Kamis, 04 Mei 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #4

Empat


Aturan pertama, berpenampilanlah yang pantas.

Seketika Sasya mengamininya. Ia kini bukan lagi anak kuliahan ‘biasa’. Di sela-sela waktu kuliah matrikulasi yang akan segera dimulai, ia harus mulai magang di EuropeSky. Meskipun tidak ada aturan baku soal ‘penampilan yang pantas’ itu, setidaknya bukan lagi blus atau kemeja dengan celana jeans dan sneakers. Imbasnya adalah muncul aturan kedua.

Gantilah kendaraanmu dengan yang sesuai.

Yang tertawa paling keras adalah Era. Sudah lama ia merasa risih dengan hobi ‘suka-suka’ Sasya yang satu itu. Beberapa kali ia menawarkan pada sang adik untuk mengganti tunggangan dengan yang ‘lebih pantas’. Sayangnya si adik menolak. Tapi kini?

“Mas... Tukar motorku dengan motormu, yak?” rayu Sasya dengan nada aleman yang kental melalui video call.

“Ogah...,” Era sok jual mahal di seberang sana.

Kom op, Maaas...,” Sasya makin memelaskan ekspresinya. “Ayolah...”

"Wani piro?" Era terbahak.

Sasya mengerucutkan bibirnya.

Tapi pembicaraan absurd itu berbuah manis. Akhir minggu dua hari kemudian, Era datang lagi dari Bandung. Kali ini dengan mengendarai skuter matic 150 cc-nya. Sebetulnya Sasya antara ya dan tidak untuk benar-benar menukar motor sport-nya yang berkapasitas mesin lebih besar daripada skuter matic Era. Tapi ia tak punya pilihan lain. Menuruti anjuran Fritz untuk memakai mobil Yuliani malah lebih kacau lagi di matanya. Maka mau tak mau ia berusaha menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Apalagi keesokan harinya Era sudah kembali ke Bandung dengan membawa kabur motor Sasya. Khawatir kalau adiknya itu mendadak akan berubah pikiran.

Dan aturan pertama menurunkan pula aturan ketiga, yang diucapkan Yuliani dengan sangat tegas sambil mengulurkan sehelai kartu debit, “Mulailah berbelanja gombalan baru untuk menggantikan semua gombalan yang kamu punya.”

Untuk itu, ia terpaksa menyeret Olin untuk menemaninya membeli busana yang ia butuhkan. Olin cukup piawai untuk dijadikan rujukan masalah style dan mode.

“Nggak harus selalu pakai rok karena lu tetap keukeuh mau motoran,” ucapan Olin terdengar menghibur di telinga. “Bisa juga pakai celana panjang, atau kulot, nggak masalah, tapi bukan jeans. Dan jangan sekali-sekali pakai sneakers! Okelah flat, tapi cari yang sedikit formal. Lu kudu bisa sesuaikan diri sama citra eksklusif EuropeSky.”

Seketika Sasya pusing dengan segala ocehan Olin. Tapi hasilnya memang ada.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Sasya yang asal-asalan berbusana sudah lenyap. Yang ada kini adalah Sasya yang dibalut blus biru muda polos lengan pendek berleher bundar, yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang high waist modis berwarna biru tua yang memperlihatkan detail unik pada pinggang lebarnya.

Demi mengurangi kepolosan itu, Yuliani merelakan seuntai kalung mutiara panjangnya untuk dipakai Sasya. Juga sepasang anting mutiara mungil untuk menggantikan giwang ceplik berlian yang biasa menempel pada daun telinga Sasya. Model rambut ekor kuda tetap dipertahankan. Begitu juga raut wajah polos. Hanya saja kini polesan bedaknya dilengkapi dengan sedikit warna tambahan pada bibir. Bukan berasal dari lipstick bermerek nan mahal, tapi dari lip-balm berwarna yang dibelinya di minimarket terdekat. Dan kakinya kini tertutup sepasang loafers berwarna hitam yang tidak terlalu flat karena ada hak setebal tiga sentimeter melekat di bagian tumit.

Jadwal kuliah matrikulasinya hari ini adalah pukul sembilan pagi hingga selesai dua mata kuliah. Setelah itu ia harus bekerja di EuropeSky sampai sore. Menjelang pukul tujuh pagi, ia sudah keluar dari kamar dengan memeluk sehelai jaket yang masih terlipat rapi dan menyandang tas ransel kulit hitam yang bisa diubah modelnya menjadi hobo bag. Tas itu Olin juga yang memilihkan. Lima warna sekaligus sesuai dengan warna sepatu yang sudah dipilih sebelumnya. Cukup besar hingga mampu memuat segala macam piranti dan gawai yang dibutuhkan Sasya, termasuk laptop ukuran 10 incinya. Pada saat seperti itulah, Sasya ‘terpaksa’ berterima kasih pada Olin.

Goedemorgen, Ma, Pa,” ucapnya manis sambil memberikan sebuah kecupan hangat pada masing-masing pipi kedua orang tuanya.

Fritz tersenyum lebar menatap putri bungsunya. “Heel mooi...,” gumamnya. Sangat cantik...

Dank u, Papa,” mata Sasya mengerjap genit ketika mengucapkan terima kasih, membuat tawa Fritz pecah seketika.

Sambil menikmati sarapan berupa Belgian waffle*) buatan Fritz dengan topping madu dan taburan aneka buah beri, mereka mengobrolkan berbagai hal ringan. Ujungnya Fritz bertanya tentang kesiapan Sasya. Gadis itu menjawab dengan sigap dan mantap. Membuat Fritz berlega hati karenanya.

“Kamu benar-benar tidak merasa terpaksa, kan?” Fritz menatap gadis bungsunya tepat di seberang meja.

Nee,” Sasya menggeleng pasti sambil meraih gelasnya yang berisi susu coklat. “Aku senang, kok. Geloof me, Papa.“ Percayalah padaku.

Ja, ik geloof je wel,” angguk Fritz. Aku percaya padamu, sepenuhnya.

Setengah jam kemudian, Sasya sudah siap di atas motor matic-nya. Marsih yang membukakan pintu pagar tersenyum simpul menatap Sasya. Gadis itu kemudian menaikkan visor helmnya.

“Napa senyum-senyum tengil gitu, Yu?” seru Sasya.

Tawa Marsih pecah. Ia melangkah mendekati Sasya.

“Mbak Sasya cantik maksimal, lho, kalau dandan gini,” jawabnya. Nyengir.

“Hm... Iya, biasanya kayak bencong, ya?” timpal Sasya ngawur.

Tawa Marsih meledak lagi. Setelah menutup kembali visor helmnya, Sasya mulai meluncurkan skuternya pelan-pelan. Begitu juga ketika ia mulai masuk ke jalan. Perlu waktu beberapa menit sebelum ia betul-betul menguasai skuter bersistem ‘gas pol – rem pol’ yang sama sekali lain dengan motor sport berkopling dan bergigi yang ia biasa gunakan. Tapi setelah berhasil menguasainya, dengan lihai ia menembus berbagai kemacetan yang menghadang. Setengah jam sebelum dimulainya jadwal kuliah pertama, ia sudah membuka helm di tempat parkir.

“Lho, Mbak Sasya?”

Gadis itu menoleh, kemudian tersenyum. Giyo, tukang parkir yang sudah dikenalnya dengan baik datang menghampirinya. Sasya segera mengulurkan tangan, mengajak Giyo berjabatan. Laki-laki berusia sekitar 50-an itu menyambutnya dengan gembira.

“Apa kabar, Pak Giyo?”

“Baik, Mbak,” senyum Giyo. “Saya kira sudah nggak bakalan ketemu Mbak Sasya lagi.”

“Hooo... Saya masih mau abadi di sini, Pak,” Sasya tergelak sambil melepas jaketnya.

“Bukannya Mbak Sasya sudah beres urusannya di sini?” Giyo mengerutkan kening.

“Saya masih lanjut, Pak. Sekarang di Gedung E.”

“Lanjut S2? Wah! Hebat, Mbak!” Giyo mengacungkan jempolnya. ”Pantes penampilannya juga berubah. Tambah cantik! Tapi kenapa nggak parkir di parkiran yang dekat sana saja, Mbak?”

“Mending di sini aja. Kan, motor saya bisa dijagain ekstra sama Pak Giyo,” Sasya nyengir.

“Oh, kalau soal itu, bereees, Mbak...”

Sasya terkekeh karenanya. Ia membenahi kucir rambutnya yang agak berantakan.

“Ngomong-ngomong, motornya ganti sekarang, Mbak?” Giyo mengelus skuter matic cukup bongsor berwarna silver yang masih mulus itu.

“Ini punya abang saya, Pak,” jawab Sasya sambil membuka kunci jok untuk mengambil tas sekaligus menyimpan jaketnya di bagasi. “Tukar motor sama dia. Soalnya sekarang saya nyambi kerja, Pak. Kata boss, kurang pantes kalau pethakilan pakai motor laki.”

“Hehehe... Bisa saja boss-nya, Mbak.”

Sasya kemudian berpamitan untuk mengikuti kuliah. Giyo melepasnya dengan senyum. Semua motor dan mobil yang diparkir di areanya selalu dijaganya dengan baik. Terutama motor Sasya.

Ia menyukai keramahan gadis itu. Tak pernah bersikap mentang-mentang. Selalu sopan dan bisa mengakrabkan diri. Padahal ia yakin, beberapa mahasiswi dan mahasiswa yang selama ini sering bersikap sombong, belum tentu kekayaan orang tua mereka melebihi kekayaan orang tua Sasya. Tentu saja Giyo ingat, bahwa kedua abang Sasya yang dulu juga pernah kuliah di sini, si kembar itu, pun bersikap sama baiknya dengan si adik. Menimbulkan kesan mendalam bagi dirinya.

* * *

Semua itu tak luput dari sorotan mata Ronan di balik kaca mata hitam dan kaca gelap mobil. Bagaimana gadis itu berbincang akrab dengan seorang tukang parkir, tak terlalu jauh jaraknya dari posisi ia menghentikan mobil. Tak ada sikap yang dibuat-buat. Dengan jelas ia melihat bahwa keramahan itu asalnya murni dari dalam hati. Dan bukan sekali ini saja ia tanpa sengaja melihatnya. Kali ini terasa makin berkesan di hati karena...

Ah, entahlah! Apa karena penampilannya berubah?

Ronan melepaskan kaca mata hitam dan menyimpannya di dalam tas. Sejenak kemudian ia sudah keluar dari dalam mobil dan menguncinya baik-baik.

“Selamat pagi, Pak Ronan.”

“Pagi, Pak Giyo,” senyum Ronan mengembang ketika membalas sapaan itu.

“Ngajar jam berapa, Pak?”

“Nanti jam sebelas, Pak. Ini ada janji dengan mahasiswa bimbingan saya. Eh, Pak, ini ada kue. Bolu tape buatan ibu saya kemarin sore.”

Giyo menerima tas kertas dari Ronan sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali. Tidak sekali ini saja ia memperoleh kue dari Ronan. Sering. Apalagi saat awal minggu seperti ini. Biasanya kue itu buatan ibu Ronan sendiri. Laki-laki berusia menjelang tiga puluhan itu kemudian berpamitan dan melanjutkan langkah menuju ke gedung A Fakultas Ekonomi, tempat ruangan kantornya bersama beberapa dosen lain berada.

* * *

Risiko untuk langsung melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi begitu lulus jenjang sarjana segera dihadapi Sasya. Teman-temannya di kelas reguler kini adalah para ‘angkatan tua’. Seorang memang sudah dikenalnya karena mantan kakak tingkat. Selebihnya? Diam-diam Sasya menggaruk belakang telinganya. Hanya ada enam perempuan di antara empat belas laki-laki. Itu kalau hadir semua. Sebagian besar tidak dikenalnya.

Tapi Sasya tak mau membiarkan pikirannya menggelandang ke mana-mana. Dimanfaatkannya waktu di dalam kelas sebelum dimulainya kuliah matrikulasi perdana untuk berkenalan dengan teman-teman barunya. Seorang bapak berusia pertengahan 50-an tampak terkejut ketika mengetahui kisaran usianya. Itu juga karena Rainy, salah seorang mantan kakak tingkat yang duduk di sebelahnya, keceplosan bicara.

“Ini teman-teman seangkatannya pada belum lulus, Pak Aji,” celetuk Rainy. Tertawa. “Sasya saja yang tancap gas nggak pakai nge-rem.”

“Lho, kalau begitu kamu seumuran anak bungsuku, Sya,” timpal Aji. “Haduuuh... Kerjaannya main melulu. Kuliahnya sampai keteter. Tugas akhir nggak kelar-kelar.”

“Cowok atau cewek, Pak?” sambar Phillip.

“Cowok, Mas Phil.”

“Jodohin aja sama Sasya, Mas Aji,” celetuk Ken. “Biar terpacu jadi cepet selesai kuliahnya.”

Bibir Sasya langsung mengerucut. Aji, Phillip, Rainy, dan Ken sama-sama tertawa. Saat itu ada sosok lain yang mendekat.

“Halo! Wah, kayaknya di sini meriah banget!” perempuan berusia akhir 20-an berpenampilan ‘ngartis’ itu duduk di dekat Rainy. Ia mengulurkan tangan, yang disambut bergiliran. “April.”

Tentu saja semua yang ada dalam kelompok kecil itu kenal siapa seorang April. Seorang artis seni peran dan penyanyi yang cukup kondang tapi sedang mengurangi kegiatan keartisannya demi melanjutkan pendidikan.

Pembicaraan itu berlanjut beberapa menit lagi sebelum seorang dosen perempuan masuk. Tak lama. Hanya perkenalan dan memanggil para mahasiswa melalui daftar presensi.

“Sarasvati Voorhoof?”

Seketika kelas hening. Beberapa orang berpandangan, berusaha mengenali dan menemukan siapa yang belum dipanggil. Dan semua tatapan jatuh pada Sasya ketika gadis itu yang duduk di deretan kedua kelas kecil itu mengangkat tangan.

“Lho, kamu sudah lulus, ya?” tatapan Inna terlihat jenaka.

Sasya tersenyum setengah hati.

I see...,” gumam Inna. Ia kemudian mengedarkan tatapan ke seluruh kelas. Tersenyum. “Ayahnya beberapa kali memberi kuliah umum kewirausahaan di sini,” senyum dosen itu.

Sasya hanya mampu meringis tak jelas. Salah satu hal yang kurang disukainya adalah bila seseorang mengenalnya karena nama belakang yang disandangnya. Tentu saja ia selalu bersyukur atas anugerah indahnya sebagai putri bungsu Fritz Voorhoof. Tapi pada waktu-waktu tertentu, ia hanya ingin dikenal sebagai Sasya. Just Sasya. Hanya saja, sering ia tak bisa mencegah orang lain yang mengenalnya untuk menghubungkannya dengan sang ayah.

Setelah berkenalan, hanya 30 menit dosen perempuan bernama Inna itu memberi pengantar awal tentang mata kuliah matrikulasi yang ia akan ajarkan sekaligus memberi tugas. Setelah itu, ia mengakhiri perkuliahan dan keluar dari kelas. Sasya segera melejit dari kursinya dan bermaksud keluar juga.

“Lho, ngobrol kita tadi belum selesai, lho, Sya,” Aji berusaha menahannya.

“Maaf, Pak, aku sudah janjian sama temanku,” Sasya tersenyum manis. “Nanti jam setengah sebelas aku balik, deh. Kita lanjut ngobrol lagi, ya?”

“Oh, oke!” Aji mengacungkan jempolnya.

Sasya segera ‘terbang’ ke gedung B untuk menemui Olin. Lebih tepatnya ke kantin yang ada di lantai dasar gedung B. Olin sendiri sudah tidak ada jadwal kuliah, tapi hari ini ada janji dengan dosen pembimbingnya. Olin sudah duduk menunggu di sudut kantin dengan beberapa teman seangkatan sambil menikmati cemilan dan minuman. Ketika Sasya muncul, mereka saling melakukan tos dengan meriah.

“Huweee... Sasya sekarang sudah sadar penampilan!” sambut Gusti dengan tawa meriahnya.

“Gue terpaksa, Gus, terpaksaaa...,” Sasya berlagak dramatis. “Kalau nggak dandan kayak gini, belum apa-apa gue udah dipecat sama boss.”

“Dandan kayak gini masih nunggangin CBR?” Andini terlihat takjub.

“Kagaaak...,” Sasya tertawa renyah. “Pakai skuter, gue sekarang.”

“Hahaha... Kirain...,” Andini tergelak.

“Lu nyambi kerja?” sambar Rendy.

“Ya, iyalah...,” jawab Sasya sambil melambaikan tangan ke arah salah seorang pelayan kantin. “Kalau nggak kerja, dapat duit dari mana? Uang saku gue udah distop sama Babeh.”

“Tapi yang gaji dia, ya, babehnya juga,” cibir Olin.

“Hooo...”

Sasya terkekeh mendengar kor protes dari teman-temannya. Ia kemudian memesan es teh lemon, seporsi pangsit goreng mini, dan seporsi calamari. Sejenak kemudian mereka sudah asyik mengobrol lagi sambil melanjutkan cemal-cemil.

Menjelang pukul setengah sebelas, mereka membubarkan diri. Ada yang hendak ke perpustakaan, ada yang bersiap untuk menemui dosen pembimbing, ada pula yang hendak mengikuti kuliah matrikulasi.

Sebelum beranjak dari kantin, Sasya tak lupa memesan dan membayar lunas sekotak nasi rames komplet beserta sebotol teh. Ia memberi catatan bahwa pesanan itu harus diantarkan pada ‘Pak Giyo tukang parkir seberang gedung A’ pada pukul dua belas tepat. Sasya sendiri sudah berjanji untuk kembali ke gedung E sebelum kuliah berikutnya berlangsung pada pukul sebelas.

Matakuliah matrikulasi Pengantar Studi Manajemen yang akan diampu oleh Ronan Respati, SE., MM.

* * *

Catatan :
*) Belgian waffle adalah wafel ala Belgia yang menggunakan ragi (yeast) sebagai pengembangnya, sedangkan wafel ala Amerika menggunakan baking powder seperti adonan pancake. Wafel ala Belgia lebih tebal dengan tekstur lebih ringan dan bagian luarnya lebih renyah. Bentuk kotak-kotak di bagian luarnya juga lebih besar dan dalam sehingga bisa menampung aneka topping.


Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)



10 komentar:

  1. Kok saya jadi galfok ke Belgian Waffle, ya? Tapi Sasya emang cantik sempurna, kok.

    BalasHapus
  2. Respati... inget pny temen namanya sama. Mbak, keren Teopebegeteh..suwun nggih

    BalasHapus
  3. Jempol buat mbak Lizz....

    Lanjut... Mesti og q masih ngeh dgn awal cerita..

    BalasHapus
  4. Jare papae arek" iki mesti ngkok laonok sing ngaget"i gek tengah" wakwakwakwak
    Taenteni kaget"e mb Lis.

    BalasHapus