Jumat, 03 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #8-2









Sebelumnya  



* * *


Maxi duduk diam di sebuah bangku beton, di bawah keteduhan pepohonan yang berbaris rapi di tepi lapangan basket. Ia memutuskan untuk menjemput Carmela jauh lebih awal daripada biasanya. Matanya mengarah ke layar ponsel, tapi tatapannya jauh menembus benda itu.


“Dia seusia Mbak Livi, Max,” ucapan Prima itu menyerupai gumaman. “Beda sedikit. Belakangan ini kerjaan Papa banyak. Sampai sering nggak ngeh kalau sudah jam makan siang. Dia yang selalu mengingatkan Papa. Bahkan pernah membelikan Papa makan siang dan menyuruh OB untuk mengantar ke kantor Papa. Dia baik, Max. Papa melihat sosok Mbak Livi dalam dirinya.”

Maxi terlihat skeptis.

“Lalu kenapa Papa sampai mengigau? Menyebut-nyebut namanya segala?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Maxi.

“Papa nggak tahu, Max...”

Dan seutuhnya Maxi melihat kejujuran dalam tatapan redup ayahnya. Sesungguhnya, ia percaya bahwa Prima adalah sosok yang tidak mau macam-macam. Tapi igauan itu...

“Papa punya dua anak perempuan, Max, Mbak Livi dan Mela,” ucap Prima lirih. “Sebagai ayah, Papa nggak mau Mbak Livi dan Mela mengalami hal yang tidak-tidak. Papa juga punya kamu. Papa nggak mau kamu tumbuh jadi laki-laki yang nggak bertanggung jawab terhadap pilihanmu sendiri. Papa nggak mau hanya omdo. Dan kesetiaan adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab itu. Seandainya kalian nggak mendapat contoh baik dari Mama, masih ada Papa yang berusaha mengarahkan kalian untuk meniti jembatan yang benar.”

Seutuhnya pula Maxi mendapati beban dalam tatapan ayahnya. Beban yang terlihat berat dan sarat. Pada akhirnya ia hanya bisa mengangguk.

“Ya, sudah, kita habiskan buburnya, Pa,” Maxi berusaha untuk tersenyum. “Setelah ini kita langsung pulang, jadi Papa bisa istirahat lagi.”

Prima mengangguk.


“Heh! Melamun!”

Sebuah tepukan mampir di bahu  Maxi. Ia mendongak dan mendapati Carmela sudah berdiri di depannya. Gadis remaja itu menatap sang abang dengan mata melebar dan alis naik.

“Yuk, pulang!” Maxi pun beranjak sambil memasukkan ponsel ke saku jaketnya. “Sudah mendung begini.”

* * *

Navita urung menyedot es tehnya ketika merasa ada colekan di bahu. Ia menoleh. Rima duduk di sebelahnya dan menatapnya dengan serius.

“Vit, gimana soal menengok Pak Boss?” tanya Rima. “Kamu jadi ikut jemputan apa berangkat sendiri?”

Navita segera menepuk keningnya sambil bergumam, “Aku lupa belum bilang Mas Gandhi.”

“Buruan telepon, ‘gi! Kalau kamu nggak ikut jemputan, biar diisi yang lain. Soalnya yang mau ikut banyak. Aku justru khawatir mobilnya nggak muat.”

Navita segera mengeluarkan ponsel dari saku roknya. Beberapa saat setelah ia menempelkan benda itu di telinganya, ada sahutan dari seberang sana.”

“Selamat siang. Ya, Vit? Ada apa? Kamu sudah makan siang?”

“Iya, siang, Mas. Ini lagi di kantin. Mas Gandhi sudah makan?”

“Sama, nih. Ini aku juga lagi di kantin.”

“Mm... Gini, Mas, aku nanti nggak usah dijemput, ya?”

“Lho, kenapa?”

“Aku mau nengok Pak Boss di rumahnya. Sekalian sama teman-teman satu jemputan dan yang lainnya.”

“Aku antar saja, Vit. Jadi aku tetap jemput kamu.”

“Bikin repot Mas Gandhi nanti.”

“Enggak... Lagipula sudah mau weekend, kan, Vit. Jadi rada santai.”

“Mm...”

“Ayolah, Vit, aku antar. Ya?”

“Mm... Oke, deh. Makasih banyak, Mas.”

“Nanti kalau mobil dari situ penuh, kan, bisa nebeng kita.”

“Iya, Mas. Ya, sudah, selamat makan, ya...”

“Sama-sama, Vit.”

Navita menyimpan lagi ponselnya. Ketika ia kembali menatap Rima, dilihatnya perempuan berusia 31 tahun itu tengah tersenyum ke arahnya.

“Apa, Mbak?” Navita tertawa.

“Kamu, tuh, ya... Diam-diam punya calon yang ciamik,” senyum Rima melebar.

“Ish! Apa, sih?” Navita tersipu malu. “Belum apa-apa, kok.”

Rima mengedipkan sebelah mata, kemudian mengalihkan pembicaraan. “Jadi, nanti kamu ikut mobil jemputan, nggak?”

Navita menggeleng. “Mas Gandhi ngeyel mau jemput dan antar ke sana. Malah bilang nggak apa-apa kalau ada yang nebeng.”

“Wah! Asyik, tuh!” Rima terlihat antusias. “Muat berapa mobilnya.”

“Sama aku cuma muat tiga orang penumpang, city car,” Navita menyedot es tehnya.

“Hm... Lumayanlah!” Rima kemudian menyenggol lengan Navita, “Soal calonmu itu, aku sudah khawatir saja kalau kamu sampai bikin skandal dengan Pak Prima.”

Bisikan Rima itu seketika membuat Navita tersedak. Tapi Rima segera mengalihkan tatapannya ketika Adian melintas.

“Eh, Di,” panggil Rima. “Kamu sudah telepon Pak Prima soal kunjungan kita nanti sore?”

Adian menghentikan langkahnya sejenak. “Belum, Mbak. Nanti setelah makan.”

Rima manggut-manggut, sementara Adian meneruskan langkahnya.

* * *

Arlena tertegun sejenak ketika keluar dari mobil. Sayup-sayup didengarnya suara nyanyian diiringi denting piano dari arah ruang tengah.

“Bapak?” ditatapnya Muntik yang sibuk mengeluarkan barang belanjaan dari bagasi mobil.

“Iya, Bu. Kayaknya Bapak bingung nggak ada kerjaan. Biasa jadi orang sibuk.”

Arlena manggut-manggut mendengar ucapan Muntik.

“Ini semua buruan kamu beresin, Tik,” ujarnya kemudian sambil melangkah meninggalkan garasi, masuk ke ruang tengah.

Pelan-pelan ia duduk di atas sofa. Tapi Prima justru menghentikan kegiatannya. Ia memutar tubuh dan menatap Arlena.

“Beres urusan kantormu, Ma?” tanya Prima sambil berdiri dan menghampiri sofa.

“Iya, beres,” angguk Arlena. “Kenapa berhenti nyanyinya?” senyum Arlena.

Prima meraih gelas teh tawarnya sambil duduk, terkekeh, “Hehehe... Tikusnya sudah pada kabur.”

Arlena mengerucutkan bibirnya. Ia kemudian beranjak dan naik ke lantai atas untuk berganti baju. Tepat saat itu ada derum halus motor Maxi memasuki garasi. Hanya butuh waktu beberapa detik sebelum celoteh Carmela memenuhi udara.

“Haduuuh... Legaaa...,” ujarnya sambil menjatuhkan tubuhnya di sebelah Prima. “Akhirnya UAS selesai juga.”

Prima menghadiahinya sebuah kecupan hangat di kening.

“Ganti baju dulu, Mel,” tegur Maxi sambil duduk di sisi lain Prima.

“Ih! Kayaknya nggak bisa banget lihat adiknya manja-manjaan sebentar sama Papa,” gerutu Carmela.

Prima tertawa. Direngkuhnya bahu Carmela.

“Manja-manjaan boleh,” ucapnya halus. “Tapi Mas Maxi benar. Kamu ganti baju dulu.”

Carmela kemudian berdiri dan melangkah dengan sikap ogah-ogahan ke kamarnya. Di pertengahan tangga ia berpapasan dengan Arlena.

“Sudah pulang?” tegur Arlena.

Kelihatannya gimana?

Ingin rasanya Carmela menjawab basa-basi Arlena dengan kalimat itu. Tapi itu bukan kalimat dan sikap yang sopan. Ayahnya tak pernah mengajarkan hal itu.

“Iya,” jawabnya kemudian. Pendek. Sambil terus melangkah.

“Cepat turun lagi, ya, Mel. Kita langsung makan. Kasihan Papa kalau telat makan.”

“Ya,” jawab Carmela lagi.

* * *

Gandhi memang sungguh-sungguh tak bisa diduga. Beberapa hari lalu, saat pertama hendak dikenalkan dengan Gandhi, Navita sejujurnya sudah skeptis. Ia tahu alasannya bersedia dikenalkan dengan laki-laki itu. Bukan alasan yang bagus, tapi Gandhi seolah berhasil menjungkirbalikkan semuanya.

Diam-diam ia merasa bisa menikmati obrolan dengan Gandhi. Bahkan sedikit demi sedikit membiarkan perasaan nyaman itu menyelinap masuk menggantikan perasaan segan yang sempat muncul.

Dan sore ini Navita kembali terkejut ketika mendapati Gandhi keluar dari sebuah MPV, bukan city car berwarna biru metalik seperti biasanya. Dengan langkah bergegas, laki-laki itu menghampiri Navita yang berdiri menunggu di teras lobi bersama beberapa orang temannya.

“Sore, Vit,” senyum Gandhi terlihat sungguh mewarnai suasana menjelang senja itu.

“Sore, Mas,” Navita membalas senyum itu. “Itu... mobilnya ganti?”

Gandhi menoleh sekilas ke arah area parkir. “Enggak... Sengaja tukar dengan teman. Siapa tahu kalian butuh mobil lebih besar.”

Navita kehilangan kata.

“Wah, kebetulan, Mas!” sahut Rima dengan antusias, tanpa malu-malu. “Itu, mikrobus sudah desak-desakan. Saya suruh beberapa orang pindah di mobil Mas, ya?”

“Oh, silakan. Silakan.”

“Eh, iya,” Rima mengulurkan tangannya. “Saya Rima, teman satu divisi Navita.”

“Gandhi,” dengan hangat Gandhi menyambut jabat tangan.

Mereka kemudian beriringan menuju ke tempat parkir mikrobus jemputan. Masih terjadi kesibukan di sana. Diatur posisi seperti apa pun, mikrobus berkapasitas 15 orang penumpang itu tidaklah muat dimasuki 20 orang.

“Yang 5 orang keluar!” seru Rima. “Pindah mobil!”

“Nah! Gitu, dong, dari tadi...,” gerutu salah seorang, membuat Rima terkekeh.

Beberapa menit kemudian, mobil-mobil itu sudah meluncur meninggalkan area parkir. Satu MPV sudah berangkat lebih dulu. Berisi beberapa senior seangkatan sang boss.

* * *

Olivia mengerutkan kening ketika melihat ada beberapa mobil parkir di depan rumah. Ia tidak bisa masuk karena pintu pagar terhalang salah satu mobil. Ia kemudian melajukan sedikit mobilnya melewati rumah, dan menepi di depan sebuah rumah kosong selang satu rumah dari rumahnya. Sebelum mematikan mesin, ia mengeluarkan ponsel dari dalam hobo bag-nya.

“Ya, Mbak?”

“Max, mobilku nggak bisa masuk, gimana ini? Ada apa, sih?”

“Oh... Ini teman-teman sekantor Papa lagi pada nengokin. Mbak Liv di mana sekarang?”

“Aku di depan rumah kosong.”

“Ya, sudah, parkir dulu saja di situ. Aman ini...”

“Hhh... Iya, deh.”

Olivia menyerah dan keluar dari dalam mobil. Setelah menguncinya baik-baik, ia kemudian melangkah ke arah rumah. Bergegas ia melintasi carport. Ada beberapa orang sedang merokok di teras. Olivia mlipir, hendak masuk melalui garasi.

“Liv!”

Olivia terpaksa menoleh mendengar panggilan itu. Sejenak kemudian senyumnya merekah dan menghampiri orang yang memanggilnya.

“Baru pulang?”

“Om Nando, apa kabar?” Olivia menjabat tangan laki-laki seumur ayahnya itu dengan hangat.

“Baik. Kamu jam segini baru sampai rumah?”

Olivia beralih menyalami yang lainnya, kemudian kembali menatap Nando.

“Iya, tadi ada kerjaan yang baru masuk menjelang jam pulang,” jawabnya. “Jadi harus diselesaikan dulu. Kan, besok weekend.”

“Oh...,” Nando manggut-manggut.

“Mari, Om, saya masuk dulu,” Olivia kemudian berpamitan, dan melanjutkan langkah, masuk melalui garasi.

Tapi ia batal menapaki tangga ketika Arlena memanggilnya. Dengan sorot mata bertanya, ia menatap Arlena.

“Dipanggil Papa, tuh," ujar Arlena. "Ayo, kamu sapa sebentar tamunya.”

Olivia menghela napas panjang sambil meletakkan tas dan laptopnya di sofa ruang tengah.

* * *

Navita melihat lagi gadis itu. Dalam penampilan yang lain. Pertama dulu ia melihat gadis itu dalam busana kasual yang melekat apik di tubuh. Dan kini gadis itu tampak begitu elegan dengan setelan blazer dan rok pensil selutut berwarna biru langit dengan dalaman blus putih. Penampilan itu dipermanis dengan kalung panjang rangkaian kristal sewarna dengan blazer dan roknya, dan pump shoes berwarna putih.

Gadis itu muncul karena dipanggil sang ayah untuk diperkenalkan pada para tamu. Walaupun terlihat lelah, tapi hal itu sama sekali tak mengurangi kecantikan dan keramahan gadis itu.

Pak Prima terlihat sayang dan bangga sekali padanya... Sekretaris direktur. Wuh!

Navita mendegut ludah. Ada sebersit rasa iri menyelinap masuk ke hatinya.

Seandainya aku punya ayah, apakah akan seperti itu pula padaku?

Dan perasan itu terpaksa diakuinya pada Gandhi saat laki-laki itu mengantarnya pulang. Rupanya Gandhi merasakan ada hal yang membuat Navita jadi jauh lebih pendiam daripada biasanya.

“Vit, ada apa? Kok, sepi amat?” celetuk Gandhi setelah mereka menurunkan penumpang terakhir yang searah dengan mereka.

“Hah?” Navita menoleh sekilas. “Nggak ada apa-apa, tuh.”

“Hm...”

“Sebenarnya...,” suara Navita terdengar ragu. “Mm... Aku pernah dengar selentingan kalau Bu Arlena itu... nggak segitunya sama keluarga.”

“Nggak segitunya gimana?”

“Ya... Nggak seperhatian itu sama keluarga. Cuma selentingan, sih.”

“Hm... Beberapa waktu belakangan ini memang banyak serangan haters buat dia.”

“Oh?” Navita agak terkejut mendengarnya. “Mas Gandhi mengikuti juga?”

Gandhi tertawa ringan. “Aku punya akun di BlogSip.”

“Oh, ya? Wah, suka nulis rupanya?”

“Iseng saja, Vit.”

“Di kanal apa?” Navita menatap Gandhi dari samping.

“Hahaha... Jangan, ah! Aku malu.”

“Ish! Mas Gandhi gitu, deh!” Navita berlagak cemberut.

“Cari aja Gandhiyarsa.”

“Oke, nanti aku intip,” senyum Navita. “Tapi benar, ya, Bu Arlena punya banyak haters?”

“Hm... Mungkin haters bukan sebutan yang tepat, ya,” gumam Gandhi. Terdengar sangat berhati-hati. “Tapi dari yang pernah kubaca, orang terlalu ekspos kehidupan pribadinya di medsos, yang too good to be true, itu bisa jadi ada yang kurang beres dengan hidupnya. Kecenderungan, ya, nggak berarti semuanya seperti itu.”

“Hm...,” Navita manggut-manggut.

“Tapi Pak Prima kelihatannya orang baik, ya?”

“Banget, Mas. Super sabar.”

“Tapi terlalu sabar juga nggak baik buat badan.”

“Iya, sih...,” Navita menghela napas panjang. “Tadi sempat kepikiran, sepertinya asyik sekali punya ayah kayak Pak Prima.”

“Kelihatannya dekat banget sama anak-anaknya, ya?”

“Ya,” angguk Navita. “Hari Sabtu lalu ketemu di mall. Dia sama anak-anaknya. Sabar banget tungguin yang bungsu aduk-aduk kaus obralan.”

“Oh, ya?” Gandhi menoleh sekilas. “Nggak gengsi gitu, ya?”

“Iya, padahal, kan, orang punya.”

“Salut, ah!”

Navita tersenyum. Gandhi membelokkan mobilnya ke parkiran minimarket seperti biasanya. Sejenak kemudian mereka sudah berjalan bersama menuju ke rumah Navita. Minarti menyambut keduanya dengan senyum hangat.

“Gimana kabar atasanmu, Vit?” tanyanya.

“Sudah sehat, Bu. Senin besok sudah masuk kerja lagi.”

“Sudah makan?”

“Belum,” Navita menggeleng.

“Ya, sudah, ayo, makan dulu. Ayo, Mas Gandhi! Sudah Ibu siapkan.”

“Repot-repot, Bu,” Gandhi terlihat rikuh.

“Enggak repot,” senyum Minarti. “Ini sudah hampir jam delapan. Keseringan telat makan nanti bisa sakit. Ayo, Mas!”

Minarti kemudian menggiring keduanya ke ruang makan mungil mereka.

* * *

Olivia membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Walaupun merasa lebih segar seusai mandi, tapi rasa letih itu tetap ada. Belum ada lima menit ia berbaring, pintu kamarnya sudah diketuk dari luar.

“Masuk!” serunya.

Ditatapnya Maxi yang menyelinap masuk.

“Sudah ngantuk, Mbak?” Maxi duduk lesehan di atas karpet.

Olivia menggulingkan tubuhnya. Kini berbaring miring menghadap Maxi. “Belum ngantuk, cuma capek.”

“Aku tadi sudah tanya Papa,” gumam Maxi. Sangat lirih. “Soal Navita. Tapi Papa bilang nggak ada apa-apa. Cuma anggap dia kayak Mbak Liv, karena dia seumuran Mbak Liv.”

Olivia menghela napas panjang, kemudian balas menggumam, “Kalau nggak ada apa-apa, masa sampai mengigau segala?”

“Aku nggak desak Papa lebih lanjut, Mbak,” Maxi membaringkan badannya di atas karpet. “Jujur, aku nggak tega menekan Papa.”

“Serba salah, memang,” Olivia mengedikkan sedikit bahunya.

“Tadi dia ada, ya, Mbak?”

“Navita?”

“He eh.”

“Iya, ada. Tapi sikap Papa biasa saja, Max.”

“Makanya... Serba nggak jelas, kan? Apalagi tadi Papa juga bilang, dia selalu ingat punya anak-anak cewek. Ingat juga harus jadi contoh buatku. Ah, nggak tahulah, Mbak.”

“Ya, sudah, Max. Kita lihat saja perkembangannya. Oh, ya, tadi Mas Miko telepon aku, besok mau ajak kita ke WaterBoom. Ikut, ya? Kamu sama Mela.”

“Serius?” Maxi bangun, menegakkan badannya.

“Serius!” Olivia tertawa. “Tolong, kasih tahu Mela, ya?”

“Oke,” Maxi berdiri. “Ya, sudah, Mbak Liv istirahat dulu.”

Olivia menguap sambil mengacungkan jempolnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

6 komentar: