Tiga
Apakah
‘kembali’ adalah perbuatan yang tepat?
Kencana menggeleng samar. Mau tak mau,
percakapannya dengan Nina sore tadi melekat betul di kepalanya.
“Anak-anak
makin sering nanyain lo.”
Sebelum
gaung ucapan Nina hilang dari telinganya, Kencana mengangkat wajah. Sejenak meninggalkan keasyikannya menikmati
semangkuk mi ayam pangsit. Nina menatapnya. Menuntut tanggapan. Tapi Kencana
tak bersuara. Malahan kembali pada kesibukannya semula.
“Romo[1] Thomas juga beberapa kali urun tanya,”
sambung Nina. “Mau tanya sama ortu lo beliaunya sungkan.”
Kencana
mengedikkan bahu. Acuh tak acuh. Nina menghela napas panjang. Matanya
menyorotkan keprihatinan.
Sejak
hubungannya dengan Denta berantakan, sedikit demi sedikit Kencana memang
menarik diri dari semua kegiatan gereja. Mulai dari OMK[2], sebagai pembina BIA[3], paduan suara, maupun aktivitas lain.
Terlalu banyak kenangannya bersama Denta di sana. Ia memang masih ke gereja
tiap hari Minggu untuk mengikuti misa, tapi ia memilih untuk datang ke gereja paroki[4] lain.
“Sampai
kapan, Can?” lirih suara Nina.
Kencana
kembali mengangkat bahu.
“Tempo
hari Om Paul juga tanya kabar lo,” gumam Nina. “Katanya lama banget nggak lihat
lo.”
Kali
ini Kencana benar-benar menghentikan kesibukannya. Diletakkannya sumpit dengan
wajah menyiratkan kejengkelan. Diangkatnya wajah. Ditatapnya Nina dengan sorot
mata sedikit membara.
“Tahu
lo ngajakin gue keluar cuma buat bahas hal-hal nggak penting gini, males gue!”
ketusnya. “Lo belum tahu, kan, rasanya cuma dijadiin pelarian? Tujuh tahun,
Nin. Tujuh tahun! Berapa banyak tahap kehidupan yang seharusnya bisa gue alami
tanpa terpaku pada Mas Denta? Tujuh tahun gue jalan di tempat. Tujuh tahun,
Nin! Tujuh tahun yang sia-sia. Gue bukan benci sama Tuhan. Bukan salah-Nya.
Bagi gue, Tuhan nggak pernah salah. Gue tetap ke gereja. Gue tetap berusaha
dekat sama Tuhan. Tapi gue juga butuh ruang buat pulih. Dan ruang itu bukan di
tempat biasanya gue menjalankan kegiatan bareng Mas Denta. Jelas?”
Nina
mendegut ludah. Sesungguhnya, ia paham sepenuhnya perasaan Kencana. Tapi
posisinya adalah terjepit di tengah. Sebagai sahabat Kencana, juga sebagai
aktivis seperti Kencana. Ia yang pertama ‘kena’ ketika ada apa-apa dengan
Kencana.
“Sorry, Can,” ucap Nina, penuh penyesalan. “Sorry banget. Gue paham kondisi lo. Gue cuma
perlu menyampaikan apa yang selama ini mampir ke gue. Pertanyaan dan kerinduan
anak-anak, pertanyaan Romo,
pertanyaan orang-orang lain.”
Kencana
mengangguk sedikit. Bara sudah menyurut dari mata dan wajahnya. Dihelanya napas
panjang.
“Ruang
dan waktu, Nin,” gumamnya kemudian. “Gue masih butuh itu.”
Nina
mengangguk, walaupun dengan berat hati.
Kencana menghela napas panjang. Kebimbangan
memenuhi hatinya. Sesungguhnya, ia merindukan kehidupannya yang dulu. Aktif,
dekat dengan anak-anak, berkegiatan dengan hati gembira.
Sudah
setahun...
Kencana mengerjapkan mata. Antara cukup dan
tidak cukup. Tapi makin ke sini, ia merasa bahwa ia masih baik-baik saja. Dan,
ia tahu bahwa ia akan makin baik-baik saja kalau bersedia kembali.
Ditatapnya pantulan wajahnya di cermin.
Can,
hidupmu belum sepenuhnya hancur, ucapnya dalam hati. Sudah cukup!
Ia kembali mengerjapkan mata.
Ya,
sudah cukup!
* * *
Minggu pagi keesokan harinya, Kencana
menunggu hingga beberapa belas menit setelah ayah-ibunya berangkat sebelum
menghubungi ojek online. Ia sengaja
berangkat ke gereja tidak bersama ayah-ibunya. Sejujurnya, ia belum siap
menerima tatapan kedua orang tuanya bila diketahui ia ikut ke gereja yang sama.
Ia tahu, pasti ayah-ibunya akan senang sekali. Tapi sekali lagi, ia belum siap
jadi ‘pusat perhatian’.
Sengaja ia datang pada waktu yang sudah mepet
dengan dimulainya misa. Dalam hening ia menyelipkan diri pada sebuah tempat
kosong agak di belakang. Tak urung, kenangan itu menghampirinya juga. Tentang
ia dan Denta.
Ia sedikit tersentak ketika ada gerakan
serentak di sekitarnya. Ia buru-buru mengikuti gerakan itu. Berdiri, dan
bersiap mengikuti misa. Sempat dihelanya napas panjang sebelum menegakkan
kepala, dan mengisi jiwa dengan hubungan vertikalnya bersama Tuhan. Bukan
dengan hal-hal lain.
Sulit. Sulit sekali mengikuti seluruh
rangkaian misa dengan ‘baik dan benar’. Tanpa sadar, ia menarik napas lega
ketika misa berakhir. Biasanya ia memanjatkan doa pribadi lebih dulu sebelum
pulang. Tapi tidak kali ini. Begitu pastor menghilang dari depan altar, ia
segera beranjak. Hanya saja sebelum ia sempat melangkah, sebuah cengkeraman
sudah melingkar di lengan kanannya. Ia menoleh cepat. Terperangah.
“Can, Ayah perlu bicara denganmu. Bisakah?”
Hingga beberapa saat lamanya, tatapan Kencana
bulat terpaku pada Paul.
* * *
Keheningan itu pada akhirnya pecah. Di sebuah
kafe kecil yang terletak di sebelah gereja. Paul dan Kencana duduk berhadapan.
Dipisahkan sebidang meja kecil. Ditemani dua cangkir cokelat hangat dan dua porsi
pie apel.
“Atas nama Denta dan seluruh keluarga, Ayah
minta maaf padamu, Can,” gumaman Paul nyaris tak terdengar.
Kencana menengadah sejenak, kemudian
menggeleng samar.
“Bukan salah Ayah,” bisiknya. Mencoba untuk
tersenyum. “Ya, saya butuh ruang dan waktu untuk berteman dengan kegagalan itu.
Tapi pada akhirnya saya terima semuanya sebagai bagian dari hidup saya. Saya
tidak apa-apa, Yah.”
Ada kelegaan dalam raut wajah sepuh Paul. Disambutnya senyum Kencana.
“Ayah sendiri, apa kabar?” tanya Kencana
dengan lembutnya.
“Baik, Can,” Paul mengangguk. “Sehat.”
“Puji Tuhan...,” suara Kencana terdengar penuh
rasa syukur.
“Ican mau kembali aktif lagi?” ada harapan
dalam lirih suara Paul.
Kencana terdiam sejenak sebelum menjawab,
“Saya belum tahu, Yah. Saya sedang menimbang-nimbang untuk ambil magister,
program ekstensi.”
“Oh...,” Paul terlihat termangu sejenak, tapi
ia secepatnya bisa menguasai diri. “Yang terbaik untukmu, lakukan saja, Can.”
Kencana mengangguk.
Gadis itu berusaha keras untuk menyimpan
keinginan menanyakan kabar Denta pada ayah laki-laki itu. Tapi sepertinya,
kabar Denta baik-baik saja. Maka keinginan itu tetap disimpannya dalam hati.
Paul sendiri juga tampaknya menahan lidah untuk mengulum nama Denta saja, tanpa
menggulirkannya keluar.
“Om Paul... Ican...”
Keduanya menoleh. Nina tampak berdiri
ragu-ragu di ambang pintu kafe, dekat tempat keduanya duduk. Gadis itu
meringis.
“Maaf, mengganggu...”
Paul melebarkan senyumnya. “Ya, Nin? Ayo,
sini! Om sudah tangkap, nih, si Ican.”
Nina tergelak ringan sambil melangkah
mendekat. Kemudian ditatapnya Kencana.
“Anak-anak ada yang lihat lo,” ucap Nina.
“Pada ribut cari lo. Ayolah, Can, temui anak-anak.”
Perlu beberapa menit sebelum Kencana
mengangguk. Membuat Nina hampir saja tak dapat menahan diri untuk bersorak
gembira.
* * *
Semua sambutan, kerubungan, dan pelukan
anak-anak itu pelan-pelan menghangatkan hati Kencana. Dengan sabar dilayaninya
keriuhan anak-anak menanyakan kabarnya. Setelah selesai, giliran para pembina
yang menyambutnya dengan meriah. Pun Romo
Thomas yang rupanya masih ada di sekitar aula gereja, tempat kegiatan BIA
diadakan. Laki-laki berusia lima puluhan itu menghampiri Kencana, menyalaminya
hangat dengan wajah berseri-seri.
“Come
on, Can, jangan minggat lagi.”
Kencana tertawa lepas mendengar ucapan
blak-blakan Romo Thomas.
“Ya, saya akan tetap di sini,” gadis itu
mengangguk.
“Belum kenal Frater[5] Amadeus, ya?”
tatapan Romo Thomas tampak mencari
seseorang. Ketika yang dicarinya ketemu, ia melambaikan tangan. “Dia Frater yang lagi pastoral[6]. Baru tiga minggu
ini di sini. Anak-anak BIA sangat menyukainya. Tapi tetap saja, nggak ada yang
bisa menggantikanmu.”
Sosok tinggi tegap yang menanggapi lambaian
tangan Romo Thomas itu sudah sampai
di dekat mereka.
“Ya, Romo?”
Suara itu seketika membuat Kencana
tersentak dan menengok. Seluruh perbendaharaan yang
memenuhi pikirannya seolah menguap begitu saja. Hilang tak berbekas. Kosong.
“Kenalkan, ini Ican, aktivis OMK yang paling
sabar menghadapi anak-anak,” ucap Romo Thomas.
Lalu, tatapan mereka bertemu. Kencana hampir
lupa bernapas. Matanya bulat terpaku pada laki-laki itu.
“Ican? Hai! Apa kabar? Lama banget kita nggak
bertemu,” laki-laki tampan itu mengulurkan tangannya.
Kencana tergeragap sejenak.
“Lho, sudah kenal, ya?” usik Romo Thomas.
Laki-laki itu menatap Romo Thomas. Senyumnya
melebar.
“Ican cinta monyet saya, Romo,” senyum itu
berubah jadi gelak ringan. “Dulu, jaman SMP, sebelum saya masuk seminari.”
“Oh?” Romo Thomas melongo sejenak. “Wah,
silakan bernostalgia kalau begitu,” senyumnya kemudian. “Asal jangan
kebablasan. Bisa gawat.”
Sebelum gaung suaranya lenyap dari telinga
Kencana, Romo Thomas sudah melangkah pergi. Laki-laki itu, Amadeus Alvin Samudro,
mengembalikan arah tatapannya pada Kencana.
“Ican, apa kabar?” ulangnya dengan nada sabar
dan bersahabat.
Kencana hanya mampu terdiam sambil
mengerjapkan mata.
* * *
Catatan :
[1] Romo = pastor.
[2] OMK = Orang Muda Katolik, komunitas generasi muda dalam lingkup Gereja Katolik.
[3] BIA = Bina Iman Anak, sekolah Minggu bagi anak-anak.
[4] Paroki = satuan wilayah administrasi gereja Katolik yang dikepalai oleh seorang pastor (disebut pastor paroki), didampingi minimal seorang pastor lain. Biasanya memiliki satu (bangunan) gereja sendiri.
[5] Frater = sebutan untuk calon pastor (belum ditahbiskan jadi pastor).
[6] (Tahun Orientasi) Pastoral = masa bagi seorang frater untuk ditugaskan berkarya di paroki-paroki. Lamanya 1-2 tahun, dijalani setelah tamat seminari tinggi, sebelum ditahbiskan sebagai seorang pastor.
Catatan tambahan :
Berhubung ada jeda penayangan yang cukup lama, maka untuk sementara waktu cerbung "Jarik Truntum Garuda" akan tayang tiga kali seminggu, pada hari Senin-Rabu-Jumat. Setelah target 'pembayaran utang' terpenuhi, maka jadwal penayangan cerbung akan kembali seperti biasa, yaitu Senin dan Kamis.
Terima kasih...
lha frater amadeus kok muncul, jarene arep tugas ndik greja kayutangan mbak?
BalasHapusFr Amadeus ini mencurigakan :)
BalasHapus