“Jadi, kapan aku boleh belajar motor?”
Shania menatap perjaka kecilnya. Di matanya,
wajah polos yang dua bulan lalu usianya genap 11 tahun itu masihlah wajah bayi
lucu yang sama sekali belum pantas mengendarai motor.
“Papa selalu bilang apa?” Shania berucap
sabar.
“Nanti kalau sudah SMP,” jawab Allen. "Itu pun belajar doang, belum boleh pakai sewaktu-waktu."
“Jadi?” senyum Shania.
Allen menghela napas panjang. Tak puas. Rasanya menunggu SMP itu lama sekali! Lulusannya saja masih 6 bulan lagi. Padahal di blok ini rasanya cuma dia sendiri yang katrok karena belum bisa mengendarai motor.
Allen menghela napas panjang. Tak puas. Rasanya menunggu SMP itu lama sekali! Lulusannya saja masih 6 bulan lagi. Padahal di blok ini rasanya cuma dia sendiri yang katrok karena belum bisa mengendarai motor.
“Nggak bisa dipercepat?” Allen masih berusaha
menawar.
Shania menggeleng serius. Ditatapnya Allen
lagi.
“Tahu nggak alasannya, kenapa harus menunggu
SMP dulu?”
Allen mengangguk. “Kata Papa, biar aku lebih tinggi,
lebih kekar, dan lebih bisa mikir dulu.”
“Ada masalah dengan itu?”
Allen menatap mamanya, tak mengerti. Shania
pun memahaminya.
“Maksud Mama, apakah kamu sekarang sudah
merasa seperti itu?”
Allen menggeleng. Ragu-ragu.
“Nah!” Shania kembali tersenyum. “Kasus
ditutup, ya? Kamu memang harus sabar menunggu.”
Allen terduduk lesu.
* * *
Nggak
adil! Sungguh nggak adil!
Allen cemberut di dalam kamarnya. Seperti
apa pun ia merayu papa-mamanya, hasilnya tetap sama. Belum boleh belajar
mengendarai motor. Padahal kata eyang-eyangnya, dulu papa-mamanya masih kelas 6
SD sudah belajar motor. Papa-mamanya, sih, jujur mengakui hal itu. Plus
membeberkan alasan kenapa dulu boleh dan sekarang belum boleh.
“Jaman dulu jalanan belum seramai sekarang,
Al...,” ucap papanya sabar. “Lagipula motor bebek jaman dulu nggak setinggi
sekarang sadelnya. Belum jaman motor matic
juga. Jadi sekalian harus menguasai yang manual pakai gigi dulu sebelum
pakai yang matic.”
Di rumah cuma ada motor gede 250 cc berkopling
milik Papa dan motor matic kecil
milik Mama. Tak ada motor bebek. Jadi
kapan belajarnya?
Sang Mama seolah mengerti apa yang dipikirkan
Allen.
“Nanti kalau kamu sudah SMP, semoga ada
rejeki lebih buat beli motor lagi. Motor bebek yang bekas buat kamu belajar.
Kalau sudah mahir, boleh pakai matic
Mama. Kalau sudah lebih tinggi dan kekar lagi, pasti boleh pakai motor gede
Papa.”
Allen terpaksa mengangguk samar. Walaupun
dengan segunung perasaan tak puas masih memenuhi dada dan pikirannya. Hingga ia
masuk ke dalam kamar.
* * *
“Masih setia pakai sepeda aja kamu, Al!”
Allen melihat Sandy mendahuluinya dengan
motor matic-nya. Bukan ibunya yang
memegang kemudi, tapi Sandy, dengan ibunya membonceng di belakang. Sebetulnya
Allen juga jarang naik sepeda ke sekolah. Biasanya ia nebeng papanya sekalian
berangkat kerja. Tapi hari ini papanya harus berangkat lebih pagi gara-gara ban
belakang motor gedenya kempes. Mau tak mau harus pakai mobil dengan resiko
lebih besar terhadang jalanan macet. Motor Mama tak bisa diganggu gugat karena
tiap pukul 9 dipakai mengantar Alleda ke play
group.
Allen hanya tersenyum menanggapi sapaan Sandy
yang setengah mengejek. Bercanda, sih, tapi tetap saja terasa jleb di hati.
“Allen! Tunggu!”
Allen menoleh dan mendapati Detty sedang
berusaha menyusulnya dengan sepeda mini berwarna pink-nya. Allen memutuskan untuk menunggu Detty. Ketika Detty sudah
sampai didekatnya, bisa dilihatnya napas Detty agak memburu.
“Kok, tumben, sih, naik sepeda?” tanya Detty
sambil mengayuh sepedanya lagi.
“He em. Ban motor Papa kempes. Jadi Papa
pakai mobil. Berangkatnya pagi banget.” Allen mulai mengikuti kayuhan sepeda
Detty.
“Oh... Eh, kan, bisa pakai motor mamamu?”
“Aku, kan, belum bisa bawa motor.” Allen
menjawab dengan suara lirih.
“Maksudku...” Detty tersenyum, “Kok, mamamu
nggak anterin kamu pakai motor?”
“Oh... Leda belum bangun. Kasihan, kan?
Mendingan aku naik sepeda aja. Lagian dekat ini...”
“Iya, sih....” Detty tersenyum lagi. “Tapi
enak juga, kan, naik sepeda?”
Allen tersenyum. Mengiyakan.
“Kamu nggak mau belajar motor juga, Ty?” Allen
iseng bertanya.
“Pingin, sih... Tapi kayaknya belum berani.
Masih gedean motornya. Hehehe....”
Allen turut tertawa karenanya. Tak lama
kemudian mereka pun sampai di depan gerbang sekolah. Bel masuk masih lama.
Allen pun kemudian duduk-duduk di bangku beton di depan kelasnya. Bercanda
dengan beberapa temannya.
Sesekali matanya menangkap beberapa temannya
datang dengan diantar motor ke sekolah. Ada juga yang seperti Sandy.
Mengendarai motor dengan memboncengkan pengantar di sadel belakang. Entah itu
ibunya, ayahnya, ataupun kakaknya.
Entah kenapa, Allen merasa tak nyaman
melihatnya. Keinginannya untuk belajar mengendarai motor terasa menguat. Tapi, di sisi lain ada juga perasaan gamang.
* * *
Pulang sekolah, Allen kembali mengayuh
sepedanya di sisi Detty dan beberapa teman lain yang searah. Sampai di ujung
jalan bloknya, Allen mengerutkan kening.
Di depan rumah Pak Roy ada tenda yang
didirikan dan ada bendera kuning yang menempel di tiang listrik dekat rumah Pak
Roy. Tak hanya itu, Allen pun melihat mobil papanya parkir di antara banyak
mobil dan motor di situ. Allen pun menghentikan kayuhannya.
“Kayaknya ada yang meninggal, ya?” gumam
Detty, sambil menghentikan kayuhannya juga.
Allen tak menjawab. Matanya mengawasi segala
keramaian itu dari seberang jalan. Keramaian yang hening. Entah bagaimana
menjelaskannya.
“Memangnya ada yang sakit di keluarganya Pak
Roy?” Usik Detty lagi.
Allen mengangkat bahu. Tepat saat itu,
seseorang memanggilnya. Allen tersentak. Terlihat papanya melangkah
mendekatinya.
“Ada apa, sih, di situ, Pa?”
“Pak Roy meninggal, Al,” jawab papanya,
lirih.
“Hah?!” Allen betul-betul kaget. “Tadi pagi
waktu aku berangkat, aku masih lihat Pak Roy ngelap motor mau berangkat kerja.”
“Iya.... Pak Roy kecelakaan motor waktu
berangkat tadi.” Wajah papanya tampak sedih. “Ya, sudah, Al, kamu cepat pulang.
Gantian sama Mama jagain Leda. Mama, kan, harus bantu-bantu di sini juga.”
“Iya, deh, Pa.” Allen menoleh ke arah Detty. “Sampai ketemu besok ya, Ty.”
Detty mengangguk sambil mengayuh kembali
sepedanya.
* * *
Shania mengelap sekitar mulut Alleda yang
belepotan saus asam manis. Sesekali ia menengok ke arah luar jendela. Ketika
yang ditunggunya datang, ia menarik napas lega.
“Ma! Aku pulang!” Allen menyetandar sepedanya
dengan rapi di sebelah motor Shania.
“Kok, agak siangan?” Shania mencium kening
Allen.
“Iya, tadi bagi-bagi tugas dulu buat ngerjain
tugas kelompok tiga hari lagi." Allen melepaskan tas ranselnya. “Mama mau ke
tempat Pak Roy?”
Shania mengangguk. “Kok, kamu tahu?”
“Ketemu Papa tadi. Memangnya gimana
kejadiannya, Ma?”
“Kecelakaan motor. Ceritanya nanti aja, ya?
Sekarang kamu ganti baju, terus makan. Sekalian jagain Leda. Mama mau ke sana
sekarang.”
Allen mengangguk kemudian melangkah ke kamar
untuk berganti pakaian. Sayup-sayup ia mendengar suara mamanya.
“Leda di rumah sama Mas, ya? Habis Mas makan,
Leda bobok sama Mas. Jadi anak manis, oke?”
Leda tengah duduk manis sambil menyedot susu
kotaknya di atas sofa ketika Allen keluar dari kamarnya. Asyik menonton film
Barbie dari VCD.
“Da, Mama udah pergi?” Allen menowel lembut
pipi bulat Alleda.
“Dah.”
“Kamu udah maem?”
“Dah,” Alleda menjawab lagi.
“Mau maem lagi sama Mas?”
Alleda mengalihkan tatapannya dari layar
televisi. Ditatapnya Allen, sambil seolah memikirkan sesuatu.
“Yuk!” jawabnya kemudian, membuat Allen
tertawa sambil menggandengnya ke ruang makan.
Allen makan sambil menyuapi Alleda. Tapi, si
adik cantik itu maunya makan sendiri. Allen akhirnya mengalah dengan mengambil
piring lagi. Sambil makan, mau tak mau pikiran Allen melayang ke sebuah rumah
di ujung bloknya.
Pak Roy kira-kira masih seusia Papa. Teman
sekantor Papa pula. Anaknya juga dua orang. Yang sulung, Alifa, masih
kelas 9 SMPIT di kompleks sebelah. Adiknya, Haikal, masih kelas 3 SDIT di tempat
yang sama dengan sekolah kakaknya itu. Diam-diam Allen merasa merinding ketika
membayangkan bagaimana bila hal itu terjadi pada papanya. Aduh... jangan deh!
“Mas! Abisin...”
Allen tersentak. Dilihatnya tinggal tersisa
sekitar 3-4 suapan lagi makanan di piring Alleda.
“Ye... Dikit lagi nih, Da. Mas suapin, ya?”
Alleda menggeleng. Kelihatannya memang sudah
kenyang betul. Allen pun membersihkan pipi dan sekitar mulut Alleda dengan
tissue basah seperti yang selalu dilakukan mamanya. Ia kemudian menghabiskan
sisa makanan Alleda dan makanan di piringnya sekaligus.
* * *
Selesai belajar, Allen keluar dari kamarnya.
Di ruang tengah tampak Harland, papanya,
tengah memangku Alleda yang kelihatan sudah mengantuk sambil menonton berita di
televisi.
“Mama mana, Pa?” Allen duduk di sebelah
Harland.
“Bantu-bantu siapin hidangan buat yang
tahlilan di rumah Pak Roy.”
“Memangnya gimana kejadiannya, sih, Pa, Pak
Roy itu?”
Harland menghela napas panjang. Tapi, dijawabnya juga pertanyaan Allen.
“Motor Pak Roy tabrakan sama motor lain di
depan gerbang kompleks sebelah, setelah tadi anterin Kak Alifa sama Haikal.
Pas Pak Roy mau nyeberang, ada motor lain kenceng banget nggak ngerem. Kata
saksinya, sih, padahal kendaraan lain udah pada berhenti semua ngasih jalan. Pak
Roy kena tabrak. Mental ke seberang jalan, dihantam sama pick up yang baru keluar dari kompleks seberangnya.”
“Hih...." Allen bergidik.
“Dan, yang nabrak Pak Roy itu, anak masih
kelas 5 SD. Lagi boncengin bapaknya mau ke shelter
bus di depan kompleks kita. Pakai motor matic
persis punya Mama. Kayaknya, sih, mau ngerem malah gugup jadi ngegas.”
Allen terdiam mendengar penuturan Harland.
Terbayang betapa ngerinya mengalami kecelakaan seperti itu. Jangankan pakai
motor, pakai sepeda saja ia masih sering lupa ngerem!
“Masih mau buru-buru belajar nyetir motor?”
Allen masih termangu mendengar pertanyaan
Harland. Beberapa detik kemudian Harland berdiri sambil menggendong Alleda yang
sudah tertidur.
“Papa kelonin Leda sebentar, ya, Al?”
Allen menatap televisi tanpa tahu apa yang
tengah ditatapnya. Ia masih juga bergidik ngeri membayangkan peristiwa
kecelakaan yang menimpa Pak Roy walaupun ia tak melihatnya sendiri. Sampai
Shania pulang, Allen masih duduk diam di atas sofa di depan televisi.
“Lho, kamu, kok, belum tidur? Papa mana?”
“Lagi kelonin Leda,” jawab Allen lirih.
“Kamu kenapa?” Shania duduk di sebelah Allen.
Direngkuhnya bahu si pemuda kecil. Allen
menggeleng.
“Tadi diceritain Papa soal Pak Roy. Ngeri!”
“Yang lebih menyedihkan itu, ya, Al, yang
nabrak itu lukanya nggak parah. Sementara Pak Roy sampai meninggal begitu.
Padahal Pak Roy itu udah hati-hati banget menyeberangnya. Ya, mungkin memang
sudah takdir umur Pak Roy harus ditutup pagi tadi, tapi bukan nggak mungkin, kan, bisa jadi dia masih ada sampai saat ini kalau saja nggak ditabrak seperti itu?”
“Kata Papa, yang nabrak masih anak kelas 5
SD.”
“Nah, itulah.” Shania mengelus kepala Allen.
“Belum cukup umur, sudah lalu lalang di jalan raya. Jalan raya ramai banget
lagi! Kalau Mama sama Papa mengizinkan kamu belajar nyetir motor
sekarang-sekarang ini, jelas Mama sama Papa salah, Al. Salah besar. Karena kamu
pun baru kelas 6 SD, belum cukup umur. Mungkin dulu Eyang-Eyang juga salah
karena Mama sama Papa sudah diijinkan belajar nyetir motor saat masih kelas 6
juga. Tapi sekali lagi, kondisinya sudah lain dari sekarang. Sekarang jauh
lebih berbahaya. Mama aja ngeri lihat jalanan kompleks kita isinya anak segede
kamu bawa motor boncengan bertiga, berempat. Mana ngebut lagi! Hadeeeh...
Mending kalau jatuh, luka, dia sendiri yang merasakan. Kalau sampai
mengorbankan orang lain?”
Allen masih terdiam. Pelan, ia kemudian
mengangguk.
* * *
Dengan santai Allen mengayuh sepedanya menyusuri
jalanan blok. Sampai di ujung jalan, di depan rumah Pak Roy, ia berhenti
sebentar. Dilihatnya Alifa, anak almarhum Pak Roy, sedang menyapu halaman
rumahnya. Allen memutuskan untuk mampir sejenak.
“Kak...,” panggilnya pelan.
Alifa menghentikan kegiatannya, kemudian menoleh.
Ia tersenyum tipis melihat siapa yang memanggilnya.
“Eh, Allen. Mau berangkat sekolah?”
Allen mengangguk. Alifa membuka pintu pagar
rumahnya ketika melihat Allen turun dari atas sepedanya dan berdiri di depan
pagar.
“Kak, turut berduka cita, ya? Maaf, telat.”
“Oh....” Alifa menerima jabat tangan Allen.
“Makasih, ya, Al. Papa sama mamamu udah banyak bantu kami. Kamu hati-hati di
jalan, ya?”
Allen mengangguk dengan tenggorokan terasa
agak sakit.
“Kamu kalau pakai motor juga hati-hati.
Jangan sampai...”
“Aku belum belajar pakai motor, kok, Kak,”
tukas Allen cepat. “Belum boleh.”
“Oh... Aku aja juga belum boleh kok, Al.”
“Allen!”
Keduanya menoleh ke arah suara yang memanggil
Allen itu. Detty mengayuh sepedanya menuju ke arah mereka. Sebentar kemudian
gadis kecil itu sudah menyalami Alifa sambil mengucapkan bela sungkawanya.
Setelah mengobrol sejenak, Allen dan Detty pun kembali mengayuh sepeda menuju
ke sekolah.
“Kamu, kok, pakai sepeda lagi, Al?”
“Iya, ban motor Papa masih kempes. Kemarin
nggak sempat ke tukang tambal ban. Habisnya sibuk bantuin di rumah Kak Alifa.”
“Hm.... Kasihan, ya, Al? Aku diceritain Bunda
soal Pak Roy. Ngeri banget!”
“He em. Biarpun tadi Kak Alifa bilang udah
ikhlas, kan, tetap aja aku masih rada nyesek juga.”
“Iya, sih.... Ya, semoga nggak kejadian lagi, deh! Yang salah siapa, yang jadi korban siapa? Gitu Ayah semalem bilang.”
Belum sempat Detty menutup mulut, sebuah
kejadian hanya sekian belas meter di depan mereka membuat Detty dan Allen sama-sama
berteriak ngeri dan menghentikan laju sepeda mereka seketika. Dua buah motor bertabrakan cukup dahsyat. Entah bagaimana
awalnya.
Sebuah benda melesat ke arah mereka. Secara refleks Allen segera meraih kepala Detty dan memaksanya menunduk. Benda itu
lewat begitu saja di atas kepala mereka. Sebuah kaca spion beserta gagangnya. Terasa sedikit sisa anginnya. Ketika
dirasanya kondisi sudah cukup aman, keduanya menegakkan badan.
“Kamu nggak apa-apa?” bisik Allen dengan suara
bergetar.
Detty menggeleng dengan wajah pucat pasi. Tak
kalah pucat dari wajah Allen. Dan, ketika mereka menoleh lagi ke arah kejadian
kecelakaan itu, mereka mengenali dua orang di antara korban-korban yang
terkapar bersimbah darah.
Sandy dan ibunya.
* * * * *
Ilustrasi : pixabay, dengan modifikasi.
Euh..... serem! Dua kejadian maut dalam waktu berdekatan.... gara bocah blom punya SIM ngebut2 dijalanan
BalasHapusYup, Mas! Aslinya di dunia nyata lebih serem lagi...
HapusMakasih mampirnya ya...
ih..ngeri banget ya....Mbak Lis...aku juga ngeri klo liat anak2 ABG naik motor....bagus cerpennya mbak..buat pelajaran kita-kita..
BalasHapusHo'oh, Mbak... Ortunya itu lho, ngapain aja ya?
HapusMakasih dah mampir, Mbak Bekti...
ah... miris bacanya...
BalasHapusemang bener banget... sekarang banyak kejadian serupa...
dan bodoh sekali bila kita orang tua malah ikut berperan serta menambah panjang daftar bencana dengan mengijinkan anak di bawah umur menyetir kendaraan sendiri.
Nggak bodoh kok, cuma baaangeeettt... hehehe...
HapusNuwus mampire yo, Jeng...
Iya... belum waktunya mengendarai motor kok sudah diijinkan, kecuali kalo anaknya mau sekedar keliling lapangan sih nggak apa2, tapi khan susah ngatur anak2
BalasHapusNah, dari rumah mau keliling lapangan itu kondisi jalannya seperti apa dulu? Hehehe...
HapusMakasih singgahnya ya, Bu...
Bagi kita yang punya anak2 sekolah di SD atau SMP dan bangga bisa memakai motor,, tulisan ini bisa menjadi peringatan agar jangan bangga anaknya bisa menggendarai motor
BalasHapusBetul, Pak... Udah eneg banget liat jalanan jaman sekarang.
HapusMakasih kunjungannya ya, Pak Subur...
Wooh.. realita yg difiksikan & fiksi yg realistis! Whatever, it's so great, as usual
BalasHapusMakasiiih, papanya Puput...
HapusSpeechless, (sambil mbatin, untung gak ada murid-ku saat ini yang naik motor)
BalasHapusKejedot realita? Hehehe...
HapusMakasih mampirnya, Mbak MM...