Senin, 29 Februari 2016

[Cerbung] Vendetta #17







Episode sebelumnya : Vendetta #16 : I Do Miss You...


* * *


Still


“Samosanya tidak enak?”

Felitsa tersentak. Sedetik ditatapnya samosa yang masih tersisa setengah bagian di atas piring kecilnya sebelum mengalihkan tatapan itu pada Karunia. Ia kemudian menggeleng, tapi segera tersadar begitu wajah Karunia dilihatnya berubah jadi seolah diliputi mendung.

“Bukan begitu maksudku, Nanny,” ralatnya cepat. “Bukannya tidak enak, hanya...”

Karunia melihat Felitsa seperti tak bisa menemukan ungkapan yang pas. Dan sepertinya sama sekali tak berhubungan dengan samosa buatannya.

Sepertinya...

“Kamu merindukan Bastian?” tanya Karunia, dengan nada sangat berhati-hati.

Sesungguhnya Karunia tahu jawabannya. Selama ini ia memahami sebesar apa cinta Felitsa pada Bastian. Cinta yang memandang Bastian apa adanya, bukan ‘ada apanya’. Hanya saja...

Felitsa tertunduk. Tak ingin menjawabnya. Sudah jelas baginya bahwa jawabannya sendiri itu pasti akan kembali menorehkan luka baru di atas luka lama yang belum sepenuhnya pulih. Luka yang menganga karena perpisahannya dengan Bastian.

“Entahlah,” jawabnya kemudian, patah.

Karunia duduk di sebelah Felitsa. Direngkuhnya bahu gadis itu.

“Cobalah untuk bicara pada kakakmu.”

“Tidak, Nanny...,” Felitsa menggeleng lemah. “Aku tak mau menyakitinya. Dia sudah terlalu banyak menderita.”

“Lalu kamu tidak?” tukas Karunia, lembut.

“Tidak seberapa dibandingkan dengan Kakak, Nanny.

Karunia terdiam. Sungguh-sungguh tak tahu harus menanggapinya bagaimana. Dihelanya napas panjang.

TING TONG!

Karunia bergegas berdiri begitu mendengar gema bel pintu pagar. Disingkapnya sedikit tirai jendela. Tapi senja yang temaram di luar sana membuatnya tak bisa melihat dengan jelas siapa yang berdiri di depan pintu pagar.

* * *

Benarkah?

Bastian menatap deretan mobil yang berjubel di tengah kemacetan jalan pada jam pulang kantor seperti ini. Entah ia akan sampai di tempat tujuan jam berapa nanti.

Dia meneleponku? Meminta untuk bertemu?

Dihelanya napas panjang.

Untuk apa lagi?

Kegelisahan melandanya tiba-tiba.

Kesalahan apa lagi yang kubuat kali ini?

Pelan-pelan Bastian seperti menemukan sesuatu.

Apakah dia tahu aku sering mengamati Felista secara diam-diam?

Semangatnya surut seketika.

Aaah... Aku bisa mati muda kalau tak boleh lagi melihat Felitsa...

* * *

Angel menatap tajam laki-laki di depannya itu. Mereka duduk berhadapan, dipisahkan oleh sebuah meja. Meja kerja Angel. Laki-laki itu berusaha duduk tegak. Dengan wajah tertunduk. Angel hanya mengangguk sedikit ketika Bastian mengutarakan kenapa ia lama sekali baru bisa muncul di kantor Angel.

Ketika Bastian masuk ke dalam kafe, ia mencoba mencari sosok Felitsa di dalamnya. Nihil. Gadis itu tak ada di sana. Ia berharap bahwa Felitsa ada bersama dengan Angel di dalam kantornya. Nihil juga. Hanya ada Angel. Aura dingin segera saja terasa menjalari seluruh tubuhnya.

“Kau masih mencintai Felitsa?”

Bastian tersentak. Ia mengangkat wajah. Di matanya, tatapan Angel seolah menuntut jawaban.

“Ya,” Bastian mengangguk. Suaranya terdengar lirih, namun pasti.

Angel menyandarkan punggungnya. Tatapannya masih lekat pada sosok Bastian. Pelan-pelan ia menelusuri hatinya sendiri. Dicarinya seberkas rasa benci atau sakit hati. Tapi ia sama sekali tak menemukannya. Laki-laki di depannya ini mungkin benar memang keturunan Ferry Frianto. Tapi setahunya sudah menjauhi jejak-jejak kelam itu dengan kesadarannya sendiri.

“Apa pekerjaanmu sekarang?”

“Fotografer, Mbak.”

“Modalnya kamu ambil dari kekayaan ayahmu?”

Bastian terlihat ragu sejenak. Tapi ia kemudian berusaha untuk jujur.

“Ya,” Bastian mengangguk. “Pada awalnya. Tapi abang ipar saya mengganti uang itu. Saya salurkan pada orang-orang yang membutuhkan. Dan sekarang saya masih mencicil pengembalian modal pada abang saya.”

“Hm...”

Lalu hening.

Ingin Bastian mempertanyakan kenapa Angel perlu untuk mengetahui semuanya itu. Tapi ia merasa sudah kalah dari awal. Ayahnya pembunuh keluarga perempuan itu. Walaupun ayahnya sudah mati, tapi rasanya ia masih harus ada untuk menebus semua yang dilakukan ayahnya. Ia harus rela menerima apapun yang akan menimpanya. Termasuk dibunuh perempuan itu saat ini juga, misalnya.

“Kembalilah pada Felitsa.”

Bastian ternganga. Sama sekali tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

“Maksud Mbak?” Bastian menegakkan punggungnya.

“Kau paham bahasa Indonesia tidak?” Angel mengerutkan kening. “Apa yang baru saja kamu dengar?”

“Kembali... pada... Felitsa?” Bastian mengulangnya. Terbata.

“Kurang jelas apa?” Angel memutar bola matanya.

“Boleh?”

Sejujurnya Angel ingin terbahak mendengar nada polos kekanakan dalam suara Bastian. Tapi ia berusaha untuk menahan diri demi wibawanya.

“Tentu saja!” tukas Angel.

“Kenapa?”

“Karena aku mau seperti itu!” Angel menatap Bastian dengan tajam.

Laki-laki itu masih ternganga.

“Kau tidak mau?” ucap Angel, mulai tak sabar.

“Mau!” Bastian menjawab cepat, seolah tak perlu berpikir lagi. “Tentu saja mau, Mbak. Tapi...”

“Apa lagi?”

“Mbak kan tahu siapa saya,” nada suara Bastian menurun drastis. “Apakah saya pantas untuk Felitsa?”

“Kalau kau berniat untuk menyakiti Felitsa, maka kau sama sekali tak pantas.”

“Saya tak pernah ingin menyakitinya,” Bastian menentang tatapan Angel.

“Maka pertanyaanmu sudah kau jawab sendiri,” Angel mengangkat bahu.

Bastian menghela napas panjang. Mengisi penuh-penuh paru-parunya dengan gumpalan-gumpalan kelegaan. Tapi sedetik kemudian ia menyadari sesuatu.

“Tapi... apakah Felitsa masih mau dengan saya?” tatapannya meredup.

“Kau ini laki-laki atau apa?” tandas Angel. “Cari tahulah sendiri. Kenapa harus aku juga yang menjawabnya?”

“Jadi...,” Bastian memastikan sekali lagi, “boleh?”

Astaga..., Angel mengucap dalam hati. Kalau kau bukan anak Mami sudah kublender dan kucampur kau dengan kopi sejak tadi...

“Tapi... mantan polisi itu...,” tatapan Bastian meredup lagi. “Saya lihat mereka begitu akrab.”

“Sekarang kau keluar dari sini, dan temui Felitsa. Atau...,” Angel melumat Bastian dengan tatapan mengancam, “jangan pernah temui Felitsa selamanya!”

Bastian langsung berdiri dari duduknya. Tergesa ia melangkah pergi setelah tiga kali mengucapkan ‘terima kasih’. Meninggalkan Angel yang terkikik geli begitu pintu kantornya tertutup lagi.

* * *

Belum pernah ia segelisah sekarang. Dulu pun saat melakukan pendekatan dengan Felitsa, ia tak pernah segugup ini. Tangannya sudah terulur untuk memencet lagi bel yang menempel di tembok pagar ketika sekilas ia melihat tirai jendela tersingkap.

Felitsakah?

Debar liar di dalam dadanya semakin menjadi. Tapi debar itu mereda ketika melihat siapa yang muncul untuk membukakan pintu pagar.

“Selamat sore, Bibi Karunia,” ucapnya sopan.

Karunia tampak menatapnya dengan ragu. Ia berjalan pelan menuju ke arah pintu pagar.

“Selamat sore,” jawab Karunia lirih.

“Felitsa ada?” Bastian mengulas senyum.

“Mm...,” Karunia berlama-lama membuka gembok pagar.

“Mbak Angel yang menyuruh saya ke sini untuk bertemu Felitsa,” ujar Bastian, halus.

Karunia menatapnya. Seolah tak percaya. Dan Bastian menangkap sorot mata itu seutuhnya.

“Bibi bisa menghubungi Mbak Angel kalau tak percaya.”

“Oh...,” Karunia mengangguk sambil membuka pintu pagar selebar-lebarnya. “Masuklah kalau begitu, Mas.”

“Terima kasih.”

Nanny, siapa yang...”

Tanpa menjawab, pelan-pelan Karunia menyisih, masuk ke dalam rumah.

Lalu tatapan mereka bertemu. Saling mengunci. Dengan kerinduan yang begitu saja melompat-lompat keluar dari dalam mata dan hati, kemudian menari di sekeliling keduanya. Felitsa dan Bastian.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #18 : Would You?


12 komentar:

  1. Balasan
    1. Makasih, makasih, makasiiih... 🍻
      Salam kenal ya, Mbak Mila...

      Hapus
  2. Weleeeh kok putus & pendek lagih toh buu..? Ketularan mbak Artem ketoke, bikin cerpengit. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whoaaa... Iki tukang perotesss! Hahaha...
      Makasih mampirnya, Mbak Indah... 😘

      Hapus
  3. Ayuk Felitsa bilang iya !!!!
    Aq gemes !!!!
    Heleh kemis kok sui men yoh ??

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Makasih banyak atas kesetiaannya mampir, Pak Subur... 😄

      Hapus
  5. Weh ketinggalan beberapa terbitan! Aku baca sebelum2nya dulu ya? :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dasarnya Angel sebetulnya baik ya? Ah terharu....

      Hapus
    2. Yaaa begitulah, hehehe...
      Matur nuwun nggih, Mbak... 😊

      Hapus
  6. ayo ayo ayoooo...
    disegeraken mencari hari baik...

    primbon mana primbon...

    BalasHapus