Kamis, 11 Februari 2016

[Cerbung] Vendetta #12







Episode sebelumnya : Vendetta #11 : Black Hole


* * *


Surrender


Angel menatap keakraban itu dari balik dinding kaca kantornya. Orang-orang di luar sana tak akan dapat melihatnya karena hanya ada cermin besar di balik itu. Disimpannya resah itu sendiri. Entah kenapa perasaan itu mendadak muncul. Karena laki-laki itukah? Angel menggeleng pelan.

Kasus itu sudah ditutup. Sebenarnya. Lalu mengapa laki-laki itu masih juga muncul untuk kesekian kalinya di kafe? Hanya menikmati suasana, secangkir frappe, dan beberapa potong pastry? Hm... Rasanya tidak,  Angel menyimpulkannya sendiri.

Bagaimana pun alarm di kepalanya masih juga berbunyi nyaring. Dan ia masih ingat janjinya pada Luita. Maka ia harus bersikap biasa-biasa saja. Setelah saving dokumen di laptopnya, ia pun beranjak dan keluar dari kantornya.

“Tolong macchiato satu ya, Glenn,” ucapnya pada seorang barista. “Sekalian pesankan satu apple strudel dan satu blueberry pie ya? Terima kasih.”

Angel kemudian berlalu sambil mengucapkan terima kasih. Ia melangkah ke arah meja yang ditempati Felitsa dan laki-laki itu, Lukas.

* * *

“Halo, sore...,” sapanya. Renyah dan ramah.

“Hai, Kak!” Wajah Felitsa bertambah cerah. “Kukira Kakak sibuk.”

“Sudah selesai, kok. Cuma mengurus pesanan buat pesta dua minggu lagi.” Kemudian ia menatap Lukas. “Apa kabar, Pak?”

Mereka berjabat tangan. Entah kenapa Angel merasa bahwa laki-laki itu sekalian mengukur kekuatan walau laki-laki itu menutupinya dengan senyum.

“Baik. Anda?” Lukas kembali duduk.

“Baik juga,” Angel duduk di sebelah Felitsa. “Ada saran atau keluhan soal pelayanan di sini?”

Lukas menatap Angel. “Saya suka berada di sini. Tenang, nyaman, sajiannya juga menarik dan enak. Hanya saja rasanya saya agak sukar menemui Anda ya?”

“Oh, ya?” Angel mengangkat alisnya. “Saya jarang ke mana-mana kok, kecuali pulang atau menengok Mami.”

“Ah... Ibu Anda baik-baik saja?” Lukas menggigit chicken barb croissant-nya.

“Sejauh ini ya, begitulah.”

Bunyi ponsel memberi jeda sejenak pada percakapan itu. Felitsa meringis sejenak. Menyadari bunyi ponselnya sudah mengganggu. Ia menjauh untuk menerima panggilan itu. Seorang pelayan membawakan pesanan Angel.

“Anda mau menambah pesanan?” Angel menatap Lukas.

“Mm...,” Lukas balas menatap Angel, tersenyum agak nakal. “Kalau ada yang menemani ngobrol saya tak akan ragu menambah pesanan.”

“Hahaha...,” Angel menanggapinya dengan tawa lepas yang terdengar sangat merdu. “Oke... Silakan Anda pesan apa saja yang Anda mau.”

Lukas kemudian menunjuk beberapa item dalam daftar menu. Saat itu Felitsa kembali ke meja dan buru-buru meringkas semua barangnya.

“Aku harus pergi,” ucapnya. “Ada yang praktikum ngawur. Labku meledak.”

“Hah?!” Angel ternganga.

Felitsa tertawa melihat ekspresi kakaknya. “Bukan meledak yang begituan, Kak. Hanya saja banyak yang harus dibereskan. Aku pergi ya,” Felitsa mencium pipi Angel sekilas. Ia menoleh ke arah Lukas, “Saya pergi dulu, Mas.”

Lukas mengangguk.

* * *

Beberapa detik kemudian mereka hanya duduk berdua di situ. Entah kenapa suasana yang sudah sempat mencair menjadi beku kembali. Angel menyeruput macchiato-nya pelan-pelan. Berusaha menikmati. Dengan perasaan yang sedikit berdebar.

“Kapan Anda menengok ibu Anda lagi, Mbak Vania?”

Angel menatap laki-laki itu tanpa suara. Vania... Panggilan itu terdengar begitu asing di telinganya. Sekaligus indah. Sejenak kemudian ia menggeleng, “Saya tidak tahu.”

Lukas mengerutkan kening.

“Saya menengok Mami setiap kali ada kesempatan. Tak pernah terjadwal,” sambung Angel.

“Oh...,” Lukas mengangguk.

“Kenapa?” tanya Angel.

Lukas mengangkat wajahnya. Sebelum ia menjawab, seorang pelayan datang menyela dengan membawakan pesanan tambahan Lukas.
           
“Silakan, Pak,” ucap Angel.

“Saya sudah setua itu ya?” senyum Lukas sambil menyendok zuppa soup-nya.

“Maksudnya?”

“Pak,” Lukas melebarkan senyumnya.

“Oh...,” Angel tertawa kecil. “Maaf, Mas Lukas. Dalam bayangan saya Anda masih polisi yang memeriksa saya.”

Lukas mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Dan waktu seakan membeku.

Wangi lembut parfum Angel seolah membuai Lukas setiap kali ia menarik napas. Terasa mengayunnya ke sana-sini tanpa Lukas berdaya untuk berontak. Sampai akhirnya suara lembut itu menyadarkan Lukas.

“Anda belum menjawab pertanyaan saya, Mas Lukas,” Angel mengerjapkan mata. “Tentang jadwal menengok Mami. Kenapa Anda menanyakannya?”

Kenapa?

Diam-diam Lukas memaki dirinya sendiri. Tapi ia segera menguasai diri.

“Saya ingin suatu saat ikut Anda menengok Ibu Luita,” jawab Lukas akhirnya.

Angel mengerutkan keningnya. “Bukankah Anda bisa melakukannya sendiri?”

“Saya ingin bersama Anda,” ucap Lukas. Dengan ketegasan tak terbantah.

Dan keangkuhan Lukas buyar seketika melihat reaksi Angel. Dalam bayangannya, perempuan itu pasti akan menuntutnya dengan kata tanya ‘kenapa’.  Atau paling tidak bersikap defensif atau menolak. Bukankah ia punya rahasia besar yang disimpannya bersama Luita?

Tapi Angel hanya membundarkan mulutnya seraya mengangguk tanpa suara. Begitu saja menyetujui keinginannya. Polos. Tanpa bertanya ‘kenapa’.

“Ya sudah, kapan saja Anda bisa, Anda hubungi saja saya,” ucap Angel kemudian. “Anda masih punya nomor ponsel saya kan?”

Lukas mengangguk. Bodoh. Dan terpaksa menikmati senyum Angel yang terkembang indah. Tapi pesona senyum itu tak membuatnya terbuai kali ini. Ia sudah menempatkan titik waspadanya ke batas yang paling tinggi.

“Ya, ada,” jawab Lukas. “Saya bisa kapan pun, Mbak Vania, karena saya sudah tak lagi berdinas di kepolisian.”

Angel ternganga sejenak. “Maksudnya?”

“Saya sudah mundur dari kepolisian,” ucap Lukas. “Saya menyerah. Lagipula Ferry Frianto sudah mati. Dan saya tidak berhasil mengungkap siapa pembunuh Ferry yang sesungguhnya.”

Angel mendapati sorot berbahaya dalam mata Lukas. Dan ia balik menatap mata tajam itu dengan polosnya. “Jadi maksud Anda pembunuhnya bukan Mami?”

Lukas terhenyak. Ada binar penuh harapan dalam mata indah itu. Sama sekali bukan sorot mata ketakutan. Bukan itu yang diinginkannya. Sama sekali bukan!

Dan ia pun menjawab lesu. “Saya tidak tahu.”

Karena sesungguhnya ia pun bingung bagaimana harus membuat naluri dan kenyataan yang dihadapinya berjalan selaras. Sikap sempurna Angel sudah mematahkan semuanya. Dilihatnya binar itu meredup. Seolah kehilangan harapan. Tentang seorang ibu yang sebenarnya tidak bersalah.

Pada detik itu, ia memutuskan untuk menyerah.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #13 : Black Memory



12 komentar:

  1. hadeeeeehhh...
    ini nih yg bikin gemeeeesss...

    bilang dong kalo cinta !!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dunia belum kiamat, Jeng'e... Nuwus mampire yo...

      Hapus
  2. Makin penasaran, ditunggu lanjutannya

    BalasHapus
  3. Jaadiaaan jadiiiaaan jadiaaan..wkwkwkwkwk...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Tanti njago yang mana? Hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  4. Lukas ih...
    kamu ih....
    cinta yeeee.... hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iye ape yeee? Hahaha... makasih dah mampir, Mbak Imas...

      Hapus
  5. Cwiwit ....... :))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iso suitan barang tah, Nit? Hihihi... Suwun mampire yo...

      Hapus