* * *
Enam
Kehadiran Hide di taman mengalihkan perhatianku dari ketidakhadiran Ale. Sengaja aku minta bantuan pada Mas Hasto untuk mendokumentasikan kegiatanku dan Hide di taman dalam bentuk rekaman video. Segera saja kuperkenalkan Hide pada para anggota Kopimusik yang sudah hadir. Ketika kuberitahu bahwa Hide piawai memainkan cello, segera saja Pak Satmoko menyodorkan benda itu pada Hide.
“Arinda...,” bisik Hide dengan mulut terkatup.
Aku tertawa menatapnya. Terlihat pipinya yang cukup putih bersemu merah.
“Come on...,” kusenggol lengannya dengan lenganku. “Reuni, Hide. Walaupun hanya kita berdua yang reuni.”
Dan Hide hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanpa bisa mengelak lagi. Seketika aku bertepuk tangan karenanya. Aku memberi kode pada Mas Hasto untuk mendekat.
“Ai! This is for you!” pekikku riang sambil menghadap ke kamera.
Segera saja mengalun The Swan dari Saint-Saƫns. Dengan begitu indahnya. Kemampuan Hide tak pernah berkurang. Aku yakin dia cukup rajin berlatih selama ini. Apalagi aku tahu betul The Swan adalah komposisi kesukaan Ai.
Dan Kopimusik masih menyambungnya lagi dengan komposisi-komposisi ringan yang lain. Tanpa Hide lagi. Karena selanjutnya ia hanya mau jadi penonton saja. Ketika matahari makin tinggi dan panasnya kian terasa menyengat, penampilan Kopimusik pun berakhir.
“Penampilan Hide tak berubah,” suara itu terdengar dekat di telingaku. “Tetap bagus seperti dulu.”
Aku menoleh. Masih kudapati Irvan menatapku sekilas sebelum kembali pada kesibukannya membenahi tumpukan kotak biola.
“Bagaimana...”
“Pluk!”
Ucapanku terpotong begitu saja oleh suara Kakung. Aku menoleh ke arah lain.
“Ya, Kung?”
“Hide kubawa ke tempat bubur ayam dulu, ya?”
Aku mengangguk. Ketika menoleh kembali, hendak meneruskan pertanyaanku, Irvan sudah tak ada lagi di sekitarku. Tapi masih bisa kulihat punggungnya menjauh bersama Bommy. Sepertinya mengangkut kotak-kotak biola itu ke mobil Pak Satmoko.
“Mbak Riri kapan mau mampir ke sekolah musikku?” Pak Satmoko berjalan mendekatiku.
“Sebetulnya mau banget, Pak,” senyumku. “Tapi minggu depan ini saya sudah mulai masuk kerja. Coba nanti kalau saya sudah bisa mengatur waktu, saya jadwalkan mampir ke tempat Bapak.”
Pak Satmoko mengangguk-angguk. Sejenak kemudian aku pamitan padanya. Aku tak bisa mengikuti acara ngobrol-ngobrol komunitas kali ini. Masih ada Hide, tamu istimewa yang harus kuurusi dengan baik.
Ketika aku tiba di kumpulan keluargaku, Hide sudah duduk manis. Berbincang dengan sepupu-sepupuku sambil sarapan bubur ayam. Kelihatannya ia menikmati betul sarapan itu. Ia menoleh ketika aku mendekat.
“Arinda! Aku jadi ingat bubur ayam buatan mamamu,” senyumnya terlihat cerah. “Buatanmu juga.”
Aku tersenyum lebar. Saat aku masih di Australia dulu, Mama memang pernah beberapa kali menjengukku dan menyempatkan diri membuatkan bubur ayam ala Bangka. Tentu saja aku mengundang anggota OPQ untuk mencicipi masakan Mama. Hasilnya, semua tergila-gila pada bubur ayam itu.
Ketika Mama sudah pulang, mereka memaksaku untuk masak bubur ayam itu. Segera saja aku kelabakan menelepon Mama hanya untuk menanyakan bagaimana cara membuatnya. Dengan dibantu Ai, akhirnya aku berhasil juga membuat bubur ayam itu. Tak seenak buatan Mama, pastinya. Tapi cukup untuk memenuhi nafsu teman-temanku yang kacau-balau itu. Lagipula aku, kan, bukan koki. Hanya seorang penikmat kuliner yang lebih suka mengibarkan bendera putih kalau disuruh memasak. Dan masih banyak kehebohan berikutnya ketika mereka mulai kerap memaksaku masak bubur ayam lagi.
Uti menyodorkan semangkuk bubur ayam padaku, yang segera kunikmati setelah mengucapkan terima kasih. Sambil makan, aku menyambung obrolan dengan Hide.
“Tak kusangka aku bertemu juga dengan Irvan,” celetuk Hide di antara obrolan kami.
“Irvan?” aku mengerutkan kening. “Kamu kenal Irvan?”
“Tentu saja!” Hide menatapku dengan heran. “Kamu pikir kenapa aku doyan rendang? Itu karena Irvan.”
Aku ternganga. Maksudnya? Hide rupanya menangkap tanya di wajahku.
“Kenapa kamu heran begitu, Arinda?”
“Di mana kamu kenal Irvan?”
Ganti Hide yang menatapku, seolah aku sebentuk makhluk yang berasal dari planet lain.
“Embassy-mu di Canberra.”
Aku kembali ternganga. Irvan di KBRI? Di Canberra?
“Aku tak pernah melihatnya,” desahku.
“Yang benar saja?! You’re kidding me!”
“Benar!”
“Dia hampir selalu ada di embassy-mu kalau kita dapat job di sana.”
Aku ternganga untuk yang ketiga kalinya.
* * *
Kesibukan segera saja menyambutku di Eternal Corp. keesokan harinya. Oleh Om Norman, aku ditempatkan di bawah pengawasan Mas Hasto. Sebagai seseorang yang masih berstatus trainee di bagian marketing.
Aku menjalaninya dengan senang hati. Mungkin secara keilmuan dan pendidikan formal, aku sudah menguasainya dengan baik. Tapi secara praktik? Aku tahu betul bahwa aku masih harus banyak belajar.
“Di luar sana, kamu adalah adikku, sepupuku,” ucap Mas Hasto tegas. “Tapi di sini, kamu stafku. Bedakan, ya?”
Aku mengangguk mantap. Sesungguhnya sikap seperti ini yang kuinginkan. Profesional sejak pertama aku masuk. Canggung? Pasti. Tapi sikap yang baik dari segenap karyawan Eternal Corp. membuatku pelan-pelan merasa nyaman di tempat yang baru. Ada perasaan diterima sebagai salah seorang anggota keluarga baru di sana.
Semua itu membuatku bersemangat menjalani hari-hariku selanjutnya. Membuatku makin tak mau mengukir penyesalan terhadap semua kepahitan yang pernah kurasakan. Mungkin memang benar bahwa di sinilah tempatku yang sebenarnya. Rumah. Di mana aku pulang dan merasa betah.
* * *
“Pluk!”
Aku urung membuka pintu mobil. Mas Hasto sudah berdiri di dekatku.
“Besok siang kamu ada acara ke mana?”
Aku menggeleng. Tapi sedetik kemudian aku ingat.
“Mm... Aku mau ke hotel Hide. Mau titip sesuatu buat istrinya.”
“Jam berapa?”
“Belum tahu.”
“Memang Hide kapan pulang ke Jepang?”
“Minggu. Entah jam berapa. Transit di Singapura dulu.”
“Oh...,” Mas Hasto manggut-manggut. “Besok sore bisa, kan?”
“Bisa, sih... Memangnya ada apa, Mas?”
“Aku mau ajak kamu ke pembukaan restoran temanku.”
“Lha, Mbak Menik?”
“Lagi pulang ke Jogja.”
“Oh... Boleh, deh! Jam berapa?”
“Jam sepuluh aku jemput, ya?”
“Oke, deh!”
Kami berpisah di basement. Aku tak langsung pulang. Tapi ke butik Budhe Risa dulu. Setengah mati aku mengingat-ingat rute dari kantor Eternal menuju ke butik Budhe Risa. Ketika mulai masuk ke jalan di tempat butik itu berada, barulah aku merasa lega.
“Nggak nyasar, kan, Pluk?” Budhe Risa menyambutku dengan senyumnya yang masih terlihat segar walaupun senja sudah menjelang.
Aku menggeleng sambil nyengir. Seandainya saja beliau tahu seberapa hebohnya detak jantungku sepanjang perjalanan tadi! Beliau segera menggandengku masuk ke ruangan kantornya. Ditunjuknya tumpukan barang di atas meja kerja beliau.
“Sudah kusisihkan yang bagus-bagus,” ujar Budhe. “Kamu tinggal pilih mana yang cocok.”
Aku segera tenggelam dalam tumpukan pernak-pernik yang semuanya bagus itu. Taplak meja, sarung bantal jumbo, hiasan dinding berbentuk kipas, alas piring dan gelas, dan lain-lain yang semuanya terbuat dari batik. Jujur, aku bingung memilihnya. Karena semuanya terlihat sama bagusnya di mataku. Seandainya tidak ingat bahwa bagasi Hide tentunya terbatas, sudah kukemas saja semua yang sudah disiapkan Budhe Risa.
Budhe sudah menyiapkan beberapa tas kertas berlogo butiknya untuk menampung pilihanku. Akhirnya penuh juga tiga tas. Cukuplah untuk oleh-oleh buat Ai. Kuharap Ai senang menerima cenderamata dariku ini. Dengan cepat Budhe memasukkan tas-tas kertas itu ke dalam sebuah dos yang juga sudah beliau siapkan.
“Jadi semuanya berapa, Budhe?” tanyaku seraya mengeluarkan dompet dari dalam tas.
Tapi Budhe Risa menggeleng. “Nggak usah, Pluk. Mosok buat anak sendiri perhitungan amat?”
Aku melongo. Budhe Risa tertawa melihat ekspresiku. Kemudian diraihnya bahuku.
“Sudahlah, Pluk. Nggak usah dipikir. Kamu senang, Budhe juga senang,” Budhe Risa merengkuh bahuku.
Aku pun berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Budhe Risa. Sekali lagi aku menemukan arti keluarga. Apa lagi yang harus kuminta?
* * *
Hebat mbak Lizz, ditunggu lanjutannya besok sore ^^
BalasHapusUdah tayang ya, Ari š
HapusMakasih mampirnya...
ono part 2 ne ki? tumben.. hihi
BalasHapusHo'oh... Penulise lagi kurang sak'ons š
Hapussae post nya mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... š
Hapusdipedot, ora seneng aku T_T
BalasHapusWakakak... Wes disambung meneh iko lho, Mas Diar... ššš
Hapusmbae...bikin penasaran ae to yo yo
BalasHapusHahaha... *kabooorrr*
Hapusehm... aku juga mau batiknya...
BalasHapus... apalagi yang eksklusif dan gratis... *tak'terusno* š
HapusMbak Lizz.......dah sore nih.....
BalasHapusIya, Mbak... Udah tayang kemarin sore lanjutannya ya... Makasih... š
Hapus