Selasa, 07 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #9-2








Sebelumnya  



* * *


Arlena melongokkan kepalanya ke teras belakang. Prima tampak santai, duduk berselonjor di sofa sambil menekuni tabletnya. Ia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri Prima. Laki-laki itu mengangkat wajah begitu menyadari ada yang mendekatinya. Ia tersenyum sambil menurunkan kaki. Dengan lembut ia menepuk tempat di sebelahnya. Arlena pun menuruti isyarat itu. Segera saja ia mendapat rengkuhan yang terasa hangat hingga ke hati.

“Aku sebenarnya ingin ajak Mama keluar,” gumam Prima. “Tapi nggak enak kalau ketemu teman. Masa cuti sakit, kok, keluyuran?”

“Kan, Papa sudah sembuh,” Arlena memberanikan diri merebahkan kepalanya ke bahu Prima. Tak ada perlawanan. “Lagipula Senin lusa juga masuk kerja lagi.”

“Nggak apa-apa ‘kali, ya?” senyum Prima.

“Hehehe... Memangnya mau ke mana?”

“Makan siang, ke mana, begitu...,” Prima mengelus lembut rambut Arlena.

“Hm...”

“Mama yang pilih, deh!”

“Hm...”

“Kalau Mama mau belanja, boleh juga aku temani.”

“Makan siang saja, ya?” tawar Arlena. “Kalau harus belanja-belanja juga, aku khawatir Papa malah kecapekan.”

“Begitu juga oke. Jam berapa memangnya sekarang?”

“Baru setengah sepuluh kurang.”

“Ya, sudah, sana. Dandan dulu. Kan, Mama dandannya lama.”

Arlena mengerucutkan bibir sambil menarik kepalanya dari bahu Prima. Laki-laki itu mengerling. Tergelak ringan. Arlena mencubit lembut paha Prima.

“Ngeledek...,” gerutu Arlena sambil bangkit dari duduknya, kemudian melenggang masuk ke dalam rumah.

Sebelum menuju ke kamar, ia mencari Muntik yang tengah asyik menyeterika.

“Tik, nggak usah masak buat makan siang,” ujar Arlena. “Bapak sama aku mau keluar. Masaknya nanti saja buat sore. Kamu kalau lapar, nanti pesan saja makanan lewat ojek online. Uangnya di toples masih ada, kan?”

“Baik, Bu,” angguk Muntik. “Uangnya masih ada. Masih banyak.”

Arlena segera berlalu. Bersamaan dengan ia menapak tangga, Prima muncul dari arah teras belakang. Mereka pun beriringan naik ke lantai atas.

Sejenak kemudian, Arlena sudah asyik berdandan. Dengan hati-hati ia merias matanya, lengkap dengan sepasang bulu mata palsu dan eyeliner. Kemudian mewarnai bibirnya, dan memerahkan sedikit pipinya. Tidak menor, tapi cukup terlihat.

Di tengah keasyikan itu, mendadak saja ia merasa terusik. Benar saja! Melalui pantulan cermin, ia melihat bahwa Prima tengah berbaring telungkup tapi dengan kepala bertumpu pada bantal, dengan wajah mengarah padanya. Menatapnya.

“Apa, sih?” Arlena mendadak tersipu.

“Lho, lihat istri sendiri dandan, masa nggak boleh?” Prima nyengir.

Arlena tertawa untuk menutupi debar liar yang tiba-tiba saja melanda dadanya. Tapi ia memutuskan untuk meneruskan kegiatannya berdandan. Kali ini menyisir rambutnya. Secara keseluruhan, penampilannya terlihat segar. Cocok untuk bersanding dengan Prima yang ketampanannya terlihat sangat matang. Prima sendiri kemudian bangkit dari ranjang, dan menuju ke lemari besar di sudut.

“Sekalian pilihkan bajuku, Pa,” celetuk Arlena.

“Hah?” Prima seketika berbalik. “Nggak salah?”

Arlena tergelak. “Aku yakin sama selera Papa.”

Prima mengangkat bahu dan kembali menghadap ke lemari. Sejenak kemudian ia sibuk memilih baju apa yang kira-kira cocok untuk Arlena.

Kelihatannya semua akan mencair.

Prima diam-diam tersenyum.

Tinggal bagaimana mengatasi anak-anak.

Dihelanya napas lega.

Semoga tidak terlalu sulit...

* * *

“Pagi, Vit,” senyum Gandhi.

Navita segera tersadar dari rasa terpananya.

“Pagi juga, Mas,” Navita buru-buru melebarkan bukaan pintu.

“Aku mengganggu, ya?” wajah Gandhi tampak menyesal.

“Eh, enggak...,” sahut Navita seketika. “Nggak ganggu, kok. Ayo, masuk! Tapi langsung ke belakang saja, ya? Ibu lagi tidur.”

Gandhi mengangguk. Ruang tamu rumah mungil itu memang langsung bersebelahan dengan kamar Minarti. Gandhi kemudian duduk di depan meja makan seraya meletakkan kantong plastik yang sedari tadi ditentengnya.

“Bahan rujakan, Vit. Kayaknya enak ngerujak siang-siang nanti,” ujar Gandhi.

“Wah! Asyik, nih!” mata Navita tampak berbinar.

Gadis itu kemudian meringkas laptopnya, tapi tetap membiarkannya tergeletak di atas meja makan dalam keadaan tertutup. Selanjutnya ia beranjak ke dapur untuk membuat dua gelas es orange squash. Sejenak kemudian ia kembali lagi ke meja makan dan menghidangkan minuman itu pada Gandhi.

“Ayo, diminum, Mas,” Navita meraih juga satu stoples plastik berisi keripik singkong.

“Kamu lagi sibuk, ya?” tanya Gandhi sambil menunjuk laptop Navita. “Lemburan?”

“Oh, enggaaak,” senyum Navita. “Baru saja main ke BlogSip. Nemu puisi yang baguuus banget.”

Seketika laki-laki itu tampak tersipu, seolah mengerti puisi apa yang dimaksud Navita. Maka ia segera mengalihkan pembicaraan, tapi...

“Oh, ya, tadi meneleponku, ada kabar apa?”

“Ish! Di-reject,” gerutu Navita, dengan nada merajuk.

Gandhi tertawa ringan. “Lha, tadi sudah sampai di ujung gang situ. Ada apa, memangnya?”

Navita kini menatap Gandhi. Tangan kirinya bertumpu di atas meja, menopang pipi kirinya. Gandhi jadi terlihat sedikit salah tingkah ditatap Navita sedemikian rupa.

Sebenarnya apa yang kubutuhkan?

Tatapan Navita tampak sedikit menerawang.

Bukankah semua yang kubutuhkan ada padanya? Mapan, tapi tidak berlebihan. Penampilan, cukup ‘kena’. Dan kelihatannya dia dewasa, sesuai umurnya. Dan puisi itu...

“Vit...”

Navita sedikit tersentak. Ia kemudian menurunkan tangan kirinya. Kini bersedekap dengan tetap bertumpu pada meja. Dihelanya napas panjang.

“Aku... jujur, nggak begitu paham puisi,” ia mengerjapkan mata. “Mungkin karena selama ini belum ada yang membuatkannya untukku. Tapi tadi, beberapa waktu yang lalu, entah kenapa aku merasa GR. Mungkin karena ada namaku di dalamnya, walau mungkin... ada gadis lain yang juga bernama Navita... yang menjadi tujuan puisi itu. Aku nggak tahu.”

“Puisi yang mana?” senyum Gandhi, masih terlihat tersipu.

“Yang diunggah seorang Gandhiyarsa di BlogSip semalam,” gumam Navita.

“Mm... Itu untukmu,” Gandhi memberanikan diri menatap Navita.

Dan Navita menangkap kerlip di kedalaman mata Gandhi. Kerlip yang membuatnya terhanyut sesaat. Lalu ia mengerjapkan mata. Sekaligus menyadari bahwa semuanya terasa agak terlalu cepat. Tapi sepertinya Gandhi menyadari hal itu.

“Vit, kurasa... kita perlu saling mengenal lebih baik lagi,” ujar Gandhi dengan nada halus. “Jujur, aku merasa nyaman bersamamu. Tapi nggak ada artinya kalau kamu nggak merasakan hal yang sama. Dan semua perasaan nyaman itu nggak bisa dipaksakan. Yah...,” Gandhi mengedikkan bahu. Kehabisan kata.

Navita mengulas senyum. Yang seketika itu memberikan rasa sejuk dalam hati Gandhi.

“Perlu saling mengenal lebih baik lagi...,” Navita mengulang kalimat Gandhi. “Itu artinya kita perlu waktu. Iya, kan?”

Gandhi mengangguk.

“Aku bersedia meluangkan waktu untuk itu,” Navita tertunduk sedikit. “Bagaimana hasilnya nanti, biar waktu juga yang menentukan. Bagaimana?”

“Ya,” Gandhi mengangguk. Tersenyum. “Makasih, Vit. Makasih banyak.”

“Satu lagi...,” ekspresi Navita seolah menyimpan rahasia.

“Ya?”

“Aku ingin bisa lebih memahami puisi. Mas Gandhi mau mengajariku?”

Gandhi melebarkan senyumnya. Mengangguk berkali-kali dengan ringan.

* * *

Prima meraih tangan Arlena sebelum menyeberangi area parkir West Mall Grand Indonesia. Sambil bergandengan, mereka melangkah ke pintu masuk. Merasa tak cukup hanya bergandengan tangan, Arlena mencoba untuk melepaskan tangan kanannya dari genggamam Prima, menaikkannya, dan melingkarkannya di lengan kiri Prima. Laki-laki itu menoleh sekilas. Mengirimkan seulas senyum padanya.

Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk bersebelahan di dalam sebuah kafe yang cukup nyaman di lantai 5. Setelah sekian lama, pelan-pelan kehangatan itu muncul lagi. Belum sepenuhnya. Tapi Prima cukup menghargai usaha Arlena untuk ‘kembali’.

“Jadi, Senin besok Papa sudah siap menyetir sendiri?” celetuk Arlena sambil meraih minumannya.

“Semalam, sih, Olivia bilang, dia yang menyetir dari rumah ke kantornya. Selanjutnya aku sendiri, dari kantornya ke kantorku.”

Arlena menatap Prima. Ada sorot kekhawatiran dalam matanya.

“Jauh, lho, Pa,” gumam Arlena.

“Lantas, mau bagaimana?” Prima menanggapi dengan santai.

“Hm... Apa aku antar saja, ya?” Arlena terlihat berpikir-pikir.

“Lha, terus aku pulangnya bagaimana?” Prima seketika menengok ke arah Arlena.

“Ya, aku jemput, to,” jawab Arlena dengan nada kalem.

“Repot amat?” Prima tertawa ringan. “Sudahlah, seperti biasanya saja. Aku sudah nggak apa-apa, kok.”

Arlena menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Maaf...”

Suara ragu-ragu itu membuat obrolan mereka terhenti. Prima dan Arlena menoleh ke arah pemilik suara itu. Seorang gadis seumuran Maxi, dengan tiga orang temannya.

“Bu Arlena Arbianto, ya?” lanjut gadis itu.

“Iya,” angguk Arlena, tersenyum ramah.

“Maaf, Bu, mengganggu,” mata gadis itu terlihat berbinar ketika berjabat tangan dengan Arlena dan Prima. “Saya Pristia, penggemar Ibu. Suka sekali baca artikel-artikel Ibu di BlogSip. Aduh... Senang sekali bisa ketemu Ibu di sini.”

“Oh, hehehe...,” Arlena terkekeh sedikit.

“Bu, boleh minta foto bareng, nggak?”

Arlena menatap Prima. Laki-laki itu tersenyum dengan tangan bergerak menyilakan.

“Dengan Bapak, tentu saja,” ujar gadis itu lagi. “Pak Prima, kan?”

“Ya, sudah, sekalian foto rame-rame,” Arlena menanggapi.

Dengan tongsis, Pristia kemudian mengambil gambar mereka berenam. Setelah itu ia meminta izin untuk berfoto bertiga saja, dan mengambil foto berdua Arlena-Prima. Sepasang suami-istri itu memang tampak serasi sekali dengan busana atasan berupa blus dan kemeja lengan pendek warna hitam yang dipadu dengan celana jeans. Arlena menambah manis penampilannya dengan seuntai kalung mutiara susun tiga berwarna putih yang sewarna dengan handbag dan high heels-nya.

“Boleh saya buat artikel tentang pertemuan ini, Bu, Pak?”

“Gimana, Pa?” Arlena menoleh ke arah Prima.

“Lho, terserah Mama,” senyum Prima.

Arlena kemudian mengalihkan tatapan kembali pada Pristia. “Silakan, asal jangan berlebihan, ya?”

Pristia mengundurkan diri sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Sejenak kemudian Prima menatap Arlena dari arah samping.

“Begini rupanya, rasanya jadi pendamping selebriti,” gumam Prima dengan nada bercanda.

Tapi entah kenapa, kali ini gumaman Prima itu terasa telak menohok hatinya.

* * *

Navita cukup terkesan ketika melihat keluwesan Gandhi mengulek irisan cabe rawit dan gula merah. Gandhi tertawa melihat ekspresi Navita yang sesekali meliriknya sambil mengiris aneka buah yang sudah dicuci bersih.

“Kenapa, Vit?”

“Hm... Mas Gandhi bisa ngulek juga, rupanya,” Navita mengulum senyum.

“Hehehe... Dulu waktu masih tinggal sama Mbak Padma, kalau hari libur kerjaanku mengulek bumbu. Dia anti blender. Katanya kurang sedap di masakan. Tapi setelah aku ngontrak sendiri, entah gimana nasibnya.”

Navita tertawa ringan.

“Aku sebenarnya ingin mengajakmu bertemu Mbak Padma,” lanjut Gandhi. “Tapi terserah padamu, kapan maunya.”

Navita terdiam.

Dari cerita Gandhi, ia tahu bahwa kedua orang tua Gandhi sudah meninggal. Yang pertama ayah mereka, sembilan tahun yang lalu. Kemudian menyusul ibu mereka empat tahun sesudahnya. Hanya tinggal berdua Gandhi dengan kakaknya, yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Mbak Padma’. Padma sendiri sudah berkeluarga dengan sepasang anak yang sudah menjelang remaja, dan kini tinggal di Jatibening.

“Mm... Nanti, ya?” Navita tersenyum manis.

Gandhi pun menyambut senyum itu dengan anggukan dan senyum juga. Ia sudah selesai mengulek dan kini memindahkan hasil ulekannya itu ke dalam sebuah mangkuk kecil yang sudah disiapkan Navita. Navita juga sudah menyelesaikan tugasnya. Potongan pepaya mengkal, bengkuang, nanas, mentimun, kedondong, mangga muda, dan belimbing sudah tersusun rapi dalam kotak plastik besar, sementara irisan tahu ada di kotak lain yang lebih kecil. Nasi yang tadi ia sempat tanak dalam rice cooker pun sudah matang. Navita sekejap menengok jam dinding.

“Sudah setengah dua belas, Mas,” celetuknya. “Sebelum makan rujak sebaiknya makan siang dulu. Mas mau tunggu di sini atau ikut aku?”

“Ke mana?” tanya Gandhi sambil mencuci tangannya di wastafel.

“Beli lauk Padang,” Navita meringis. “Kan, tadi cuma masak nasi saja.”

“Oh...,” Gandhi tersenyum lebar. “Ayo, kutemani. Jauh?”

“Enggak,” Navita menggeleng sambil menutup kotak buah. “Di dekat minimarket di depan situ.”

“Oke, mau sekarang? Jujur, aku sudah lapar,” Gandhi terkekeh.

Navita ikut tertawa. Setelah menyimpan kotak buah ke dalam kulkas, Navita pun mengambil dompetnya di dalam kamar. Tak lupa ia menuliskan pesan yang ditempelnya di pintu kulkas, ‘Bu, aku keluar sebentar beli lauk sama Mas Gandhi.’.

* * *

Maxi menarik tangan Carmela agar menjauh dari Olivia dan Miko ketika Miko mengajak mereka makan siang di Bebek Bali. Olivia yang melihat gerakan itu segera melotot. Maxi nyengir.

“Mau duduk di mana, nih?” celetuk Miko sambil mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan.

“Pisah saja, Mas,” sahut Maxi. “Biar Mela dan aku nggak ganggu Mas Miko dan Mbak Liv.”

“Nah! Betul itu!” timpal Carmela dengan nada jahil.

“Ish! Kalian ini apa, sih? Norak banget!” gerutu Olivia.

Miko tergelak ringan. Ia kemudian merengkuh bahu Olivia. Ditatapnya Maxi dan Carmela bergantian.

“Bener, nih, nggak gabung saja?” tegasnya.

“Yang mau pacaran, pacaran saja, deh...,” Carmela nyengir. “Mas Maxi sama aku minggir sajaaa...”

“Hahaha...,” Miko menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya, sudah. Silakan. Nanti bill-nya kasih saja ke aku.”

“Makasih, Mas,” ucap Maxi dan Carmela berbarengan, kemudian buru-buru menyingkir dari hadapan Olivia dan Miko.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



6 komentar:

  1. Semoga aja Prima en Arena bisa rukun lagi ya?

    BalasHapus
  2. Ouch !
    Pertama: aq seneng aluse adegan Navita kambek Gandhi.
    Kedua: iku Olivia 'n gank ampirno omahq po o mb Lis gari njangkah sitik ae wakwakwakwak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wo iyo, jane dirimu dadi cameo yo, Nit? 😁😁😁

      Hapus