Kamis, 18 Januari 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #3-1








Sebelumnya


* * *


Tiga


Apakah ‘kembali’ adalah perbuatan yang tepat?

Kencana menggeleng samar. Mau tak mau, percakapannya dengan Nina sore tadi melekat betul di kepalanya.


“Anak-anak makin sering nanyain lo.”

Sebelum gaung ucapan Nina hilang dari telinganya, Kencana mengangkat wajah. Sejenak meninggalkan keasyikannya menikmati semangkuk mi ayam pangsit. Nina menatapnya. Menuntut tanggapan. Tapi Kencana tak bersuara. Malahan kembali pada kesibukannya semula.

Romo[1] Thomas juga beberapa kali urun tanya,” sambung Nina. “Mau tanya sama ortu lo beliaunya sungkan.”

Kencana mengedikkan bahu. Acuh tak acuh. Nina menghela napas panjang. Matanya menyorotkan keprihatinan.

Sejak hubungannya dengan Denta berantakan, sedikit demi sedikit Kencana memang menarik diri dari semua kegiatan gereja. Mulai dari OMK[2], sebagai pembina BIA[3], paduan suara, maupun aktivitas lain. Terlalu banyak kenangannya bersama Denta di sana. Ia memang masih ke gereja tiap hari Minggu untuk mengikuti misa, tapi ia memilih untuk datang ke gereja paroki[4] lain.

“Sampai kapan, Can?” lirih suara Nina.

Kencana kembali mengangkat bahu.

“Tempo hari Om Paul juga tanya kabar lo,” gumam Nina. “Katanya lama banget nggak lihat lo.”

Kali ini Kencana benar-benar menghentikan kesibukannya. Diletakkannya sumpit dengan wajah menyiratkan kejengkelan. Diangkatnya wajah. Ditatapnya Nina dengan sorot mata sedikit membara.

“Tahu lo ngajakin gue keluar cuma buat bahas hal-hal nggak penting gini, males gue!” ketusnya. “Lo belum tahu, kan, rasanya cuma dijadiin pelarian? Tujuh tahun, Nin. Tujuh tahun! Berapa banyak tahap kehidupan yang seharusnya bisa gue alami tanpa terpaku pada Mas Denta? Tujuh tahun gue jalan di tempat. Tujuh tahun, Nin! Tujuh tahun yang sia-sia. Gue bukan benci sama Tuhan. Bukan salah-Nya. Bagi gue, Tuhan nggak pernah salah. Gue tetap ke gereja. Gue tetap berusaha dekat sama Tuhan. Tapi gue juga butuh ruang buat pulih. Dan ruang itu bukan di tempat biasanya gue menjalankan kegiatan bareng Mas Denta. Jelas?”

Nina mendegut ludah. Sesungguhnya, ia paham sepenuhnya perasaan Kencana. Tapi posisinya adalah terjepit di tengah. Sebagai sahabat Kencana, juga sebagai aktivis seperti Kencana. Ia yang pertama ‘kena’ ketika ada apa-apa dengan Kencana.

Sorry, Can,” ucap Nina, penuh penyesalan. “Sorry banget. Gue paham kondisi lo. Gue cuma perlu menyampaikan apa yang selama ini mampir ke gue. Pertanyaan dan kerinduan anak-anak, pertanyaan Romo, pertanyaan orang-orang lain.”

Kencana mengangguk sedikit. Bara sudah menyurut dari mata dan wajahnya. Dihelanya napas panjang.

“Ruang dan waktu, Nin,” gumamnya kemudian. “Gue masih butuh itu.”

Nina mengangguk, walaupun dengan berat hati.



Kencana menghela napas panjang. Kebimbangan memenuhi hatinya. Sesungguhnya, ia merindukan kehidupannya yang dulu. Aktif, dekat dengan anak-anak, berkegiatan dengan hati gembira.

Sudah setahun...

Kencana mengerjapkan mata. Antara cukup dan tidak cukup. Tapi makin ke sini, ia merasa bahwa ia masih baik-baik saja. Dan, ia tahu bahwa ia akan makin baik-baik saja kalau bersedia kembali.

Ditatapnya pantulan wajahnya di cermin.

Can, hidupmu belum sepenuhnya hancur, ucapnya dalam hati. Sudah cukup!

Ia kembali mengerjapkan mata.

Ya, sudah cukup!

* * *

Minggu pagi keesokan harinya, Kencana menunggu hingga beberapa belas menit setelah ayah-ibunya berangkat sebelum menghubungi ojek online. Ia sengaja berangkat ke gereja tidak bersama ayah-ibunya. Sejujurnya, ia belum siap menerima tatapan kedua orang tuanya bila diketahui ia ikut ke gereja yang sama. Ia tahu, pasti ayah-ibunya akan senang sekali. Tapi sekali lagi, ia belum siap jadi ‘pusat perhatian’.

Sengaja ia datang pada waktu yang sudah mepet dengan dimulainya misa. Dalam hening ia menyelipkan diri pada sebuah tempat kosong agak di belakang. Tak urung, kenangan itu menghampirinya juga. Tentang ia dan Denta.

Ia sedikit tersentak ketika ada gerakan serentak di sekitarnya. Ia buru-buru mengikuti gerakan itu. Berdiri, dan bersiap mengikuti misa. Sempat dihelanya napas panjang sebelum menegakkan kepala, dan mengisi jiwa dengan hubungan vertikalnya bersama Tuhan. Bukan dengan hal-hal lain.

Sulit. Sulit sekali mengikuti seluruh rangkaian misa dengan ‘baik dan benar’. Tanpa sadar, ia menarik napas lega ketika misa berakhir. Biasanya ia memanjatkan doa pribadi lebih dulu sebelum pulang. Tapi tidak kali ini. Begitu pastor menghilang dari depan altar, ia segera beranjak. Hanya saja sebelum ia sempat melangkah, sebuah cengkeraman sudah melingkar di lengan kanannya. Ia menoleh cepat. Terperangah.

“Can, Ayah perlu bicara denganmu. Bisakah?”

Hingga beberapa saat lamanya, tatapan Kencana bulat terpaku pada Paul.

* * *

Keheningan itu pada akhirnya pecah. Di sebuah kafe kecil yang terletak di sebelah gereja. Paul dan Kencana duduk berhadapan. Dipisahkan sebidang meja kecil. Ditemani dua cangkir cokelat hangat dan dua porsi pie apel.

“Atas nama Denta dan seluruh keluarga, Ayah minta maaf padamu, Can,” gumaman Paul nyaris tak terdengar.

Kencana menengadah sejenak, kemudian menggeleng samar.

“Bukan salah Ayah,” bisiknya. Mencoba untuk tersenyum. “Ya, saya butuh ruang dan waktu untuk berteman dengan kegagalan itu. Tapi pada akhirnya saya terima semuanya sebagai bagian dari hidup saya. Saya tidak apa-apa, Yah.”

Ada kelegaan dalam raut wajah sepuh Paul. Disambutnya senyum Kencana.

“Ayah sendiri, apa kabar?” tanya Kencana dengan lembutnya.

“Baik, Can,” Paul mengangguk. “Sehat.”

“Puji Tuhan...,” suara Kencana terdengar penuh rasa syukur.

“Ican mau kembali aktif lagi?” ada harapan dalam lirih suara Paul.

Kencana terdiam sejenak sebelum menjawab, “Saya belum tahu, Yah. Saya sedang menimbang-nimbang untuk ambil magister, program ekstensi.”

“Oh...,” Paul terlihat termangu sejenak, tapi ia secepatnya bisa menguasai diri. “Yang terbaik untukmu, lakukan saja, Can.”

Kencana mengangguk.

Gadis itu berusaha keras untuk menyimpan keinginan menanyakan kabar Denta pada ayah laki-laki itu. Tapi sepertinya, kabar Denta baik-baik saja. Maka keinginan itu tetap disimpannya dalam hati. Paul sendiri juga tampaknya menahan lidah untuk mengulum nama Denta saja, tanpa menggulirkannya keluar.

“Om Paul... Ican...”

Keduanya menoleh. Nina tampak berdiri ragu-ragu di ambang pintu kafe, dekat tempat keduanya duduk. Gadis itu meringis.

“Maaf, mengganggu...”

Paul melebarkan senyumnya. “Ya, Nin? Ayo, sini! Om sudah tangkap, nih, si Ican.”

Nina tergelak ringan sambil melangkah mendekat. Kemudian ditatapnya Kencana.

“Anak-anak ada yang lihat lo,” ucap Nina. “Pada ribut cari lo. Ayolah, Can, temui anak-anak.”

Perlu beberapa menit sebelum Kencana mengangguk. Membuat Nina hampir saja tak dapat menahan diri untuk bersorak gembira.

* * *

Semua sambutan, kerubungan, dan pelukan anak-anak itu pelan-pelan menghangatkan hati Kencana. Dengan sabar dilayaninya keriuhan anak-anak menanyakan kabarnya. Setelah selesai, giliran para pembina yang menyambutnya dengan meriah. Pun Romo Thomas yang rupanya masih ada di sekitar aula gereja, tempat kegiatan BIA diadakan. Laki-laki berusia lima puluhan itu menghampiri Kencana, menyalaminya hangat dengan wajah berseri-seri.

Come on, Can, jangan minggat lagi.”

Kencana tertawa lepas mendengar ucapan blak-blakan Romo Thomas.

“Ya, saya akan tetap di sini,” gadis itu mengangguk.

“Belum kenal Frater[5] Amadeus, ya?” tatapan Romo Thomas tampak mencari seseorang. Ketika yang dicarinya ketemu, ia melambaikan tangan. “Dia Frater yang lagi pastoral[6]. Baru tiga minggu ini di sini. Anak-anak BIA sangat menyukainya. Tapi tetap saja, nggak ada yang bisa menggantikanmu.”

Sosok tinggi tegap yang menanggapi lambaian tangan Romo Thomas itu sudah sampai di dekat mereka.

“Ya, Romo?”

Suara itu seketika membuat Kencana tersentak dan menengok. Seluruh perbendaharaan yang memenuhi pikirannya seolah menguap begitu saja. Hilang tak berbekas. Kosong.

“Kenalkan, ini Ican, aktivis OMK yang paling sabar menghadapi anak-anak,” ucap Romo Thomas.

Lalu, tatapan mereka bertemu. Kencana hampir lupa bernapas. Matanya bulat terpaku pada laki-laki itu.

“Ican? Hai! Apa kabar? Lama banget kita nggak bertemu,” laki-laki tampan itu mengulurkan tangannya.

Kencana tergeragap sejenak.

“Lho, sudah kenal, ya?” usik Romo Thomas.

Laki-laki itu menatap Romo Thomas. Senyumnya melebar.

“Ican cinta monyet saya, Romo,” senyum itu berubah jadi gelak ringan. “Dulu, jaman SMP, sebelum saya masuk seminari.”

“Oh?” Romo Thomas melongo sejenak. “Wah, silakan bernostalgia kalau begitu,” senyumnya kemudian. “Asal jangan kebablasan. Bisa gawat.”

Sebelum gaung suaranya lenyap dari telinga Kencana, Romo Thomas sudah melangkah pergi. Laki-laki itu, Amadeus Alvin Samudro, mengembalikan arah tatapannya pada Kencana.

“Ican, apa kabar?” ulangnya dengan nada sabar dan bersahabat.

Kencana hanya mampu terdiam sambil mengerjapkan mata.

* * *


Catatan :

[1] Romo = pastor.

[2] OMK = Orang Muda Katolik, komunitas generasi muda dalam lingkup Gereja Katolik.

[3] BIA = Bina Iman Anak, sekolah Minggu bagi anak-anak.

[4] Paroki = satuan wilayah administrasi gereja Katolik yang dikepalai oleh seorang pastor (disebut pastor paroki), didampingi minimal seorang pastor lain. Biasanya memiliki satu (bangunan) gereja sendiri.

[5] Frater = sebutan untuk calon pastor (belum ditahbiskan jadi pastor).

[6] (Tahun Orientasi) Pastoral = masa bagi seorang frater untuk ditugaskan berkarya di paroki-paroki. Lamanya 1-2 tahun, dijalani setelah tamat seminari tinggi, sebelum ditahbiskan sebagai seorang pastor.



Catatan tambahan :
Berhubung ada jeda penayangan yang cukup lama, maka untuk sementara waktu cerbung "Jarik Truntum Garuda" akan tayang tiga kali seminggu, pada hari Senin-Rabu-Jumat. Setelah target 'pembayaran utang' terpenuhi, maka jadwal penayangan cerbung akan kembali seperti biasa, yaitu Senin dan Kamis.
Terima kasih...

2 komentar:

  1. lha frater amadeus kok muncul, jarene arep tugas ndik greja kayutangan mbak?

    BalasHapus