Kamis, 26 Oktober 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #16










* * *


Enam Belas


Seandainya memiliki Ajian Bayangan Ganda, ingin rasanya Sander menggunakannya saat ini juga. Agar ia bisa meninggalkan bayangannya saja di ruangan ini, sementara raganya bebas mengembara ke setiap tempat yang diinginkan.

Biasanya ia tak bermasalah dengan meeting yang berkepanjangan. Tidak ada hal terlalu penting yang dilakukannya di apartemen sepulang kerja. Tapi tidak sore ini. Saat ini. Detik ini. Ketika jam sudah lewat sekian menit dari pukul empat, tapi belum juga ada tanda-tanda meeting akan berakhir segera. Ketika ia ada janji untuk bertemu dengan gadis boneka porselen-nya.

Tanpa bisa dicegah, kegelisahan mulai merayapi hatinya. Letak kantornya cukup jauh dari rumah Sisi. Dan, semalam ia sudah menjanjikan untuk datang ke rumah Sisi sekitar pukul enam sore. Itu sudah memperhitungkan jebakan macetnya lalu lintas yang mungkin menghadang perjalanannya. Tanpa memperkirakan akan ada meeting yang berlarut-larut seperti ini.

Setiap detik yang merayap seolah waktu-waktu terpanjang yang pernah dilaluinya. Dan ketika waktu bertahun-tahun itu akhirnya terlampaui, Sander mengembuskan napas lega. Tapi tak lama. Ketika ia masuk ke dalam mobil, jam digital di dashboard sudah menunjukkan angka 05:38. Mengerahkan ajian apa pun, ia tahu tak akan bisa sampai ke rumah Sisi tepat waktu sesuai dengan yang dijanjikannya.

Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali mencoba menelepon Sisi. Tapi hingga percobaan ketiga, ia gagal. Panggilan teleponnya sama sekali tidak direspons gadis itu. Maka ia menempuh cara terakhir. Memberi kabar melalui pesan WhatsApp.

* * *

“Yah, bisa buruan dikit, nggak?” celetuk Sisi.

Himawan yang serius mengendalikan laju mobilnya menoleh sekilas. Mereka sedang melaju tersendat-sendat pulang ke rumah. Seusai jam kantor, Himawan menjemput Sisi yang berlatih menari di sanggar dan tadinya berangkat dengan menumpang ojek online. Jalur dari kantornya menuju ke rumah mereka melewati sanggar. Apalagi waktu berakhirnya nyaris bersamaan.

“Kenapa memangnya? Padat merayap begini, Si...”

“Euh...”

“Kebelet pipis? Tuh, ada pom bensin di depan.”

“Apaan, sih, Ayah...,” Sisi menanggapi dengan nada merajuk.

“Lho? Terus?”

“Euh...,” Sisi kembali ragu-ragu. “Masalahnya... itu... ng... anu... Mas Sander... mau ke rumah.”

“Oh?” Himawan kembali menoleh sekilas. “Jam berapa memangnya?”

“Jam enam. Ini sudah setengah enam lewat.”

“Ya, sudah, kamu kabarin dia dulu. Bilang kalau telat, kena macet. Suruh dia tunggu di rumah.”

“Masalahnya... ponselku ketinggalan di rumah,” Sisi meringis dengan wajah polos.

“Hadeh, kamu ini...,” Himawan menggeleng dengan wajah gemas.

Dengan tangan kiri, diambilnya ponsel dari saku kemeja. Disodorkannya ponsel itu pada Sisi.

“Nih, pakai saja ponsel Ayah,” ujar Himawan.

“Ini lagi...,” gumam Sisi sambil menerima ponsel itu. “Nomornya saja aku nggak ingat.”

“Astaga... Bener-bener anak ini...”

Sisi kembali meringis.

“Telepon Alfons, tanya sama dia.”

“Enggak, ah!” Sisi buru-buru menolak. “Apaan, pakai melibatkan Mas Alfons segala?”

“Ya, Ayah, kan, cuma coba membantu, Si...”

“Hehehe...,” Sisi terkekeh. “Iya, Yah... Makasih... Atau aku telepon Mbak Tun aja, ya?”

“Nah, begitu lebih baik,” senyum Himawan.

Dengan tangan kiri, Himawan menepuk lembut puncak kepala Sisi, yang segera sibuk menelepon Miatun di rumah. Tanpa kentara, laki-laki itu menghela napas panjang.

Agaknya, waktunya akan semakin dekat untuk kehilangan Sisi, bayi kecil kesayangannya. Bayi kecil yang secara normal telah tumbuh dewasa dan makin siap untuk mengepakkan sayap guna mencari sarang yang baru. Sesiap apa pun ia mencoba membangun hati, tak urung ada yang masih terasa menghentak dalam dada ketika dihadapkan pada kenyataan itu.

Tampaknya laki-laki bernama Sander itu serius ingin membina hubungan yang ‘lebih’ dengan putri tunggal kesayangannya. Ia sempat mendekati Alfons tadi, saat jam istirahat. Mengajak laki-laki muda itu menyingkir sejenak untuk menikmati makan siang di gedung sebelah kantor mereka.



“Kamu tahu apa yang aku mau bicarakan, Fons?” senyumnya saat duduk berhadapan, menunggu pesanan makanan dan minuman mereka diantarkan.

Alfons terlihat ragu sejenak, sebelum balik bertanya, “Soal Sisi-kah, Pak? Sisi dan Sander, maksud saya.”

“Ya,” angguk Himawan. “Sander itu, seperti apa orangnya? Kamu sudah lama mengenalnya?”

“Mm...,” Alfons berpikir sejenak. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan seorang Sander menurut pandangan matanya. “Kami sudah bersahabat sejak SMP, di Surabaya. Kami berlima. Setelah selesai kuliah, kebetulan kami semua sama-sama membangun karier di sini. Jadi persahabatan kami makin erat.

“Sander orangnya smart, pendiriannya kuat, cukup serius dalam berusaha menggapai sesuatu. Untuk urusan pendidikan dan pekerjaan, dia sangat fokus. Untuk urusan perempuan, dia nggak pernah main-main hanya untuk kesenangan. Memang selama ini belum ada yang berhasil mulus sesuai target. Tapi itu hanya masalah ketidakcocokan, bukan masalah ketidakseriusan. Yang saya tahu, soal Sisi, Sander serius. Setidaknya, saya sudah ingatkan agar dia serius.”

“Hm...,” Himawan manggut-manggut. “Keluarganya... seperti apa?”

“Sander anak tunggal, Pak,” Alfons menatap Himawan. “Keluarganya harmonis. Papa-mamanya baru beberapa bulan ini pindah ke sini dari Surabaya. Papanya sudah purna tugas. Sander punya apartemen sendiri. Jadi, nggak tinggal sama orang tuanya. Sander yang saya kenal, dia mandiri. Bukan anak mami.”

Himawan membalas senyum Alfons dengan senyuman pula.

“Hm... Boleh tahu nama ayah dan ibunya?” Himawan mengerjapkan mata.

“Om Erlanda dan Tante Prisca. Om Erlanda Prabandaru. Kalau Tante Prisca, maaf, saya kurang tahu nama gadisnya, Pak.”

Oh, kamu benar, Ren... Kamu benar! Dia anak Erlanda. Erlanda-mu.

“Ya, sudah, Fons,” Himawan mengangguk. “Terima kasih infonya. Ayo, sekarang kita makan dulu.”

Alfons mengangguk. Beberapa saat kemudian laki-laki muda itu kembali menatap Himawan.

“Rasa-rasanya, saya nanti akan bersikap sama seperti Bapak,” ucapnya. “Nanti, kalau Bunga sudah besar.”

Himawan tertawa.

“Bunga masih bayi, Fons,” ia menanggapi. “Baru berapa bulan?”

“Tujuh, Pak.”

“Nah,” angguk Himawan. “Tapi percaya sama aku, selamanya dia akan jadi bayi kecilmu. Nikmati saja waktumu bersama Bunga. Sekaligus siapkan diri mulai sekarang untuk suatu saat harus kehilangan dia ketika jodoh memeluknya. Waktu itu sangat cepat berlalu.”

Alfons manggut-manggut.



Ya, waktu cepat sekali berlalu...

Himawan mengerjapkan matanya yang menghangat tiba-tiba.

Terlalu cepat berlalu...

* * *

Sander diam-diam mengembuskan napas lega ketika perempuan yang kemarin membuka pintu untuknya mengatakan kalau Sisi belum pulang, dan ia disuruh menunggu. Padahal saat itu sudah lewat beberapa belas menit dari pukul tujuh petang.

“Latihan menari lagi, Mas,” ucap perempuan itu. “Kan, mau pentas.”

Maka ia memutuskan untuk menunggu karena perempuan itu menambahkan bahwa sepertinya Sisi juga tak akan lama lagi datang. Walaupun perempuan itu menyuruhnya menunggu di dalam, tapi ia memilih untuk menunggu saja di teras, ditemani secangkir teh hangat dan beberapa stoples kecil berisi aneka cemilan.

Baru sekitar lima menit ia duduk, sebuah city car berhenti di depan pagar. Sander melihat ada yang turun dari mobil itu.

Bukan Sisi...

Setelah perempuan itu turun, mobil itu kembali melaju. Rupanya taksi online. Dalam beberapa detik, perempuan itu sudah melangkah masuk ke halaman dengan bahu kiri menyandang sebuah hobo bag dan tangan kanan menenteng tas laptop. Seketika Sander tersadar. Perempuan berusia 50-an berambut pendek berpenampilan apik itu adalah Tia Adiatma, ibu Sisi. Buru-buru ia berdiri.

“Selamat sore, Tante,” sapanya sopan.

“Sore,” Lauren berhenti dan mengangguk sedikit.

Sander segera menyodorkan jabat tangannya. Lauren menyambut setelah memindahkan barang bawaannya ke tangan kiri.

“Saya Sander, Tante. Teman baru Sisi.”

Perempuan itu mengangguk lagi. Dengan wajah datar. Sama sekali tanpa senyum. Membuat hati Sander sedikit ciut. Setelah itu, Lauren berucap pendek.

“Saya masuk dulu.”

Setelah ibu Sisi tak kelihatan lagi sosoknya, diam-diam Sander menghela napas lega. Tapi ia berusaha maklum. Tentu bukan hal mudah seorang ibu menerima putri tunggalnya punya kenalan baru yang ‘anonim’. Seandainya ia perempuan, mungkin mamanya akan bersikap sama. Samar, ia tersenyum.

Untukmu, Si, akan kulakukan apa pun juga. Aku sudah yakin!

* * *

Begitu pintu di belakang punggungnya tertutup, Lauren mengembuskan napas keras-keras. Melepaskan rasa sesak yang tiba-tiba saja muncul ketika melihat secara langsung sosok pemuda itu. Sander. Michael Sander Prabandaru. Yang ia kini benar-benar yakin sejuta persen bahwa pemuda itu adalah anak Erlanda.

Bagaimana aku tidak yakin?

Lauren melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Memejamkan mata. Keletihannya setelah seharian tadi menjadi motor penggerak diskusi dan pelatihan ‘Perempuan di Balik Literasi’ mendadak saja terasa berlipat ganda.

Berhadapan sejenak dengan pemuda bernama Sander itu, waktu seolah membeku pada titik waktu saat ia terakhir kali bertemu dengan Erlanda. Tepat pada saat Erlanda ‘menendangnya’ dengan sangat telak dan menyakitkan.

Kedua laki-laki itu, Sander dan Erlanda, benar-benar bagaikan belahan pinang yang sama, serupa, dan sebangun. Kembar berbeda waktu. Identik pada titik usia yang sama. Baik perawakannya, wajahnya, suaranya, bahkan bahasa tubuhnya.

Dan bisa-bisa kampret itu yang nanti akan jadi besanku!

Lauren mendengus.

Huh! Benar-benar kampret! Nggak bapak, nggak anak, kampret semua! Bisanya cuma bikin kacau hidup orang lain saja!

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

4 komentar:

  1. Heluuuuk kampret rek wkkkkkk Keren crito iki!

    BalasHapus
  2. Good post mbak ,tambah menarik saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak atas singgahnya, Pak Subur... 🙏

      Hapus