Sebelumnya
* * *
Ican...
Alvin mengerjapkan mata. Dari kejauhan,
sesekali diarahkannya tatapan pada gadis itu. Sekilas-sekilas. Di tengah
acaranya kumpul-kumpul bareng OMK di selasar aula. Pintu aula yang terbuka
lebar memberinya akses untuk itu.
Kencana tengah sibuk menyanyi bersama
anak-anak usia 4-6 tahun. Sesekali gadis itu bertepuk tangan dan bergoyang
jenaka. Anak-anak pun terlihat bergembira bersamanya.
“Ican
sedang patah hati.” Begitu ucapan Romo Thomas tadi, ketika
sekilas bercerita tentang ‘kembali’-nya Kencana setelah sekitar setahun
menghilang dari berbagai kegiatan di paroki.
Alvin mendegut ludah. Ingat akan kebersamaannya
dengan Kencana bertahun-tahun lalu. Cinta monyet yang hanya berlangsung dua
tahun sebelum ia memutuskan untuk masuk SMA seminari dan menutup diri.
Di antara semua murid baru di SMP tempatnya
menuntut ilmu, Kencana adalah gadis paling menarik yang pernah dilihatnya.
Bukan masuk dalam barisan cewek-cewek cantik, tapi gadis itu menyimpan kharisma
manis tersendiri. Dan ia, yang baru saja masuk ke masa puber dan mulai memiliki
ketertarikan pada lawan jenis, mulai jeli mengamati gadis-gadis yang baru saja
melepas seragam putih-merah dan masuk ke SMP sebagai adik kelasnya. Apalagi ia
anggota pengurus OSIS yang memiliki akses lebih ke para siswi baru.
Arah bidikannya kemudian jatuh pada Kencana.
Gadis manis berambut sebahu yang tampak imut dengan kacamata berbingkai serasi
menghiasi wajahnya. Dan, ia lebih bergembira lagi karena Kencana ternyata satu
paroki dengannya.
Kok,
aku baru lihat dia sekarang?
Ternyata, gadis itu baru saja pindah bersama
keluarganya dari Bogor awal bulan Juli. Lalu, semuanya berjalan dengan mulus.
Begitu ia tahu Kencana memiliki kebiasaan mengikuti misa pagi harian, ia pun mengekor
di belakang. Berusaha ‘tak sengaja’ ia memiliki ‘kebiasaan yang sama’ dengan
gadis itu. Membuatnya bertemu tiap pagi dengan Kencana, kemudian bersama-sama
berjalan ke sekolah yang tak jauh dari gereja mereka seusai misa.
Lalu, ia mulai berani menjemput Kencana pada
hari Sabtu atau Minggu untuk pergi ke gereja bersama mengikuti misa mingguan. Dan,
ketika ia menemukan bahwa Kencana pun berminat melanjutkan kegiatan masuk ke
barisan misdinar[1] sama sepertinya, ia
juga berusaha melakukan negosiasi dengan ketua pembina PAPSi[2] agar ia punya
jadwal tugas yang sama dengan Kencana.
Dan, masih banyak lagi kenangan indahnya
bersama Kencana. Termasuk acara ke warung bakso langganan sesuai misa Sabtu
sore, atau berbagai acara PAPSi yang mereka ikuti. Sayangnya, mendadak
keinginan itu muncul begitu saja. Menguat sekitar enam bulan sebelum ia
meninggalkan SMP, saat ikut dalam misa tahbisan pastor adik bungsu ibunya.
Ia ingin masuk seminari. Ia ingin menjadi
seorang pastor seperti pamannya. Berhari-hari ia resah. Masuk seminari berarti
harus meninggalkan Kencana. Sementara keinginan itu makin kuat dari hari ke
hari. Maka dengan persetujuan seluruh keluarga, ia memulai proses untuk masuk
ke seminari, tanpa sepengetahuan Kencana. Ditunggunya hingga selesai ujian
kenaikan kelas, barulah ia menyampaikan hal itu pada Kencana.
Ada kesedihan dalam mata berkaca-kaca gadis
itu. Tapi Kencana seutuhnya bisa memahami. Lebih mudah karena abangnya sendiri
sudah setahun lebih dulu berada di seminari.
Lalu, hubungan mereka berakhir begitu saja.
Saling melupakan. Menempuh jalan mereka sendiri-sendiri. Hingga kini mereka
bertemu lagi. Dengan kabut masih tersisa menyelimuti tatapan Kencana. Tapi
karena orang lain. Orang yang juga pada akhirnya terpanggil masuk ke seminari.
Alvin menggeleng pelan. Sekali lagi
ditatapnya sekilas gadis itu.
Hanya
berharap yang terbaik untukmu, Can. Yang terbaik...
* * *
Terguncang?
Kencana menggeleng samar. Ia memang
benar-benar tak menyangka akan bertemu lagi dengan Alvin siang tadi. Tapi
terguncang? Sama sekali tidak. Ia hanya kaget. Tapi di balik itu, ia justru
senang ketika menemukan bahwa Alvin masih teguh dan setia memenuhi
panggilannya.
Bertahan hingga berada di Tahun Orientasi
Pastoral bukanlah hal yang mudah bagi seorang seminaris[3]. Berapa pun
yang masuk di awal pada satu angkatan, hanya sekian persen yang bertahan hingga
TOP dan pada akhirnya lolos menjadi
seorang pastor. Bahkan hanya bisa dihitung dengan jemari sebelah tangan. Harus
benar-benar merupakan panggilan hati dan jiwa.
Ia melihat sendiri hal itu dalam kehidupan
Nanan, abangnya. Di luar sana banyak sekali gadis yang mengatasnamakan cinta,
kemudian ngeyel mengejar seminaris
yang dijatuhinya cinta. Tidak semua seminaris mengalaminya. Rata-rata yang jadi
incaran adalah para frater ramah dan simpatik berparas tampan. Dan Nanan pun
sempat mengalaminya.
Abangnya itu sempat kalang kabut. Menghindar
dengan segala cara. Tapi pada akhirnya, panggilan hati dan jiwa itu juga yang
menang. Hingga Nanan jadi kebal dan bertahan, hingga masa TOP-nya akan habis
beberapa minggu lagi.
Semoga
Alvin pun demikian. Tetap teguh dalam panggilannya.
Kencana tersenyum tipis. Kata orang, first love never dies. Tapi ia mendapati
bahwa bara cintanya pada Alvin sudah benar-benar padam. Jujur, ia senang
bertemu kembali dengan Alvin. Kalau ia tadi lebih banyak ‘tidak nyambung’ itu
karena kaget saja. Tidak lebih.
Kencana menghela napas panjang. Berusaha melepaskan
sedikit rasa sesak yang masih bermukim di dada. Perjalanannya untuk ‘kembali’ memang
tak semudah kelihatannya. Ya, ia tadi memang bergembira bersama anak-anak BIA.
Tapi bersit-bersit rasa rindunya pada kebersamaan dengan Denta dalam situasi
yang sama masih juga membelit sesekali. Sekali lagi, tujuh tahun bukanlah waktu
yang singkat untuk semudah itu dilupakan.
Tapi
paling tidak, aku sudah selangkah memulai.
Kencana menguap. Malam sudah makin menggulir
ke arah larut. Matanya mulai terasa berat. Besok, awal minggu, masih banyak
yang harus ia kerjakan di kantor. Maka, ia pun membaringkan diri di ranjang.
Tak butuh waktu lama sebelum alam mimpi membuainya dalam lelap.
* * *
Catatan
:
[1] Misdinar
=
‘pembantu’ pastor saat misa / perayaan Ekaristi. Rentang usianya minimal sudah
menerima komuni pertama (kelas 4 SD), maksimal 21 tahun.
[2] PAPSi
=
Putra Altar dan Putri Sakristi. Putra Altar = misdinar putra; Putri Sakristi =
misdinar putri.
[3] Seminaris
=
orang yang masih belajar dan tinggal di seminari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar