Kamis, 10 Maret 2016

[Cerbung] Vendetta #20








                       

* * *


Confession


Lama Luita menatap laki-laki itu. Tak berkedip. Dicobanya untuk mencari satu persatu maksud yang tersembunyi. Tapi ia hanya mendapatkan dua hal. Kesungguhan. Dan cinta. Tak ada yang lain. Dihelanya napas panjang.

“Anda tahu rasanya kehilangan yang sangat besar?” tanya Luita, sangat lirih.

Lukas mendongak sesaat. Kemudian ia mengangguk, “Ya, saya tahu. Dan yang dialami Angel jauh lebih buruk daripada yang pernah saya rasakan.”

“Hm...,” Luita mengangguk sedikit. “Dia gadis yang sangat istimewa, Pak Lukas. Saya sangat menyayanginya. Melihatnya mampu kembali berdiri tegak adalah segalanya yang saya inginkan di dunia ini. Setelah semua kebahagiaannya dirampas bajingan yang kebetulan pernah menjadi suami saya. Yang juga pernah merampas kebahagiaan saya,  Anda, ibu Anda, dan masih banyak lagi orang lainnya.

“Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri. Saya tak akan pernah membiarkan ada orang yang melukai dan menyakitinya lagi. Termasuk laki-laki yang mengaku mencintainya dan ingin bersama dia selamanya...”

Seketika Lukas merasa tertohok tepat di ulu hati.

“Saya sudah pernah membunuh mantan suami saya, Pak Lukas,” lanjut Luita dengan suara berubah menjadi sangat dingin. “Dan saya tak segan melakukannya lagi terhadap orang yang akan melukai dan menyakiti Angel. Walau saya harus menebusnya dengan jiwa saya sekali pun.”

Lukas mengangkat wajahnya. Menentang tatapan Luita dengan sorot mata tenang. Ia tersenyum sedikit.

“Saya mengerti, Bu,” ucapnya halus. “Tapi saya tak akan mundur hanya karena Ibu mengancam saya.”

“Ini bukan ancaman!” desis Luita.

“Ya, saya tahu,” Lukas mempertahankan senyumnya. “Saya juga tahu hati dan keinginan saya. Tak setitik pun ada maksud untuk melukai dan menyakiti Angel. Saya hanya ingin menemaninya, menjaganya, menggandeng tangannya, dan membahagiakannya. Seumur hidup saya.”

“Saya percaya, Pak Lukas. Saya percaya,” Luita mengedikkan sedikit bahunya. “Saya hanya ingin memastikan dia berada di tangan yang tepat.”

Lukas masih menatap Luita.

“Tolong jaga dia untuk saya,” ucap Luita. Akhirnya.

Lukas menghela napas lega.

“Tapi ingat kata-kata saya,” sambung Luita. “Tama akan mengawasi Anda untuk saya.”

Lukas kembali tersenyum. “Ya, saya tahu. Terima kasih banyak, Bu.”

Luita mengangguk.

* * *

Percuma mengingkari rasa hati. Yang didapatinya hanya rindu yang menyeruak begitu saja tanpa pernah mengucapkan kata permisi. Membuatnya gelisah tak menentu. Membuat Felitsa mengulum senyum sambil menatapnya.

“Kenapa senyum-senyum tak jelas begitu?” gerutu Angel.

Felitsa tergelak karenanya. Dengan sinar mata menggoda, ditatapnya Angel.

“Kakak seperti ABG yang sedang dilanda cinta monyet,” Felitsa melebarkan matanya dengan mimik kocak. “Makan tak enak, tidur tiada nyenyak, hidup enggan, mati nanti dulu.”

“Benar-benar kalimat ngawur,” Angel mengibaskan tangannya di depan wajah.

Tapi sepertinya Felitsa benar. Sudah hampir dua minggu ia tak bertemu Lukas. Jangankan bertemu, sehuruf saja kabar dari Lukas tak diterimanya. Menghubunginya duluan? Angel mendengus.

Memangnya aku butuh?

Mungkin ia memang tidak butuh, hanya saja ia jadi kacau. Dan ia menatap dengan curiga ketika Felitsa meyentuh-nyentuh layar ponselnya, kemudian menempelkan benda itu ke telinganya.

“Kamu menghubungi siapa?”

Felitsa meringis. “Bastianlah... Aku mau janjian untuk bertemu dengannya sore nanti di sini.”

“Oh...,” wajah Angel terlihat lega.

Dalam hati Felitsa tertawa lebar.

Gotcha!

Ketika didengarnya jawaban dari seberang sana, Felitsa segera berucap cepat, “Jam enam nanti di kafe, jangan lupa.” Dan tanpa menunggu jawaban, Felitsa segera menutup pembicaraan satu arah itu.

* * *

Lukas mematikan mesin mobil tepat ketika seseorang memarkir motor sport tepat di sisi kanan mobilnya. Ia keluar bersamaan dengan orang itu membuka helm dan jaketnya. Bastian.

“Oi! Mas!” sapa Bastian dengan wajah cerah.

“Hei! Halo!” Lukas menjabat tangan Bastian dengan hangat. “Apa kabar?”

“Baik. Mas bagaimana?”

“Baik juga. Mau ke kafe?”

Bastian mengangguk. Keduanya kemudian berjalan bersisian menuju ke kafe. Ketika keduanya sampai di teras kafe, Felitsa sudah menunggu dengan wajah secerah mentari siang hari.


“Hai, Mas!” sapanya, tersenyum lebar. “Kakak lagi terima tamu di kantornya. Masuk saja begitu tamunya keluar.”

Lukas tertawa melihat kedipan sebelah mata Felitsa. Tapi keningnya segera berkerut ketika melihat Felitsa dan Bastian seperti hendak secepatnya angkat kaki dari tempat itu.

“Kalian mau ke mana?”

“Oh...,” wajah Felitsa terlihat jahil. “Sebelum Mas Lukas bilang ke Kakak kalau aku yang menelepon Mas tadi siang, sebaiknya aku segera kabur dari sini. Ngeriii...”

Lukas hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar melihat kelakuan Felitsa. Ia melambaikan tangan begitu Felitsa dan Bastian sudah sampai di seberang jalan dan segera berlalu.

* * *

Angel baru saja hendak menutup pintu ruangan kantornya begitu sang tamu keluar, tapi pintu itu seperti tertahan oleh sesuatu. Hanya perlu sedetik untuk mengetahui apa penyebabnya. Sosok itu begitu saja sudah ada di depannya.

“Angel, apa kabar?”

Angel hanya bisa ternganga tanpa mampu mengendalikan lompatan-lompatan perasaan yang bermain dengan liar di dalam hatinya. Pada akhirnya ia hanya mendesah ketika Lukas membisikkan kalimat pendek itu.

“Aku... rindu...”

* * *


Epilog



Two Years Later...



Lukas mendekap Angel dengan erat ketika peti jenazah itu diturunkan ke liang lahat. Membiarkan airmata Angel membasahi kemeja hitamnya di bagian dada. Di seberang sana Felitsa melakukan hal yang sama. Memeluk Bastian yang tengah tersedu, dengan telaga bening memenuhi matanya. Ada pula Sabrina yang terisak dalam pelukan Tama. Juga Tonny dan Lyra – istrinya – yang memeluk erat Pia, putri tunggal Sabrina dan Tama.

Ada banyak kesedihan, airmata, dan hening yang berbaur di sana, seiring dengan berlalunya satu persatu rangkaian upacara pemakaman Luita Hadikusumo.

Ketika semuanya usai, satu persatu mereka meninggalkan pemakaman itu. Lukas merengkuh erat bahu Angel. Satu-satunya keinginan terakhir Luita Hadikusumo sudah terpenuhi. Melihat Angel dan Bastian menikah. Keinginan itu sudah terlaksana setahun yang lalu. Dalam sebuah acara pernikahan yang dilakukan secara bersamaan.

“Mami sudah pergi,” ucap Angel. Lirih. Tersendat. “Janjiku sudah tunai. Aku tak punya janji apa-apa lagi pada Mami.”

Lukas hanya diam. Mendengarkan, sambil berkonsentrasi pada kemudi mobilnya.

“Terima kasih sudah mencintaiku sedemikian rupa,” sambung Angel. “Seharusnya dalam cinta ada kejujuran. Maafkan aku. Aku sudah tak jujur padamu.”

“Soal apa?” tanya Lukas, halus.

“Pembunuh Ferry Frianto... sama sekali... bukan Mami...”

Lukas memutar sedikit kemudinya, menepikan mobil di bawah sebuah pohon. Sesaat kemudian digenggamnya jemari Angel. Terasa dingin dan lembab.

“Ya, aku tahu,” ucap Lukas, pelan.

Angel tak kaget lagi. Tapi ditatapnya Lukas.

“Lalu? Kamu tidak menangkapku?” mata Angel menyipit.

“Aku sudah menangkapmu,” Lukas tersenyum tipis. “Aku sudah memenjarakanmu selamanya. Dalam hatiku.”

“Lukas, aku...”

“Dengar, Sayang...,” Lukas membawa Angel dalam pelukannya. “Bertahun-tahun yang lalu aku sudah bergulat sendiri dengan diriku, perasaanku, pikiranku. Seandainya naluriku benar, bahwa kamu yang membunuh Ferry Frianto, apa yang harus kuperbuat?

“Lalu aku menemukan jawabannya. Sederhana. Mencintai dan menerimamu apa adanya. Kita sama-sama punya dendam pada orang yang sama. Aku kalah karena aku bukanlah eksekutornya. Tapi hasilnya tetaplah sama. Ferry Frianto memang harus berakhir hidupnya.

“Hukumannya sudah kamu terima sejak awal, Sayang. Bertahun-tahun dibungkus rapat perasaan bahwa hanya kamu yang tersisa, menurutku itu sudah hukumanmu yang terberat. Aku tak mau menambahnya lagi. Dendammu sudah mati. Itu sudah lebih dari cukup buatku.”

“Benarkah?” desah Angel.

“Ya. Dan sekarang kita pulang. Ke penjaramu. Rumahmu. Hatiku.”

Angel tersenyum.

Mungkin hukumannya tak ada di dunia ini. Mungkin nanti di alam lain. Tapi ia sudah siap. Ia hanya ingin menebus sedikit kesalahan itu dengan membahagiakan orang-orang yang dicintai dan mencintainya.

Saat ini.

Di dunia ini.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Catatan :

Cerbung VENDETTA akhirnya tamat juga. Utang lunas. Penulisnya ini boleh sedikit bernapas lega.
Tapi masih ada utang lain yang harus dilunasi, yaitu Tantangan Menulis Novel 100 Hari yang diadakan oleh Fiksiana Community, yang akan dimulai pada hari Senin, 14 Maret 2016.
Untuk itu FiksiLizz akan libur dulu sejenak untuk atur napas lagi. Nggak lama-lama, selama 10 saja terhitung mulai besok, Jumat, 11 Maret 2016. Semoga setelah itu jadi fresh lagi. Siap bertempur dengan ide dan laptop untuk menghasilkan fiksi yang layak ditayangkan di FiksiLizz.
Atas perhatian dan kesetiaan para pembaca FiksiLizz, saya kirimkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Salam...


14 komentar:

  1. yakkkkk, bubye lukas angel :(

    BalasHapus
  2. Luar biasa mantab Mbak...sy ikutin cerbung ini semenjak ada di blog lain,trus terputus n menghilang...penasaran,pake banget...ditunggu-tunggu gk muncul2 n akhirnya penasaran sy terbalaskan dgn cerita yg luar biasa mantab...2 jempol buat Mbak Lizz n ditunggu cerita2 selanjutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiyaaa... Eike jadi maluuu... 😄
      Makasih ya, Mbak... 😘

      Hapus
  3. Balasan
    1. ... cuma kayak gini thok... 😱
      Itin atu, Mbaaak 😳

      Hapus
  4. Dari part 1 sampek part tamat critae mb Lis ini ga brenti nguras emosie .....
    Tapie baca isa puas.
    Pean cene top mb !
    Aku tanunggu novele ya !
    Sukses mb !!!!

    BalasHapus
  5. Mbak, aku mau mau ngaku. Aku ini pembacanya yang curang. Tungguin 1 cerbung tamat, baru baca ampe selesai. Soalnya kalau baca ceritamu itu aku nggak bisa berhenti hi hi hi. #padahal lagi sibuk, padahal emang bener penasaran ha ha ha. Dah, ndak usah dipuji lagi, ampe bosen aku mbak muji terus hi hi hi. Apiik pokoke

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Makasih singgahnya, Mbak Muti... 😘😘😘

      Hapus