Senin, 02 Oktober 2023

[Cerbung] nDalem Karyayudan #11






Sebelumnya



* * *



Enam


Rencananya, baru pada Sabtu keesokan harinya Maya akan mencari tiket untuk pulang ke Genoa. Masalah di nDalem Karyayudan sudah selesai. Rumah pusaka keluarga itu sudah aman berada penuh di tangan ayahnya. Namun, kedatangan Gianluca membuyarkan semua rencana itu. Maya kecewa? Tentu saja tidak.


Sejak mereka menikah, mereka selalu menutup La Cucina di Colletti selama dua minggu pada musim panas. Keduanya menghabiskan waktu bersama ke mana saja mereka ingin pergi. Di dalam maupun di luar Italia.


"Waktunya kita berlibur," ujar Gianluca. "Kenapa tidak kita lalui di sini saja?"


Maya tertawa. Karena itulah Gianluca menyusulnya ke Jogja. Lalu, Maya bercerita tentang semua yang ia alami selama dua minggu ini. Gianluca menyimaknya baik-baik. Pada penghujung penuturan Maya, Gianluca menatapnya dalam.


"Kenapa kita tidak pulang saja ke sini?" celetuknya begitu saja.


Maya ternganga. Pulang? Meninggalkan Genoa? Meninggalkan La Cucina di Colletti?


"Pulang?" cetusnya.


Gianluca mengangguk.


"Cara," Gianluca menggenggam hangat kedua tangan Maya. "Yang aku punya di dunia ini, saat ini, hanyalah dirimu. Rumah, tempat aku pulang, adalah dirimu. Sementara itu, kamu masih punya keluarga di sini. Keluarga besar dengan ikatan kuat yang begitu hangat. Aku orang Italia, Cara. Aku paham betul apa arti keluarga bagi kalian. Aku tak lagi punya keluarga dekat di Italia. Hanya kalianlah keluarga yang aku miliki sekarang."


"Lalu bagaimana dengan dapur impianmu, Caro, impian kita?" Ada bening yang menggenangi sepasang mata Maya.


"Dapur impianku adalah dapur hangat dengan dirimu ada di dalamnya," senyum Gianluca, dengan mata dipenuhi binar. "Di mana pun kamu ingin, di mana pun kamu berada."


Seketika Maya tercenung. Memulai lagi dari nol? Di sini? Di Jogja? Atau di mana? Maya mengerjapkan mata.


* * *


"Kenapa tidak di sini saja?"


Maya menatap Sancoyo, lekat. "Jogja?"


Sancoyo mengangguk. "Di sini, di nDalem Karyayudan."


Maya ternganga. Tak ada nada gurau dalam suara ayahnya.


"Fusion cuisine," lanjut Sancoyo, "fusion food, atau apalah kalian menyebutnya. Selama ini kalian sudah melakukannya, kan?"


Maya dan Gianluca bertukar tatapan. Tidak mudah memadukan makanan Italia dan Indonesia, tapi beberapa tahun belakangan ini mereka sudah berhasil meramu resepnya. Hasilnya cukup menggembirakan.


Itu di sana, Maya menggigit bibir. Di sini?


"Pakai saja rumah ini," ucap Sancoyo lagi. "Awal tahun depan, rumah kita di Maguwo habis masa kontraknya. Ibu sama Bapak bisa pindah ke sana. Kalian tetap di sini. Lagipula ... Maguwo lebih dekat dengan kampus."


Mengubah nDalem Karyayudan jadi rumah makan? Maya tercenung.


"Sudah ada tempat, ndak perlu repot-repot cari tempat lain, May," celetuk Retno.


"Kalau butuh modal, sini, aku pinjami," ujar Ratmono, terdengar sangat serius.


"Tapi sayang ndalem-nya, Bulik, Om," gumam Maya.


"Ndak sampai ndalem juga ndak apa-apa, to, May." Hananto urun suara. "Dirintis dari luar dulu. Pakai pendopo. Halaman depan dan samping kanan-kiri masih luas. Pakai saja itu, tapi jangan ditebang semua pohonnya. Bisa dipasang payung-payung di antara pohon yang tersisa. Pasang paving block  di bawahnya. Dapurnya pakai saja dapur ndalem. Atau kalau masih sayang juga, bikin saja dapur baru di garasi. Dapur moderen dengan standar kalian sendiri."


Maya menatap Gianluca. Secara ringkas ia menerjemahkan ucapan ayah, bibi, dan paman-pamannya. Terlihat laki-laki itu sempat ternganga, sebelum ada binar melompat keluar dari matanya.


"I told you," ucap Gianluca, halus.


"Is it OK with you?" Maya mengerjapkan mata.


"Absolutely!"


"Itu artinya kita harus pindah ke sini, Gian." Maya memberi tekanan pada ucapannya.


"Kenapa tidak?" senyum Gianluca. "Sudah kubilang rumahku adalah dirimu, di mana pun kamu berada."


"Dari nol, Gian."


"Kenapa harus takut?" senyum Gianluca melebar. "Kita tidak punya tanggungan apa-apa. Kalaupun kita jadi miskin karenanya, kita miskin berdua. Tidak ada anak-anak yang terbebani dengan kemiskinan kita."


Seketika Maya tergelak mendengar ucapan Gianluca.


* * *


Maya sungguh terusik dengan ucapan ayah, bibi, dan paman-pamannya kemarin. Walaupun sudah sah nDalem Karyayudan menjadi milik keluarganya, tapi tetap ada suara lain yang harus pula didengarkan. Suara Yanglik Partono-nya. Sehingga Maya menghadap sang sesepuh itu keesokan harinya.


"Why not?" Partono sangat ringan menanggapinya. "Sebetulnya ndak ada yang salah dengan keinginan Sunu kemarin itu. Cuma jalannya ndak lurus. Kalau kamu, Ndhuk ... kalian, kamu dan Gian, apa pun yang akan kalian lakukan di sana, aku percaya kalian akan tetap menjaga keutuhan nDalem Karyayudan."


Barulah Maya lega mendengarnya. Ia merasa beruntung sekali bahwa yangliknya masih sehat hingga saat ini. Masih bisa memberi pandangan seturut wawasan luas yang laki-laki sepuh itu miliki.


"Soal penataan, serahkan saja pada Pram," ujar Partono lagi. "Walaupun kamu pasti maunya profesional, tetaplah bisa dinego."


Maya tersenyum mendengarnya.


* * *


Selanjutnya


2 komentar:

  1. Asiiik... ditunggu selalu mbak...πŸ˜˜πŸ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih .... πŸ™πŸΌπŸ˜˜πŸ’•

      Hapus