Rabu, 04 Maret 2015

[Cerpen] Pecel Lele Mbokdhe Sarini







Kalau teman-temannya banyak yang menjatuhkan hatinya pada berbagai varian mie instan sebagai menu kepepet, maka Tara lebih memilih mengangkat ponsel dan memesan pecel lele Mbokdhe Sarini yang buka di ujung blok. Paling lama setengah jam, pesanan akan diantar oleh salah seorang anak buah Mbokdhe Sarini.

Seporsi nasi pulen yang masih panas mengepul, seekor lele goreng atau bakar yang baunya merangsang selera, sepotong tahu atau tempe goreng, setumpuk lalapan mentimun-selada-kol-kemangi, dan sebungkus sambal yang selalu bisa menggoyang lidah. Hm... Lewat sudah mie instan yang diklaim paling enak sekalipun!

 
Warung pecel lele Mbokdhe Sarini sudah ada sejak Tara pindah ke kompleks ini hampir setahun yang lalu. Entah sejak kapan warung itu ada. Yang jelas, warung sederhana itu tak pernah sepi pembeli. Dari jam lima sore sampai tutup, selalu saja pembeli mengalir datang dan pergi. Paling apes jam sembilan malam sudah tutup dengan catatan semua dagangannya sudah bersih tak bersisa. Tak heran memang, sebab rasa pecel lele Mbokdhe Sarini memang tiada duanya.

* * *

Hujan yang merintik sejak siang hari dan makin deras menjelang sore membuat Tara cepat lapar kembali. Belum jam enam sore ia sudah mengangkat ponsel dan menghubungi warung Mbokdhe Sarini. Tapi ia terpaksa mendesah kecewa mendengar jawaban halus Mbokdhe Sarini.

“Maaf, Mbak... Hari ini Mbokdhe tutup warung.”

Terpaksa kali ini Tara harus mengikuti selera cinta teman-temannya. Mie instan. Tapi sebelum sempat memasaknya, bel pintu berbunyi. Tara yang baru saja keluar dari kamar mandi buru-buru membuka pintu.

“Mbak...,” seulas senyum Budi, salah seorang anak buah Mbokdhe Sarini, terpampang di depan matanya.

‘”Eh, Mas Bud,” Tara membuka pintu lebih lebar lagi.

“Ini Mbak, disuruh Mbokdhe anterin ini,” Budi menyodorkan sebuah tas kresek.

“Lho, apa ini, Mas?” Tara menerimanya sambil mengerutkan kening.

“Mbokdhe selamatan, Mbak. Ini buat Mbak Tara. Kata Mbokdhe, kasihan kalau Mbak Tara nggak punya makanan.”

“Lho... kok malah repot-repot? Memang Mbokdhe selamatan apa, Mas?”

“Itu, Mbak, anaknya baru pulang dari Jepang.”

“Oh ya? Hebat bener Mbokdhe ya? Makasih, Mas Budi.”

“Sama-sama, Mbak. Saya permisi dulu ya?”

Monggo, Mas Bud... Sekali lagi makasih. Salam buat Mbokdhe ya?”

Budi mengangguk dan berbalik pergi. Setelah menutup pintu, Tara segera membuka kresek itu. Aroma sedap berbaur jadi satu menguar dari dalamnya. Nasi kuning lengkap. Tak hentinya Tara bersyukur dalam hati.

* * *

Lima hari yang sangat melelahkan. Membuat Tara nyaris kehabisan napas. Boss barunya pindahan dari kantor pusat betul-betul workaholic yang sudah melakukan lari sprint sejak hari pertamanya berkerja. Selama lima hari ini pula ia belum akan sampai di rumah kalau belum jam tujuh menjelang malam.

Dan kelelahannya semakin terasa karena warung pecel lele Mbokdhe Sarini tutup sejak ada selamatan dua minggu yang lalu itu. Lima hari ini ia merasa kurang gizi karena harus merelakan diri menyantap mie instan dengan berbagai varian rasa untuk makan malamnya.

Belum lagi meletakkan tas, ponselnya berbunyi nyaring. Dengan malas ia menatap layar. Dan semangatnya makin menguap ketika melihat siapa yang menelepon. Tapi harus dijawabnya juga panggilan telepon itu.

“Selamat malam, Pak Satrio,” ucapnya halus.

“Malam, Tara. Maaf aku tadi lupa bilang. Tolong besok kamu masuk lembur ya? Masih banyak yang harus dibereskan sebelum auditor datang minggu depan. Terima kasih ya?”

Maaf, tolong, dan terima kasih. Tiga kata kunci yang membuat Tara tak berkutik dan juga tak bisa berkelit dari perintah untuk lembur di hari Sabtu. Maka ia pun menyanggupi permintaan itu tanpa bisa protes.

“Baik, Pak...,” ucapnya lirih.

“Oke, selamat istirahat. Maaf sudah menganggu.”

Boss yang sangat sopan dan menghargai anak buahnya. Apa lagi yang kurang? Terlalu gila kerja, jawab Tara dalam hati.

* * *

Tara meluruskan punggungnya ketika pekerjaannya selesai. Akhirnya..., ia tersenyum dalam hati. Diam-diam ia mengakui, memang banyak hal yang harus dibereskan sebelum auditor datang. Seharusnya tak perlu ada lemburan gerak cepat mendekati deadline seperti itu kalau saja boss sebelumnya sedikit lebih perhatian saja pada masalah pekerjaan. Dihembuskannya napas panjang.

“Capek ya?”

Tara terjingkat kaget. Entah sejak kapan manusia bernama Satrio itu sudah ada di dekatnya. Dicobanya untuk tersenyum.

“Lumayan, Pak.”

Laki-laki itu menatap arlojinya sejenak. “Sudah hampir jam tiga, Ta. Kamu pulang saja.”

“Bapak?”

“Aku masih tunggu email dari pusat. Mungkin sebentar lagi. Have a nice weekend ya?”

“Sama-sama, Pak...”

Beberapa menit kemudian Tara sudah ada di dalam mobil mungilnya yang parkir di basement. Sebelum ia menyalakan mesin, notifikasi SMS ponselnya berbunyi. Disempatkannya untuk membuka SMS itu.

Mbak Tara, warungnya Mbokdhe sudah buka lagi sore ini. Mau pesan ndak?

Serta-merta Tara tersenyum membacanya. Segera ia mengetikkan kalimat balasan.

Asyiiik! Kangen sama lelenya Mbokdhe. Aku pesen lele bakar 2, nasi putih 1, sambel ekstra. Tolong diantar ke rumah jam setengah 7 sore ya, Mbokdhe. Makasiiih...

Dan Tara pun segera melajukan mobilnya pulang dengan hati senang.

* * *

Hujan dan udara dingin yang menyusup membuat Tara terlelap di sofa dengan tablet terjepit di antara tubuhnya dan sandaran sofa. Baru terasa hari ini ujung lelahnya selama hampir seminggu penuh itu.

Tapi kenyamanan itu harus berakhir ketika sama-samar ia mendengar bel pintu berbunyi berkali-kali, dan terdengar makin lama makin keras ketika kesadarannya mulai pulih. Dikerjapkannya mata beberapa kali sebelum bangun dengan malas. Ia kemudian menyeret langkah ke ruang tamu.

“Siapa?” ia setengah berteriak sebelum membuka pintu.

Delivery service pecel lele, Mbaaak...”

Tara melirik jam dinding dan ia terbengong sejenak. Hari sudah gelap. Hampir setengah tujuh sore. Lama juga aku ketiduran... Buru-buru dibukanya pintu. Sekejap kemudian ia ternganga.

“Lho?”

“Kamu...?”

* * *

“Jadi langganan Ibu itu kamu?”

Tara menutupi mulut dengan kedua tangannya. Matanya masih terbelalak. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Astagaaa... Didit? Kamu Didit kan?”

“Iya, aku Didit,” pengantar pesanan pecel lele itu tertawa lebar. “Ya ampun... Apa kabar, Ta?”

“Baik, Dit. Ayo, masuk!” Tara membuka pintu ruang tamunya lebar-lebar.

Didit kemudian mengikuti Tara masuk ke ruang tamu rumah itu. Sejenak kemudian ia sudah duduk manis di ruang tamu. Tara menghilang ke dalam membawa pesanannya, lalu muncul kembali dalam hitungan menit dengan membawa nampan berisi dua cangkir coklat hangat dan toples berisi keripik singkong.

“Kamu ke mana aja sih, Dit? Tahu-tahu menghilang? Loli beneran patah hati kamu tinggal gitu aja!” Tara langsung memberondong Didit dengan kalimatnya yang seolah tanpa jeda.

Didit menghela napas panjang sebelum menjawab dengan sabar. “Jadi Loli nggak cerita apa-apa tentang aku? Nggak cerita kalau mamanya anti sama aku yang cuma anak penjual pecel lele?”

“Segitunya?” Tara membelalakkan matanya. “Loli nggak cerita apa-apa. Terus kamu ke mana?”

“Bertualang dari satu beasiswa ke beasiswa lain,” Didit tersenyum sambil menyeruput coklat hangatnya.

Didit adalah teman kuliahnya di Surabaya dulu. Seorang mahasiswa yang cerdas dan humoris. Pacar Loli, sahabatnya. Suatu ketika setelah wisuda duluan dengan status cum laude, Didit menghilang begitu saja tanpa pernah ada kabar lagi, meninggalkan banyak teman seangkatan yang masih bertahan di bangku kuliah. Terutama meninggalkan Loli yang ternyata...

“Jadi begitu ceritanya...,” gumam Tara.

“Terus, Loli gimana kabarnya?”

“Loli...,” wajah Tara seketika tersaput mendung. “Dia nikah tiga tahun lalu. Punya anak satu umur dua tahun. Perceraiannya baru diputuskan bulan lalu. Suaminya selingkuh.”

Didit terhenyak di tempat duduknya. Ditatapnya Tara dengan sorot mata sukar diartikan.

“Dia sekarang di mana?” ucapan Didit lebih menyerupai bisikan.

“Masih ada di Surabaya. Kamu mau ketemu? Aku ada alamatnya.”

“Nantilah, Ta. Aku masih harus balik ke Kanada bulan depan. Tahun depan kayaknya aku bakal kembali ke sini. Sama kantor pusat aku mau ditempatkan di sini.”

“Lho, bukannya kamu di Jepang? Kapan itu Mas Budi anterin nasi kuning ke sini. Katanya anaknya Mbokdhe Sarini ada yang baru pulang dari Jepang.”

“Oh... Itu masku. Dia juga baru pulang tugas belajar dari Jepang. Dibiayai kantornya juga.”

“Whoaaa... Anak Mbokdhe hebat-hebat ya?” Tara menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub. “Mbokdhe sudah lama jualan pecel lele?”

“Udah lama, Ta,” Didit  meneguk lagi coklatnya yang mulai mendingin. “Ada dua puluh tahunan, sejak Bapak meninggal. Dulu sih warungnya di dekat pom bensin depan kompleks sana. Tapi setelah masku bisa beli rumah di sini, Ibu dia minta pindah. Maksudnya ya sudahlah, istirahat saja jualannya. Tapi Ibu nggak mau. Kasihan langganannya, katanya. Jadinya tetap jualan sampai sekarang. Pindah ke ujung blokmu ini. Padahal masku sama aku juga sudah mentas. Bisalah kalau menghidupi Ibu. Ngomong-ngomong, kamu sudah lama tinggal di sini?”

“Baru setahunan, Dit. Cicilan rumah masih lama,” Tara menyambung kalimatnya dengan tawa.

Didit turut tertawa. “Tinggal sama siapa?”

“Sendirian.”

“Oh... Pantesan jadi langganan pecel lelenya Ibu ya?” Didit kembali tertawa.

“Iya, hehehe... Udah nggak sempat masak lagi kalau sore. Apalagi kalau lembur seperti kemarin-kemarin ini. Apesnya, pas Mbokdhe nggak jualan. Terlantarlah aku.”

“Waduh... Ya maaf banget, Ta. Ibu lagi seneng anaknya pada kumpul di sini. Lha terus, Bapakmu?”

Wajah Tara kembali berselimut mendung. “Nggak lama setelah aku wisuda dan dapat kerjaan, Bapak menyusul Ibu.”

Didit terhenyak ketika melihat mata Tara mengaca.

“Maaf, Ta... Nggak bermaksud membuatmu sedih,” ucapnya lirih.

Tara menegakkan punggung sambil berusaha tersenyum. “I’m fine, Dit.”

Saat itu ponsel Didit berbunyi. Ia tersenyum setelah membaca pesan yang baru saja masuk.

“Ta, aku pulang dulu ya? Dicari Ibu,” Didit berdiri.

“Yah... belum puas ngobrolnya,” Tara ikut berdiri. “Eh, ini tagihanku berapa nih?”

“Udaaah...,” Didit tertawa. “Aku aja yang bayarin. Itung-itung traktir temen lama.”

“Hehehe... Iya deh, makasih!”

Ketika Didit dengan payungnya sudah menghilang ditelan rintik hujan, Tara segera menutup pintu rapat-rapat. Sebelum menikmati pesanannya, ia meraih ponsel dan menghubungi seseorang. Ketika didengarnya sapaan dari seberang sana, ia segera berbisik, “Loli, tebak siapa yang baru aja dateng ke rumahku?”

* * *

Tara terpaksa merapatkan cardigan-nya. Hujan yang turun sejak dini hari membuat suhu dalam ruangan yang ber-AC itu menjadi jauh lebih dingin. Suasana kantor terlihat adem ayem walaupun sedang harap-harap cemas menunggu kedatangan auditor dua hari lagi. Semua persiapan sudah beres. Sepertinya tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Ketika telepon di mejanya berbunyi, Tara segera mengangkatnya dengan sigap. “Ya, Pak?”


“Tolong bawakan berkas yang tadi kamu print ke mejaku sekarang ya, Ta. Makasih.”

“Baik, Pak.”

Segera Tara meraih map bersampul biru muda itu, kemudian membawanya masuk ke dalam kantor Satrio. Ia mengerutkan kening ketika memperhatikan wajah Satrio. Tampak sedikit pucat dan berkeringat di tengah dinginnya hawa ruangan.

“Bapak sakit?” Tara perlahan menyodorkan map yang dibawanya ke atas meja.

“Kayaknya masuk angin, Ta,” Satrio mengangkat wajahnya sedetik. “Dari kemarin sore sudah nggak enak badan.”

“Mm... Pulang aja, Pak. Istirahat di rumah.”

“Kan ada meeting setengah jam lagi.”

“Suruh Pak Adi aja yang pimpin, Pak.”

“Gitu ya?” gumam Satrio. “ Ya sudah, tolong panggil Pak Adi ya, Ta? Makasih.”

Setelah memenuhi permintaan sang boss, Tara pun iseng merapikan file-file di dalam laptopnya. Dibersihkannya beberapa file sampah, dan diberinya nama baru pada file-file yang rancu. Ketika menekan tombol enter yang terakhir, pintu kantor sang boss terbuka.

“Ta, bisa minta tolong antar Pak Sat ke RS Husada? Nanti aku saja yang hubungi keluarganya.”

Tara tertegun sejenak sebelum menganggukan kepala.

* * *

Tara menatap keluar kaca depan mobil mungilnya dengan putus asa. Tak ada celah sedikit pun, bahkan untuk sebuah motor menyelinap. Macet total di tengah hujan deras jam sepuluh pagi.

“Sabar ya, Pak. Macet begini...,” Tara berucap halus.

“Iya, Ta, nggak apa-apa.”

Sementara mobilnya sama sekali belum bisa bergerak, Tara mengambil ponselnya di kotak koin. Dengan cepat ia berusaha mencari jalur alternatif melalui GPS. Gotcha!

Ketika lalu lintas bisa bergerak sedikit, Tara segera bersiap untuk mendesak ke kanan, siap untuk berbelok di perempatan 100 meter lagi. Sedikit demi sedikit Tara berusaha membebaskan mobilnya dari kemacetan.

Saat itu ponsel Satrio berbunyi. Satrio segera menjawabnya.

“Ya?”

... ... ...

“Iya, lagi jalan. Sebentar lagi. Macet parah ini.”

... ... ...

“Nggak tahu. Sakit banget ini... Tapi bilang Ibu, nggak usah khawatir.”

... ... ...

“Iya, aku ada yang antar kok. Sudah dulu ya?”

Satrio melirik sekilas. “Adik sama Ibuku sudah tunggu di RS.”

“Maaf ya, Pak...,” suara Tara terdengar penuh penyesalan. “Jadi kejebak macet begini...”

“Ya bukan salahmulah, Ta. Masih untung ada yang bisa antar aku ke RS.”

Setengah jam kemudian Tara bisa menghembuskan napas lega ketika mobilnya berhasil masuk ke halaman RS Husada. Ia kemudian memutuskan untuk langsung meluncurkan mobilnya ke depan UGD. Sebelum ditangani, Satrio menyerahkan ponselnya pada Tara.

“Tolong telepon adikku ya, Ta. Bilang aku di UGD. Nomornya yang terakhir calling aku. Makasih.”

Setelah memarkir mobilnya di dekat pintu UGD, Tara segera menelepon adik Satrio. Ketika ada jawaban seorang laki-laki dari seberang sana. Ia segera berucap ringkas, “Selamat siang, Pak, saya staf Pak Satrio. Pak Sat sudah saya bawa ke UGD.”

“Oh iya, Makasih, Mbak. Maaf dengan Mbak siapa ya?”

“Saya Tara, Pak.”

“Tara? Tara Shelomita?”

“Iya, betul.”

“Ya, ampun... Ini aku, Ta, Didit!”

“Lho, Dit? Didit? Kamu adiknya Pak Sat?”

“Ya udah, kita ketemu di UGD.”

Tara masih terbengong-bengong. Dunia ini kok sempit banget sih? Tapi ia tak lagi sempat memikirkannya ketika melihat dua orang yang sangat dikenalnya berjalan tergopoh datang ke lobby UGD. Mbokdhe Sarini dan Didit.

“Anakku kenapa ya, Mbak?” wajah Mbokdhe Sarini tampak gelap diliputi kekhawatiran.

“Belum tahu, Mbokdhe... Kita tunggu ya? Lagi ditangani dokter,” Tara menggenggam telapak tangan Mbokdhe Sarini.

“Oalah... Jadi Mbak Tara ini sekantor sama Sat to?”

“Iya, Mbok. Pak Sat atasan saya.”

Didit menjatuhkan badannya di atas bangku di sebelah Tara.

“Dari semalam dia memang udah mengeluh nggak enak badan,” gumam Didit. “Tadi pagi juga minta aku antar dia ngantor, nggak berani nyetir sendiri. Aku suruh bolos aja dia nggak mau. Mau ada meeting katanya.”

“Iya sih... Tapi meeting kan juga bisa dialihkan ke Pak Adi.”

“Mas Satrio memang gitu,” keluh Didit. “Suka nggak mikir diri sendiri. Barangkali lain ceritanya kalau udah punya istri.”

“Wooo... lha masmu kalau disuruh cari istri ngeles melulu kok, Dit,” Mbokdhe Sarini menyahut, setengah menggerutu. “Ya sebenarmya kalian itu sama saja, wong kamu juga begitu...”

Didit terpaksa nyengir mendengar ucapan ibunya. Tara sendiri agak bingung. Setengah geli, setengah prihatin.

“Susah, Bu, cari istri yang bisa ngerti, bisa sayang sama mertua yang cuma jualan pecel lele.”

“Hus!” Tara menghardik seketika. “Nggak ada itu cuma jualan ini, cuma jualan itu, Dit! Aku nggak suka ya, kamu ngomong gitu! Syukur-syukur kamu masih punya ibu. Kamu jadi kayak sekarang juga karena jasa ibumu.”

“Aduh... Nggak maksudku sih, Ta, ngomong gitu...”

Sebelum kedua orang itu berdebat lagi, sebuah suara membuat mereka menoleh serempak.

“Keluarga Bapak Satrio?”

Didit segera berdiri. “Ya?”

“Bapak siapanya Pak Satrio?”

“Saya adiknya, itu Ibu, itu calon istrinya.”

Tara seketika mendelik. Tapi Didit tidak mengacuhkan reaksi Tara.

“Oke... Jadi begini, Pak...”

“Didit.”

“Ya, Pak Didit. Pak Satrio harus operasi ya? Usus buntunya meradang, takutnya keburu pecah. Sementara ini lagi diturunkan dulu demamnya.”

Mbokdhe Sarini dan Tara saling menatap. Setengah terhenyak.

* * *

Jelas warung Mbokdhe Sarini tutup selama anak sulungnya dirawat di rumah sakit. Tara merasakan ada yang sedikit kosong dalam hidupnya. Cuma karena pecel lele itu? Tara tidak berani mencari jawabannya. Sesungguhnya ada yang terasa lebih dalam dari itu.

Ketika seisi kantor berebutan untuk menjenguk sang boss selama tiga hari ini, Tara lebih memilih untuk menepikan diri. Untuk apa? Ia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Apakah karena mulai ada rasa yang lain? Ia mengedikkan bahu. Tapi ia tak punya ruang lagi ketika menjelang sore itu Adi memanggilnya.

“Tara, tadi Pak Satrio hubungi aku, minta kamu bawakan laporan yang tadi siang kamu selesaikan itu untuk ditandatangani. Bisa?”

“Sore ini, Pak?”

“Iya, sekalian kamu pulang. Bisa kan?”

“Mm... Bisa, Pak.”

“Oke, makasih ya?”

“Sama-sama, Pak.”

Dan sore harinya sepulang kerja Tara melajukan mobil mungilnya menembus kemacetan menuju ke RS Husada. Menjelang jam setengah enam sore, baru ia sampai di tempat tujuan. Dengan langkah cepat ia segera menuju ke kamar perawatan Satrio.

“Kamu ini calon istri model apa nggak pernah nongol?” goda Didit begitu Tara muncul.

Apa-apaan sih? Tara langsung mendelik jengkel dan menggerutu dengan rahang terkatup, “Didiiit...”

Didit sendiri buru-buru keluar dari ruangan sambil tertawa. Tapi senyum teduh Mbokdhe Sarini menguapkan kejengkelan Tara. Buru-buru dihampirinya perempuan sepuh itu, kemudian menyalami dan mencium tangannya.

“Mbokdhe...”

“Kok jam segini baru pulang, Mbak?”

“Macet, Mbokdhe...” Tara kemudian mengalihkan tatapannya ke arah Satrio yang duduk bersandar pada bed-nya. “Pak, selamat sore.”

“Sore, Ta. Ada pesanan dari Pak Adi ya?”

Mbok ya disuruh duduk dulu to, Mas...,” tegur Mbokdhe Sarini.

“Hehehe... Nggak apa-apa, Mbokdhe.”

Tara segera menyerahkan berkas yang dibawanya pada Satrio. Laki-laki itu kemudian menelitinya, dan membubuhkan tanda tangan.

“Mbak, Mbokdhe titip Mas Satrio sebentar ya? Bisa?”

“Oh iya, Mbokdhe. Nggak apa-apa.”

Keheningan sempat melingkupi ruangan itu sesaat setelah Mbokdhe Sarini menghilang di balik pintu. Tara menyibukkan diri dengan merapikan berkas dalam map yang sebetulnya sudah rapi itu. Semua tak luput dari pengamatan Satrio. Laki-laki itu tersenyum.

“Kamu memang orangnya pendiam ya?”

Tara mengangkat wajahnya. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Seolah semua perbendaharaan katanya hilang bila harus berhadapan dengan Satrio. Maka ia cuma bisa mengembangkan seulas senyum manis.

“Selama warung Ibu tutup, kamu makan apa?”

“Bapak sudah mendingan?”

Mereka berbarengan mengucapkan kalimat masing-masing. Sesaat kemudian tawa pecah dan berhenti seketika ketika Satrio meringis kesakitan.

“Bapak...,” Tara buru-buru berdiri.

“Nggak apa-apa, Ta. Kekencengan ketawanya. Tadi ngomong apa?”

“Oh... Saya tanya, Bapak sudah mendingan?” Tara duduk kembali.

“Ya, seperti yang kamu lihat. Besok juga sudah boleh pulang. Tapi masih harus istirahat dulu di rumah. Terus, selama Ibu warungnya tutup, makanmu gimana?”

“Hehehe... Menu andalan, Pak. Mie instan. Kadang tambah kornet, kadang tambah telur, tambah sayur.”

“Lama-lama kurang gizi kamu...”

Tara tersenyum geli.

“Nggak bosan sama pecel lelenya Ibu?”

“Nggak sih, Pak. Kadang-kadang saya sempat masak juga pagi-pagi. Sore saya pulang tinggal menghangatkan.”

“Kamu teman kuliahnya Didit ya?”

Tara mengangguk.

“Berarti tahu soal Loli?”

“Yang bagian mana, Pak?”

“Soal mamanya Loli.”

“Saya baru tahu dari Didit beberapa hari yang lalu, Pak. Selama saya kenal Loli, Loli nggak pernah cerita soal itu.”

Satrio mengangguk-angguk. “Lalu pandanganmu sendiri?”

“Soal Loli dan Didit?”

Satrio menggeleng. “Soal profesi ibuku.”

“Oh... Memangnya kenapa, Pak? Saya kira nggak ada yang salah dengan profesi Mbokdhe. Saya justru salut sama Mbokdhe. Dengan segala keterbatasan finansial bisa mendidik Bapak dan Didit jadi manusia-manusia berhasil. Saya pikir Mbokdhe benar-benar ibu yang luar biasa. Setidaknya saya memandang seperti itu. Saya sendiri nggak pernah merasakan punya seorang ibu.”

Satrio mengerutkan keningnya. “Ibumu ke mana?”

“Sudah di Surga, Pak. Bersama adik saya yang dilahirkan Ibu. Sejak saat itu saya cuma berdua dengan Bapak. Bapak sendiri sudah bergabung dengan Ibu dan adik saya. Sekitar empat tahun yang lalu, saya masih baru beberapa bulan kerja.”

“Oh...”

“Selamat sore...,” seorang petugas rumah sakit membawa masuk sebuah nampan berisi makanan, kemudian meletakkan nampan itu di meja dekat kaki Satrio. “Selamat makan ya, Pak...”

“Makasih...”

Tara segera menggeser meja itu hingga posisinya tepat berada di depan Satrio.

“Bapak bisa makan sendiri?”

“Bisalah...,” Satrio tersenyum. “Memangnya kalau belum bisa, kamu mau suapin?”

Tara hanya terkekeh tanpa bisa menjawab. Tak urung pipinya menghangat.

“Ibu sedang berpikir untuk berhenti buka warung kalau Didit atau aku sudah nikah,” ucap Satrio sambil menyuap makanannya ke dalam mulut. “Tapi kan nggak gampang juga karena harus memikirkan nasib pegawai. Sama nggak gampangnya dengan urusan cari pasangan hidup jaman sekarang. Sepertinya aku egois kalau cari istri yang nggak matre. Uang memang bukan segalanya, tapi kan segalanya jaman sekarang butuh uang. Kamu sendiri? Gimana?”

Tara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang. Tanggap dengan arah bicara Satrio.

“Setelah Bapak meninggal rasanya saya nggak lagi punya target apa-apa,” Tara setengah menggumam. “Saya lakukan apa yang bisa saya lakukan. Bekerja sebaik-baiknya, menikmati hidup, membiarkan semuanya mengalir. Terkadang lupa bahwa waktu cepat berlalu dan umur saya bertambah. Tapi jujur saya nggak tahu harus memulai dari mana.”

“Nggak ada teman laki-laki?”

“Banyak, Pak. Tapi semuanya saya anggap teman. Entahlah,” Tara mengangkat bahu.

Satrio menghela napas panjang. “Kok masalah kita sama ya?”

Keduanya saling bertukar tatapan. Bertukar senyuman. Bertukar keheningan.

“Enak banget ngobrol sama kamu,” Satrio mengerjapkan mata.

Tara tak menjawab. Hanya saja ia merasakan hal yang sama.

* * *

Hari Senin yang selalu diawali dengan meeting perencanaan biasanya membuat Tara sedikit mengumandangkan I hate Monday! dalam hatinya. Tapi entah kenapa sejak boss-nya berganti, perasaan berat itu pelan-pelan menghilang.

Dan suasana cerah hatinya pagi ini seolah didukung oleh senyum sinar mentari yang mengintip malu-malu dari balik awan. Maka Tara pun meluncurkan mobil mungilnya keluar dari carport. Baru beberapa meter berjalan, ponselnya yang tergeletak di dalam kotak koin berteriak-teriak meminta perhatian. Segera Tara menepikan mobilnya dan menjawab panggilan itu.

Pak Satrio? Entah kenapa mendadak ada lonjakan-lonjakan liar dalam dadanya. Ia pun berusaha keras menjawab panggilan itu dengan nada biasa.

“Halo, selamat pagi, Pak.”

“Pagi, Tara. Kamu biasanya berangkat jam berapa?” suara itu terdengar begitu empuk di telinga.

“Ini saya sudah di jalan, Pak.”

“Sudah jauh dari kompleks?”

“Belum sih, baru beberapa meter dari rumah.”

“Oh... Aku bisa minta tolong?”

“Ya, Pak? Gimana?”

“Aku bisa numpang mobilmu nggak? Aku belum berani nyetir sendiri. Didit mau ke Surabaya pagi ini, jadi nggak bisa antar aku.”

“Lho, Bapak sudah mau masuk kerja?” Tara mengerutkan kening.

“Iya.”

“Bapak sudah sehat?”

“Anggap saja begitu. Jadi, bisa numpang mobilmu?”

“Bisa, Pak. Bapak tunggu saja di rumah, saya jemput.”

“Aku sudah di depan warungnya Ibu.”

“Oh... Baik, Pak. Saya segera meluncur.”

“Makasih banyak ya, Ta...”

“Sama-sama, Pak.”

* * *

Benar saja, laki-laki itu sudah duduk-duduk di depan warung Mbokdhe Sarini ketika Tara sampai di ujung jalan. Setelah memastikan Satrio duduk nyaman di dalam mobil, Tara kembali meluncurkan mobilnya.

“Bapak beneran sudah sehat?”

Satrio menoleh ketika mendengar ada nada khawatir dalam suara Tara. Ia tersenyum.

“Belum terlalu sih,” jawabnya jujur. “Buat jalan juga masih agak sakit. Tapi nggak enak kelamaan di rumah.”

“Kok maksain diri banget sih, Pak?”

Satrio tak menjawab. Hanya mengulum senyum. Mobil kecil itu terus melaju membelah jalan yang mulai diwarnai kemacetan-kemacetan kecil.

“Didit kembali ke Kanada Jumat besok,” Satrio menoleh sekilas ke arah Tara. “Makanya hari ini dia ingin ketemu Loli. Aku cuma takut dia kecewa lagi.”

“Semoga tidak, Pak. Loli memang sudah berubah statusnya, tapi cintanya tetap buat Didit. Apalagi kan mamanya sudah nggak ada lagi. Mungkin agak lebih mudah buat Didit dan Loli.”

Satrio menghembuskan napas panjang. “Sekarang tinggal aku yang dikejar Ibu.”

“Hehehe...”

Kemudian hening hingga Tara membelokkan mobilnya ke jalan menuju ke gedung kantor.

“Punya saran nggak, gimana caranya memulai hubungan dengan perempuan baik-baik?”

Tara hampir saja refleks menginjak pedal rem karenanya. Tapi ia segera menyadari keadaan sekitarnya. Segera ia berusaha menenangkan diri setelah mendengar pertanyaan yang cukup mengejutkan itu. Diusahakannya untuk mengulas senyum.

“Ya kenalanlah, Pak.”

“Kalau sudah kenal? Sudah tahu nomor ponsel? Sudah tahu status single perempuan itu?”

“Hm...,” Tara meluncurkan mobilnya pelan-pelan memasuki basement. “Ajak dinner, mungkin. Atau lunch. Ngobrol. Banyak, Pak... Tanya hobinya. Kalau dia suka bunga ya kasih bunga. Banyak hal romantis bisa dilakukan kok, Pak.”

“Hm... Harus romantis ya?” Satrio menggumam.

“Ya nggak selalu sih...,” Tara menghentikan mobilnya, kemudian mematikan mesin. “Banyak juga perempuan yang lebih suka praktis.”

“Kamu sendiri? Lebih suka yang mana?”

Tara menoleh sekarang. Menatap Satrio.

“Saya?” ia tersenyum. “Males ribet aja sih, Pak...”

“Hm...,” Satrio membalas senyum itu sambil membuka pintu.

Tara menekan tombol alarm mobil beberapa saat kemudian. Dan mereka mulai melangkah bersama. Tara terpaksa mengurangi kecepatan langkahnya karena kelihatannya Satrio kesulitan mengimbanginya.

“Tasnya mau saya bawakan, Pak?”

Satrio menggeleng. Dan butuh bermenit-menit lamanya hingga mereka sampai ke lift. Dengan sabar Tara mengimbangi langkah Satrio yang masih agak tertatih.

“Hobimu apa, Ta?” Satrio berdiri tegak di sebelah Tara di dalam lift.

“Membaca, sama pelihara kaktus, Pak.”

“Sama makan pecel lele ya?” Satrio tersenyum lebar.

Tara tertawa. “Bapak bisa aja... Itu sih kebutuhan...”

“Siang ini bisa kita lunch bareng?”

Tara berpikir sejenak. “Gimana ya, Pak? Nggak enak sama teman-teman.”

“Kalau dinner? Nanti pulang kerja?”

Tara menatap bayangan Satrio yang terpantul di dinding lift. Entah kenapa debar hatinya muncul lagi. Maksudnya?

“Aku ingin ngobrol banyak sama kamu.”

Tara tertegun sejenak ketika jawaban itu muncul begitu saja. Maksudnya?

“Boleh?”

Tara berdehem. Mengurangi rasa tercekik di tenggorokannya. “Boleh, Pak.”

“Makasih ya?”

“Sama-sama, Pak.”

Pintu lift terbuka dan mereka kemudian keluar. Satrio langsung masuk ke ruang kerjanya, dan Tara sendiri segera menyibukkan diri di depan mejanya. Baru saja ia menyalakan laptop, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan yang baru saja masuk membuatnya tertegun-tegun ketika membacanya.

Tara, maaf kalau awalan yang kaku tadi membingungkanmu. Aku ingin mengenalmu lebih dekat. Ada perasaan nyaman ada di dekatmu. Ada perasaan tenang menatap mata teduhmu. Ada perasaan hangat ketika bicara denganmu. Ada yang aneh dengan perasaanku. Terutama ketika Ibu bercerita sebanyak yang Ibu tahu tentangmu. Jadi, masih bolehkah aku berharap? Oh ya, satu hal lagi. Mulai hari ini kamu boleh pesan apa saja dari warung pecel lele ibuku. Aku akan membayarinya dengan senang hati sampai kapan pun kamu mau.

Mau tak mau Tara tersenyum membaca dua kalimat terakhir itu. Dan sesuatu yang terasa megusiknya membuat ia mengangkat wajah.

Satrio berdiri di sana. Di ambang pintu ruangan kantornya. Menatapnya dengan senyum terulas di bibir.

Pipi Tara terasa hangat seketika. Ia kemudian membalas senyum itu sambil mengangguk sedikit. Membuat Satrio seketika paham dan mengacungkan jempolnya dengan wajah cerah. Kemudian laki-laki itu menghilang lagi ke dalam kantornya.

Semoga... Tara mengucap dalam hati. Semoga pecel lele Mbokdhe Sarini bisa kunikmati gratis selamanya, ia pun meneruskan pikirannya dengan jahil.

* * * * *


Sekuelnya silakan klik di  SINI



Ilustrasi diambil dari SINI




14 komentar:

  1. Gratisssssssssssssssssss..... saya suka yang gratis.... *kabur sebelum dikepruk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iki onok perkoro opo maneh kok isuk-isuk keprak-kepruk ae?

      Hapus
  2. Cerita yang tidak membosankan walau dibaca berkali-kali, nice post

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak kunjungannya, Pak Subur... Selamat beraktivitas...

      Hapus
  3. Ada gak ya yang mau kirimin aku pecel lele???? Mbak, bagus n keren selalu tulisan mbak'e. Addicted to you kata Utada Hikaru......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... kirim ke Jepun plus busuk yak? Makasih mampirnya, LeeAnn....

      Hapus
  4. Kebetulan dr kemarin lagi pengin lele, trus disuguhi (bacaan tentang) lele sama tante lis, hasilnya? ngeces! *yang dipikirin makanan mulu* wkwkwk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sodorin kain pel dulu buat ngepel ngecesnya, hahaha...
      Makasih mampirnya, Mbak Putri...

      Hapus
  5. Jd laperrrrrrrrr Tan.......... *pasang muka melas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puuut... Puisimu kok melas banget???
      Makasih mampirnya ya, Ndhuk...

      Hapus
  6. pernah tayang di forum Kompasiana ya mba???
    Dari dulu suka baca fiksi mba lizz di forum itu, tp gak punya akun jadi gak bisa komen..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak... Fiksi yang di sana udah bersih saya boyong ke sini semua. Salam kenal ya, Mbak... Makasih kunjungannya....

      Hapus
  7. Fiksinya bikin lapeeer... :D
    Sip mbak, semoga makin produktif :)

    BalasHapus