* * *
Delapan
"Kalau harga yang dia minta segitu, kita masih punya sisa uang, cukup untuk menambah oven," bisik Gianluca.
Maya mengangguk.
"Yang penting cepat laku," ucap Carlos, pemiliknya, tadi, "jadi aku pindah ke Australia sudah nggak ada beban lagi."
Baik Gianluca maupun Maya terlihat cukup puas dengan kondisi itu.
"Nggak bisa kurang lagi, Mas?" Maya nyengir jahil.
Carlos tertawa. Namun, ia menggeleng. "Aku jual rugi ini. Yah, sudah untung sedikit dari operasional tempo harilah."
Maya menarik tangan Gianluca, sedikit menjauh.
"Kalau aku, setuju kita beli tempat ini," bisik Maya.
Gianluca mengangguk. Ia pun sudah jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap tempat ini. Keduanya kemudian kembali ke tempat semula.
"Baik, Mas," putus Maya. "Kami jadi ambil."
* * *
Yang tak pernah disangka Maya, bahkan membayangkannya pun tidak, Carlos mengembalikan uang muka sejumlah lima persen sebesar 250 juta rupiah yang ia bayarkan secara transfer dua hari kemudian. Bahkan, Carlos datang langsung ke nDalem Karyayudan, menyerahkan selembar kuitansi pembelian dengan stempel LUNAS.
"Kemarin siang sudah dibayar, Mbak," senyum Carlos. "Lunas."
"Hah?" Maya ternganga. "Siapa yang kasih duit?"
"Saya nggak boleh bilang," Carlos melepaskan tawanya. "Sebelum saya berangkat ke Australia sepuluh hari lagi, sebaiknya Mbak Maya segera mengurus SHM dan HGB, jadi kalau ada kurang surat apa-apa, Mbak nggak kesulitan karena saya masih di sini."
Maya tercenung. Jangan-jangan Bapak ini ....
Namun, Sancoyo bersikukuh mengatakan tidak. Ia tidak mengeluarkan uang satu sen pun untuk membeli bangunan bakal kafe anak dan menantunya itu. Demikian pula Martina.
"Weh, lah, duite sopo?" Martina tertawa. "Kowe rak ngerti dhewe gajine dosen ki piro. Awake dhewe ketok sugih rak mergo bapakmu warisane akeh." (Lah, uang siapa? Kamu, kan, tahu sendiri gaji dosen itu berapa. Kita kelihatan kaya, kan, karena bapakmu warisannya banyak.)
Begitu pula ketika Maya bertanya pada Pramudya. Sang paman pun tergelak.
"Mbok'pikir aku keturahen dhuwit, po?" jawab Pramudya di tengah tawanya. "Masiyo rung ono calone, aku yo isih butuh modhal dinggo omah-omah." (Kamu pikir uangku tumpah-tumpah? Meskipun belum ada calonnya, tapi aku juga masih butuh modal buat berumah tangga.)
Maya mengerutkan kening, sebelum pikirannya jatuh pada satu nama. Ratmono.
"Om, yang bayarin pembelian bakal kafeku kemarin Om Rat, ya?" tuduh Maya seketika, melalui sambungan telepon.
"Heee??? Horak!" bantah Ratmono. "Lah, ngopo aku nukokke kowe kafe?" (Heee??? Enggak! Buat apa aku membelikan kamu kafe?)
"Lah, terus siapa?" gumam Maya.
"Ha embuh. Lah, kowe dhewe tak'takoni soal investasi yo rung mangsuli, to?" (Nggak tahu. Lah, kamu sendiri kutanyai soal investasi, ya, belum menjawab, kan?)
Buntu seketika. Begitu pula ketika Maya menghubungi Hananto dan Retno. Jawabannya sama, 'duit dari mana?'. Apalagi Nika. Jawabannya lebih kacau lagi.
"Kalau aku sudah dapat warisan dari Bapak, nah, mungkin aku yang bayarin, Mbak. Tapi, kan, nyatanya belum."
Sementara itu, Pramudya tertawa geli ketika membaca pesan WA dari Ratmono. 'Ben wae, Pram, kowe menengo. Ojo nganti mbukak rahasia. Ben dheweke bingung.' (Biar saja, Pram, kamu diam saja. Jangan sampai buka rahasia. Biar dia bingung.)
* * *
Sambil menunggu segala perizinan selesai diurus, Maya dan Gianluca memanggil kembali karyawan-karyawati yang pernah bekerja pada kafe Carlos. Hampir semuanya adalah mahasiswa-mahasiswi yang bekerja paruh waktu sambil kuliah. Ada yang sudah lulus dan mendapat pekerjaan baru, ada yang sedang magang di tempat lain, tapi yang belum dan masih mau bekerja lagi cukup banyak. Beberapa dari mereka bahkan membawa kawan sesama mahasiswa yang sedang butuh pekerjaan untuk menambah uang saku.
Posisi kunci seperti barista, kasir, asisten koki, dan petugas kebersihan sudah cukup aman karena sudah berpengalaman di kafe Carlos dulu. Tinggal menyesuaikan jadwal pramusaji yang lolos seleksi dengan jadwal kuliah mereka. Itu yang cukup rumit, tapi bukan Maya kalau tidak bisa mengatasinya.
Dan, Dapur Maya Colletti resmi dibuka dua minggu setelah segala perizinan beres. Kafe yang dibuka mulai pukul enam pagi itu untuk sementara waktu menyediakan menu sarapan khas Jawa dan Italia. Sarapan khas Jawa yang bisa dipilih adalah SGPC alias sego (nasi) pecel, SGST alias sego soto, SGND alias sego endhog (telur) dan SGPT alias sego pitik (ayam) yang disertai tumisan sayur. Sedangkan sarapan khas Italia berupa cornetto, brioche, biscotti, panino, frittata, dan rustico, yang bisa dipadukan dengan aneka kopi, teh, maupun susu. Semuanya dengan harga 'mahasiswa'.
Mulai pukul sepuluh pagi hingga tutup pada pukul sepuluh malam, akan ada beberapa menu aneka pizza dan pasta bercita rasa asli Italia, beberapa menu Nusantara, beberapa menu fusion atau perpaduan keduanya, dan aneka minuman tambahan seperti es sirup dan jus buah. Makanan dan minuman yang tersedia tidak terlalu banyak jenisnya, karena Maya dan Gianluca memutuskan untuk lebih mengutamakan kesinambungan mutu dan cita rasa.
Menariknya, Dapur Maya Colletti memberlakukan potongan harga 25% bagi pengunjung yang bisa menunjukkan kumpulan setruk pembelian berjumlah total minimal seratus ribu rupiah. Margin keuntungan per makanan dan minuman yang mereka jual tipis saja. Namun, dengan banyaknya jumlah yang terjual, keuntungan bersih mereka terhitung cukup menggembirakan.
Dan, keramaian itu membuat laron mendekat. Seekor laron, lebih tepatnya, bernama Warsunu Karyayuda.
* * *
(Bersambung hari Rabu, untuk mengganti episode yang gagal tayang hari Jumat lalu.)
Hadaaaaaaaaaa Sunu iku kape laopo mane?????
BalasHapusEmbuh wes, Nit. Blank iki. Ngerti tanggale, kan? π₯Ίπ₯Ίπ₯Ί
HapusMbak Lizz...dulu pernah ada cerita judulnya kalo gak
BalasHapussalah mendhol...
Kok tak cari gak ada ya... pengen baca lagiπ
Masih ada, kok, Mbak. ππΌπ
HapusIni sudah tamat ya mba ?
BalasHapusMohon maaf, Kak. Saya blank, belum bisa lanjutin cerbung ini. ππΌππΌππΌ
Hapus