Selasa, 02 Januari 2018

[Cerpen] Semangkuk Bubur Mutiara










Aku mendesah ketika bel pintu berbunyi nyaring. Baru saja aku duduk di depan laptop untuk memulai pekerjaanku berikutnya setelah urusan rumah selesai. Tapi aku harus tetap membuka pintu, apalagi setelah bel berbunyi untuk kedua kalinya. Maka, kuseret langkahku ke ruang depan. Seketika aku ternganga ketika melihat siapa yang datang bertamu.

“Mama?” gumamku.

Perempuan berusia tujuh puluh dua tahun itu berdiri tegak di depan pintu. Menatapku dengan mata penuh binar. Ia merengkuhku, dan aku membalasnya dengan sebuah pelukan hangat.

“Mama kangen bubur mutiara buatanmu, De,” bisiknya.

Aku segera menggandengnya masuk. Untuk ibu mertua sebaik Mama, apa, sih, yang tidak akan kulakukan? Apalagi cuma membuat bubur mutiara.

“Mama kenapa tidak meneleponku?” protesku halus. “Kan, bisa kujemput. Atau sekalian saja kubawakan bubur mutiara kalau memang ingin.”

“Mama tak mau merepotkanmu,” senyum Mama sambil menggeleng.

Aku menyerah.

Mama memang hanya tinggal di kota sebelah. Jaraknya hanya sekira empat puluh kilometer, tapi untuk perempuan se-sepuh Mama, cukup riskan sebenarnya melakukan perjalanan sendirian tanpa pendamping. Papa sendiri sudah meninggal sekitar lima tahun yang lalu, meninggalkan Mama hanya berdua dengan Yu Kus, ART yang sangat setia. Mama selalu menolak ketika kami ajak tinggal bersama di sini. Alasannya, supaya kami masih punya rumah lain untuk berlibur.

Tak butuh waktu lama hingga semangkuk bubur mutiara terhidang di depan Mama. Hatiku serasa meleleh melihat binar di mata Mama.

Mama memang cuma ibu mertuaku. Ibu Dennis, suamiku. Alih-alih jadi ibu mertua yang menyebalkan, Mama justru lebih menyayangiku daripada menyayangi putra tunggalnya sendiri. Sikap yang terkadang membuat Dennis merasa tersisih dan cemburu. Aku sendiri memang sangat menyayangi Mama. Terlebih aku sudah tidak lagi memiliki ibu sejak berusia belasan tahun.

Mama pernah bilang, bahwa bubur mutiara buatanku adalah bubur mutiara terenak di dunia. Padahal itu cuma bubur mutiara biasa. Sagu mutiara yang direbus dengan daun pandan, vanili, dan sedikit garam, kemudian disaring dan direbus lagi dengan santan dan gula pasir, dengan tetap menambahkan helaian daun pandan, sejumput bubuk vanili, dan sedikit garam. Setiap kali aku berkunjung ke rumah Mama atau Mama ke sini, beliau selalu memintaku untuk membuatkan bubur mutiara. Untuk beliau, Dennis, dan anak-anak, memang selalu kutambahkan berpanci-panci cinta dalam bubur mutiara yang kubuat.

“Mama berterima kasih karena kamu selama ini sudah mengurus Dennis dan anak-anak dengan baik,” ucap Mama tiba-tiba, di sela-sela kesibukannya menyuapkan sesendok demi sesendok bubur mutiara ke dalam mulut.

Aku hendak buka suara, tapi Mama seolah tak ingin ucapannya terjeda.

“Kamu bukan cuma menantu kesayangan Mama, tapi putri kesayangan Mama,” senyumnya. “Tetaplah menjadi seperti itu.”

Mama bukan hanya sekali ini saja mengungkapkan hal itu. Tapi entah kenapa, kali ini keharuan terasa menyekat tenggorokanku. Aku hanya bisa terdiam, hingga mangkuk bubur itu kosong.

“Kamu banyak pekerjaan?” Mama menatapku.

“Mm... Enggak, sih,” gelengku. “Cuma ada naskah novel yang harus kuedit.”

“Kalau begitu, Mama ke kamar saja, ya?” Mama berdiri dari duduknya. “Kamu bekerjalah lagi.”

Aku mengangguk. Kuantar Mama yang terlihat sedikit letih ke kamar kosong yang biasa dipakai Mama kalau menginap di sini. Setelah menutup pintu dari luar, aku melanjutkan pekerjaanku.

* * *

Aku kembali mendesah ketika ada bunyi lain yang mengganggu. Kali ini bunyi ponselku. Belum ada lima menit aku duduk kembali untuk memulai pekerjaan. Dengan enggan, kuraih benda itu. Ternyata dari Dennis.

“Ya, Yah?” ucapku langsung.

“Bun, Mama...”

“Ha!” aku tersenyum. “Nih, Mama di sini.”

Seketika keheningan terasa menyergap. Aku mengerutkan kening.

“Yah...?” gumamku.

“Apa maksudmu Mama di sini?”

“Iya, Mama datang. Katanya kangen bubur mutiaraku.”

“Bun...” Aku mengerutkan kening ketika mendengar suara Dennis di seberang sana terdengar makin bergetar. “ ... tapi Mama...”

Entah kenapa, perasaan tak enak merayapi hatiku. Dennis tak meneruskan ucapannya. Tapi meloncat ke topik lainnya.

“Aku pulang sekarang.”

Sambungan telepon pun terputus. Pembicaraan yang aneh. Aku kemudian beranjak untuk memeriksa keadaan Mama. Tapi pintu kamar terkunci ketika aku berusaha membukanya.

“Ma...,” dengan halus kuketuk pintu itu.

“Ya?”

Aku lega ketika mendengar sahutan dari dalam sana.

“Mama mau tidur sebentar, ya, De...”

“Oke, Ma,” senyumku, walaupun masih merasa heran dengan telepon dari Dennis.

* * *

Hampir sejam kemudian terdengar derum mobil Dennis masuk ke carport. Aku bergegas untuk menyambutnya. Aku membuka pintu tepat ketika Dennis keluar dari mobil. Tapi ia tidak sendirian. Ada anak-anak yang keluar dari pintu belakang. Si kembar menubrukku sambil menangis. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Dennis menjemput si kembar dari sekolah?

“Oma... Oma...,” ucap mereka di tengah isakan yang sambung-menyambung.

Kutatap Dennis dengan heran. Wajah Dennis tampak gelap. Matanya mengaca. Ada sisa-sisa air mata menggantung di deretan bulu mata lentiknya yang selalu membuatku jatuh cinta.

“Yah, ada apa ini?”

Dennis meraihku dan anak-anak. Kami berpelukan berempat.

“Mama...,” bisik Dennis tersendat-sendat. “Mama... berpulang, Bun. Yu Kus yang mengabariku.”

“Jangan bercanda!” sentakku sambil menarik diri dari pelukan Dennis dan anak-anak. “Sudah kubilang, Mama ada di sini! Tadi datang karena ingin kubuatkan bubur mutiara! Sekarang lagi istirahat di kamar!”

Dennis bergegas meninggalkanku, masuk ke rumah. Aku dan anak-anak mengikutinya.

“Pintunya dikunci dari dalam,” ujarku ketika tangan Dennis menjangkau handel pintu.

Tapi Dennis tak mendengarkan ucapanku. Ia tetap membuka pintu kamar Mama, dengan sangat mudah. Dan aku seolah membeku setelah melongok ke dalam.

Kosong. Tapi hidungku membaui ada samar-samar aroma parfum yang biasa dipakai Mama. Aku sungguh-sungguh terguncang.

Dengan sedikit terseok, aku kemudian melangkah ke dapur. Mangkuk bubur mutiara yang tadi dinikmati Mama masih tergeletak di tempat cuci piring. Tetap dalam kondisi bekas pakai.

“Mama... Mama...,” bisikku dengan hati makin hebat terguncang.

Aku masih sempat merasa lengan kukuh Dennis meraih dan menopangku sebelum sekelilingku terasa gelap total. Tapi suara Mama seolah masih menggema di telingaku.

“Mama menyayangimu, Ilde. Terima kasih karena kamu sudah membahagiakan Dennis dan anak-anak, dan menyemarakkan hidup Mama...”

* * * * *


Sumber ilustrasi : www.cookandfoods.blogspot.co.id

9 komentar: