Senin, 06 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #9-1








Sebelumnya  



* * *


Sembilan


Antara sadar dan tidak, Arlena merasa bahwa ia agak sedikit susah untuk bergerak. Pelan-pelan ia membuka mata, dan pelan-pelan kesadarannya kembali. Walaupun masih sangat mengantuk, kini ia tahu apa yang membuatnya tidak leluasa untuk membalikkan tubuh.

Sebelah tangan Prima memeluknya dari belakang. Ketika ia beringsut untuk mengubah arah berbaringnya, menghadap ke arah Prima, tangan itu masih menempel di tubuhnya. Sejenak ditatapnya wajah Prima yang masih terlelap. Tampak begitu damai dan teduh. Dengan hati-hati ia mengulurkan tangan, balas memeluk Prima, kemudian kembali memejamkan mata.

Entah sudah berapa lama ia kehilangan kehangatan pelukan Prima. Dan yang dirasakannya sekarang adalah kehangatan yang menembus hingga ke dalam hati.  Ia sungguh-sungguh ingin menikmatinya. Pelan, ia mendesakkan kepala ke dada Prima. Sebuah helaan napas terdengar, dan pelukan itu makin erat merengkuhnya. Mengantarkan kembali ke alam mimpi.

Sayangnya semua itu buyar ketika alarm ponsel berbunyi. Dengan sedikit gelagapan Arlena bergerak. Ia terbangun bersamaan dengan Prima. Diraihnya ponsel yang berisik itu. Ia mendesah ketika melihat jam digital di layar ponselnya menunjukkan angka 06:01.

“Jam berapa?” gumam Prima, terdengar berat.

“Jam enam,” jawab Arlena sambi menguap. “Sudah, Papa tidur lagi saja.”

Prima menguap lebar sambil menggeliat dan mengerjapkan mata. Arlena sudah menghilang dari sisinya. Sebagai gantinya, ia mendengar suara gemercik air di kamar mandi. Ia pun pelan-pelan bangun dan duduk di tepi ranjang. Setelah dirasa kesadarannya sudah pulih, ia bangkit, mematikan AC, dan membuka semua tirai dan jendela. Bersamaan dengan itu Arlena keluar dari kamar mandi.

“Lho, nggak jadi meneruskan tidur?” Arlena menekan-nekankan sehelai handuk kecil ke wajahnya.

“Sudah telanjur melek,” sahut Prima sambil melangkah ke kamar mandi.

Arlena keluar dari kamar. Sekilas ia menoleh ke arah pintu kamar lain sebelum turun. Kedua pintu kamar Olivia dan Carmela sudah terbuka lebar, sedangkan pintu kamar Maxi masih tertutup rapat. Di pertengahan tangga, hidungnya membaui aroma sedap bumbu nasi goreng yang sedang ditumis. Ia ragu-ragu sejenak ketika hendak masuk ke dapur. Dari ambang pintu dapur, dilihatnya Olivia dan Carmela tengah sibuk memasak sambil mengobrol. Pelan-pelan ia menyisih, tapi masih didengarnya dengan jelas obrolan kedua anak gadisnya itu.

“Mas Miko nanti datang jam berapa, Mbak Liv?”

“Katanya, sih, paling lambat jam sembilan sampai sini.”

“Oh...”

“Kamu tumben mau ikut Mas Miko dan Mbak Liv keluar, Mel?”

“Lha, Mas Maxi ikut. Aku di rumah ngapain? Mau nempel-nempel Papa juga males, ada Mama.”

“Ish! Kok, gitu, sih, Mel?”

“Lho! Ini jujur, aku, Mbak.”

“Kalau Papa dengar kamu ngomong gitu, pasti Papa sedih, deh.”

Pembicaraan itu menghening. Arlena segera menyingkir dari situ dan bergerak membuka semua tirai jendela. Sekalian ia menyambar serenceng kunci di atas sebuah console table di sebelah rak untuk membuka pintu garasi dan gembok pagar.

Ketika ia masuk kembali dan melewati pintu dapur, dilihatnya Prima sudah duduk di depan island. Laki-laki itu melihatnya dan melambaikan tangan, kemudian menepuk kursi di sebelahnya. Arlena terlihat ragu, sebelum akhirnya memutuskan untuk menuruti isyarat Prima.

Sejenak setelah ia duduk, baru ia menyadari bahwa belum ada Muntik yang bisa diteriakinya demi secangkir kopi panas. Ia kemudian berdiri dan menghampiri sudut lain dapur, bermaksud membuat secangkir kopi. Sebelum meraih cangkir, ia membalikkan badan, menatap Prima.

“Papa mau kopi?” tanyanya.

“Teh tawar hangat saja, Ma. Makasih,” jawab Prima halus.

Olivia kemudian memindahkan nasi goreng dari penggorengan ke sebuah mangkuk besar yang sudah disiapkan Carmela. Sementara itu, Carmela ganti sibuk di depan kompor, membuat telur dadar sesuai keinginan Prima.

“Makan di sini saja, ya, Pa?” celetuk Olivia sambil mengiris tomat dan mentimun. “Nggak usah di meja makan.”

“Iya...,” jawab Prima sabar. “Di mana saja sama...”

Olivia dengan cekatan menata irisan tomat dan mentimun di sebuah piring saji berbentuk oval. Setelah selesai ia kemudian menoleh pada Carmela.

“Mel, tinggalkan saja telur dadarnya,” ujar Olivia. “Mbak Liv yang teruskan. Tolong, kamu bangunkan Mas Maxi.”

Carmela menuruti ucapan sang kakak. Tapi sebelum meninggalkan dapur, ia berbalik.

“Mbak, buat telur dadarnya empat saja. Aku maunya telur ceplok yang pinggirnya garing. Nanti aku buat sendiri.”

Olivia mengacungkan jempolnya. Setelah semuanya siap, ia pun duduk di depan island. Tapi baru beberapa detik, ponsel di saku baby doll-nya berbunyi. Buru-buru ia merogoh saku dan menarik keluar ponselnya. Sekilas ia melihat nama siapa yang terpampang di layar. Ia tersenyum sedikit sambil beranjak. Tapi sebelum menjawab panggilan telepon itu, ia menatap Prima dan Arlena.

“Papa sama Mama makan dulu,” ucapnya sebelum meninggalkan dapur. “Nanti keburu dingin, nggak enak.”

“Anak-anak mau pergi?” gumam Arlena sambil memindahkan tiga centong nasi goreng dari mangkuk ke dalam piring Prima.

“Iya,” jawab Prima. “Mau ke WaterBoom, diajak Miko.”

“WaterBoom mana?”

“Cikarang.”

“Carmela nggak ekskul?”

“Kan, sudah selesai UAS kemarin. Eksul libur.”

Arlena menghela napas sambil mengambil nasi goreng untuk dirinya sendiri. Prima menambahkan selembar telur dadar, tiga potong tomat, dan tiga potong mentimun ke dalam piringnya.

“Anak-anak nggak kerasan di rumah kalau ada aku,” gumam Arlena.

“Ah, siapa bilang?” sahut Prima, terkesan acuh tak acuh.

“Aku dengar sendiri.”

Bukannya kamu sendiri yang sudah sekian lama menjauhkan diri?

Ingin rasanya Prima mengucapkan kalimat itu, tapi ia sedang tak ingin memperkeruh suasana. Bagaimanapun, ia masih merasakan hangatnya balasan pelukan dari Arlena di ujung lelapnya tadi pagi. Pelukan yang sudah sekian lama ia rindukan. Dan ia belum siap untuk kehilangan itu.

“Ya, yang sabar,” akhirnya hanya itu yang bisa diucapkan Prima.

Arlena tak menjawab. Hanya berusaha tekun menyantap sarapannya. Hingga ia dan Prima menyelesaikan acara makan pagi yang hening itu, anak-anak tidak menampakkan diri di dapur.

* * *

Maxi ternyata sudah bangun ketika Carmela mengetuk pintu. Setelah didengarnya seruan Maxi agar ia masuk, maka pelan-pelan Carmela mendorong pintu dan menyelinap. Si abang ternyata sedang sibuk di depan laptopnya.

“Kirain Mas Maxi belum bangun,” celetuk Carmela, duduk di tepi ranjang Maxi.

“Kenapa memangnya?” tangan kanan Maxi terulur, mengusap sekilas puncak kepala Carmela.

“Aku disuruh Mbak Liv bangunin Mas Maxi,” jawab Carmela, menaikkan kakinya, duduk bersila. “Sarapan sudah siap, tuh.”

“Oh... Tadi kayaknya Papa sama Mama sudah bangun.”

“Iya, itu... Sarapan bareng-bareng. Cuma aslinya aku males.”

“Yang masak Mbak Liv, kan? Bikin apa?”

“Nasgor.”

“Nah, tuh, enak.”

“Ada Mama, itu yang bikin nggak enak,” Carmela mengangkat wajahnya, menatap ke layar laptop Maxi. “Online lagi?” ia berusaha mengalihkan pembicaraan.”

“Enggak. Lagi nggak ada yang bisa diserang,” gumam Maxi.

“Lusa Papa sudah mulai masuk kerja,” Carmela membaringkan tubuhnya di ranjang Maxi. “Paling juga Mama gatel lagi “

“Mas ujian, Mel,” desah Maxi.

“Ya, aku saja yang online sesekali.”

“Hati-hati...”

“He eh... Kan, sudah tahu caranya. Ya, deh, aku mandi dulu, Mas.”

Maxi mengangguk.

* * *

Setelah pelanggan terakhir pergi, dengan cekatan Navita meringkas semua wadah yang sudah kosong. Bersamaan dengan itu, datang tukang sayur yang biasa memasok bahan makanan untuk Minarti. Sementara Minarti berurusan dengan tukang sayur itu, Navita membersihkan meja, menutupinya dengan taplak plastik bening, kemudian membawa semua perabot bekas pakai ke dapur. Ia tidak langsung mencucinya, melainkan kembali ke depan untuk membantu ibunya membawa masuk semua belanjaan.

“Senin lusa Ibu libur,” celetuk Minarti. “Cuma bikin pesanan nasi kotak buat Bu Umi.”

“Berapa, Bu?” tanya Navita sembari memasukkan beberapa bahan ke dalam kulkas.

“Lima puluh kotak. Diambil jam sembilan. Buat ulang tahun anaknya.”

“Oh...”

Selesai dengan urusan kulkas, Navita segera beralih ke tempat cuci piring. Dengan cepat ia mencuci semua perabot bekas pakai dan meniriskannya di rak. Ketika ia berbalik, Minarti tengah duduk di depan meja makan dan mencatat pembukuan sederhananya. Navita beralih ke sisi lain dapur, membuat dua cangkir besar teh hangat, Minarti mengangkat wajahnya sekilas ketika Navita menyodorkan satu cangkir padanya.

“Wah, makasih, Vit,” gumamnya.

Navita duduk di seberangnya. Menyesap teh hangatnya dengan nikmat.

“Nanti siang beli nasi Padang saja, Bu,” celetuknya kemudian.

Minarti tertawa ringan. “Baru saja Ibu mau bilang begitu.”

Navita terkekeh menanggapinya.

“Kamu nggak keluar sama Mas Gandhi?”

“Hm...,” Navita mengerucutkan bibirnya. “Semalam, sih, dia nggak bilang apa-apa,” Navita mengedikkan bahunya. “Aku belum ingin berharap banyak, Bu.”

“Iya,” senyum Minarti seraya meraih cangkir tehnya. “Baru juga beberapa hari. “Habis ini Ibu mau tidur sebentar, ya, Vit. Ngantuk banget.”

Navita mengangguk.

Sepeninggal Minarti masuk ke dalam kamar, Navita mengambil laptop dan segera asyik berselancar di dunia maya.

“Gandhiyarsa,” gumamnya sambil mengetikkan nama itu di kotak pencarian Google.

gandhiyarsa blogsip.

Klik.

Dan ternyata nama itu benar ada di BlogSip. Navita segera meng-klik-nya, langsung masuk ke profil akun Gandhi. Foto profil Gandhi yang dikenalnya terpampang di sana. Juga biodata singkat yang sangat singkat. Single. Hardworker. Love poetry.

Ia tak begitu mengerti soal puisi, sebetulnya. Ada banyak kata bersayap dan perlambang yang ia agak malas untuk menebak-nebak atau memikirkannya. Tapi nama penulisnya kali ini sudah membuatnya tertarik untuk membaca. Dimulainya dengan unggahan terakhir.


Melafaz Asmara*)


Cinta, cinta
melafazkan doa di depan layar maya
keinginanku jauh,
sekadar mencumbui senyum di wajahnya.

Siang, malam
kupandangi langit-langit hampa
jauh di seberang peta,
seraut gadis manis menebar benih mawar,
menyapa keremajaanku,
memanggilku dalam sajak-sajak rindu.

Cinta, cinta
Matanya bening
Seperti kaca
Merajuk pada keadaan
di mana resahku berterus terang padanya
dan sebuah kata fana
yang mampu kuucap pelan, tenang...
tetapi jantungku serasa hilang.

Pagi, petang
kuingat setiap sentimeter garis anggun di alis matanya
yang melukiskan perempuan bumu
berkulit sejuk tanah
berhidung lurus searah
hingga mungkin napasku telah pasrah
sebab, sungguh jiwaku menemu wujud kehidupan terindah.

Cinta, cinta
ada gerimis menyerupa lembut suaranya
ada desau putih menjelma pesonanya
dan segala aroma wangi berbunga surga
teruntuknya, Navita...
puisiku adalah harap jiwa dibuai asmara


Dan Navita seketika tercenung.

... teruntuknya, Navita...

Benarkah?

Pelan, ia meraih ponsel yang tergeletak di dekat laptopnya. Selama beberapa menit lamanya ia menimang benda itu. Bimbang. Antara ingin menghubunginya dan tidak. Antara ingin bertanya padanya dan tidak. Hingga akhirnya ia memutuskannya. Untuk menghubungi Gandhi.

Tapi pada nada sambung ketiga, panggilannya di-reject. Kening Navita berkerut ketika menatap layar ponselnya. Pelan, ia kembali meletakkan ponsel itu, kemudian bersandar di punggung kursi.

Mungkin aku memang terlalu banyak berharap.

Navita menghela napas panjang.

Belum genap seminggu. Tapi kenapa namaku...

Tok tok tok!

Navita tersentak ketika tiga ketukan di pintu depan itu menggema lembut. Ia buru-buru beranjak. Dan segera ternganga ketika melihat siapa yang berdiri menjulang di hadapannya begitu pintu terbuka.

* * *

*) Puisi “Melafaz Asmara” adalah puisi karya asli Mas Alpaprana, dengan sedikit mengubah kata 'maya' menjadi nama 'Navita'. Terima kasih banyak untuk Mas Alpaprana.



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

4 komentar: