Senin, 01 Mei 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #3

Tiga


Menjelang pukul sepuluh pada hari Minggu pagi, di bangku beton di bawah keteduhan pohon di area depan gereja, Sasya dan Olin asyik menikmati masing-masing satu kotak dimsum yang mereka beli di kedai sebelah. Keduanya sedang menunggu para orang tua yang masih ada pertemuan sie sosial gereja seusai misa. Ketika tengah bercakap dan bercanda, tiba-tiba Sasya ingat siapa yang datang ke rumahnya kemarin sore menjelang malam.

“Eh, Lin, gue punya tetangga baru,” Sasya nyengir jenaka.

Olin langsung menatap Sasya dengan sorot mata curiga. Sasya tergelak karenanya.

“Lihat ekspresi lu, kayaknya cowok cakep, nih, tetangga baru lu,” gumam Olin.

“Bukan sekadar cowok tsakeeep!” Sasya melebarkan matanya. “Tapi Pak Ronan.”

“Siapaaa???” Olin hampir tersedak shumay jamur yang baru saja digigitnya.

“Pak Ronan, sayaaang...,” Sasya nyengir lagi.

Seketika tatapan curiga Olin berubah menjadi iri luar biasa.

Pak Ronan? The most valuable bachelor at the college!

“Nggak usah jealous gitu, deh!” Sasya mengibaskan tangan kanannya. “Dia nggak tinggal di sana. Cuma ortu sama adiknya. Dia tinggal di apartemen sendiri. Nongol kalau weekend atau hari libur doang. Ceritanya, sih, gitu...”

“Tapi tetep aja itu Pak Ronan, Sya...,” desah Olin dengan wajah ‘mendamba’.

Sasya menggigit shumay udangnya dengan tatapan tak peduli. Baginya, Ronan sama saja seperti dosen lainnya di kampus, walaupun memang banyak ‘lebih’-nya. Terutama lebih mempesona. Selain ganteng, kelihatannya laki-laki itu juga akan segera meraih gelar doktornya sebelum usia tiga puluh. Plus, yang paling penting masih single. Entah single se-single-single-nya ataukah sudah punya calon pendamping tersembunyi. Yang kelihatan, ya, masih single itu.

Ia dan Olin pernah dua semester penuh diajar oleh Ronan saat semester-semester awal dulu. Suasana kelasnya selalu tertib. Bukan saja karena para mahasiswi terpesona melihat sosok dan cara mengajarnya yang menarik, tapi Ronan dengan tegas tidak membolehkan mahasiswa yang terlambat untuk masuk ke dalam kelas, dan menyuruh keluar mahasiswanya yang berisik ‘tanpa guna’ selama ia mengajar.

Mata kuliah yang diajarkan Ronan adalah mata kuliah wajib, sehingga mereka tak punya pilihan lain kecuali mematuhi aturan sang dosen. Meskipun begitu, Ronan selalu terbuka atas setiap pertanyaan, jawaban, dan semua jenis diskusi bersama para mahasiswanya. Semua ada tempatnya. Hening dan berisik ‘dengan guna’ memiliki waktunya masing-masing. Laki-laki itu juga tidak pernah datang terlambat dan selalu mengakhiri kuliahnya tepat waktu. Tampaknya ia berhasil memenangkan penghormatan dan rasa segan para mahasiswanya atas ketegasan dan kedisiplinan itu.

“Dan bagi gue tetep aja too good to be true,” Sasya mengangkat bahu.

“Yup!” Olin mengangguk setuju. “Makanya gue cari yang lebih membumi aja.”

“Macam Mas Dicky, gitu?”

“Hehehe...,” Olin terkekeh sambil melipat kotak dimsumnya yang sudah kosong. “Itu, sih, bukan gue yang cari, tapi dia yang kejar gue.”

“Ya, udah... Diterima aja kenapa, sih?” Sasya menyenggolkan lengan kirinya ke lengan kanan Olin.

“Emang...,” Olin membuang pandang ke arah lain.

“Maksud lu?” Sasya menoleh cepat. Menatap Olin dengan curiga.

“Iya, emang... Emang udah gue terima,” wajah Olin terlihat sedikit tersipu dan suaranya melirih.

“Serius???” Sasya membelalakkan matanya dengan wajah tercengang. “Kapan???”

“Minggu lalu,” Olin meringis.

“Whoaaa...,” Sasya tertawa sambil memeluk sahabatnya itu. “Gue ketinggalaaan! Berarti lu wisuda nggak bakal kosongan kayak gue kemarin itu, dong?!”

“Hehehe...”

Congratulation, Lin,” ucap Sasya tulus.

“Nah, tinggal lu, nih! Gue setuju maksimum kalau lu gebet itu Pak Ronan.”

“Hadeeeh... Lu jelek banget doanya, Liiin!”

Mulut Olin sudah terbuka hendak membantah, tapi kemunculan kedua pasang orang tua mereka membuatnya terpaksa menahan kata.

“Lin, ayo, ikut ke rumah, yuk!” ujar Yuliani. “Ambil oleh-oleh sekalian kita makan siang. Tante sudah minta izin ayah sama bundamu. Nanti biar diantar pulang sama Sasya.”

“Wohooo... Nggak perlu aku antar pulang dia, Ma,” timpal Sasya dengan nada jahil. “Tinggal aku teleponin Mas Dicky aja, selamat dia.”

“Dicky siapa?” Fritz nimbrung.

Dikira-kira aja siapa, Pa,” Sasya meringis jahil.

Semua tertawa karenanya. Fritz mengulurkan tangan. Dengan gemas dikacaukannya poni Sasya.

“Nanti juga tahu, kalau dia jemput Olin,” Yuliani menggamit lengan Fritz. “Ayo, sudah siang ini. Ayo, Lin! Bu Nindya, Pak Kunto, kami pinjam Olin dulu, ya?”

Olin tidak punya pilihan lain kecuali ikut rombongan keluarga Fritz. Apalagi sebetulnya kedua orang tuanya juga sudah punya acara sendiri siang ini. Gadis itu kemudian duduk manis di sebelah Sasya yang menyetir sedan milik ayahnya.

* * *

Olin selalu suka ‘main’ ke rumah Sasya. Apalagi kalau tuan rumahnya ada. Selalu ada kursus masak privat gratis dari Chef Fritz Voorhoof. Siang ini Fritz mengajarinya untuk membuat carbonnade1), daging sapi yang dimasak dengan bawang putih – bawang bombay yang ditumis hingga terkaramelisasi, dan bir, ditambah bumbu lainnya seperti thyme, bayleaf, dan mustard. Biasanya carbonnade dihidangkan dengan frites (kentang goreng ala Belgia) atau kentang rebus. Tapi dalam keluarga Fritz saat ini, carbonnade dihidangkan dengan nasi, dilengkapi dengan tumis bokcoy.

Fritz dan Olin memasak carbonnade menggunakan bir Früli2) asli buatan Belgia yang beberapa hari lalu dibawa Fritz dari EuropeSky. Biasanya para chef EuropeSky menggunakan bir Leffe Brune3) untuk memasak carbonnade, tapi kali ini Fritz ingin rasa dan aroma lain pada carbonnade yang akan dimasaknya di rumah. Kadar alkohol bir Früli juga lebih rendah daripada bir Leffe Brune.

Olin memejamkan mata sambil menghirup dalam-dalam aroma menggoda carbonnade yang menguar dari dalam pot di atas kompor. Ada aroma stroberi yang terjejak samar. Membuat Olin menelan ludah ketika membayangkan rasa carbonnade itu.

“Mudah, kan?” celetuk Fritz.

Olin mengangguk dengan antusias.

“Kamu bisa memasaknya sendiri di rumah.”

“Hm... Kalau masakan seperti ini, ayah-bunda saya pasti suka, Om. Pakai bir lokal bisa?”

“Bisa,“ angguk Fritz. “Tapi kurang mantap rasa dan aromanya. Kalau mau, minta saja bir untuk masak carbonnade pada Sasya. Biar kuambilkan dari resto. Kalau mau lebih light, campur saja dengan air.”

“Whoaaa...,” Olin menatap ayah sahabatnya itu dengan takjub. “Terima kasih, Om!”

You’re welcome, Caroline.”

Fritz tersenyum lebar sambil mematikan kompor dan mengangkat pot, kemudian membawanya ke meja yang sudah disiapkan Yuliani dan Sasya. Olin mengikuti dari belakang dengan membawa piring saji berisi tumis bokcoy. Yuliani sengaja menata meja makan bundar kecil di teras belakang yang menghadap ke taman. Sudah tersedia nasi, air putih, dan peralatan makan di atas meja itu.

Tak lama kemudian mereka sudah duduk manis di kursi masing-masing. Sambil menikmati makan siang, mereka asyik mengobrol. Topik utamanya siang ini adalah Dicky. Berkali-kali Olin tersipu ketika digoda soal Dicky. Fritz akhirnya tahu bahwa Dicky yang dimaksud adalah anak tetangga mereka yang rumahnya ada di ujung jalan, sederet dengan rumah Retno dan Riawan. Hingga dengan lihainya Olin bermanuver untuk membicarakan tetangga sebelah.

“Ngomong-ngomong, Sasya dijodohin sama tetangga sebelah yang baru itu aja, Tante, Om,” ucap Olin dengan liciknya.

“Ronan, maksudmu?” Yuliani mengangkat alisnya.

“Iya,” angguk Olin, nyengir. “Dia itu bujangan ter-‘gebet’ di kampus, lho.”

“Ish! Apa, sih?” Sasya mendelik gusar.

“Kalian satu kampus?” Fritz nimbrung.

“Lho, memangnya Sasya nggak cerita? Pak Ronan itu dosen kami, Om,” ungkap Olin dengan wajah tanpa dosa.

Dua pasang mata langsung menyambar Sasya. Membuat gadis itu menghentikan kunyahannya.

“Ada apa?” tanyanya, pura-pura bego.

“Kok, kalian kayak nggak kenal gitu?” selidik Yuliani.

“Ya, aku, sih, tahu dia,” elak Sasya. “Tapi, kan, dia belum tentu tahu aku. Nggak hafal. Lagian mahasiswi di kampus bukan cuma aku doang, kan, Ma.”

Masuk akal, sih... Yuliani manggut-manggut. Tapi usulan Olin boleh juga dipertimbangkan...

“Bukannya dia pengusaha?” Fritz membahas lebih lanjut.

“Oh, iya, Om,” dengan senang hati Olin ‘membantu menjelaskan’. “Pak Ronan itu selain dosen, punya perusahaan periklanan, punya usaha EO, promotor musik juga. Kerenlah pokoknya. Kandidat doktor juga, lho, Om.”

“Oh, ya?” Fritz mengangkat alis.

Olin mengangguk yakin.

Hm... Kali ini Fritz yang manggut-manggut. Sementara itu Sasya dengan lincah menghindar. Ia berdiri dari duduknya dan melangkah pergi. Alasannya, “Ambil salad buah di kulkas.”

* * *

Di antara semua mahasiswi jurusan manajemen yang pernah diketahui dan diajar Ronan, gadis itu termasuk dalam jajaran gadis paling cantik, sekaligus gadis yang paling tidak peduli dengan penampilan. Tapi otak gadis itu tak perlu diragukan lagi keencerannya. Ketika teman-temannya masih berkutat dengan tugas akhir, gadis itu sudah melaju dan diwisuda empat bulan yang lalu. Bahkan info terakhir, gadis itu sudah lulus tes seleksi dengan nilai terbaik dan siap untuk memulai studi S2-nya semester depan.

Dari pengamatannya selama dua semester mengajar kelas gadis itu beberapa tahun lalu, ia tahu bahwa gadis itu adalah sosok yang unik. Namanya tidak biasa. Sarasvati Voorhoof. Paduan nama Timur dan Barat yang terdengar indah di telinga. Penampilannya juga unik. Sehari-harinya hanya berbusana sederhana dan standar. Paduan blus dengan celana jeans dan sepatu flat. Bahkan kadang-kadang memakai kemeja flanel, celana jeans, dan sneakers. Rambut lurus kecoklatan aslinya hanya diekor kuda sekadarnya. Rias wajah? Jangan harap. Polos. Hanya selapis tipis bedak saja kalau tidak lupa.

Ketika para mahasiswa dan mahasiswi kalangan atas kampus itu berlomba untuk gonta-ganti mobil, gadis itu setia dengan motor sport full fairing bermerek Jepang berkapasitas mesin 250 cc berwarna hitam. Dalam segala suasana dan cuaca. Padahal bisik-bisik para rekan dosen menggemakan bahwa gadis itu adalah putri pemilik jaringan restoran EuropeSky yang sangat terkenal. Tapi lihat pergaulannya! Dari segala kalangan tanpa terkecuali, termasuk OB, OG, penjaga kantin, dan tukang parkir kampus.

Dan sekarang?

Halo, tetangga...

Sambil berbaring di atas ranjang beralaskan sprei katun bunga-bunga warna merah muda, Ronan mengarahkan tatapannya ke luar jendela kamar Gaby. Tembok di seberang taman samping berbatasan langsung dengan rumah gadis itu. Dan seutuhnya ia tak bisa melupakan pertemuan mereka menjelang malam kemarin.


“Mari, silakan masuk!”

Pria berwajah Eropa dengan postur tubuh tinggi besar itu menyambut mereka berempat dengan sangat ramah. Di belakangnya menyusul si nyonya rumah dan...

Sarasvati Voorhoof?

Ronan sejenak terpana. Tatapan mereka bertemu, tapi gadis itu bersikap biasa saja. Lalu laki-laki itu memperkenalkan diri sebagai Fritz Voorhoof. Yuliani Voorhoof adalah istrinya, dan gadis yang disebutnya sebagai Sasya itu adalah putri bungsunya.

Seketika Ronan mengerti berasal dari mana kesederhanaan seorang Sarasvati Voorhoof atau Sasya. Karena seperti itu juga sikap kedua orang tua gadis itu. Sangat membumi. Seketika itu juga terendus aroma bahwa ayah dan ibunya pun tampaknya bisa berteman baik dengan sang tetangga. Gaby pun langsung terlihat akrab dengan Sasya. Bahkan gadis itu menarik tangan Gaby untuk diajak masuk ke bagian dalam rumah. Ketika mereka berpamitan hendak pulang, Gaby keluar dengan menenteng sebuah tas kertas. “Oleh-oleh dari Belgia,” katanya. Setelah dibuka di rumah, isinya adalah dua kotak biskuit Jules Destrooper dan sekotak coklat praline asli buatan Belgia.


Dan gadis itu tetap bersikap biasa saja. Bahkan seolah tak mengenalnya.

Dia sombong atau apa?

Seketika Ronan membantahnya dalam hati. Sepertinya gadis itu bukan sombong, tapi...

... selalu tak ingin menonjolkan diri. Hm...

Dan rasa-rasanya, ia tak bisa lagi mengabaikan kehadiran gadis itu. Semester depan mereka akan bertemu lagi. Karena ia mengajar juga di jenjang S2. Akan ada kelas matrikulasi juga sebelum semester dimulai. Salah satu mata ajar matrikulasi, ia yang mengampu.

Semoga saja bisa lebih sering bertemu.

Diam-diam ia meringis ketika menyadari bahwa pikirannya sudah melantur ke mana-mana. Dengan malas ia menggeliat. Sudah hampir pukul empat menjelang sore. Waktunya untuk kembali ke apartemen, yang...

... entahlah! Kenapa kali ini rasanya berat sekali?

Ronan mengembuskan napasnya keras-keras.

* * *

Catatan (dirangkum dari berbagai sumber) :

1) Carbonnade atau disebut juga Carbonade (dengan satu huruf ‘n’) Flamande adalah masakan Belgia yang berasal dari daerah Flandria.
Belgia merupakan sebuah negara yang dua kelompok etnis terbesarnya adalah Flandria (keturunan Belanda, bertutur dalam bahasa Flemish = bahasa Belanda dengan dialek Flandria) dan Walonia (keturunan Perancis, yang bertutur dalam bahasa Perancis). Selain itu ada pula sekelompok kecil keturunan Jerman yang bertutur dalam bahasa Jerman.
Nama Voorhoof adalah nama fam keturunan Belanda yang berasal dari daerah Flandria (Belgia bagian Utara, berbatasan dengan negara Belanda. Sedangkan Belgia bagian Selatan, yang berbatasan dengan negara Perancis, lebih banyak dihuni etnis Walonia. Etnis keturunan bangsa Frank / Jerman mendiami sebelah Timur wilayah Walonia, yang berbatasan dengan negara Jerman).
Hingga saat ini, di Belgia berlaku tiga bahasa nasional resmi yaitu Bahasa Belanda (standar, bukan Flemish, digunakan oleh 59% penduduk), bahasa Perancis (digunakan oleh 40% penduduk), dan bahasa Jerman (digunakan oleh 1% penduduk).

2) Bir Früli atau Van Diest Früli adalah bir buatan pabrik bir Brouwerij Huyghe yang bermarkas di Melle, Belgia. Melle terletak dekat kota Ghent yang berada di wilayah Flandria.
Bir Früli merupakan bir gandum (hop) yang dicampur jus stroberi murni dengan perbandingan bir : jus = 7 : 3. Setelah dicampur, difermentasi untuk kedua kalinya sehingga menghasilkan rasa yang segar, dingin, asam-manis, dengan jejak rasa pahit khas bir yang benar-benar berpadu jadi satu (mixed). Termasuk dalam golongan bir berkadar alkohol rendah (4,1%).

3) Bir Leffe Brune adalah salah satu jenis bir premium buatan InBev Belgium. Penamaan brune mengacu pada warnanya yang coklat gelap. Kadar alkoholnya 6,5%. Selain Leffe Brune, ada pula jenis bir Leffe lain yang dinamakan sesuai warna, rasa, dan masa edar, contohnya : Leffe Blonde, Leffe Ruby, Leffe Nectar, Leffe Royale, Leffe Noël, dll., dengan berbagai variasi kadar alkohol.

Tambahan :
Orang Belgia termasuk dalam peminum bir tertinggi di dunia (peringkat kedua, setaraf dengan orang Amerika dan Jerman). Mencapai rata-rata 100 liter per kapita per tahun. Meskipun demikian, undang-undang di Belgia mengatur bahwa penduduk Belgia tidak boleh membeli dan meminum minuman keras (anggur, bir, dsb.) sebelum berumur 16 tahun.
Industri bir sendiri merupakan sektor yang paling menguntungkan perekonomian Belgia. Ada sekitar 165 perusahaan bir besar dan kecil di negara Belgia yang kira-kira hanya seluas Jawa Barat (tepatnya 30.528 km2) dan berpenduduk sekitar 11.239.755 orang (tahun 2015) - (disarikan dari artikel "Nge'bir' Yuk!", atas seijin Mas Joko P. sebagai penulisnya; ditambah sedikit informasi dari Wikipedia).

Thanks to Kristal Pancarwengi and Mas Jepe KYB.



Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)

16 komentar:

  1. Ditunggu lanjutannya,terima kasih dpt tambahan informasi tentang negara yg ada dlm cerita ini.
    Я люблю(saya suka)

    BalasHapus
    Balasan
    1. 😄😄😄 Makasiiih singgahnya, Mbak... 😘😘😘

      Hapus
  2. Bir? Endang tuh. Jadi mbayangin bakalan ada moule frites juga nih... keren mbak. Lebih dari biasanya.... suwun saking jepun0

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata temenku, Leffe Blonde itu uwenaaak 😍😍😍

      Hapus
  3. Tak colongno omongane tonggo yoh:

    "Ada energi, semangat, kecintaan pada dunia literasi, disiplin, hiburan & "isi". Yang ia tulis sama sama sekali bukan cerita yang hanya menghibur tapi kosong"

    Yoiku tulisanmu/critomu nyah. Salut!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Papae Quin meneh1 Mei 2017 pukul 17.43

      Ralat! Nyolong omongane tonggoe gasengojo kenek mutilasi. Mau diprotes barang kambek sing due kalimat.

      "Yang ia tulis sama sama sekali bukan cerita yang hanya menghibur tapi kosong, tapi juga ada berbagai pesan tentang kehidupan di dalamnya. Itu di mata saya."

      Ahing!!!!!

      #wahing yo guduk misuh wkwkwkwkwk

      Hapus
    2. Wakakak... Dodolan kecap kabeh! 😆😆😆
      Huakjing! *ketularan wahing*

      Hapus
  4. Selalu menunggu ep slt😊👏🏻

    BalasHapus
  5. Mb Lissss gaisa komen apa" lg wiska !
    Pokoe pean heibad.
    Risete yahut.
    Lope" full !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Horak usah komen, moco ae sing mêmpêng. Sesuk ulangan 😁😁😁

      Hapus
  6. Weis... pasangan dosen dan mahasiswi! Unik tapi serasi pakai banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, disuruh belajar buat ujian kok main ke sini melulu??? 😱😱😱

      Hapus
    2. Iya, berusaha mempelajari dasar kisi-kisinya. Materinya jelas. Pembahasannya oke. Tapi soal-soalnya nggak ketebak. :-(

      Hapus