Kamis, 18 Februari 2016

[Cerbung] Vendetta #14








Episode sebelumnya : Vendetta #13 : Black Memory



* * *



Can't Take My Eyes Off Of You



Pintu itu tertutup di belakang punggung Lukas. Tamunya sudah pergi. Hanya ia dan ibunya yang tertinggal di rumah itu, seperti biasanya. Rissa menatap Lukas lekat.

“Jadi, bagaimana?” tanya Rissa.

“Menurut Ibu, bagaimana?” Lukas balik bertanya, dengan mata berkilat menyimpan semangat.

“Kamu ini...,” Rissa menyambungnya dengan tawa ringan. “Ditanya, kok malah balas bertanya.

Lukas tersenyum, tapi kemudian menggeleng, “Entahlah, Bu.”

“Aku cukup mengenal Pak Sudin, Luk,” ucap Rissa kemudian, lembut. “Dia pensiun tanpa cela. Lagipula... Kamu butuh pekerjaan sekarang.”

Lukas mengangguk.

Ya, pekerjaan.

Itu yang ditawarkan Sudin padanya. Pekerjaan. Menjadi kepala keamanan baru di Utama Corporation. Menggantikan Sudin.

Setahunya Utama Corporation adalah perusahaan yang cukup bersih. Ia tahu istri Utama Wijaya adalah anak perempuan Ferry Frianto. Tapi sudah jadi rahasia umum bahwa Sabrina Wijaya adalah pembenci nomor wahid Frerry Frianto, dan ia sudah tak pernah menghubungi ayahnya itu sejak bertahun-tahun yang lalu.

Hm...

Lukas menatap ibunya. Mengangguk.

“Baiklah, Bu, aku akan menerima tawaran itu.”

Mata Rissa berbinar seketika. Tanpa menunggu detik berlalu, dipeluknya laki-laki muda itu.

“Nah! Begitu jauh lebih baik! Jadi energi dan waktumu tak lagi kamu curahkan untuk hal-hal yang tidak perlu,” suara Rissa terdengar begitu riang.

Lukas tertawa kecil. Ia pun balas memeluk ibunya.

“Bagaimana kalau kita berkencan sore ini, Bu? Untuk merayakan pekerjaan baruku?” Lukas melepaskan pelukannya.

Rissa tertawa lepas sambil mengangguk. Hati Lukas tergetar karenanya. Seolah matanya tak ingin lepas dari menatap keceriaan di wajah Rissa. Keceriaan yang terasa terlalu nyata.

Apapun yang Ibu mau, Bu. Apapun...

* * *

Felitsa membelokkan mobilnya di lahan parkir.  Wajahnya terlihat letih. Setelah mengunci mobilnya baik-baik, ia pun melangkah sambil menenteng tas laptop dan menyandang tas besarnya di bahu. Bergegas ia menyeberang dan mendapati Angel tengah duduk di luar kafe sambil menikmati secangkir minuman.

“Hai, Kak!” sapa Felitsa sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Angel tanpa permisi. Diletakkannya semua barang bawaannya di atas meja.

“Whoa... Ck ck ck...,” Angel seketika berdecak melihat penampilan Felitsa.

“Kenapa?” tanpa permisi juga Felitsa meraih cangkir Angel dan meneguk isinya. Tapi...

“AAAH!”

Angel terkikik geli melihat Felitsa buru-buru menjauhkan cangkir itu dari bibirnya.

“Panas!” gerutu Felitsa.

“Siapa suruh main sambar saja minuman orang lain?” celetuk Angel di tengah tawanya.

Felitsa menghela napas panjang. Dengan wajah memelas ia mencolek seorang pramusaji yang kebetulan melintas di dekatnya.

“Tolong, minuman dingin satu, Mbak,” pesannya.

“Maunya apa, Mbak Fel?” pramusaji itu tersenyum.

“Apa sajalah.”

Orange juice?

“Bolehlah...”
“Kasih saja air putih sama es batu,” celetuk Angel.

Felitsa cemberut seketika, sedangkan pramusaji itu tertawa tertahan melihat ekspresi Felitsa.

“Sudah... Ambilkan es jeruk kelapa, dua gelas ya? Sama tiramisu empat buah," ucap Angel kemudian.

“Nah! Begitu lebih baik!” wajah Felitsa cerah seketika.

Pramusaji itu mengangguk dan kembali melangkah.

“Tumben Kakak ada di luar?” Felitsa menatap Angel.

“Tuh...,” Angel menunjuk ke satu arah dengan dagunya, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.

Tatapan Felitsa beralih ke arah yang ditunjuk Angel. Terlihat ada kesibukan di sana, di dalam kafe. Tatapan Felitsa kembali pada Angel.

“Ada apa sih, Kak?”

“Foto pre-wedding.”

“Oh...”

“Calon mempelai dulu pertama kalinya bertemu di kafe ini,” senyum Angel. “Makanya mereka mau foto pre-wed diadakan di sini.”

“Hm...”

Felitsa kemudian diam-diam menikmati tiramisu dan es jeruk kelapa yang sudah diantarkan padanya. Angel sendiri kemudian sibuk dengan laptop yang terbuka di hadapannya. Tapi pada detik kesekian tatapan Felitsa terpaku pada satu titik. Pada satu sosok. Pada satu wajah. Pada tatapan sepasang mata. 

Felitsa mendesah pelan. Semua terlihat terlalu nyata untuknya. Tapi hanya dalam satu kerjapan mata semua yang baru saja dilihatnya menghilang. Terhalangi oleh pintu kafe yang kini sudah tertutup seluruhnya.

Ia tetap tak mampu berpaling.

* * *

Bastian nyaris tak bisa berkedip. Sejak gadis itu menyeberangi jalan, kemudian duduk, kemudian bercakap, kemudian cemberut sejenak, kemudian tersenyum, kemudian...

Tatapan mereka bertemu. Pada satu titik waktu yang baginya membeku. Terlalu nyata, sekaligus terlalu khayal. Tapi itulah yang tertangkap oleh matanya. Membuat dunianya seolah tak bisa dialihkan ke lain urusan.

Bastian segera menemukan hal yang sama dalam mata Felitsa. Hal yang sama dengan yang diusungnya sendirian selama beberapa bulan lamanya.

Luapan kerinduan. Keinginan untuk saling bertukar sapa. Lumuran kesedihan. Magnet pengingkaran.

Dan pintu kaca itu kini sudah tertutup seluruhnya. Bastian sedikit tersentak. Ia termangu sejenak sebelum kembali tersadar. Kemudian ia meraih kameranya. Sesi pemotretan akan segera dimulai.

Ia harus bekerja.

* * *


Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #15 : Too Good To Be True





16 komentar:

  1. nggak jauh2 dari keluarga Ferry juga... hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wis, pokoke mbulet hihihi...
      Makasih mampirnya, Mbak Imas...

      Hapus
  2. Ini sing tatunggu dr tadi pagi" .........
    Tibae terbite siang.
    Jagoe ga klorok ta mangisuk mb ?
    Qiqiqiqiqiqiqiq
    Pas soro kambek lague !
    Jempol wis ta !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh saiki tayange rodok awan terus. Jagone ben bengi ngopi dadine telat kluruk terus, hihihi...
      Suwun mmpire yo, Nit...

      Hapus
  3. Lhoo.. siapa yg jd model prewedding nya buu? Penasaran, knp di cafe Vania bikin fotonya? Hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Temennya Bastian, Mbak. Dulu pertama kali ketemunya di kafe itu.
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  4. eh, bagi nomer hapenya bastian dong...

    sapa tau aku butuh buat poto prewed...
    :D :D :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Japri, japriii...
      Nuwus mampire yo, Jeng...

      Hapus
  5. Oh...ada tiramisu lagi...oh aku harus menahan diri karena angka timbangan yang terus menanjak. Btw ceritanya makin seru mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Angka timbangan nanjak tandanya makin makmur, Buuu... Hahaha...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. Mulai ini yg ketinggalan. Mau lanjut dulu :-)

    BalasHapus