Jumat, 17 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #12-2








Sebelumnya  



* * *


Pada awalnya pembicaraan mereka hanya satu-dua patah kata. Tersendat. Tertatih. Seringkali Arlena terpaksa kehilangan kata karena terlalu banyak yang ia ingin ungkapkan. Sementara Carmela memilih untuk bersikap lebih pasif. Tapi perlahan semuanya mencair. Sedikit demi sedikit.

“Jadi... Mama yang ambil raportku besok?” Carmela menatap gelas minuman yang diaduknya secara iseng.

“Boleh?” Arlena menatap Carmela.

Gadis remaja itu mengangguk. Entah kapan terakhir sang mama mengambilkan raportnya. Ia sudah lupa. Selama ini, seingatnya, yang melakukan itu untuknya adalah Prima.

“Nanti jemput Papa?” Carmela mengangkat wajahnya.

“Ya,” angguk Arlena. “Mau ikut? Langsung saja nanti.”

Carmela tampak ragu-ragu. Kalau ia tidak ikut, berarti ia akan sendirian di rumah. Hanya ditemani Muntik seperti biasanya. Kalau ikut...

Sekarang belum juga jam satu. Di sini sampai setengah tiga? Mau ngapain?

“Tapi pulang dulu juga nggak apa-apa, sih...,” Arlena buru-buru meralat ucapannya. Seutuhnya ia melihat lumuran keraguan dalam mata Carmela. “Terserah kamu,” senyumnya.

Carmela kembali menatap gelas minumannya. “Terserah Mama saja.”

Pembicaraan yang sedari awal terputus-putus itu terputus lagi ketika seorang pramusaji menghidangkan makanan yang sudah mereka pesan. Sebuah ide tiba-tiba saja melintas dalam benak Carmela. Ketika pramusaji itu berlalu, gadis itu menatap Arlena.

“Boleh... selfie bareng?” gumamnya.

Arlena tertegun sejenak.

“Buat aku kirim ke Papa,” lanjut Carmela.

Seketika Arlena tersenyum. Tanpa berkata apa pun, ia kemudian pindah duduk ke sebelah Carmela. Klik pertama, ada senyum yang terlihat ragu-ragu. Carmela memutuskan untuk mengulanginya, yang langsung disetujui oleh Arlena. Dan baru pada klik keempat Carmela merasa puas. Senyumnya sudah terlihat lepas. Begitu pula senyum Arlena. Ditambah dengan wajah cerah yang sinarnya berasal dari dalam hati.

“Semoga Papa senang,” gumam Carmela sambil mengirimkan foto itu pada Prima melalui Whatsapp.

Mendengar suara lirih itu, mendadak saja hati Arlena diserang rasa haru yang luar biasa.

Semua penghargaan dan kasih sayang itu, Mas Prima memang pantas mendapatkannya...

“Oh, ya,” tiba-tiba Carmela mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, “hari Senin nanti kelasku mau adakan bakti sosial ke panti asuhan di belakang sekolah. Mama mau menyumbang?”

“Oh, ya?” Arlena mengangkat alisnya. “Masih butuh apa saja?”

“Mm... Tadinya aku mau nodong Papa untuk belikan beras,” Carmela meringis.

“Butuh berapa?” wajah Arlena terlihat antusias. “Mama belikan.”

“Coba besok aku tanya Bu Senja dulu.”

Selanjutnya, percakapan mereka mengalir, hingga tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 14.30.

* * *

Langit masih terang ketika Olivia menghentikan mobil di depan pintu pagar. Ketika hendak keluar untuk membuka pintu itu, ia melihat Muntik berlari keluar dari garasi yang sudah terbuka lebar dan membukakan pintu pagar untuknya. Olivia kembali masuk ke dalam mobil, dan langsung meluncurkannya ke garasi. Motor Maxi sudah terparkir di sana. Dengan kening berkerut ia kemudian keluar dari dalam mobil.

“Kok, Bibik belum pulang?” tegurnya halus. “Sudah setengah enam lebih, lho, Bik.”

“Iya, Mbak,” Muntik menatap Olivia dengan sorot mata khawatir. “Tapi saya nggak tega tinggalkan Mas Maxi. Badannya panas banget, Mbak.”

“Hah?” Olivia tersentak seketika.

Beberapa hari belakangan ini Maxi memang sering kehujanan. Mungkin itu penyebabnya pemuda itu harus tumbang.

“Mela ke mana?”

“Tadi dijemput Ibu,” jawab Muntik sambil mengiringi langkah Olivia ke lantai atas. “Mungkin sekalian jemput Bapak, Mbak. Wong Ibu tadi bilang, nggak makan siang di rumah.”

Olivia mampir sebentar ke kamarnya untuk meletakkan barang bawaannya, sekalian melepas blazer dan sepatu. Sesaat kemudian ia keluar dan menyeberang ke kamar Maxi. Muntik masih berdiri di dekat meja konsol di lorong. Olivia berhenti sejenak.

“Bik, kalau mau pulang, pulang saja,” ujar  Olivia.

“Nanti kalau Ibu pulang, yang bukain pintu siapa, Mbak?”

“Biar dibuka sendiri,” senyum Olivia. “Kan, ada Mela. Ada Papa juga. Bibik tutup saja pintu garasi dari luar, terus pintu pagarnya dikancing.”

“Ya, sudah, Mbak. Saya pulang dulu, ya?”

“Ya, Bik. Hati-hati di jalan. Makasih, ya, Bik.”

Sepeninggal Muntik, Olivia meneruskan langkahnya ke kamar Maxi. Pelan-pelan dibukanya pintu. Dan dilihatnya Maxi tidur meringkuk di bawah selimut. Olivia meraba kening Maxi. Benar kata Muntik. Maxi panas sekali. Merasakan ada sentuhan di keningnya, pemuda itu membuka mata, kemudian mengerjap beberapa kali.

“Sudah pulang, Mbak?” suaranya terdengar sengau dan serak.

“Kamu ini, disuruh bawa mobil saja nggak pernah mau,” omel Olivia lirih. “Sudah tahu musim hujan kayak gini. Masih juga nekad motoran hujan-hujanan.”

Maxi mengerang.

“Kamu sudah minum obat flu?” Olivia mengelus rambut tebal Maxi.

Pemuda itu mengangguk.

“Sudah makan?”

Maxi menggeleng. “Leherku sakit banget buat menelan, Mbak,” bisiknya.

“Kuantar ke dokter, ya?” tawar Olivia.

Maxi kembali menggeleng. “Besok-besok saja kalau nggak juga mendingan.”

“Ujianmu untung sudah selesai, ya?” gumam Olivia.

Maxi mengangguk. Ia kembali memejamkan mata.

“Pusing, ya?” Olivia kembali mengelus kepala Maxi.

“Banget,” jawab Maxi tanpa membuka matanya. “Badanku juga kayak habis digebukin orang sekampung.”

Mau tak mau Olivia tersenyum mendengarnya.

“Ya, sudah, kamu tidur dulu. Aku mau mandi sebentar,“ ia kemudian beranjak.

Olivia beranjak. Maxi menggumam tak jelas.

* * *

Carmela menguap. Duduk sendirian di jok belakang. Dinginnya udara yang ditimbulkan oleh AC, rasa lelah karena ia sudah memulai aktivitas sejak pukul lima pagi, dan juga rasa kenyang, sungguh jodoh yang pas untuk rasa kantuk. Ia kemudian melepas sepatu, merebahkan tubuh, dan menaikkan kaki. Berbaring meringkuk dengan kepala beralaskan tas Prima yang ditumpuk dengan tasnya.

“Besok jadi Mama yang ambil raport?” gumam Prima, sejenak menatap Arlena yang sedang sibuk dengan setirnya.

“Iya,” angguk Arlena. Menoleh sekilas. “Dia mau, kok.”

“Bagus,” senyum Prima. Ia kemudian berseru, “Kalau raportmu bagus, mau hadiah apa, Mel?”

Hening.

“Mel?” Prima memutar sedikit badannya untuk menengok ke arah belakang. Seketika ia tersenyum lebar melihat putri bungsunya. “Malah tidur...”

“Hah?” Arlena tertawa. “Kekenyangan, ‘kali...”

Saat itu ponsel Prima berbunyi. Ia mengambilnya dari kantong kemeja. Dijawabnya panggilan itu.

“Ya, Liv?”

“Papa sudah jalan pulang?”

“Iya. Agak macet ini.”

“Mela ada sama Papa?”

“Ada... Tadi pulang sekolah dijemput Mama. Terus kongkow di kafe. Sekalian jemput Papa.”

“Oh... Kok, baru saja aku telepon, ponselnya mati.”

“Adikmu bobok, Liv,” Prima tertawa kecil.

“Mm...”

“Ada apa memangnya? Ini kamu sudah sampai rumah?”

“Iya, sudah. Tadinya mau suruh Mela mampir belikan bubur ayam di depan kompleks.”

“Bibik nggak masak?"

“Masak... Buat Maxi ini. Tumbang. Flu. Beberapa hari ini, kan, sering kehujanan. Panas banget badannya. Mungkin tenggorokannya radang juga. Sakit buat menelan. Makanya, kupikir biar dia makan bubur saja.”

Prima mengerutkan kening. “Bawa ke dokter, Liv.”

“Siapa yang sakit?” Arlena menoleh cepat.

Prima mengangkat telunjuk kanan dan meletakkannya di depan bibir.

“Tadi sudah minum obat flu, ngakunya. Lihat besok saja, Pa. Siapa tahu dibawa istirahat bisa mendingan. Yang penting buburnya ini... Bisa tolong belikan, nggak?”

“Bisa, bisa,” Prima mengangguk  cepat. “Ya, nanti Papa belikan.”

“Oke, deh! Nanti buka pagar sendiri, ya? Aku di atas.”

“Oke, Liv.”

Beberapa detik kemudian Prima mengantongi lagi ponselnya.

“Livi? Maxi?” kejar Arlena.

“Maxi. Flu berat kayaknya. Ini tadi Livi minta dibelikan bubur ayam buat Maxi.”

“Oh... Ya, nanti mampir di depot depan kompleks.”

Prima mengangguk.

“Pa...”

“Hm?”

“Kalau yang antar Papa kontrol besok Livi, berarti dia akan tahu?”

Prima tercenung. Dihelanya napas panjang.

“Ya, nanti aku bicara dulu padanya.”

Arlena mengangguk, kemudian terdiam. Ketika jalanan melengang, ia sedikit lebih memacu kendaraannya.

* * *

Carmela pelan-pelan mendorong pintu kamar Maxi yang tidak tertutup rapat. Arlena menoleh.

“Ma, disuruh Papa makan dulu,” ujarnya sebelum Arlena buka suara.

“Ini, makannya Mas belum habis,” gumam Arlena.

“Aku saja yang tungguin,” tukas Carmela halus.

Arlena menimbang sejenak sebelum akhirnya beranjak.

Ruang makan sudah sepi ketika ia sampai di sana. Tapi sekilas ia melihat pintu ke arah teras belakang terbuka. Ia teringat ucapan Prima tadi.

Mungkin lagi ngobrol dengan Livi...

Maka diam-diam ia berusaha untuk menikmati makan malamnya. Dalam hening.

* * *

Entah kenapa, Olivia merasa ada hal yang sangat penting akan dibicarakan Prima. Hal itu tak pelak membuat dadanya berdebar-debar.

Soal Mama-kah?

Olivia mengikuti langkah Prima, menyingkir ke teras belakang.

Atau apa?

Prima duduk di sofa. Menarik lembut tangan Olivia agar menempatkan diri di sebelah kirinya. Ketika gadis itu sudah duduk, Prima mengambil tangan kanan Olivia dan menggenggamnya.

“Liv, yang pertama, Papa – sekalian mewakili Mama – ingin berterima kasih padamu karena kamu sudah membantu Papa mengurus Maxi dan Mela dengan sangat baik.” Prima mempererat genggaman tangannya. “Yang kedua, Papa – mewakili Mama juga – minta maaf karena seharusnya tidak boleh membebanimu dengan tanggung jawab lebih seperti ini. Sesuatu yang seharusnya masih Mama dan Papa pegang secara penuh apa pun alasannya.”

Prima berhenti sejenak. Dihelanya napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya dengan suara melirih.

“Yang ketiga... Papa nggak tahu apakah menyampaikan hal ini padamu adalah hal yang benar. Tapi Papa nggak ingin kamu besok kaget saat antar Papa kontrol.” Prima mendegut ludah. “Kemarin itu, Papa sebenarnya nggak kena maag. Gejalanya hampir sama. Diagnosa dokter, Papa... kena serangan jantung. Masih ringan, Liv. Tapi Papa harus lebih hati-hati sekarang. Papa...”

Prima tidak bisa melanjutkan bicaranya. Olivia sudah memeluknya erat. Dan Prima bisa merasakan ada sesuatu yang hangat membasahi lehernya. Air mata Olivia. Pelan ia mengangkat tangan. Balas memeluk putri sulungnya itu. Matanya mengaca ketika menyadari bahwa Olivia menangis tanpa suara. Dielusnya kepala Olivia.

“Papa nggak apa-apa, Nak,” bisiknya. “Toh, semua keadaan sekarang sudah membaik. Tapi tidak apa-apa kalau kamu mau menangis. Supaya beban yang terpaksa kamu sandang selama ini berkurang.”

Apa lagi berikutnya?

Napas Olivia terasa sesak.

* * *

Luken sudah bersiap hendak tidur ketika mendadak saja ponselnya berbunyi pendek. Sambil merebahkan tubuh di atas ranjang, ia menyambar ponsel yang tergeletak di atas nakas. Tapi ia segera bangun lagi ketika selesai membaca pesan yang masuk melalui aplikasi Whatsapp. Dengan kening berkerut, ia membaca sekali lagi pesan panjang itu.

‘Saya tidak tahu harus mengadu pada siapa. Hari ini tadi saya berharap banyak, punya waktu untuk bicara dari hati ke hati dengan Papa. Ya, waktu itu ada. Tapi semuanya buyar, Pak. Ternyata Papa sakit kemarin itu karena serangan jantung, sama sekali bukan maag-nya yang terganggu. Papa sendiri yang mengatakan pada saya. Kalau sudah begini, apa pantas saya menambah berat beban Papa dengan bicara soal perasaan saya?

‘Sebenarnya saya juga tidak pantas mengadu pada Bapak. Tapi saya harus lari ke mana lagi? Maaf, Pak, saya sudah mengganggu Bapak malam-malam begini. Saya hanya tak tahu harus berbuat apa.’

Laki-laki itu tercenung sejenak sebelum memutuskan untuk menghubungi Olivia. Setelah nada tunggu kedua, terdengar bisikan dari seberang sana. Mendadak saja ia tercekat.

“Ya, Pak? Selamat malam...”

“Malam, Liv. Aku sudah baca pesanmu,” ucapnya lembut. “Aku besok nggak ada acara, kalau kamu mau kita bertemu.”

“Saya besok antar Papa kontrol, Pak.”

Seutuhnya ia bisa menangkap ada nada putus asa yang sangat kental dalam suara lirih Olivia.

“Setelahnya, atau kapan pun, Liv.”

“Saya tidak tahu, Pak. Saya...”

Dan ketika gadis di seberang sana itu mulai terisak nyaris tak terkendali, ingin rasanya Luken terbang menemui dan memeluknya erat saat itu juga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

8 komentar:

  1. Pagi-pagi baca ini saya ikutan terisak-isak, mbak Lizz tuh emang kereeeenn pooollll selalu....;-(

    BalasHapus
  2. Hiks hiks hiks hiks...

    Melu mewek, Liv

    BalasHapus
  3. Saiki papae arek" gawani mbully lek aq baper mari moco cerbung iki mb Lis.
    Waduuuuu cik saknoe Livi.

    #meres saputangan

    BalasHapus
  4. Bacanya sambil nungguin kaka di RS jadi ikut terisak deh. ..

    BalasHapus
  5. Episod yang ini benar-benar mengharu biru.

    BalasHapus
  6. Walo nggak ngikutin dr awal banget, nggak tau kenapa, berasa sedihnya, hiikksss..

    BalasHapus