Senin, 22 Januari 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #3-2








Sebelumnya



* * *



Ican...

Alvin mengerjapkan mata. Dari kejauhan, sesekali diarahkannya tatapan pada gadis itu. Sekilas-sekilas. Di tengah acaranya kumpul-kumpul bareng OMK di selasar aula. Pintu aula yang terbuka lebar memberinya akses untuk itu.

Kencana tengah sibuk menyanyi bersama anak-anak usia 4-6 tahun. Sesekali gadis itu bertepuk tangan dan bergoyang jenaka. Anak-anak pun terlihat bergembira bersamanya.

“Ican sedang patah hati.” Begitu ucapan Romo Thomas tadi, ketika sekilas bercerita tentang ‘kembali’-nya Kencana setelah sekitar setahun menghilang dari berbagai kegiatan di paroki.

Alvin mendegut ludah. Ingat akan kebersamaannya dengan Kencana bertahun-tahun lalu. Cinta monyet yang hanya berlangsung dua tahun sebelum ia memutuskan untuk masuk SMA seminari dan menutup diri.

Di antara semua murid baru di SMP tempatnya menuntut ilmu, Kencana adalah gadis paling menarik yang pernah dilihatnya. Bukan masuk dalam barisan cewek-cewek cantik, tapi gadis itu menyimpan kharisma manis tersendiri. Dan ia, yang baru saja masuk ke masa puber dan mulai memiliki ketertarikan pada lawan jenis, mulai jeli mengamati gadis-gadis yang baru saja melepas seragam putih-merah dan masuk ke SMP sebagai adik kelasnya. Apalagi ia anggota pengurus OSIS yang memiliki akses lebih ke para siswi baru.

Arah bidikannya kemudian jatuh pada Kencana. Gadis manis berambut sebahu yang tampak imut dengan kacamata berbingkai serasi menghiasi wajahnya. Dan, ia lebih bergembira lagi karena Kencana ternyata satu paroki dengannya.

Kok, aku baru lihat dia sekarang?

Ternyata, gadis itu baru saja pindah bersama keluarganya dari Bogor awal bulan Juli. Lalu, semuanya berjalan dengan mulus. Begitu ia tahu Kencana memiliki kebiasaan mengikuti misa pagi harian, ia pun mengekor di belakang. Berusaha ‘tak sengaja’ ia memiliki ‘kebiasaan yang sama’ dengan gadis itu. Membuatnya bertemu tiap pagi dengan Kencana, kemudian bersama-sama berjalan ke sekolah yang tak jauh dari gereja mereka seusai misa.

Lalu, ia mulai berani menjemput Kencana pada hari Sabtu atau Minggu untuk pergi ke gereja bersama mengikuti misa mingguan. Dan, ketika ia menemukan bahwa Kencana pun berminat melanjutkan kegiatan masuk ke barisan misdinar[1] sama sepertinya, ia juga berusaha melakukan negosiasi dengan ketua pembina PAPSi[2] agar ia punya jadwal tugas yang sama dengan Kencana.

Dan, masih banyak lagi kenangan indahnya bersama Kencana. Termasuk acara ke warung bakso langganan sesuai misa Sabtu sore, atau berbagai acara PAPSi yang mereka ikuti. Sayangnya, mendadak keinginan itu muncul begitu saja. Menguat sekitar enam bulan sebelum ia meninggalkan SMP, saat ikut dalam misa tahbisan pastor adik bungsu ibunya.

Ia ingin masuk seminari. Ia ingin menjadi seorang pastor seperti pamannya. Berhari-hari ia resah. Masuk seminari berarti harus meninggalkan Kencana. Sementara keinginan itu makin kuat dari hari ke hari. Maka dengan persetujuan seluruh keluarga, ia memulai proses untuk masuk ke seminari, tanpa sepengetahuan Kencana. Ditunggunya hingga selesai ujian kenaikan kelas, barulah ia menyampaikan hal itu pada Kencana.

Ada kesedihan dalam mata berkaca-kaca gadis itu. Tapi Kencana seutuhnya bisa memahami. Lebih mudah karena abangnya sendiri sudah setahun lebih dulu berada di seminari.

Lalu, hubungan mereka berakhir begitu saja. Saling melupakan. Menempuh jalan mereka sendiri-sendiri. Hingga kini mereka bertemu lagi. Dengan kabut masih tersisa menyelimuti tatapan Kencana. Tapi karena orang lain. Orang yang juga pada akhirnya terpanggil masuk ke seminari.

Alvin menggeleng pelan. Sekali lagi ditatapnya sekilas gadis itu.

Hanya berharap yang terbaik untukmu, Can. Yang terbaik...

* * *

Terguncang?

Kencana menggeleng samar. Ia memang benar-benar tak menyangka akan bertemu lagi dengan Alvin siang tadi. Tapi terguncang? Sama sekali tidak. Ia hanya kaget. Tapi di balik itu, ia justru senang ketika menemukan bahwa Alvin masih teguh dan setia memenuhi panggilannya.

Bertahan hingga berada di Tahun Orientasi Pastoral bukanlah hal yang mudah bagi seorang seminaris[3]. Berapa pun yang masuk di awal pada satu angkatan, hanya sekian persen yang bertahan hingga TOP dan pada akhirnya lolos menjadi seorang pastor. Bahkan hanya bisa dihitung dengan jemari sebelah tangan. Harus benar-benar merupakan panggilan hati dan jiwa.

Ia melihat sendiri hal itu dalam kehidupan Nanan, abangnya. Di luar sana banyak sekali gadis yang mengatasnamakan cinta, kemudian ngeyel mengejar seminaris yang dijatuhinya cinta. Tidak semua seminaris mengalaminya. Rata-rata yang jadi incaran adalah para frater ramah dan simpatik berparas tampan. Dan Nanan pun sempat mengalaminya.

Abangnya itu sempat kalang kabut. Menghindar dengan segala cara. Tapi pada akhirnya, panggilan hati dan jiwa itu juga yang menang. Hingga Nanan jadi kebal dan bertahan, hingga masa TOP-nya akan habis beberapa minggu lagi.

Semoga Alvin pun demikian. Tetap teguh dalam panggilannya.

Kencana tersenyum tipis. Kata orang, first love never dies. Tapi ia mendapati bahwa bara cintanya pada Alvin sudah benar-benar padam. Jujur, ia senang bertemu kembali dengan Alvin. Kalau ia tadi lebih banyak ‘tidak nyambung’ itu karena kaget saja. Tidak lebih.

Kencana menghela napas panjang. Berusaha melepaskan sedikit rasa sesak yang masih bermukim di dada. Perjalanannya untuk ‘kembali’ memang tak semudah kelihatannya. Ya, ia tadi memang bergembira bersama anak-anak BIA. Tapi bersit-bersit rasa rindunya pada kebersamaan dengan Denta dalam situasi yang sama masih juga membelit sesekali. Sekali lagi, tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk semudah itu dilupakan.

Tapi paling tidak, aku sudah selangkah memulai.

Kencana menguap. Malam sudah makin menggulir ke arah larut. Matanya mulai terasa berat. Besok, awal minggu, masih banyak yang harus ia kerjakan di kantor. Maka, ia pun membaringkan diri di ranjang. Tak butuh waktu lama sebelum alam mimpi membuainya dalam lelap.

* * *


                
Catatan :

[1] Misdinar = ‘pembantu’ pastor saat misa / perayaan Ekaristi. Rentang usianya minimal sudah menerima komuni pertama (kelas 4 SD), maksimal 21 tahun.

[2] PAPSi = Putra Altar dan Putri Sakristi. Putra Altar = misdinar putra; Putri Sakristi = misdinar putri.

[3] Seminaris = orang yang masih belajar dan tinggal di seminari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar