Senin, 22 Mei 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #9

Sembilan


Untuk kedua kalinya Sasya menyambangi panti asuhan ini. Pertama kalinya adalah ketika ia menemani Yuliani untuk survey tiga minggu lalu. Dan berikutnya adalah sekarang, ramai-ramai bersama rombongan bakti sosial.

Panti asuhan multi religi bernama “Cinta Putih” itu cukup besar. Berdiri pada empat kavling tanah yang memanjang. Luasnya kurang lebih 1800 meter persegi. Ada lima bangunan dalam kompleks itu, yang masih menyisakan halaman cukup luas untuk dijadikan lahan berkebun dengan sistem hidroponik. Satu bangunan dijadikan kantor pengurus yang menyatu dengan aula, ruang belajar, ruang-ruang ibadah, ruang bermain, dan ruang perawatan isolasi bagi anak yang sedang menderita penyakit menular. Satu untuk gudang bahan makanan dan keperluan sehari-hari, dapur, dan ruang makan. Satu untuk tempat tinggal dan perawatan batita, menyatu dengan tempat tinggal para pengasuh. Satu untuk tempat tinggal dan perawatan anak-anak usia 3-8 tahun. Satu lagi untuk anak-anak perempuan berusia di atas 8 tahun. Semua bangunan itu dihubungkan dengan selasar beratap sehingga mereka terlindung ketika harus pindah dari tempat satu ke tempat lainnya.

Anak laki-laki berusia di atas 8 tahun ditempatkan di rumah lama keluarga Pradana Respati yang berada tepat di belakang kompleks itu, yang tembok pembatasnya sudah dijebol sebagian. Pada awalnya, anak-anak usia 0-8 tahun tinggal menjadi satu. Ketika dirasa sudah tidak memadai lagi, maka anak laki-laki harus pindah dan lokal mereka ditempati anak-anak usia 3-8 tahun.

Semua kondisi bangunan dalam keadaan bagus karena Pradana tidak pernah mengabaikan perawatan kompleks itu. Tentu saja semuanya berasal dari kantung pribadi. Saat ini, jabatan kepala panti sedang dipegang oleh Wanda. Perempuan itu pula yang menjelaskan apa saja yang mereka butuhkan untuk operasional sehari-hari panti saat di-survey.

“Yang paling kami butuhkan itu keperluan bayi, Mbakyu,” begitu ucap Wanda pada Yuliani. “Popok sekali pakai, susu, bubur, biskuit, sabun, minyak telon, dan produk perawatan bayi lainnya. Kalau untuk anak-anak 3 tahun ke atas, sudah cukup terpenuhi semua kebutuhannya. Begitu juga bahan makanan. Kalau ada sedikit kekurangan, ya, kami tutup dari kantung pribadi. Tapi hampir semua hal bisa ditanggulangi dengan bantuan para donatur, walaupun harus dihemat sana-sini. Hanya saja kalau ada donatur baru, akan kami terima dengan senang hati.”

Maka bakti sosial mereka kemudian datang dengan membawa puluhan kardus kebutuhan bayi selain sumbangan yang lain berupa baju layak pakai, bahan makanan, buku bacaan, dan segala jenis alat tulis, yang dibawa oleh satu truk besar. Secara estafet, rombongan yang terdiri dari hampir enam puluh bapak, ibu, pemuda, pemudi, remaja, dan anak-anak itu memindahkan semua dos dari truk ke selasar depan kantor pengelola panti. Setelah itu, mereka berpisah sesuai tugas masing-masing.

Para bapak dan pemuda membereskan dos-dos sumbangan dengan sekalian menatanya di gudang. Para remaja menyiapkan acara hiburan di aula. Para ibu, beberapa pemudi, dan anak-anak berkeliling melihat-lihat, ada pula yang menengok bayi-bayi lucu yang dirawat di sana. Keseluruhannya, ada 19 bayi dan batita, 23 anak usia 3-8 tahun, 11 anak perempuan berusia di atas 8 tahun, dan 14 anak laki-laki berusia di atas 8 tahun. Ada 5 remaja setingkat SMA yang ada di panti itu. Mereka kini bertindak membantu para pengasuh untuk membimbing ‘adik-adik’ mereka.

Tidak semuanya merupakan anak yang sengaja ditelantarkan oleh orang tua. Ada anak yatim-piatu yang terpaksa dititipkan para kerabat karena faktor keterbatasan ekonomi. Ada anak yang terpaksa tinggal di sana karena dititipkan oleh salah satu orang tua yang harus mencari nafkah dengan bekerja di luar kota, luar pulau, ataupun menjadi BMI, sementara pasangannya entah ke mana. Ada pula yang memang titipan dari dinas sosial karena sudah yatim-piatu dan tidak punya kerabat. Tapi jumlah anak telantar yang sengaja dibuang orang tuanya sejak bayi memang lebih mendominasi.

“Mereka bisa diadopsi, Bu?” Sasya iseng bertanya pada Isma, seorang perempuan berkerudung yang merupakan salah satu pendiri panti.

“Ada yang bisa, ada yang tidak, Mbak,” jawab Isma sabar. “Yang hanya titipan, jelas tidak, karena mereka masih punya keluarga. Kalau memang harus lama di sini, kami arahkan untuk masuk SMK, supaya bisa lebih cepat mandiri setelah lulus. Tapi kalau mau masuk SMA, ya, tidak apa-apa. Kami hanya memfasilitasi saja. Kalau anak yang jelas tidak punya orang tua dan kerabat, bisa diadopsi, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi calon orang tua."

“Syaratnya seperti apa, Bu?”

“Banyak, Mbak. Misalnya kondisi psikologis calon orang tua, kondisi ekonomi, tujuan mengadopsi, kemantapan hati, keadaan pernikahan. Banyak faktor yang harus dipenuhi.”

“Seperti itu apakah dikenakan biaya?”

“Sama sekali tidak,” Isma menggeleng sambil tersenyum. “Kecuali untuk kepentingan pengurusan legalitas dan surat-surat yang sudah di luar kuasa panti. Selama ini, kan, anak-anak hidup dari donasi yang cukup walau harus hemat. Tapi kalau pengadopsi hendak memberi sumbangan, tentu saja kami terima dengan senang hati. Berapa pun jumlahnya. Kalaupun tidak, juga tidak jadi masalah. Asalkan anak-anak yang diadopsi diurus dan disayangi dengan baik. Anak-anak yang dititipkan oleh orang tua atau kerabatnya, kalau mau diambil lagi, ya, silakan saja. Bebas, tak perlu membayar apa pun. Kami tidak memperjualbelikan anak-anak di sini.”

“Hm...,” Sasya manggut-manggut. “Kalau mau jadi donatur, menghubungi siapa?”

“Bu Wanda bisa, Bu Tri bisa, ke saya juga bisa. Kalau bapak-bapak, sih, lebih mengurus teknisnya, ya. Jadi ibu-ibunya yang lebih banyak terlibat di sini.”

“Oh...,” Sasya kembali manggut-manggut.

Seorang bayi mungil dalam sebuah boks mendadak saja menarik perhatian Sasya. Sekilas, bayi itu mirip sekali dengan Alta saat Sasya terakhir kali melihatnya beberapa belas minggu lalu. Cantik. Montok. Mata bulatnya terlihat begitu bening. Rambutnya kriwil. Tampak bersih dan terawat dengan baik seperti bayi-bayi lainnya di situ. Ketika Sasya mengulurkan tangannya, bayi itu pun menyambutnya.

“Owh...,” Sasya mengangkatnya dari dalam boks, kemudian menggendongnya.

Diciumnya bayi itu. Aroma wangi khas bayi segera saja menerpa hidung Sasya. Menimbulkan sebuah sensasi yang sangat menyenangkan.

“Umur berapa ini, Bu?” Sasya menoleh ke arah Isma. “Namanya?”

“Ela. Angela. Hampir delapan bulan, Mbak.”

“Secantik ini...,” Sasya menatap Ela yang meringis lucu, memperlihatkan gigi mungilnya yang baru tumbuh. Diciumnya lagi pipi bayi itu.

“Dia tidak dibuang atau ditelantarkan, kok,” celetuk Isma.

Sasya menoleh cepat. Tatapan bertanyanya terarah pada Isma.

“Dia salah satu korban kebakaran di dekat sini, lima bulan yang lalu.”

“Owh...,” seketika tatapan Sasya meredup. Sekecil ini...

“Ayah, ibu, dan kakeknya meninggal,” lanjut Isma. “Dia dan abangnya berhasil keluar karena diselamatkan neneknya. Tapi sayang, neneknya menyusul pergi beberapa hari kemudian. Selain ada luka bakar cukup parah, jantungnya juga nggak kuat. Polisi dan Dinas Sosial nggak berhasil menemukan kerabat yang lain. Karenanya dititipkan di sini. Apalagi, kan, mereka satu gereja dengan Bu Wanda sebelum pindah. Sementara ini belum bisa diadopsi. Kami juga harus memperhitungkan keadaan psikologis abangnya. Lagipula kalau diadopsi harus satu paket. Dia dan abangnya. Umur abangnya tujuh tahun. Kami tidak boleh memisahkan mereka, Mbak. Hanya berdua di dunia, masa harus dipisahkan?”

“Oh... Iya, ya...,” Sasya lagi-lagi mencium pipi bulat bayi itu. “Saya punya keponakan seusia ini, Bu. Sedikit lebih tua, sih. Perempuan juga, tinggal di Bali. Sekilas mirip.”

Ketika Sasya hendak mengembalikan Ela ke dalam boks, bayi itu merengek seolah tidak rela. Isma agak terkejut melihatnya.

“Wah, selama ini dia cuma lengket sama Mbak Nur, yang pegang dia sejak pertama datang ke sini,” gumam Isma. “Juga Ronan.”

“Oh, ya?” Sasya menoleh sekilas. Ia kemudian menatap Ela lekat. “Kamu mau ikut Tante Sasya?”

Dan bayi itu kembali menempel erat padanya. Dengan seizin Isma, Sasya kemudian membawa Ela ke aula. Ketika ia sampai di ruangan itu, dilihatnya para bapak dan pemuda sudah duduk bergabung di bagian belakang. Didekatinya Fritz yang duduk agak di tepi.

“Pa, mirip siapa, hayo...,” usiknya

Fritz menoleh dan seketika ternganga. Spontan, tangannya terulur. Bayi itu tidak langsung menolak. Tapi ia menatap Sasya.

“Itu Opa,” ujar Sasya lembut sambil duduk di sebelah Fritz. “Ela mau ikut Opa?”

Ketika Fritz mencoba untuk mengulurkan tangannya lagi, Ela sejenak menatap laki-laki itu sebelum mencondongkan badan. Tangan mungilnya tanpa ragu-ragu lagi terarah pada Fritz. Segera saja ia berpindah ke tangan Fritz.

“Itu adikku.”

Suara lirih dan kecil itu mendadak menyeruak di tengah mereka. Sasya menoleh dan mendapati seorang perjaka kecil berdiri di dekat mereka, dan menatap dengan curiga. Di tangannya ada botol berisi susu. Sasya tanggap seketika.

“Oh, kamu abang Ela?” tanya Sasya.

Perjaka kecil itu mengangguk. Sasya menggapaikan tangannya. Perjaka kecil itu mendekat. Sasya bergeser hingga ada kursi kosong antara ia dan Fritz. Di sanalah perjaka kecil itu duduk. kemudian menyodorkan dot botol susu itu ke bibir Ela. Bayi itu segera menyusu dengan nikmat. Fritz pelan-pelan mengambil alih botol susu itu. Ela terlihat nyaman di pangkuannya.

“Namamu siapa?” senyum Sasya.

“Dennis.”

“Dennis kelas berapa?”

“Mau kelas 2 SD, Tante.”

Sopannya... Sasya mengelus kepala Dennis.

Zijn ze broertje en zusje?” Fritz menatap anak gadisnya. Mereka saudara kandung?

Ja,” angguk Sasya. “Hun ouders en opa-oma waren tijdens de brand een paar maanden geleden overleden. Nu zijn ze alleen met z’n tweeën,” tatapan Sasya terlihat sedih. Orang tua dan kakek-nenek mereka meninggal dalam kebakaran beberapa bulan lalu. Sekarang hanya tinggal mereka berdua.

“Oh...,” sorot mata Fritz pun meredup.

Ela tampak senang melihat sang abang ada di dekatnya. Tangan Dennis terulur, mengelus pipi Ela.

“Adikku jangan dibawa pergi, Tante,” ucap Dennis lirih.

“Enggak...,” Sasya kembali mengelus lembut kepala Dennis. “Opa cuma rindu sama cucunya, keponakan Tante. Boleh gendong Ela sebentar, ya?”

Perjaka kecil itu mengangguk. Matanya kembali terarah pada hiburan di depan. Sasya turut mengarahkan tatapannya ke sana. Dan seketika ia tertegun. Ronan saat ini tengah mendongeng. Dan anak-anak terlihat terbius sekali dengan ekspresi, suara, dan gaya menarik laki-laki itu.

* * *

Acara makan siang digelar begitu acara mendongeng dan bernyanyi bersama selesai. Para pengasuh sibuk menertibkan anak-anak, dibantu anak yang lebih besar dan para remaja dari rombongan bakti sosial. Ketika mereka sudah duduk dengan rapi secara lesehan di aula, barulah kotak-kotak berisi makanan dibagikan. Para pengasuh dan anggota rombongan bakti sosial duduk menyebar di tengah-tengah mereka dan menikmati makanan yang sama.

“Ooo... Ela ternyata ngumpet sini,” seorang pengasuh, dengan name tag Nur, tertawa ketika menemukan Ela masih anteng di pangkuan Fritz. Ia membawa satu botol susu lagi untuk Ela. “Sudah waktunya menyusu lagi.”

“Mbak Nur makan dulu saja,” ujar Sasya yang masih duduk di dekat Fritz. “Sini, biar saya yang ngedotin Ela.”

“Wah, jangan, Mbak. Ibu marah nanti,” elak Nur.

“Ibu siapa?” Sasya menaikkan alisnya dengan wajah jenaka.

“Ya, Bu Isma, Bu Wanda, Bu Tri...”

“Nggak bakal marah, apalagi Tante Wanda,” geleng Sasya, memberikan jaminan. “Sini botolnya, Mbak.”

Dengan setengah hati, Nur menyerahkan botol itu. Perempuan itu kemudian minta diri sambil berpesan agar Sasya mencari dirinya kalau terjadi apa-apa. Ela segera berpindah ke pangkuan Sasya dan menyusu dari botol dotnya dengan nikmat. Sesekali Fritz mencandai bayi itu.

Semua itu tak luput dari tatapan Ronan. Laki-laki itu duduk di sebelah Dennis. Ia menyadari, bahwa tatapan Dennis hampir tak lepas dari sang adik.

“Perhatikan makananmu, Dennis,” tegur Ronan halus. “Ela nggak akan ke mana-mana.”

Tanpa suara, Dennis mengalihkan perhatian pada makanannya. Tapi sesekali tatapannya masih juga jatuh ke sana. Setelah semua kehilangan itu, di usia Dennis yang baru tujuh tahun, Ronan mengerti sekali bahwa Dennis tentunya sangat ketakutan bila harus dipisahkan dari adiknya.

“Dennis ingat, Papa Ronan pernah bilang apa?” ujar Ronan sambil melipat kotak kertas bekas makanannya yang sudah habis.

Dennis menatap Ronan dengan mata beningnya. “Dennis akan tetap sama-sama Ela. Papa Ronan janji.”

“Anak pintar!” Ronan menepuk lembut kepala Dennis. “Sekarang habiskan makananmu. Papa Ronan akan urus Ela. Tamu-tamu kita harus makan juga.”

Perjaka kecil itu mengangguk sambil mengawasi punggung Ronan yang kian menjauh.

* * *

“Papa jadi ingin bertemu Alta,” desah Fritz. Ia tersenyum ketika tatapan bulat bening Ela jatuh padanya.

“Nanti pulang, browsing tiket, packing, terus berangkat sama Mama,” Sasya menanggapi dengan santai.

Fritz menatap Sasya. Tampak ragu-ragu.

“Soal resto, Papa bisa minta Mas Era untuk mengawasi aku,” sambung Sasya.

“Papa tidak khawatir soal resto,” Fritz menggeleng. “Papa yakin kamu bisa walaupun tanpa campur tangan Era.”

“Lantas?” Sasya mengangkat alisnya.

“Papa takut tidak mau pulang ke sini karena Alta.”

“Astaga...,” Sasya tergelak sambil menggelengkan kepala. “Tentu saja Papa harus pulang ke sini. Lagipula, kalau Papa rindu Alta, Papa tinggal datang ke sini. Anak-anak ini juga butuh kakek.”

“Hm... Ja,” angguk Fritz, akhirnya.

“Om, Sasya, belum makan?”

Sasya mendongak. Ronan berdiri di dekat mereka. Di tangannya ada dua kotak makanan. Diletakkannya kotak-kotak itu di atas kursi terdekat. Kemudian diulurkannya tangan ke arah Ela. Bayi cantik itu balas mengulurkan tangan. Sasya melepasnya dengan berat hati.

“Makan dulu, Om, Sya. Ela juga sudah waktunya tidur siang,” ucap Ronan halus.

Fritz dan Sasya mengucapkan terima kasih. Sepeninggal Ronan dan Ela, Sasya meraih kotak makanan dan memberikannya satu pada Fritz.

* * *

Setelah jadi pramusaji dengan wajah riang gembira, membuat flan yang rasanya tak bisa dilupakan, membuat Ela lengket padanya, lantas apa lagi keajaibannya?

Ronan menyesap kopinya sambil duduk santai di sofa teras depan rumah orang tuanya. Senja sudah gelap sempurna, dan ia memutuskan untuk menginap semalam lagi. Tidak pulang ke apartemen seperti biasanya saat Minggu sore.

Ia membalas lambaian tangan Gaby yang duduk di boncengan motor Pradana, dan meluncur keluar dari garasi. Sesibuk apa pun Pradana, selalu punya waktu berdua dengan Gaby tiap Minggu sore. Seperti laki-laki itu selalu menyediakan waktu setiap hari Rabu untuk menikmati makan siang berdua hanya dengan anak sulungnya. Begitu motor yang dinaiki Pradana dan Gaby menghilang di luar pagar, Wanda muncul dari dalam. Menjatuhkan tubuhnya di sebelah Ronan.

“Capek, Ma?” Ronan membungkuk, meletakkan cangkir kopinya di atas coffee table, dan beringsut menjauh. “Sini kakinya.”

Wanda pun menaikan kakinya ke pangkuan Ronan dan segera menikmati pijatan lembut yang membuatnya rileks.

“Capek, tapi senang,” senyum Wanda. “Tadi ada beberapa orang yang menyatakan ingin jadi donatur tetap untuk panti kita. Syukur pada Tuhan, Ron. Pak Fritz bahkan bersedia mengirimkan semua kebutuhan untuk bayi. Kalau persediaan sudah menipis, kita tinggal bilang saja padanya, nggak perlu menunggu sampai habis bulan.”

“Oh, ya? Syukurlah... Eh, Ma, tadi Dennis ketakutan Ela mau dibawa pergi Om Fritz.”

Wanda menegakkan punggungnya dengan sikap dan ekspresi tertarik. “Oh, iya, itu gimana ceritanya Ela bisa langsung lengket sama Pak Fritz dan Sasya?”

“Nggak tahu, Ma,” Ronan mengedikkan bahu. “Cuma tadi Tante Isma cerita, tahu-tahu Ela mau saja digendong Sasya. Mau dikembalikan ke boks, malah mau mewek. Akhirnya dibawa Sasya ke aula. Lengket juga sama Om Fritz.”

Wanda menatap Ronan penuh arti. Dan seutuhnya Ronan memahami. Ia balik menatap Wanda.

“Aku sudah melepaskan kelas reguler program magister, Ma,” ujarnya. “Aku hanya mengajar kelas sore. Jadi... secara formal, Sasya bukan mahasiswiku. Ya, aku masih dosennya, tapi nggak akan berpengaruh terhadap prestasi akademiknya karena nggak ngajar dia lagi. Tapi... Sebelumnya aku harus jujur lebih dulu padanya, kan?”

Wanda mengangguk.

“Aku akan cari waktu yang tepat.”

“Hm... Bagaimana kalau kamu mulai dengan mengantar ucapan terima kasih Mama ke sebelah?”

“Maksudnya?” Ronan mengerutkan kening.

“Sebentar!”

Wanda menurunkan kakinya dari pangkuan Ronan, berdiri, kemudian menghilang ke dalam rumah. Tak lama, ia muncul lagi dengan membopong sebuah parsel cukup besar berisi aneka kue kering. Ronan buru-buru mengambil alih parsel itu.

“Ini dari Mama pribadi,” ucap Wanda, “sebagai ucapan terima kasih atas usaha Bu Fritz untuk panti kita. Sekarang, tolong, kamu antar ke sebelah, ya?”

Ronan hanya bisa mengangguk dan menuruti permintaan ibunya.

* * *


Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)

Dank u wel, Josephine Kartika Sari...

Silakan singgah juga ke tayangan [Bukan Fiksi] kemarin : [Bukan Fiksi] Mengenal Fitur 'Pratinjau' Dan 'Atur Jadwal Tayang' Di Blogspot

4 komentar:

  1. Pertama.. sithik sik, wis telat gawe. Keturon iki.....

    BalasHapus
  2. Episode yg bikin aku nangis sesenggukan krn bayangin Denis sama bayi Ela 😭😭😭😭

    BalasHapus
  3. 👍👍👍👍👍👍👍👍👍

    BalasHapus
  4. Saya jadi ingat Vendetta gara" Ela.


    #kode

    BalasHapus