Kamis, 05 Oktober 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #13







Sebelumnya



* * *


Keluar dari jalur sepi Kebondalem, Maya mengarahkan mobil ke Ringroad Utara. Masih ada banyak kantung-kantung kehidupan di sana. Apalagi ketika mendekati daerah sebaran kampus.


"Salah tidak, kalau aku berpikir daerah rumah tidak seramai beberapa bagian Jogja lainnya?" celetuk Gianluca.


"Aku juga berpikir begitu," gumam Maya. "Kita akan sulit berkembang dibandingkan dengan daerah sini."


"Kalau kita cari tempat di sekitar titik keramaian, modal kita cukup atau tidak?"


"Tergantung skala yang kita inginkan, Gian. Tapi tampaknya memang kita harus mengubah konsep yang sudah kita pikirkan."


Gianluca mengangguk. Bagaimanapun, mereka sudah kepalang basah meninggalkan kehidupan lumayan mapan di Genoa untuk berpindah ke Jogja.


"Coba besok aku bicara dengan Mas Pram," ujar Maya. "Dia tahu banyak soal properti. Bisnisnya, kan, memang di bidang itu."


Gianluca mengangguk lagi.


* * *


Tiga hari kemudian menjelang sore, Pramudya mampir ke nDalem Karyayudan.


"Ada yang ribut ketika mendengar isu kamu akan membuka usaha kuliner di sini," ucap Pramudya pada satu detik.


"Maksudnya?" Maya mengerutkan kening.


"Yah ... ada yang merasa idenya tercuri," jawab Pramudya sembari mengedikkan bahu.


"Om Sunu?" Maya tersenyum lebar 


Pramudya mengangguk sambil tertawa. "Ndak perlu diambil hatilah, May. Kamu tahu sendiri wataknya memang seculas itu."


"Padahal Gian dan aku sudah berpikir untuk batal buka usaha kuliner di sini," ujar Maya.


"Loh, lantas?" Pramudya menaikkan alisnya.


"Malam pertama kami di sini, kami melihat sendiri betapa sepinya daerah sini," Maya mengedikkan bahu. "Untuk mengubah ndalem jadi penginapan, mungkin bisa. Tapi, kan, Mas tahu bidikan kami tidak ke arah situ."


Pramudya manggut-manggut.


"Jadi," lanjut Maya, "kami terpaksa mengubah konsep. Kami ingin dekat ke area kampus. Sekitar Maguwoharjo. Mas Pram ada pandangan?"


"Hmm ...." Beberapa saat lamanya Pramudya berpikir. Lalu, kembali ditatapnya Maya. "Kamu mau yang sudah jadi?"


"Maksud Mas?'


"Berupa bangunan jadi, bekas kafe. Baru tutup minggu lalu. Milik temanku. Dia mau pindah ke Australia."


"Prospeknya?" Maya menatap penuh minat.


"Sebetulnya bagus. Cuma, kan, istri temanku itu sakit. Dia minta balik ke Australia. Asli sana, kan. Sementara ini belum ada yang menawar. Dia titip padaku untuk mencarikan pembeli. Kamu mau lihat dulu?"


"Mau! Mau! Tapi nanti aku bilang ke Gian dulu."


"Loh, Gian sekarang di mana? Dari tadi ndak kelihatan," Pramudya menaikkan alisnya.


"Ke restonya Nika. Tadi Nika ke sini, Gian katut."


"Oh ...." Senyum Pramudya melebar.


Obrolan mereka berlanjut ke mana-mana setelah itu. Sejam kemudian, Pramudya pun berpamitan. Langit sudah mulai gelap. Beberapa menit setelah Pramudya pergi, Gian pulang diantar motor GreatJek. Ada beberapa kantong kertas berlogo Resto Tengah Sawah berisi makanan di tangannya.


"Banyak sekali!" Maya melebarkan matanya.


"Ah, Cara, kamu tahu sendirilah bagaimana Nika," ucap Gianluca diiringi gelak tawa.


* * *


Sambil menikmati makan malam bersama, Maya pun mengutarakan keputusan akhir yang ia dan Gianluca akhirnya ambil.


"Pak, Bu, kami nggak jadi pakai ndalem buat usaha kuliner," ujarnya.


"Loh, terus?" Martina mengerutkan kening


"Mau di tempat lain saja. Tadi Mas Pram ke sini. Dia bilang, temannya ada yang jual properti bekas kafe, di Maguwo sana, dekat daerah kampus. Kami belum lihat, sih. Baru besok siang, mau dijemput Mas Pram."


"Apa karena si Sunu ngomyang lagi?" Sancoyo mencebikkan bibir.


"Enggak ...," Maya tertawa. "Bukan karena itu. Pas malam pertama aku keluar sama Gian itu, aku lihat daerah sini sepi banget. Agak berat kayaknya. Kecuali konsepnya langsung besar kayak resto Nika."


"Kan, bisa dibikin besar juga seperti resto Nika," Sancoyo menanggapi dengan nada serius. "Tawaran pinjaman modal dari Om Ratmono sebaiknya kalian pertimbangkan juga. Lagipula, kalian pulang ke sini karena ndalem juga, kan?"


"Iya, sih ...." Suara Maya terdengar mengambang. "Tapi setelah kami pikir-pikir, prospeknya lebih bagus di tempat yang lebih ramai."


"Sudah, to, Pak," tukas Martina, halus. "Anak-anak ini otaknya sudah terbiasa berpikir bisnis. Pasti punya pertimbangan sendiri yang jauh lebih rasional."


Sancoyo pun manggut-manggut.


* * *


Selanjutnya



4 komentar:

  1. Kemping gek kene sampek sesuk ciamik soro

    BalasHapus
  2. Cerita keren dan gratis ada di sini, klo di aplikasi onoh mbayar. Sukses selalu Mbak Lis. Makin keren ceritanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyaaak, Mbak Bekti. πŸ™πŸΌπŸ˜˜πŸ’•

      Hapus