www.oriflame.co.id |
Prolog
Cissy
(nyengir) : “Hm... Laki-laki itu pelanggan depotku. Nggak seganteng Eric, tapi
entahlah! Dia... berkharisma. Sukaaa banget lihatnya! Aku rasa aku lagi puber
kedua.”
Alexia
(muram) : “Akhir-akhir ini Sammy lebih sibuk dengan gadgetnya. Ada kalanya dia
mojok di teras sambil asyik chatting. Entah dengan siapa. Kayaknya dia mulai
puber kedua.”
Hesti
(malu-malu) : “Aku tertarik aja sama dia. Penampilannya miriiip banget sama
Bimo, termasuk perut gendutnya itu. Wajahnya... gantengan dia dikit sih,
daripada Bimo. Nggak tahulah.”
Lira
(menatap ngeri) : “Amit-amit itu terjadi padaku dan Hans. Tapi soal sering
lirik-lirik perempuan lain sih, Hans kayaknya mulai giat. Hm... Nggak cuma dia
aja sih... Aku juga kadang-kadang gitu. Suka mata ijo kalau lihat laki-laki
lain yang mature banget.”
Calista
menatap keempat sahabatnya itu. Hanya bisa menelan ludah.
* * *
Ketika satu-satu teman-temannya bercerita
tentang puber kedua, Calista hanya mendengarkan saja. Rasa-rasanya ia dan Danny
jauh dari ‘gangguan hormonal’ seperti itu. Danny memang ganteng dan tambah matang
di usianya yang masuk ke 43 bulan lalu. Ia sendiri merasa bahwa sekaranglah
puncak hidupnya. Apalagi yang kurang dari hidupnya di usia ke-39? Kehidupan
bahagia dan berkecukupan. Sepasang anak manis yang beranjak remaja. Seorang
suami yang walaupun tak romantis tapi tetap penuh perhatian.
Hm...
Calista menatap bayangan wajahnya di cermin. Rasa-rasanya akhir-akhir ini ia
tak bisa lagi mengimbangi Danny. Bertahun-tahun mencoba mendandani Danny, yang
didapatnya adalah kesuksesan besar. Penampilan Danny terlihat sangat padu dan
sempurna. Makin menambah plus diri Danny yang memang sudah simpatik dari
sononya. Danny pun memujanya sebagai perempuan yang tahu selera suami. Luar
dalam. Membuatnya membumbung tinggi dan mulai berpendapat : “Ah! Sudah laku
ini!” Dan ia baru tersadar ketika menemukan tiga helai uban di sela-sela rambut
hitamnya.
Calista terhenyak seketika. Uban? Di usia 39? Jawaban teman-temannya
beragam. Alih-alih memberinya pencerahan. Semuanya malah membuatnya makin
bingung.
“Aku
sudah beruban sejak umur 28. Ha! Kamu nggak tahu kan? Itu sebabnya aku rajin
mencat rambutku,” Hesti tertawa renyah.
“Hati-hati,
Danny bisa menoleh ke arah lain lho...,” Lira mengedipkan sebelah mata.
“Kalau
Danny menoleh ke arah lain, kenapa kamu enggak?” timpal Alexia, menambah
keruwetan.
“Saatnya
memperbaiki penampilan...,” celetuk Cissy, kalem. “Cat saja rambutmu. Habis
perkara.”
Calista pusing seketika.
Dan akhir-akhir ini ia bukannya tak
memperhatikan perubahan Danny. Sedikiiit perubahan. Hanya sedikit. Tapi cukup
membuatnya mulai memikirkan ucapan teman-temannya tentang puber kedua. “Wajar...”
Wajar?
Calista
menelan ludah. Pada Danny-ku? Calista
hampir menangis.
* * *
“Kayaknya aku mulai bosan sama bau ini,”
Danny menatap sebotol parfum di tangannya.
Calista melirik.
Parfum beraroma dasar musk itu sudah bertahun-tahun dipakai Danny. Cocok sekali untuknya.
Pernah sekali waktu Danny berganti parfum dengan aroma dasar citrus. Hasilnya, mereka berdua sama-sama
pening ketika membaui aroma itu.
“Mama nggak bosan?” Danny menatap Calista
dari cermin.
Calista menggeleng. Baginya, Danny dan aroma musk adalah satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Satu kesatuan yang bisa menggetarkan seluruh ujung syaraf aktif
yang dimilikinya.
“Papa cocok banget pakai parfum itu,” gumam
Calista.
“Iya sih...,” Danny balas bergumam. “Tapi apa
salahnya coba aroma yang lain?”
“Ya terserah Papalah...,” Calista mengangkat
bahu.
“Besok kita keluar cari parfum yuk!”
Kalau biasanya Calista terhanyut dalam binar
mata Danny, maka kali ini tidak. Ditatapnya Danny sedemikian rupa. Danny
bukannya tidak bisa menangkap arti tatapan Calista. Ia mengerutkan kening.
“Kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa,” Calista menggeleng.
“Cuma aneh saja lihat Papa jadi centil begini.”
Seketika Danny mengumandangkan tawanya.
“Memangnya cuma Mama yang boleh centil?
Potong rambut gaya bob, diwarnai jadi agak coklat...”
“Jelek ya?” Calista terjingkat.
“Enggaaak...,” Danny meraih bahu Calista.
“Justru tambah cantik. Cantiiik banget!”
Dan Calista hampir lupa bernapas ketika bibir
Danny mampir hampir dua menit lamanya di bibirnya.
* * *
Mobil Danny sudah menghilang di belokan ujung
jalan. Calista menutup pintu pagar. Sejenak kemudian ia duduk di teras. Menatap
koleksi suplirnya.
Pagi ini ia seperti kehilangan Danny. Danny
yang dilepasnya pergi bekerja adalah Danny beraroma woody dengan dasar cinnamon yang
agak pekat. Bukan lagi musky Danny
yang sanggup membuat dadanya seolah dihuni petasan yang berebutan meledak-ledak.
Calista menghela napas panjang. Ia hanya
ingin Danny kembali. Dan satu-satunya tempatnya mengadu adalah cermin besar di
dalam kamarnya. Lalu bayangan di seberang sana seolah menyentakkan
kesadarannya.
Calista yang polos tanpa polesan bedak. Dengan
rambut bob berwarna kecoklatan yang disisir seadanya. Baju yang melekat di
badannya cuma daster berbahan kaos bergambar kucing ceria berwarna oranye
cerah.
Pagi yang harus dilalui Danny dengan menatap
istri yang cuma tampil seadanya. Setiap pagi. Selama hampir lima belas tahun.
Calista terduduk di depan cermin.
Aku
harus melakukan sesuatu!
* * *
“Wow!”
Meta menatap Calista hampir tak berkedip.
Calista tersenyum manis di belakang kemudi city
car-nya.
“Ayo, Nona! Nanti abangmu mengomel menunggu jemputan
kita.”
Meta kemudian duduk dengan manis di sebelah
Calista. Ketika Calista mulai menekan pedal gas, Meta menoleh dengan wajah
penasaran.
“Are
you really my mom?”
Calista terbahak mendengarnya.
“Aku jadi minder...”
Calista terbahak lagi ketika mendengar nada
sedih ala drama queen keluar dari
bibir Meta.
“Sudah deh, nggak usah lebay.”
“Look
at yourself, Ma!” Meta melebarkan kedua telapak tangannya. “Mama tuh cantik
banget, tahu nggak? Apalagi kalau mau dandan begini. Jadi kayak gadis lagi!”
“Berlebihan ya?” Calista merasa hatinya
menciut sedikit.
“Enggaklah. Semuanya pas. Pantes banget kalau
Papa dulu jatuh cinta sama Mama.”
Calista hampir tersedak. Gadis kecil berumur dua belas tahun? Tahu apa tentang jatuh cinta?
Calista membelokkan city car-nya ke area parkir sebuah lapangan futsal. Setiap hari
Jumat sepulang sekolah, Abe selalu bermain futsal dengan teman-temannya. Waktu
bubarnya selisih setengah jam dari waktu Meta selesai ekskul.
Ketika Calista dan Meta keluar dari mobil,
sebuah suara menyapa Meta. Keduanya menoleh.
“Kamu nunggu abangmu ya?” Cilla berjalan
mendekat.
“Iya nih!” jawab Meta.
“Masih lama. Mereka baru aja dapat
lapangannya,” tatapan Cilla beralih pada Calista. “Lho! Tante?”
Calista tersenyum lebar menatap mata bulat
Cilla. Dibalasnya jabatan tangan Cilla.
“Kenapa, La?”
“Aaah! Tante cantik banget! Nggak kayak
biasanya! Ups!”
Calista tergelak. Ia masih juga
tersenyum-senyum setelah Meta dan Cilla menghilang. Berpamitan untuk cari es
campur di depot di sudut kompleks lapangan futsal.
Sambil menunggu selesainya Abe, Calista
kemudian duduk di sebuah bangku di bawah pepohonan. Tepat menghadap ke arah
jajaran lapangan futsal yang dibatasi oleh pagar kawat hingga ke atap.
Iseng, ditatapnya satu per satu para pemain
futsal di lapangan pertama. Lalu dunianya seolah berhenti. Ia terpaku pada satu
sosok.
Laki-laki itu mengenakan seragam futsal
berwarna putih biru. Sosoknya yang cukup tinggi tak terlalu menonjol,
sebetulnya. Wajahnya juga biasa-biasa saja. Bahkan bentuk badannya pun masih
jauh lebih maksimal Danny. Tapi entah kenapa tatapan Calista justru berlabuh
padanya.
Duh!
Aku ini kenapa?
Diputuskannya untuk mengalihkan saja
perhatiannya dari sosok yang mengganggu
pandangannya itu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya.
Cis,
sekarang aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku lihat seorang laki-laki dan entah
kenapa aku sukaaa banget lihatnya. Aku belum pernah ketemu dia sebelum ini.
Dan balasan BBM dari Cissy sungguh membuat
Calista terhenyak : Hip hip huraaa!
Selamat datang di masa puber kedua!
* * *
Ini adalah hari Jumat ketiga Calista bertemu
laki-laki itu. Sebetulnya bertemu bukanlah kata yang pas. Ia cuma melihat laki-laki itu. Tidak pernah
lebih. Tapi kejadian baru saja membuatnya tersentak.
Ia menunduk menatap ponselnya ketika sekilas
dilihatnya laki-laki itu berjalan mendekat. Dadanya dipenuhi dentaman liar yang
entah datang dari mana. Dan laki-laki itu hanya lewat di dekatnya. Sekadar
lewat untuk menuju ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat Calista
duduk. Tapi hal yang sekilas itu mampu membuat jantung Calista nyaris berhenti
berdetak.
Aroma
itu... Aroma dasar musk
yang sangat dikenalnya. Yang selama ini sudah membuat hidupnya dipenuhi warna
indah.
Calista memejamkan mata. Ini tidak boleh terjadi!
* * *
Malam yang menghening membuat Calista menutup
sebuah novel yang dibacanya. Ia kemudian bangkit dan membuka pelan-pelan pintu
ruang kerja Danny. Di situ ia melihat Danny tengah tercenung di depan
laptopnya. Seketika ia tercekat setelah melihat apa yang tengah ditatap Danny
di layar laptopnya. Foto dirinya. Yang rupanya diambil Danny secara candid.
Ia sedang berdiri di dapur. Menghadap ke arah
jendela. Menunduk menekuni sesuatu. Sinar matahari senja tampak menyinari
wajahnya dengan sebelah sisi rambut terselip di belakang telinga, dan sisi
lainnya terurai menjadi latar belakang profil samping wajahnya. Bibirnya tampak
berwarna merah muda. Senada dengan kaos berwarna shocking pink yang tampak pas melekat di tubuhnya yang tidak lagi
terlalu langsing.
Rupanya kehadiran Calista dalam diamnya
berhasil mengusik Danny. Ia mengalihkan tatapannya dari layar laptop dan
mendapati Calista tengah tertegun melihat gambaran wajahnya sendiri di layar
laptop.
“Hai!” bisik Danny.
Calista tersentak. Ditatapnya Danny sambil berjalan
mendekat.
“Kenapa, Pa?”
Danny mengangkat bahu sambil menghela napas
panjang.
“Aku baru sadar punya istri secantik ini. Dan
aku mulai takut kehilangan dia.”
Calista terbatuk. Danny menatapnya, lekat.
“Kenapa Mama mengubah warna rambut Mama?”
Calista duduk di sofa. Ia balik menatap
Danny.
“Aku menemukan uban di rambutku,” Calista
tertunduk. “Cuma sedikit, tapi... Ehem! Lalu aku memutuskan untuk mencat saja
sekalian memotongnya karena rambutku mulai rontok. Kata kapster salon, itu
karena rambutku terlalu tebal dan berat.”
“Oh...”
“Kenapa baru Papa tanyakan sekarang? Sudah
sekitar sebulan yang lalu aku mencat dan memotong rambut.”
“Hm...,” Danny seolah kehilangan kata. “Dan
akhir-akhir ini Mama juga mengubah penampilan. Kenapa?”
“Karena aku takut kehilangan Papa,” bisik
Calista, akhirnya. “Papa ganti parfum. Papa kelihatan lebih sibuk dengan gadget
Papa. Papa juga lebih memperhatikan penampilan. Aku...”
Danny berdiri dan pindah duduk ke sofa. Di
sebelah Calista. Direngkuhnya bahu Calista.
“Kalau aku katakan ini, Mama pasti akan
marah,” Danny mempererat rengkuhannya. “Aku akui, aku hampir terpeleset, Ma.”
Tak urung Calista kaget walaupun kemungkinan
itu sudah pernah mampir sejenak ke dalam benaknya.
“Ma, aku minta maaf. Aku salah, Ma. Salah besar! Tapi kemudian aku sadar ketika
Mama mulai mengubah penampilan. Sedikit berdandan. Dan tiba-tiba saja Mama
menjelma lagi jadi perempuan yang pernah kujatuhi cinta sepenuh hati. Lalu aku
mulai takut kehilangan Mama. Dan aku mengakhiri semuanya.”
Calista terdiam. Tak tahu harus menanggapi
bagaimana.
“Ma,” tiba-tiba saja Danny sudah berlutut di
depan Calista. “Ampuni aku ya, Ma? Nggak akan terulang lagi. Aku janji...”
Calista tercenung sejenak. Ingatannya
melayang pada laki-laki di lapangan futsal. Dibandingkan dengan Danny, tentu
saja Danny menang segalanya. Mungkinkah ia goyah karena Danny juga goyah?
Calista memejamkan matanya.
“Ma, marahlah. Katakan apa saja, asal jangan
diam begini...”
Calista menghela napas panjang sebelum
berbisik, “Aku paham mungkin memang kita harus melewati fase ini, Pa. Puber
kedua. Kupikir Papa sedang mengalami itu. It’s
OK kalau pada akhirnya Papa sadar. Asal jangan pernah diulangi lagi.”
“Aku janji, Ma,” Danny menggenggam kedua
tangan Calista. “Aku janji. Cukup sekali saja dan aku sudah kapok. Aku suka
penampilan Mama yang baru. Suka sekali! Tapi aku juga takut kalau ada laki-laki
lain melirik Mama.”
“Aku dandan begini bukan buat siapa-siapa,”
Calista memencet hidung mancung Danny. “Aku dandan buat Papa. Supaya Papa jatuh
cinta lagi padaku. Supaya Papa nggak menoleh ke arah lain.”
“Hm...,” Danny menatap Calista dengan mata
berbinar. “Aku akan bikin semua laki-laki yang melirik Mama pasang muka jealous.”
Calista tergelak seketika. Dirangkumnya kedua
pipi Danny yang mulai lebih chubby
dengan kedua telapak tangannya yang hangat.
“Buang parfum cinnamon itu. Aku nggak suka,” bisik Calista.
“Lho, Mama nggak bosan dengan aroma musk?” Danny menatap Calista dengan
wajah polosnya.
Calista menggeleng. “Papa dan musk itu sudah satu kesatuan. Aku jatuh
cinta karenanya. Paham?”
Danny tak menjawab. Hanya menghujani bibir
Calista dengan ciumannya yang beraroma mint.
* * *
Epilog
“Jadi
hari ini Papa cuti, sore ini sama Mama menjemputku dari ekskul, terus menjemput
Mas Abe, terus mau menitipkan kami berdua ke Eyang, lalu mau nge-date berdua?”
Meta cemberut berat.
Danny
tersenyum lebar menanggapi gerutuan Meta. “Sekali-sekali kenapa sih, Ta?”
“Ya...
nggak apa-apa sih,” Meta mengangkat bahu. “Tapi harus ada kompensasinya.”
“Kalau
enggak?” goda Calista.
“Kalau
enggak, aku mau ajak Mas Abe mogok makan sama mogok ngomong.”
“Coba
aja kalau betah,” Danny terbahak.
“Dih!
Nyebelin!” seru Meta.
“Terus,
kompensasinya apa dong?” Calista menoleh sekilas pada Meta yang duduk di jok
belakang.
“Minggu
besok berenang sepuasnya.”
“Eits!”
seru Danny. “Senin besok mid semester. Kamu sama Abe kalau berenang sampai lupa
diri pasti buntutnya masuk angin. Minggu depan saja berenangnya, setelah mid.”
“Deal!”
Danny
membelokkan mobilnya ke area parkir, kemudian menghentikannya di sebelah sebuah
mini MPV berwarna silver. Sosok yang sangat dikenal Calista tampak sedang
berjalan mendekati mini MPV itu. Danny membuka kaca jendelanya.
“Hen!”
Laki-laki
yang dipanggil ‘Hen’ itu menoleh, kemudian mengembangkan senyumnya.
“Oi!
Dan! Lu ngapain di sini? Mau futsal juga?”
Danny
keluar dari mobil, diikuti Calista dan Meta.
“Enggaaak...
Gue mau jemput sulung gue. Eh, kenalin ini bini sama bungsu gue.” Danny
kemudian menoleh ke arah Calista, “Ini Hendry, Ma, dulu temen sekantorku.”
Mereka
kemudian saling berjabat tangan.
“Kayaknya
tiap Jumat selalu ke sini ya?” Hendry menatap Calista.
Yang
ditatap hanya mengangguk sambil mengulum senyum. Berusaha abai terhadap
samar-samar wangi musk yang sempat mengelus hidungnya. Tapi entah kenapa,
tiba-tiba Calista seolah menyadari sesuatu.
Sekarang wangi musk itu terasa lain dengan wangi musk Danny. Nyaris tak
lagi berefek apa-apa.
“Untung
nggak saya godain,” Hendry terbahak. “Bisa memar dibanting Danny.”
Danny
terbahak bersamanya. Ada nada bangga dalam tawanya. Tanpa tahu apa yang pernah
terjadi di hati Calista.
Calista
melambaikan tangan ketika melihat Abe sudah usai bermain futsal. Remaja tampan
itu bergegas berlari mendekat.
Seiring
senja berlalu, Calista memutuskan untuk menutup saja lembar yang kemarin sempat
tergambar. Toh tidak terjadi apa-apa.
‘Dan
tak akan terjadi apa-apa yang lain lagi,’ janji Calista dalam hati. Toh musky Danny-nya juga sudah kembali seutuhnya. Tak akan bisa dibandingkan dengan ‘another musky man’.
* * * * *
oh...gitu ya.mbak Liss.....kok aku gak ngalami yaa.....(.eh entah ding..)
BalasHapusHehehe... kurang tahu juga sih, Mbak... Katanya sih gitu tapi juga nggak semua orang ngalamin.
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak Bekti...
Nice post, saya sudah lewat dan syukur nggak ngalami yang aneh2 he he
BalasHapusJempol deh!
HapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
wah,.... susah mebayangkannya.... Tetapi tetap menikmatinya.
BalasHapusIni juga ngawur aja kok, Mbak MM, hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya...
Wouw ... Cerpen yg kereeennn, Dik Liss ... :)
BalasHapusSeperti pengalaman pribadi. hihihiiii..
Hahaha... hasil ngerumpi sama temen kemarin nih, Bu Nur...
HapusMakasih singgahnya ya...
Uhuk! Uhuk! Curang nih, aku udah kepikiran pengen nulis soal puber kedua, eh keduluan :)
BalasHapusHahaha... Jadi skor kita soal dulu-mendului udah berapa nih, Mas Ryan?
HapusMakasih mampirnya ya...
aku puber kedua kok dirimu anteng aja seh, jeng... ??? #sebel
BalasHapusWuakakak... Bingung arepe komen opo...
HapusNuwus mampire, Jeng...
Siapa yaa yang jadi sumber inspirasi kisahnya??
BalasHapus#kedip2
Siapa yaaa? *noleh kanan-kiri-atas-bawah-depan-belakang*
HapusHehehe... Makasih mampirnya, Mas Pical...
suka musk nya......:P
BalasHapusPlus yang pakai musk, hihihi... Makasih dah mampir, Mbak Fie...
HapusWkwkwk... sebenarnya yg disukai laki-laki yg lagi puber kedua dari cewek itu apa seh, Tante? ;) ;)
BalasHapusLha ya aku nggak tau, Mbak. Aku kan emak-emak, bukan bapak-bapak 😁😁😁
HapusTanya para bapak-bapak noh...
Asik banget baca sampai abis, bahkan bisa membayangkan kalau jd filmnya haha... Good one mbak Liz!
BalasHapusHehehe... Makasih singgahnya, Mbak Ge... 😊😊😊
Hapus