Rabu, 18 Maret 2015

[Cerpen] Omah Gethuk






bkpd.jabarprov.go.id

Bagaimana rasanya menyimpan harapan hingga bertahun-tahun lamanya? Harapan untuk kembali bertemu dengan cinta pertamaku. Sebuah rasa yang kupupuk dan kupelihara tanpa mengenal jeda. Hanya satu yang tersisa sebagai penanda kehadiranku yang samar dalam dirinya. Milikku yang paling berharga. Omah Gethuk.


Aku kehilangan dia ketika aku belum berhasil membuat sepotong pun gethuk kesukaannya. Gethuk lindri warna-warni beraroma vanili. Aku selalu menemukannya tengah membeli gethuk lindri pada tukang gethuk keliling yang mendorong gerobaknya dengan diiringi TOA bertenaga aki yang mengumandangkan lagu dangdut. Tiap hari.

Entah sejak kapan aku bertekad untuk suatu saat mempersembahkan padanya gethuk lindri buatanku sendiri. Sayangnya, ketika semuanya baru wacana dalam otak dan hatiku, dia sudah menghilang entah ke mana. Pindah mengikuti orang tuanya. Kudengar bertugas di negara lain. Dan sejak saat itu aku tak pernah bertemu lagi dengannya.

Tapi dengan segala cara kuwujudkan wacana yang terlanjur tergambar indah dalam benakku. Belajar membuat gethuk lindri. Berimprovisasi dengan segala bahan, rasa, bentuk, dan warna.

Hasil gambar untuk gambar getuk gulung
graciaarayana.blogspot.com

“Kenapa tidak dijual saja, Vi?”

Aku menatap ibuku. Mungkin Ibu sudah jengah dan mulai mual harus mencicipi gethuk lindri yang kubuat setiap hari Minggu.

“Belum ada yang membuat gethuk lindri seperti yang kamu buat.”

Kutatap senyum teduh Ibu. Tak kulihat ada jejak canda dalam mata Ibu. Menjual gethuk lindri? Layakkah? Gethuk lindri buatan anak kelas 6 SD?

“Buat saja hanya pada hari Minggu. Titipkan di kios Bu Nanda. Nanti Ibu bantu.”

Dan aku tak lagi punya perasaan gamang untuk memulai. Setidaknya aku bisa sedikit mengalihkan perhatian dan hatiku dari Satya, si penikmat gethuk lindri yang tak lagi kuketahui berada di mana.

* * *

Aku tak pernah malu jadi satu-satunya murid di SMP elit itu yang berprofesi sebagai tukang gethuk lindri mingguan. Kenapa harus malu? Gethuk lindri-ku cukup eksklusif dalam hal rasa dan penampilan. Sehingga membuat para guru tertarik dan memesan gethuk lindri-ku untuk cemilan rapat guru. Tentu saja kalau hari sekolah bukan aku yang membuat gethuk lindri pesanan itu. Tapi Ibu yang mengerjakannya, dibantu Mbak Watik dan Mbak Odah, asisten-asisten rumah tangga kami, berdasarkan resep-resep eksperimenku. Aku hanya bereksperimen dengan gethuk lindri pada hari Minggu.


Hasil gambar untuk gambar getuk gulung
daunpandan.com 

Setiap keping rupiah yang kuperoleh dari keuntungan setiap potong gethuk lindri yang terjual selalu masuk ke dalam sebuah kaleng kotak besar bekas biskuit. Dari satu kaleng menjadi dua kaleng. Lalu ada lagi kaleng berikutnya dan berikutnya. Ketika aku lulus SMA, kaleng bekas biskuit di dalam kamarku sudah genap selusin jumlahnya.

Semuanya berisi lembar-lembar uang kertas dan uang koin. Sebetulnya aku tak hendak membukanya. Tapi Ibu sungguh takut kalau kapur barus yang selalu dimasukkan Ibu ke dalam kaleng-kaleng itu tak lagi ampuh untuk mencegah ngengat menghancurkan isi kalengku.

Ketika semuanya dihitung oleh Ibu dibantu Ayah, hasilnya sungguh fantastis. Tiga puluh juta rupiah kurang enam ratus perak. Semuanya adalah harga yang kuperoleh dari memelihara mimpi liarku selama bertahun-tahun dan melampiaskannya dengan membuat berbagai variasi gethuk lindri yang sudah sering hadir dalam berbagai resepsi mewah di seantero kota tempat aku tinggal.

Aku terhenyak ketika menyadari bahwa gethuk lindri-ku telah jadi fenomena selama beberapa tahun ini. Aku tak pernah memikirkan apa pun. Hanya mencoba meramu dan menciptakan berbagai variasi gethuk lindri, sekaligus memikirkan gethuk lindri seperti apa saja yang kira-kira akan disukai Satya.


Hasil gambar untuk gambar getuk gulung
kabarinews.com

Satya? Jadi sudah sekian tahun aku berkubang dalam genangan pekat bernama Satya? Genangan yang menjelma jadi berbagai bentuk dan rasa manis gethuk lindri yang pernah kuhasilkan dengan tanganku sendiri? Kurasa aku sudah gila. Tapi kulihat aku masih juga bisa hidup secara normal selama ini. Hm... Benarkah betul-betul normal?

* * *

Lalu semuanya seolah mimpi yang jadi kenyataan. Aku menatap ruko kecil yang terhimpit di tengah belasan ruko lain di kompleks pertokoan ini. Ruko berwarna-warni cerah secerah warna gethuk lindri buatanku.

Ayah yang menghadiahkan ruko itu untukku. Sebagai tempatku melampiaskan hasrat menciptakan berbagai varian gethuk lindri. Dan aku segera memberinya nama Omah Gethuk. Sebagai penanda bahwa di situlah pusat dari segala gethuk lindri ala rumahan buatanku yang sudah pernah dinikmati oleh sebagian besar penghuni kota ini.

Aku hampir tak percaya betapa gethuk lindri-ku mampu menjelma jadi jajanan ala kafe yang diserbu semua orang dari segala usia. Hampir semua pelanggan yang datang ke Omah Gethuk mengenalku, tanpa aku pernah mengenal begitu banyak orang di antaranya. Hm... Ke mana saja aku selama ini?


Hasil gambar untuk gambar getuk gulung


Tapi aku tak sempat lagi memikirkannya. Kini aku sibuk menyelesaikan kuliahku sekaligus menjalankan Omah Gethuk. Ketika aku tak berada di sana, ada Ibu bersama Mbak Watik dan Mbak Odah yang kupercaya untuk memproduksi gethuk bersama 5 orang karyawan merangkap pelayan toko.

Sesungguhnya gethuk-ku hanyalah gethuk biasa. Semua orang juga bisa membuatnya. Mungkin yang membuatnya istimewa adalah potongan-potongan hatiku yang kusisipkan dalam setiap gethuk yang terpajang manis di etalase. Menunggu seseorang memilihnya untuk kemudian menikmatinya. Menunggu seseorang yang kumaksud dan kutuju datang menghampiri gethuk-gethuk buatanku seperti dulu ia selalu memilih dan menikmati setiap gethuk yang dibelinya dari gerobak gethuk dangdut.

* * *

Ketika waktu kian berlalu, aku mulai melepaskan harapanku satu persatu. Terlalu bias rasanya kalau aku masih saja menyimpan harapanku terlalu tinggi. Waktu yang demikian panjang dan dunia yang begini luas tentu saja bisa menyembunyikan Satya di mana saja. Aku bukan anjing penjaga yang bisa mengendus keberadaannya di mana saja. Jadi pertemuanku dengannya jadi hal yang makin absurd saja.

Tapi aku tak bisa berhenti menyisipkan setiap potongan kecil hatiku pada setiap gethuk lindri-ku. Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengenang mimpiku yang sebetulnya tak kuinginkan untuk berkesudahan. Hanya itu juga yang bisa membuat gethuk lindri-ku bertahan jadi jajanan top yang masih tetap diburu orang.


Hasil gambar untuk gambar getuk gulung
dapurmasak.com

Dan ketika hampir saja kuletakkan harapan itu, dia datang. Satya? Tentu saja bukan! Dia hanyalah pelanggan Omah Gethuk yang muncul seminggu tiga kali belakangan ini. Ketika aku menghabiskan lebih banyak waktuku di Omah Gethuk seusai wisuda. Dia hadir dengan senyumnya yang seolah membekukan duniaku. Dan kehadirannya seolah kutunggu setiap Senin, Rabu, dan Jumat.

Dia tak pernah membeli gethuk dalam jumlah banyak. Kelihatannya hanya membeli untuk dirinya sendiri. Aku selalu tak bisa memprediksi gethuk macam apa yang hendak dia pilih. Tapi satu hal yang tak pernah ketinggalan. Sepotong gethuk lindri coklat dengan taburan kelapa parut kukus. Salah satu varian gethuk lindri konvensional yang masih kupertahankan karena ternyata masih banyak peminatnya.

Mau tak mau pilihannya itu selalu mengingatkanku pada Satya. Bukan aku namanya kalau tidak tahu gethuk macam apa yang disukai Satya. Dan ketika kali ini dia menunjuk lagi gethuk lindri coklat itu, aku tak tahan untuk tidak bertanya.

“Favorit ya?” senyumku.

Dia mengangguk mantap dengan senyum dan wajah cerah.

Hasil gambar untuk gambar getuk coklat
resep-resepcantiksehat.blogspot.com

“Nggak bosan makan gethuk?” usikku lagi.

Dia tertawa. Menatapku dengan mata kejoranya.

“Anggap saja untuk menebus sekian tahun tanpa gethuk lindri di negeri orang lain.”

“Di mana?”

“Perancis.”

“Oh...”

“Hm... Jadi kamu benar-benar lupa padaku, Vi?”

Ucapan lembutnya terdengar seperti halilintar yang meledak tepat di telingaku. Jepitan kue itu terlepas seketika dari tanganku. Aku menatapnya. Setengah tak percaya.

Benarkah?

“Terima kasih sudah membuat semua gethuk ini untukku,” senyumnya.

Benarkah?

“Apa kabar, Vivi?”

Aku menatapnya. Lama.

Hasil gambar untuk gambar getuk lindri
resepunik.com

Dia bukan lagi remaja tinggi kurus yang selalu bersemangat menunggu gerobak gethuk dangdut lewat. Laki-laki tinggi tegap berkacamata ini kelihatan lebih tenang dan matang. Bahkan aku tak mampu menangkap imajinasiku yang berkembang tentang dia. Aku terlalu sibuk memelihara keinginanku untuk mempersembahkan gethuk lindri-ku padanya hingga lupa membayangkan seperti apa dia kelak menjelma!

Tapi benarkah?

“Dari mana kamu tahu?”

Bukan! Bukan itu sebenarnya yang ingin kuucapkan! Apalagi dengan suara seperti kucing tercekik begini!

“Dari cuitan burung kenari,” senyumnya sungguh menggodaku. “Maaf dulu tak sempat berpamitan padamu. Aku terlalu sedih harus pindah hingga tak mampu memikirkan apa-apa lagi.”

Aku hanya menatapnya dengan wajah bodoh.

“Semoga masih belum telambat untuk memulai apa yang seharusnya kumulai bertahun-tahun yang lalu,” ucapnya lagi. Lirih. Dengan wajah bersemu merah.

Aku masih menatapnya. Dia Satya. Betul-betul Satya. Satya-ku! Dan kehadirannya beserta seluruh keinginannya betul-betul membuatku terhenyak.

Ketika aku sudah mengangkat tangan. Pelan-pelan mulai melepaskan harapanku. Tiba-tiba saja semuanya terwujud begitu saja tanpa pendahuluan. Siapa bilang Tuhan tak punya rasa humor?

Hasil gambar untuk gambar getuk lindri
qiao-you.com

* * * * *

Lagu latar : Love Is All – Air Supply




18 komentar:

  1. Nggak terimaaa! Bener bener nggak terimaaa!!! Ferotesss!!
    1. Kau hadirkan gambar2 menggoda saat perutku lagi merana, galau gundah gulana kelanjutan semalam

    2. Cwritane apik tapi kok mewek ya bacanya? Aduuuh.....salah ekspresi ini

    Yo wis lah......apik pokoke. Solo sik sing nulis??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak.. Sampe binun kate njawab opo...
      Nuwus mampire, Mbak Boss...

      Hapus
  2. aku suka kalimat penutupnya : Siapa bilang Tuhan tak punya rasa humor?

    entah kenapa kalimat itu bikin optimis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Aku seneng ae mencantumkan kalimat iku.
      Nuwus mampire yo, Jeng...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih kunjungannya, Pak Subur... Selamat berkarya...

      Hapus
  4. hatiku kok jadi seeeerr...gini siih? apalagi liat gambarnya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga jadi pingin makan gethuk, Mbak, dari kemarin. Hiks!
      Makasih msmpirnya ya, Mbak...

      Hapus
  5. Siapa bilang Tuhan tak punya rasa humor? Siapaaaaa? wkwkwkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayooo siapaaa? Hahaha...
      Makasih singgahnya, Mbak MM...

      Hapus
  6. Keren bu Lis. Gambarnya juga bikin laper lagi...
    Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini yang upload udah korban perasaan dari kemarin, Mas Pical, hehehe...Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  7. Manis! Persis getuke .......... apik mbaaaaaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuidiiih... Tumben isuk-isuk men muncule, Nit?
      Suwun mampire yo...

      Hapus
  8. Gambare ya ... Sungguh menggoda. Bikin lapar. Sebel

    BalasHapus
  9. Gambare lhooo ... Bikin lapar 😁

    BalasHapus