Jumat, 14 Juni 2013

[Cermin] S i m p u l

“Mamaaaa!”

Gelas di tangan Savitri hampir saja meluncur jatuh. Teriakan kencang Briel (baca : bri-yel) berasal dari depan pintu pagar. Tergopoh-gopoh Savitri berlari ke depan.

“Gabriel! Ada apa? Baguskah tidak mengucapkan salam lebih dulu?” tegur Savitri jengkel.

“Maaf Mama, tapi Nando mimisan di mobil. Dari tadi nggak berhenti juga,” Briel tampak panik. “Nando biar turun di sini ya Ma? Kasihan dia sendirian di rumah kalau pulang…”

“Ya Tuhan…,” ucap Savitri seketika.

Briel memapah Nando turun dari mobil, dibantu Mas Nar, sopir jemputan. Savitri segera merangkul Nando dan membawanya ke kamar Briel.

“Tante, maaf Nando bikin repot Tante,” ucap Nando lirih.

“Nggak apa-apa, Ndo,” jawab Savitri sambil mengganti kemeja putih Nando yang berbercak darah di sana-sini.

“Udah kamu tidur aja dulu di sini,” kata Briel. “Tenang aja, Mama akan mengurusmu.”

* * *

Savitri meraih ponselnya. Nando sudah tertidur di kamar Briel. Sudah makan. Mimisannya sudah berhenti.
Dicobanya untuk menelepon Hestia, ibu Nando. Tapi sampai usahanya yang ketiga, nada yang dituju tetap sibuk. Savitri menyerah, kemudian menekan tombol 1.

“Halo… Ya Ma?” terdengar suara bass lembut dari seberang sana.

“Papa, tolong bilang Herman, suruh dia pulang kerja jemput Nando di sini,” kata Savitri. “Mama sudah hubungi Hestia, tapi nadanya sibuk terus.”

“Bukannya biasanya Nando pulang sendiri?”

“Tadi dia mimisan di mobil jemputan, Pa. Sama Briel diajak turun di sini.”

Dan secara ringkas Savitri menceritakan kondisi Nando. Herman, ayah Nando, adalah teman kuliah sekaligus teman sekantor Anggoro.

“Oh! Ya nanti Papa bilang ke Herman,” ucap Anggoro kemudian.

* * *

Nando baru saja selesai dimakamkan. Hanya lewat sedikit dari waktu 6 bulan sejak remaja ringkih itu sering mimisan. Leukemia dari jenis yang paling invasif.

Ketika dia pergi, dia hanya ditemani Herman, Anggoro, Savitri, Briel, dan Ella. Hestia, ibunya, sedang dalam perjalanan pulang dari dinasnya ke Hongkong selama 2 minggu. Perjalanan dinas yang ‘tak bisa’ ditunda ataupun diwakilkan.

Briel tak malu tersedu dalam pelukan Savitri. Ella terisak hebat dalam pelukan Anggoro. Baginya Nando sudah seperti Briel, adiknya sendiri.

Herman berdiri diam. Hanya diam. Pun ketika melihat Hestia menangis histeris sambil duduk rebah di atas gundukan tanah merah makam Nando.

Ada yang terasa sangat perih di hati Savitri. Kamu terlalu muda untuk pergi Nak, batinnya pilu. Bahkan usiamu belum genap 14 tahun. Seandainya aku bisa merawatmu lebih baik, seandainya kamu boleh jadi anakku…

Lengan kekar Anggoro merengkuh Savitri. Janji Savitri pada Nando untuk tidak menangis hilang menguap entah ke mana. Savitri menangis hebat. Bersama Briel dan Ella.

* * *
 
Hestia tidak lagi bisa mencegah. Herman sudah memutuskan untuk pergi dari rumah megah itu. Rumah yang dibangunnya dengan mengorbankan hampir seluruh waktunya untuk Nando dan Herman.

Nando sudah tak ada. Simpul itu terurai begitu saja. Tanpa sisa. Dan Hestia hanya bisa terpuruk sendirian di sudut.

Seandainya waktu bisa berputar kembali…..

* * * * *

3 komentar:

  1. Sedihnya mbak...kadang kita mengejar hal2 yang besar dan melupakan simpul yang kecil :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak...
      Makasih ya dah mampir ke sini :)

      Hapus
    2. Iya Mbak... Makasih ya sudah mampir ke sini :)

      Hapus