlena, yang segera menempelkan sebelah pipinya ke lengan Prima. Pelan-pelan, Prima mengatupkan mata.

* * *

‘Aku ingin berhenti, Mon.’

Arlena termenung membaca pesan yang sudah terkirim beberapa menit yang lalu melalui aplikasi Whatsapp. Pesan yang belum terbalas hingga saat ini. Membuat Arlena meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Pelan, ia menyandarkan punggungnya. Mencoba untuk menikmati keheningan di dalam ruang baca itu.

Harmono adalah alias. Siapa Harmono sebenarnya, lama-lama membuat Arlena ngeri. Laki-laki itu ternyata Bagus Suharman, seorang gembong narkoba yang sedang berada di balik jeruji penjara di bawah vonis seumur hidup. Uang yang dimiliki Harmono membuat laki-laki itu bisa mendapatkan fasilitas ‘lebih’ termasuk soal kebebasan bermain dengan perangkat komunikasi. Ia memang mengakui secara jujur siapa ia pada Arlena dalam suatu pesannya.

‘Aku Bagus Suharman, Len. Kamu tentu tahu siapa aku. Kita sama-sama orang terpenjara, Len. Aku terpenjara dalam bangunan ini, dan kamu terpenjara dalam perkawinanmu yang menjemukan.’

Dan bodohnya Arlena. Menganggap semua pergaulannya dengan Harmono tidak akan apa-apa. Hingga ia terjerumus dalam suatu hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Bunyi ponsel yang cukup nyaring membuat Arlena tersentak kaget dan menegakkan punggungnya. Dengan sikap ogah-ogahan diraihnya ponsel itu. Sejenak kemudian ia kembali termenung setelah membaca pesan yang masuk. Balasan berupa tanya dari Harmono.

‘Kenapa?’

Ia segera mengetikkan balasannya. ‘Aku masih mencintai Prima, Mon.’

‘Kalau kamu memang ingin kembali, memang di sanalah tempatmu. Suamimu sendiri. Tapi ingat, Len. Jangan ada laki-laki lain lagi. Atau...’

Arlena menelan ludah. Ia paham. Sepenuhnya. Dan berharap bahwa ia tidak akan...

‘Aku tahu, Mon.’

Dan ia tahu harus ke mana melangkah saat ini. Kembali ke lantai atas. Ke sisi Prima. Ke dalam pelukan laki-laki itu. 

* * *

“Navita!”

“Navita...”

Prima tergeragap tiba-tiba. Ia membuka mata dan seketika terduduk dengan jantung berdebar keras, napas terengah, dan keringat membasahi wajahnya. Padahal suhu AC dalam kamar itu cukup dingin. Ia memejamkan mata sambil menghela napas panjang beberapa kali hingga rasa sesak di dadanya berkurang. Diusapnya wajah dengan kedua telapak tangan.

“Lho, Papa sudah bangun?”

Suara Arlena yang cukup lembut itu justru membuat Prima terlonjak kaget. Jantungnya kembali berdebar keras, diikuti dengan rasa pening. Arlena yang baru saja masuk segera menghampiri Prima dan duduk di sampingnya.

“Pa, kenapa? Sakit lagi?” Arlena segera mengusap keringat yang membasahi kening dan wajah Prima.

Laki-laki itu masih agak terengah. Arlena mengelus punggung Prima beberapa kali. Ketika dilihatnya napas Prima mulai teratur, Arlena meraih segelas air putih yang masih utuh dalam gelas tertutup di atas nakas.

“Minum dulu, Pa...,” Arlena menyodorkan gelas itu.

Prima segera meneguknya tanpa henti.

“Pelan-pelan, Pa,” gumam Arlena sambil mengelus lagi punggung Prima. “Jangan sampai tersedak.”

Dan Prima menghela napas panjang begitu isi gelas habis. Arlena segera mengambil alih gelas itu dan meletakkannya kembali di atas nakas. Pelan-pelan Prima berbaring kembali. Napasnya masih agak terengah.

“Masa baru ditinggal sebentar, kok, bisa ngos-ngosan begini?” Arlena mengusap lembut kening Prima.

“Aku mimpi buruk,” bisik Prima.

“Mimpi apa?”

“Entahlah,” Prima menggeleng lemah. “Aku nggak ingat.”

Dan Prima memang jujur. Ia sama sekali tidak ingat apa mimpinya. Sedikit pun. Tapi ia masih bisa mengingat dengan jelas ucapan terakhirnya sebelum terbangun. Lebih tepatnya, nama siapa yang disebutnya. Prima menghela napas panjang.

Apa yang terjadi kalau Arlena tahu apa yang kuteriakkan dalam mimpi tadi?

Teriakan yang berubah jadi desah halus di alam nyata. Desah yang untungnya tidak diketahui Arlena.

Prima memejamkan mata kembali. Terasa ada gerakan di sisi kirinya. Sejenak kemudian ada lengan yang memeluk dadanya. Ia kemudian mengubah posisi berbaringnya. Kini menghadap ke arah Arlena. Ia memeluk perempuan itu dengan sebelah lengannya.

Semoga dia tak datang lagi dalam mimpiku. Jangan!

* * *

Setelah Miko berpamitan, Olivia duduk termenung di teras depan. Tangannya bersedekap di depan dada. Punggungnya menempel pada sandaran kursi rotan. Berkali-kali dihelanya napas panjang. Tatapannya jauh menembus temaramnya taman yang dihiasi cahaya lampu. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa pertanyaan pendek Miko siang tadi, tentang sikapnya terhadap artikel-artikel Arlena, sanggup membuat mood-nya terbanting dari titik tertinggi ke titik terendah.

Benar-benar merusak suasana!

Olivia menggeleng samar.

Bukankah aku seharusnya senang kalau Mama kembali?

Tapi entah kenapa kali ini perasaannya seolah sudah telanjur hambar. Sudah terlalu sering ia berharap. Bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan selalu harapannya itu berujung pada jalan buntu yang dibatasi tembok tinggi. Bahkan Arlena makin menjauh. Dan pada akhirnya ia bersama adik-adiknya makin tak kenal lagi sosok seorang mama dalam kehidupan mereka.

Mengingat itu, mata Olivia perlahan mengaca. Ketika ia mengerjap untuk mengurangi genangan itu, sebutir airmata justru menggelinding di pipi kanannya. Ia cepat-cepat menghapusnya.

“Liv...”

Olivia tersentak. Ia menoleh dan mendapati Prima tengah berdiri di ambang pintu. Entah sudah berapa lama. Dengan kening berkerut.

“Ada apa?”

Terlambat bagi Olivia untuk menghindar. Prima sudah telanjur melangkah mendekat, kemudian duduk di sebelahnya. Tangan Prima merengkuh bahu anak gadisnya itu.

“Kok, nggak jawab?” tegur Prima lembut sambil mengelus kepala Olivia.

“Nggak ada apa-apa, kok, Pa,” gumam Olivia.

Curhat soal ini ke Papa?

Olivia kembali menggeleng samar.

Di saat Papa sedang menikmati perhatian Mama? Alangkah egoisnya aku!

“Nggak ada apa-apa, kok, melamun? Nggak lagi berantem sama Miko, kan?”

“Enggak,” Olivia menjawab singkat.

“Papa sebetulnya mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucap Prima dengan suara rendah.

“Soal apa?” Olivia menoleh sekilas.

“Mama.”

“Kalau soal Mama, jangan sekarang, ya, Pa. Aku capek,” ada ketegasan dalam suara lirih Olivia. “Maaf, Pa, aku masuk dulu.”

Sebelum Prima sempat menanggapi, Olivia sudah berdiri dan meninggalkannya. Laki-laki itu termangu.

Mungkin memang waktunya belum tepat.

Prima menghela napas panjang.

Lebih diamnya Olivia sore ini sudah tercium sejak gadis itu datang bersama kedua adiknya dan Miko. Lelah sepertinya bukan alasan utama. Karena selelah apa pun Olivia, biasanya masih sanggup tersenyum dan memasang wajah ceria. Tidak seperti kali ini.

Pembicaraan sepanjang acara makan malam bersama sebelum Miko pulang tadi lebih didominasi oleh Arlena dan Miko. Sesekali ia nimbrung. Tapi tak ada suara sedikit pun dari Olivia, Maxi, dan Carmela, kecuali jawaban pendek saat ditanya.

Kelihatannya lebih sulit daripada yang kuduga...

Prima menghela napas panjang.

Selama ini dilihatnya Olivia berpengaruh sangat besar terhadap Maxi dan Carmela. Kedua adik itu cukup menuruti semua omongan sang kakak. Bila Olivia bisa memahami apa yang kini sedang diusahakannya bersama Arlena, maka bukan tidak mungkin Maxi dan Carmela pun akan lebih mudah memahami. Lalu semuanya akan cair. Dan mereka akan kembali utuh seperti semula.

Satu hal yang pada akhirnya ia tahu harus bagaimana. Kembali bersabar. Sedikit lagi.

* * *


Ilustrasi : www. pixabay.com (dengan modifikasi)



8 komentar:

  1. Saknoe jadi Prima kejepit.
    Lanjut mb Lis.

    BalasHapus
  2. Berhasil ngebut bacanya sampai episode ini. Nice story bu Lis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuidiiih... Pake telolet nggak tuh? 😁😁😁
      Makasih singgahnya, Mas...

      Hapus