* * *
Tujuh
Maya menatap Gianluca. "Kamu sedih?"
"Sedikit," jawab Gianluca, jujur.
"Menyesal?" kejar Maya.
"Sama sekali tidak," geleng Gianluca, sejujur-jujurnya.
Sebetulnya Maya juga sayang untuk meninggalkan rumah dan dapur peninggalan Nonna Eleonora. Namun, keputusan sudah dibuat. Gianluca lebih menginginkan Maya lebih dekat dengan keluarga di Jogja.
"Kita berjalan ke arah depan, Cara," begitu ucap Gianluca, ketika Maya lagi-lagi keraguan membelit hati Maya. "Kita bisa ciptakan kebahagiaan kita sendiri, di mana pun kita berada."
Ia harus kembali ke Jogja? Oh, ia bahagia sekali! Apalagi Gianluca dengan senang hati ikut dengannya.
La Cucina di Colletti sudah resmi ditutup akhir bulan lalu, pada pertengahan musim gugur. Lalu, mereka mulai memilih dan memilah mana barang yang akan dibawa, mana yang akan ditinggalkan.
Gianluca hanya ingin membawa beberapa celemek lama milik Nonna Eleonora, semua foto keluarga yang ia miliki, beberapa perangkat alat masak kesayangan mereka, dan beberapa benda kenangan lainnya. Maya menambahkan semua benda pribadi milik mereka. Semua sudah berangkat lebih dulu ke Jogja, sementara keduanya baru akan berangkat awal Januari nanti. Keduanya masih ingin merayakan Natal dan malam tahun baru terakhir di Genoa sebelum benar-benar meninggalkan kota itu. Kargo yang masih tertinggal, akan mereka bereskan pada hari-hari terakhir mereka di Genoa.
Rumah peninggalan Nonna Eleonora dan bekas ruang usaha mereka sudah ada yang ingin membelinya. Carlo, salah seorang sepupu jauh Gianluca hendak pindah dari Padua, pulang ke Genoa bersama keluarga kecilnya, dan berencana membuka toko roti. Ketika mendengar Gianluca akan meninggalkan Italia, Carlo segera menghubunginya.
Carlo sudah datang dua hari yang lalu. Ketika melihat kondisi rumah dan dapur yang akan ditinggalkan Gianluca dan Maya, mata Carlo dan Maria, istrinya, segera membulat penuh minat. Apalagi masih ada oven-oven dan berbagai peralatan bakeri peninggalan Nonna Eleonora yang masih berfungsi sempurna. Belum lagi dapur moderen yang sudah dibangun Gianluca.
Dan, baru saja, Carlo menelepom Gianluca. Setuju tanpa banyak komentar atas harga yang diminta Gianluca. Apalagi Carlo dan Maria secara jelas sudah menyatakan, bahwa kapan pun Gianluca dan Maya hendak berlibur ke Genoa, rumah itu tetap akan menjadi rumah mereka juga. Semuanya itu membuat Gianluca dan Maya berpelukan dengan gembira. Agaknya, perjalanan hidup mereka kali ini akan berjalan mulus sesuai rencana.
* * *
Jogja yang sudah basah pada awal Januari menyambut kehadiran Maya dan Gianluca kembali ke Jogja. Juga pelukan erat Nika ketika menjemput keduanya di Bandara YIA.
Pulang .... Sejenak Maya menatap hujan yang merintik dalam temaram senja di luar jendela mobil, sebelum sibuk menanggapi celoteh Ansel dan Adel. Beberapa kali ia harus menerjemahkan ucapan kedua anak itu hingga Gianluca bisa ikut tertawa dan menanggapi walaupun agak terlambat.
Langit sudah gelap sempurna ketika mereka tiba di nDalem Karyayudan. Setelah usai semua acara pelukan, ciuman di pipi, mandi, makan malam bersama, dan juga Nika sekeluarga berpamitan, Maya membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur besar beraroma khas sprei batik di kamar mereka. Gianluca pun menjatuhkan tubuh di sebelahnya.
"Akhirnya kita pulang, Cara," bisik Gianluca.
Tangan kiri Maya menggenggam hangat telapak tangan kanan Gianluca.
"Berjanjilah bahwa kita tidak akan miskin di sini," gurau Maya.
Gianluca tergelak karenanya.
"Non sara mai, Cara," ucapnya kemudian. (Tidak akan pernah, Sayang.)
"Kamu sudah mengantuk?" Tiba-tiba saja Maya bangun dan duduk menghadap Gianluca.
Laki-laki itu mengerutkan kening. Lalu, ia menggeleng ragu-ragu. "Kenapa memangnya?"
"Ayo, kita jalan-jalan!"
Gianluca terbengong sejenak, sebelum ikut bangun. "Ke mana?"
"Putar-putar saja."
Perjalanan melalui udara dari Genoa ke Jogja memang cukup panjang, dan harus beberapa kali transit, tapi tidak terlalu melelahkan. Mereka menghadiahi diri mereka sendiri dengan tiket kelas bisnis dan kelas satu. Apalagi saat ini mereka masih dihinggapi jetlag. Jam biologis mereka masih jam Italia.
nDalem Karyayudan sudah sunyi ketika keduanya keluar dari kamar. Namun, lampu kamar Sancoyo dan Martina terlihat masih menyala. Berkas-berkas sinarnya lolos dari sela ventilasi di atas pintu. Bergandengan tangan Maya dan Gianluca berjalan menyeberangi ruang makan.
"Pak ... Bu ... sudah tidurkah?" Maya mengetuk pintu pelan-pelan.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka, dan kepala Sancoyo menyembul dari baliknya. "Ada apa?"
"Mau pinjam mobil," Maya nyengir.
"Malam-malam begini?" Sancoyo melebarkan bukaan daun pintu.
"Ono opo?" Martina muncul dari belakang punggung Sancoyo. (Ada apa?)
"Ini, anak dua ini mau ngeluyur malam-malam begini," Sancoyo geleng kepala.
Martina tergelak mendengarnya. Ia kemudian menghampiri meja rias, meraih kunci mobil. Diserahkannya kunci itu pada Maya, juga serenceng kunci lain.
"Jangan lupa mengunci pintu, pintu garasi, dan pintu gerbang," pesan Martina.
Maya mengangguk dengan wajah gembira.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar