Kamis, 25 Februari 2016

[Cerbung] Vendetta #16







Episode sebelumnya : Vendetta #15 : Too Good To Be True


* * *


I Do Miss You...


Diam-diam ia mengamatinya. Laki-laki itu. Menghasilkan uang dengan tangannya sendiri. Bertahan hidup dengan mengandalkan kemampuannya. Secara bersih. Sebersit simpati perlahan muncul. Mulai memupus dendam yang masih bersarang di sana-sini dalam hati. Mengikisnya sedikit demi sedikit hingga nyaris tak tersisa segaris pun rasa sakit.

“Aku bermaksud membuat Sasya dan Bastian rujuk, Mi,” gumamnya lirih. “Bagaimana menurut Mami?”

Luita mencoba mencari maksud tersembunyi dalam nada suara Angel, tapi ia sama sekali tak mendapatkan apa-apa.

“Hm... Kalau menurutmu baik,” Luita mengangkat bahunya dengan ringan.

“Itu artinya Sasya akan menjadi menantu Mami. Menurut Mami layakkah?”

Luita menggelengkan kepalanya. Pelan. Ditatapnya Angel. Dalam.

“Apakah tidak terbalik?”

Angel mengerutkan kening. “Maksud Mami?”

“Seharusnya Mami yang bertanya padamu, apakah Bastian layak untuk Sasya?”

“Tentu saja layak, Mi,” tukas Angel. “Bastian sudah berhasil menata hidupnya sekarang. Sudah benar-benar lepas dari jaring hitam itu.”

“Ya,” Luita mengangguk. “Kuminta Sabrina dan Tama untuk mengawasinya supaya Tian tidak salah melangkah seperti ayahnya.”

“Maaf, Nona...”

Angel sedikit tersentak mendengar suara tegas di belakangnya itu. Ia menoleh sedikit.

“Waktu berkunjung sudah habis. Silakan kembali lain waktu.”

Angel mengangguk sambil berdiri. Ditatapnya Luita.

“Jaga diri ya, Mi?”

Luita mengangguk.

“Aku sayang Mami.”

Luita kembali mengangguk. Dengan mata mulai terasa hangat.

* * *

Angel menatap layar laptop yang terbentang di hadapannya. Situs fotografi milik Bastian. Menurut matanya, semua foto yang dihasilkan Bastian cukup sempurna. Cukup menunjukkan bahwa laki-laki itu tampaknya memang benar-benar serius menjalani hobinya sebagai sumber penghidupan. Sudah meninggalkan kemapanan berlumur cat hitam pekat di belakangnya.

Dihelanya napas panjang sambil mengalihkan tatapan ke luar partisi one way kafenya. Di sebuah sudut dekat dinding kaca, dilihatnya Felitsa tengah duduk sambil tangan kirinya menopang pelipis, dengan siku bertumpu pada permukaan meja. Wajahnya mengarah ke layar laptop yang terbuka di depannya, tapi matanya menyiratkan tatapan yang menerawang jauh.

Seringkali Angel menemukan Felitsa dalam keadaan seperti itu. Wajahnya tampak sedikit suram. Dengan tatapan mata yang agak kosong. Tentu saja ia tak pernah lupa bagaimana ekspresi Felitsa beberapa minggu lalu ketika Bastian mengadakan pemotretan pre-wedding di tempat itu. Kafenya.

Dan ia bisa menemukan bahwa diam-diam Felitsa dan Bastian saling menatap dari kejauhan. Wajah dan tatapan keduanya berlumur hal yang sama. Kerinduan. Yang kental. Pekat. Tapi seolah terlalu jauh hingga tak lagi bisa dijangkau.

Salahku juga...

Angel mengerjapkan mata.

Aku yang dulu menyuruhnya menjauhi Bastian.

Pelan Angel menyandarkan punggungnya. Cahaya hangat mentari menjelang senja tampak berpendar menyinari hampir seluruh wajah Felitsa. Gadis itu tetap terdiam. Membiarkan rona jingga membingkai parasnya yang cantik.

Pada detik itu Angel berdiri. Memutuskan untuk keluar dari ruangan kantornya untuk menemui Felitsa. Tapi sebelum bisa melangkah, langkah pertamanya telah terhenti.

Dia lagi...

Matanya menyipit. Menatap tajam laki-laki yang baru saja duduk di seberang Felitsa. Berbagi meja yang sama.

Ada berbagai rasa berbaur dalam hatinya. Sudah berminggu-minggu lamanya sejak terakhir kalinya laki-laki itu datang dengan menggandeng ibunya. Lalu ia tak pernah melihatnya lagi. Laki-laki itu bagai hilang ditelan bumi.

Perasaan aman membersit begitu saja dalam momen tanpa perjumpaan dengan laki-laki itu. Sekaligus rindu yang mendera.

Wajah datar laki-laki itu. Tatapan tajamnya yang seolah menguliti. Aura ancaman yang menguar dari tubuhnya. Kilat bahaya dalam setiap gerakannya. Senyumnya yang hanya segaris tipis. Semuanya membungkus laki-laki itu menjadi satu paket yang terlihat dan terasa mempesona. Setidaknya di mata dan hatinya.

Ah! Apa ini?!

Buru-buru ia menepis angannya yang mulai meliar. Membungkusnya lagi baik-baik dan menguncinya di sudut hati.

Satu hal yang baru saja ia sadari.

Ia mulai merindukan laki-laki itu.

* * *

Apakah kamu masih merindukanku, Tian?

Felitsa mendesah dalam hati. Matanya lekat menatap foto-foto hasil karya Bastian di situs milik Bastian yang saat ini terpampang begitu saja melalui layar laptopnya. Dihelanya napas panjang untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya.

“Hai...”

Felitsa tersentak mendengar suara itu. Ia mendongak dan mendapati seulas senyum dihadiahkan untuknya.

“Hai juga,” ia kemudian membalas senyum itu.

“Sendirian?”

Felitsa mengangguk. Laki-laki itu seperti hendak meminta sesuatu. Dan Felitsa sudah memberikannya sebelum laki-laki itu mengucap.

“Duduk di sini saja, Mas,” ujar Felitsa, manis.

“Boleh?” laki-laki itu mengangkat alisnya.

Felitsa tertawa ringan. “Tentu saja!”

Kemudian laki-laki itu menjatuhkan dirinya di sebuah kursi empuk di depan Felitsa. Berseberangan meja.

“Lama tak bertemu,” Felitsa masih menyungging senyum. “Mas Lukas apa kabar?”

“Baik,” Lukas, laki-laki itu, menjawab dengan nada ringan. “Aku sudah bukan pengangguran lagi sekarang.”

“Oh ya?” mata Felitsa membulat, berlumur ceria. “Sekarang bekerja di mana?”

“Di Utama Corporation. Sedang belajar untuk jadi kepala keamanan.”

“Oh ya?” wajah Felitsa pun tertular ceria yang tadi sudah membayang di matanya. “Selamat kalau begitu, Mas.”

“Terima kasih,” ucap Lukas, tulus.

Ia kemudian menatap berkeliling sejenak.

“Mencari Kakak?”

Seutuhnya Lukas menangkap nada menggoda dalam suara Felitsa. Laki-laki itu tertawa ringan.

“Kakakmu...,” Lukas menatap Felitsa. “Apa dia selalu sedingin itu?”

Felitsa menatap Lukas. Seolah menimbang sesuatu.

“Dingin kukira tidak,” jawab Felitsa, akhirnya. “Kalau menjaga jarak, mungkin iya, Mas.”

Lukas tampak termangu sejenak.

“Jelas dia jauh lebih trauma daripada aku,” tatapan Felitsa meredup. “Dia melihat semua yang terjadi pada kami dengan mata kepalanya sendiri. Sudah untung Kakak tidak jadi gila karenanya.”

Pada detik itu juga, Lukas menyadari bahwa masih ada orang lain yang mengusung luka jauh lebih parah daripada lukanya yang tak pernah sembuh selama bertahun-tahun. Sejenak ia terhenyak.

Bagaimana rasanya melihat orang-orang yang dicintainya meregang nyawa satu persatu di depan mata?

Lukas menggelengkan kepalanya. Ia saja yang melihat ayahnya pulang tinggal jasad dan nama dalam kondisi bersih merasakan sakit yang luar biasa. Sakit yang membuahkan dendam yang terus membara. Dendam yang membuatnya ingin menghabisi Ferry Frianto dengan caranya sendiri.

Dan ia sudah melihat sendiri bagaimana gadis itu berekspresi. Polos. Rapuh. Dingin. Tegar. Dan berbagai kutub yang saling berlawanan seolah menjelma jadi satu kesatuan yang rapat menutup Angel.

Satu kesatuan yang membuatnya diam-diam merindu. Dengan caranya sendiri.

* * *

Bastian hanya bisa termangu menatap pemandangan di luar kaca gelap mobilnya itu. Matanya mengerjap ketika dadanya dilanda rasa perih yang luar biasa.

Senyum itu... Cahaya senja yang menyinari wajah cantiknya... Binar di matanya... Tawa yang terlihat begitu tulus dan polos...

Semuanya menimbulkan ngilu yang luar biasa. Ngilu yang timbul dari rasa ingin mendekap. Ngilu yang datang karena semuanya hanya sejangkauan tangan tapi terasa begitu jauh di awang-awang. Ngilu yang hadir karena deraan rindu.

Felitsa... How I miss you...

Hanya itu yang bisa didesahkannya tanpa suara sebelum ia berlalu.

Semoga masih ada hari esok untuk melihat lagi wajahmu seperti kemarin-kemarin dan hari ini...

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #17 : Still


12 komentar:

  1. Waaah kok pendek buu? Lg seru2 bersambung dueeh.. :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya... Kok pendek ya??? *baru nyadar*
      Hehehe... Makasih mampirnya ya, Mbak...

      Hapus
  2. Waaaaww ...... Aq terpesona mb Liiissss ......
    Gasabar nunggu sambungane

    BalasHapus
  3. Walah...lek kangen mbok ojok diempet....:))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Salah-salah metune sing enggak-enggak.
      Nuwus mampire, Mbak Retno...

      Hapus
  4. mBayangke adegan Bastian ngintipi Felitsa *_*
    He he he he romantis!

    BalasHapus
  5. cowok tu yaaa...
    makin "terlarang" makin "menantang"...

    #eh

    :D :D :D

    BalasHapus